BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.3 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk peneliti selanjutnya, yaitu:
1. Mengganti atau menambah variabel independen maupun variabel moderasi untuk mengembangkan penelitian ini.
2. Memilih perusahan yang berbeda jenis atau menambah jumlah populasi dengan perusahaan delisting lainnya untuk penelitian
3. Mencoba menggunakan metode regresi moderasi yang lain seperti selisih mutlak atau residual sehingga dapat terlihat perbandingannya dengan metode MRA yang dipakai dalam pada penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS 2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Keagenan sebagai suatu kontrak, dimana satu orang atau lebih (prinsipal) meminta pihak lainnya (agen) untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal, yang melibatkan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Jika kedua pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka, maka ada kemungkinan bahwa agen tidak akan selalu bertindak untuk kepentingan terbaik prinsipal. Dengan tujuan memotivasi agen, maka prinsipal merancang kontrak sedemikan rupa sehingga mampu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Rahman dan Baldric (2011) menyatakan kontrak yang efisien merupakan kontrak yang memenuhi dua asumsi yaitu sebagai berikut:
1. Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya, baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri.
2. Risiko yang diterima agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil, yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.
Auditor sebagai pihak yang independen dibutuhkan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja manajemen apakah telah bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal melalui laporan keuangan.Prinsipal mengharapkan auditor
memberikan peringatan awal mengenai kondisi keuangan perusahaan.Data-data perusahaan akan lebih mudah dipercaya oleh investor dan pemakai laporan keuangan lainnya, apabila laporan keuangan yang mencerminkan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan telah mendapat pernyataan wajar dari auditor (Komalasari, 2004). Auditor bertugas untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan perusahaan, dan mengungkapkan permasalahan going concern yang dihadapi perusahaan apabila auditor meragukan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Setiawan (2006) menyatakan bahwa, dibutuhkan pihak ketiga yang independen sebagai mediator dalam hubungan antara prinsipal dan agen.Pihak ketiga ini berfungsi untuk memonitor perilaku manajer (agen) apakah sudah bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal.Auditor adalah pihak yang dianggap mampu menjembatani kepentingan pihak prinsipal (shareholder) dengan pihak manajer (agen) dalam mengelola keuangan perusahaan.
Auditor melakukan fungsi monitoring pekerjaan manajer melalui sebuah sarana yaitu laporan tahunan.Tugas auditor adalah memberikan opini atas laporan keuangan tersebut mengenai kewajarannya. Selain itu, auditor juga harus mempertimbangkan akan kelangsungan hidup perusahaan. Auditor melakukan fungsi monitoring pekerjaan manajemen melalui sebuah saran yaitu laporan tahunan. Tugas auditor adalah memberikan tugas opini atas laporan keuangan tersebut mengenai kewajaran, selain itu juga mempertimbangkan akan kelangsungan hidup perusahaan (Susanto, 2009).
2.2 Opini Going Concern
Going concern adalah kelangsungan hidup suatu badan usaha dan merupakan asumsi dalam pelaporan keuangan suatu entitas. Asumsi ini mengharuskan perusahaan secara oprasional memiliki kemampuan mempertahankan hidup suatu perusahaan (going concern) dan akan melanjutkan usahanya di masa depan. Perusahaan diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi secara material skala usahanya (Institut Akuntan Publik Indonesia, 2011:5). Dalam menyusun laporan laporan keuangan harus dianggap bahwa perusahaan (entity) yang terus beroprasi di masa-masa yang akan datang, jika perusahaan di anggap tidak mampu melanjutkan usahanya harus diungkapkan oleh Akuntan (Harahap, 2013 : 5).
Auditor bertanggung jawab mengevaluasi apakah terdapat sangsi besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Auditor dapat mengidentifikasi informasi mengenai kondisi atau peristiwa tertentu yang menunjukkan adanya sangsi besar tentang kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, yaitu tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit (Institut Akuntan Publik Indonesia, 2011:seksi 341).
Arens (dalam Fanny dan Saputra, 2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menimbulkan tidak pasti mengenai kelangsungan hidup perusahaan adalah:
1. Tren negatif, sebagai contoh, kerugian operasi yang berulang terjadi kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan penting yang tidak baik.
2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, sebagai contoh, kegagalan dalam memenuhi kewajiban utang atau perjanjian serupa, penunggakan pembayaran dividen, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, restrukturisasi utang, kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru, atau penjualan sebagian besar aktiva.
3. Masalah intern, sebagai contoh, mogok kerja atau kesulitan hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses proyek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki oprasi.
4. Masalah luar yang telah terjadi, sebagai contoh, pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalah-masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk beroprasi, kehilangan franchise, lisensi atau paten penting, kehilangan pelanggan atau pemasok utama, kerugian akibat bencana besar, seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, yang tidak diasuransikan atau diasuransikan, namun dengan pertanggungan yang tidak memadai.
Laporan audit dengan modifikasi mengenai going concern merupakan suatu indikasi bahwa dalam penilaian auditor terdapat risiko perusahaan tidak dapat bertahan dalam bisnis. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) seksi
341 (Institut Akuntan Publik Indonesia, 2011) menyatakan apabila auditor tidak menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, maka auditor memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian.Apabila auditor menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, maka auditor wajib mengevaluasi rencana manajemen.Dalam hal satuan usaha tidak memiliki rencana manajemen atau auditor berkesimpulan bahwa rencana tersebut tidak efektif mengurangi dampak negatif suatu kondisi atau peristiwa maka auditor menyatakan tidak memberikan pendapat. Apabila rencana manajemen dimungkinkan efektif untuk dilaksanakan, maka auditor harus mempertimbangkan kecukupan pengungkapan mengenai sifat, dampak kondisi, dan peristiwa yang semula menyebabkan ia yakin adanya kesangsian mengenai kelangsungan hidup satuan usaha. Dalam hal ini opininya adalah wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidup.
2.3 Opini Audit
Dalam melakukan general audit, auditor akan memberikan opini atas laporan keuangan perusahaan. Opini yang diberikan merupakan pernyataan kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (Institut Akuntan Publik Indonesia, 2011).Opini yang dapat diberikan auditor yang melakukan general audit adalah wajar tanpa pengecualian, wajar tanpa catatan dengan bahasa
penjelas, wajar dengan pengecualian, tidak wajar, menolak memberikan pendapat (IAI 2011).
Pendapat atau opini audit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan audit. Laporan audit penting sekali dalam suatu audit atau proses atestasi lainnya karena laporan tersebut menginformasikan kepada pemakai informasi tentang apa yang dilakukan auditor dan kesimpulan yang diperolehnya. Opini audit diberikan oleh auditor melalui beberapa tahap audit sehingga auditor dapat memberikan kesimpulan atas opini yang harus diberikan atas laporan keuangan yang diauditnya. Arens et al. (2006) mengemukakan bahwa laporan audit adalah langkah terakhir dari seluruh proses audit. Dengan demikian, auditor dalam memberikan opini sudah didasarkan pada keyakinan profesionalnya.
2.4 Total Asset
2.4.1 Pengertian Asset
Asset merupakan bentuk penanaman modal perusahaan.Bentuknya dapat berupa harta kekayaan atau atas kekayaan atau jasa yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan.Harta kekayaan tersebut harus dinyatakan dengan jelas, diukur dalam satuan mata uang, dan diurutkan berdasarkan lamanya waktu atau kecepatannya berubah kembali menjadi uang kas. Menurut Dyckman et al (2000:174), “Aktiva adalah manfaat ekonomi yang dapat terealisasi di masa depan yang diperoleh atau diakuisisi oleh entitas tertentu sebagai hasil dari transaksi atau kejadian masa lalu. Aktiva (asset) adalah sumber daya yang dimiliki oleh entitas
bisnis atau usaha.Sumber daya ini dapat berbentuk fisik ataupun hak yang mempunyai nilai ekonomis.
2.4.2 Klasifikasi Asset
Aktiva diklasifikasikan berdasarkan urutan likuiditas (konvertibilitas menjadi kas).Pos-pos yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas tanpa batasan diletakkan pada baris paling atas.Aktiva dengan tingkat likuiditas rendah (kecil kemungkinan dapat dikonversi menjadi kas) diletakkan pada baris paling bawah.
Aktiva dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yaitu: 1. Aktiva Lancar (Current Asset)
Menurut Dyckman et al (2000:177), “Aktiva lancar mencakup kas dan aktiva lainnya yang diperkirakan dapat direalisasi menjadi kas atau dijual atau digunakan selama satu siklus operasi normal perusahaan atau dalam waktu satu tahun sejak tanggal neraca (salah satu yang lebih lama).” Yang termasuk dalam aktiva lancar adalah kas (cash), investasi jangka pendek (temporary investment), wesel tagih (notes receivable), penghasilan yang masih akan diterima (accruals receivable), persediaan barang (inventory), dan biaya yang dibayar dimuka (prepaid expense). 2. Investasi Jangka Panjang (Long Term Investment)
Investasi jangka panjang dapat berupa saham dan obligasi dari dan pinjaman kepada perusahaan lain, harta kekayaan yang tidak digunakan dalam operasi rutin perusahaan misalnya gedung yang disewakan kepada pihak lain, mesin yang digunakan di waktu yang akan datang, dana yang
diperuntukkan bagi tujuan khusus selain pembayaran utang jangka pendek, pinjaman kepada anak perusahaan atau perusahaan afiliasi (Kieso at al 2001: 193).
3. Aktiva Tetap (Fixed Asset)
Aktiva tetap (fixed asset) merupakan harta kekayaan yang berwujud, yang bersifat relative permanen, digunakan dalam operasi reguler, lebih dari satu tahun, dibeli dengan tujuan untuk tidak dijual kembali. (Kieso et al 2011:512) .”
Kelompok aktiva tetap adalah tanah (land), bangunan atau gedung (building), mesin-mesin (machinery), perabot dan peralatan kantor (office furniture and fixtures), perabot dan peralatan toko (store furniture and fixtures), alat pengangkutan (delivery equipment), dan sumber-sumber alam (natural resources).
4. Aktiva Tidak Berwujud (Intangible Asset)
Kieso et al (2011:194) Aktiva tidak berwujud sebagai hak-hak yang dimiliki perusahaan. Hak ini diberikan kepada penemunya, penciptanya, atau penerimanya.Pemilikan hak ini dapat karena menemukan sendiri atau diperoleh dengan jalan membeli dari penemunya.Hak-hak ini dilindungi oleh undang-undang.
Aktiva tidak berwujud (intangible asset) adalah hak cipta (copyrights), hak sewa/kontrak (leaseholds), hak monopoli (franchises), hak paten, merek dagang (trademarks), biaya organisasi (organization costs) dan goodwill.
5. Biaya yang Ditangguhkan (Deffered Charges)
Biaya yang ditangguhkan umumnya muncul karena pembayaran di muka beban jangka panjang. Beban ini memiliki manfaat ekonomis di masa yang akan datang yang dapat ditentukan dengan meyakinkan. Biaya yang ditangguhkan (deffered charges) adalah pengeluaran-pengeluaran atau biaya yang mempunyai manfaat jangka panjang, dimana pembebanannya sebagai biaya usaha berlangsung untuk beberapa tahun atau periode.
Biaya yang ditangguhkan adalah biaya penataan ulang mesin, biaya penerbitan obligasi, biaya pensiun dibayar dimuka, atau pembayaran di muka asuransi.
6. Aktiva Tidak Lancar Lainnya (Other Non-Current Asset)
Dyckman et al (2000:179) Aktiva tidak lancar lainnya (other non-current asset) adalah harta kekayaan perusahaan lain yang tidak termasuk pada kelompok-kelompok aktiva tersebut sebelumnya. Perbedaan utama antara aktiva lancar atau jangka pendek dengan aktiva tidak lancar atau jangka panjang adalah:
a. Aktiva jangka panjang tidak habis digunakan dalam siklus operasi tunggal.
b. Manajemen bermaksud memiliki atau menggunakan aktiva jangka panjang melebihi periode satu tahun dari tanggal neraca atau satu siklus operasi normal (jika lebih panjang).
Aktiva tidak lancar lainnya adalah uang kas pada bank tertutup atau di negara asing, investasi lain-lain yang tidak termasuk dalam investasi jangka pendek maupun investasi jangka panjang.
2.5 Rasio Leverage
Rasio leverage menurut Kasmir (2008:151) merupakan “rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aset perusahaan dibiayai dengan hutang. Artinya berapa besar beban hutang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan asetnya”. Dalam arti luas dikatakan bahwa rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan. Sementara menurut Harahap (2011:306) mengartikan bahwa “rasio leverage adalah rasio yang menggambarkan hubungan antara hutang perusahaan terhadap modal maupun asset.Rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh hutang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal (equity)”.
2.6 Probability Bankruptcy (Kemungkinan Bangkrut) 2.6.1 Pengertian Kebangkrutan
(Setyahadi, 2012) Menyatakan, kebangkrutan adalah kesulitan keuangan yang sangat parah sehingga perusahaan tidak mampu lagi menjalankan operasinya dengan baik.Sedangkan financial distress adalah kesulitan keuangan yang mungkin mengawali kebangkrutan.
Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Menurut Martin. dalam Adnan (2003), kebangkrutan sebagai kegagalan di definisikan dalam beberapa arti:
a. Kegagalan ekonomi (economic failure), kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biayanya sendiri. Ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban.
b. Kegagalan keuangan (financial failure), kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham.
Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu:
1. Insolvensi teknis (technical insolvency), perusahaan dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo.Insolvensi teknis terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu.
2. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
2.6.2 Indikator Bangkrut
Tanda-tandayang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan dalam bisnisnya dan mungkin kesulitan (Warga, 2006), antara lain sebagai berikut:
1. Penjualan atau pendapatan yang mengalami penurunan secara signifikan. 2. Penurunan laba dan atau arus kas dari operasi.
3. Penurunan total aktiva.
4. Harga pasar saham menurun secara signifikan.
5. Kemungkinan gagal yang besar dalam industri, atau industri dengan resiko yang tinggi.
6. Young Company, perusahaan berusia muda pada umumnya mengalami kesulitan di tahun-tahun awal operasinya, sehingga kalau tidak didukung sumber permodalan yang kuat akan dapat mengalami kesulitan keuangan yang serius dan berakhir dengan kebangkrutan.
7. Pemotongan yang signifikan dalam dividen.
2.6.3 Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan
Menurut Janch & Glueck dalam Setyahadi (2012) , secara garis besar, faktor-faktor penyebab kebangkrutan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Faktor Umum a. Sektor Ekonomi
Faktor-faktor kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, dan suku bunga.
b. Sektor Sosial
Faktor sosial yang sangat berpengaruh dalam perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan dan faktor lain yang juga berpengaruh adalah kerusuhan dan kekacauan yang terjadi di masyarakat.
c. Sektor Teknologi
Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang ditanggung perusahaan menjadi membengkak terutama untuk pemeliharaan dan implementasi. Pembengkakan terjadi jika penggunaan teknologi informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen. Sistemnya tidak terpadu dan para pengguna tidak profesional.
2. Faktor Eksternal Perusahaan a. Sektor Pelanggan
Perusahaan harus bisa mengidentifikasi sifat konsumen, karena berguna untuk menghindari kehilangan konsumen, juga untuk menciptakan peluang-peluang menemukan konsumen baru dan menghindari menurunnya hasil penjualan dan mencegah konsumen berpaling ke pesaing.
b. Sektor Pemasok
Perusahaan pemasok harus tetap bekerjasama dengan baik karena kekuatan pemasok untuk menaikkan harga dan mengurangi keuntungan pembelinya tergantung seberapa jauh pemasok berhubungan dengan pedagang bebas.
c. Sektor Pesaing
Perusahaan juga jangan melupakan pesaing karena apabila pesaing lebih diterima masyarakat, perusahaan tersebut akan kehilangan konsumen dan mengurangi pendapatan yang diterima.
3. Faktor Internal Perusahaan
Faktor-faktor internal ini biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijakan yang tidak tepat di masa lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat sesuatu pada saat yang diperlukan. Setyahadi (2012), dalam Faktor-faktor yang menyebabkan kebangkrutan secara internal adalah: a. Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur atau pelanggan.
Kebangkrutan bisa terjadi karena terlalu besarnya jumlah kredit yang diberikan kepada para debitur atau pelanggan yang pada akhirnya tidak bisa dibayar oleh para pelanggan pada waktunya.
b. Manajemen yang tidak efisien.
Banyaknya perusahaan gagal untuk mencapai tujuannya karena kurang adanya kemampuan, ketrampilan, pengalaman, sikap adaptif dan inisiatif dari manajemen. Tidak efisienan manajemen tercermin pada
tidakmampuan manajemen dalam menghadapi situasi yang terjadi diantaranya:
1. Hasil penjualan yang tidak memadai. 2. Kesalahan dalam penetapan harga jual. 3. Struktur biaya yang tidak efisien.
4. Tingkat investasi dalam aktiva tetap dan persediaan yang melampaui batas.
5. Kekurangan modal kerja.
6. Ketidakseimbangan dalam struktur permodalan. 7. Sistem dan prosedur akuntansi kurang memadai. 8. Sistem informasi yang kurang mendukung.
c. Penyalahgunaan wewenang banyak dilakukan oleh karyawan maupun manajer puncak, hal ini akan sangat merugikan dan menimbulkan dampak pada kinerja perusahaan.
2.7 Model Prediksi Kebangkrutan Altman
Model prediksi kebangkrutan secara umum dikenal sebagai pengukuran atas kesulitan keuangan.Altman berpendapat bahwa pengukuran rasio profitabilitas likuiditas, dan solvency merupakan rasio yang paling signifikan dari beberapa rasio keuangan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan. Model prediksi kebangkrutan (Z’), Model prediksi kebangkrutan yang terkenal dengan istilah Z score merupakan suatu formula yang dikembangkan oleh Altman untuk
mendeteksi kebangkrutan perusahaan pada beberapa periode sebelum terjadinya kebangkrutan, (Pratama: 2011).
formulanya adalah sebagai berikut:
Z-Score = 1,2T1 + 1,4T2 + 3,3T3 + 0,6T4 + 0,999T5 Keterangan:
T1 = working capital / total assets T2 = retained earnings / total assets
T3 = earnings before interest and taxes / total assets T4 = market capitalization / book value of debt T5 = sales / total assets
Model yang dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi. Revisi yang dilakukan oleh Altman merupakan penyesuaian yang dilakukan agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan manufaktur yang go publik melainkan juga dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di sektor swasta (Syamsul Hadi dan Atika Anggraeni, 2008). Model tersebut mengalami perubahan pada satu variabel yaitu T4 dimana sebelumnya kapitalisasi pasar dirubah menjadi nilai buku modal, sehingga model revisinya menjadi sebagai berikut:
Z-Score = 0,717T1 + 0,847T2 + 3,107T3 + 0,420T4 + 0,998T5 Keterangan:
T1 = working capital / total assets T2 = retained earnings / total assets
T4 = book value of equity / book value of debt T5 = sales / total assets
a. Modal Kerja/Total Aktiva (T1)
Modal kerja yang dimaksud dalam T1 adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar, sedangkan Total Aktiva adalah merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan terdiri dari aktiva lancar, aktiva tetap dan aktiva lain-lain.Rasio T1 pada dasarnya merupakan salah satu rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.Hasil rasio tersebut negatif apabila aktiva lancar lebih kecil dari kewajiban lancar.
b. Laba Ditahan/Total Aktiva (T2)
Laba ditahan merupakan jumlah atau bagian dari laba yang tidak dibagikan dalam bentukdividen selama periode tertentu. Laba ditahan biasanya digunakan untuk perluasan usaha. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan.
c. Laba Sebelum Bunga dan Pajak/Total Aktiva (T3)
Laba sebelum bunga dan pajak merupakan laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang diperoleh dari laba kotor dikurangi total biaya yang digunakan oleh perusahaan namun belum dikurangi dengan beban bunga dan pajak. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan.
d. Nilai Pasar Modal Sendiri/Nilai Buku Hutang (T4)
Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal dan saham, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang jangka panjang.Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap hutangnya melalui modalnya sendiri.
e. Penjualan/Total Aktiva (T5)
Rasio ini merupakan rasio yang mendeteksi kemampuan dana perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam 1 periode. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan oleh perusahan untuk menghasilkan pendapatan. Dari hasil analisa Model Altman, akan diperoleh nilai Z-Score yang dibagi dalam tiga tingkatan atau kategori, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1
Titik Cut-Off Model Altman
Kategori Nilai
Sehat jika Z > 2,90
Bangkrut jika Z < 1,23
Daerah Rawan (Grey area) jika Z 1,23 – 2,90 Sumber: Altman (1968)
2.8 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai opini audit going telah banyak dilakukan oleh penelitian sebelumnya, diantara lain adalah antara lain adalah : (Praptitorini dan
Januarti, 2010); (Mirshams dan Shahshahani, 2012); (Pratama dan Badera, 2011); (Opal dan William, 2010); ( Rahman dan Baldric, 2011).
Hasil penelitian dari Praptitorini dan januarti, (2010) membuktikan bahwa hanya variabel debt default yang terbukti berpengaruh positif terhadap penerimaan opini audit going concern. Sedangkan variabel kualitas audit yang diproksi dengan auditor industry specialization dan opinion shopping tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern.
Dalam penelitia Foroghi dan Shahshahani, (2012) menunjukkan bahwa lebih dari jangka waktu yang panjang, Organisasi Audit Iran tidak memiliki laporan going concern akurasi yang lebih tinggi daripada perusahaan audit lainnya yang lebih kecil dari Iran Asosiasi Akuntan Publik. Auditukuran perusahaan dan pelaporan going concern akurasi dari perusahaan yang terdaftar di BursaEfek Teheran, meneliti 54 perusahaan kebangkrutan selama periode 9 tahun.
Pratama dan Badera, (2011), menyimpulkan bahwa variabel model prediksi kebangkrutan berpengaruh pada penerimaan opini audit going concern. Sebaliknya, pertumbuhan perusahaan, leverage, dan reputasi auditor tidak berpengaruh pada penerimaan opini audit going concern.
Hasil penelitian dari Menon dan William, 2010, menunjukkan bahwa informasi dari going concern audit report tergantung pada isinya . Auditor umumnya mengutip alasan untuk mengeluarkangoing concern audit report. Sangat sering perusahaan tertekan oleh kondisi keuangan, yang mungkin tidak menambah apa investor sudah dapatinformasi dari laporan keuangan . Kami