H. Latar Belakang
Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang mencakup Indo Cina dan Semenanjung Malaya serta kepulauan di sekitarnya. Sekitar 80% dari wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah lautan dan lebih dari 60% masyarakat Asia Tenggara hidup dengan mengandalkan sektor kelautan sebagai tulang punggung perekonomian. Hal ini menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai jalur alur perdagangan global. Di samping itu, Asia Tenggara juga memiliki letak yang strategis di tinjau dari berbagai aspek baik itu dari segi astronomis, geografis, politis, ekonomis, sosial serta keadaan alamnya. Tak heran jika strategisnya posisi kawasan ini pada era perang dingin telah menempatkan kawasan Asia Tenggara sebagai ajang persaingan ideologi dan militer khususnya antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perkembangan situasi tersebut mencapai titik kulminasi sejalan dengan perubahan situasi politik internasional di penghujung abad ke-20.1
Laut Cina Selatan (selanjutnya disingkat LCS) merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km². Berdasarkan ukurannya, LCS ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima samudera. Laut Cina Selatan (LCS) merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.2
1
http://www. Tabloiddiplomasi.org/previous-issue/104-agustus-2010/903 “Asean Maritime Forum Akan Dapat Mengatasi Berbagai Isu Terkait Wilayah Maritim” , diakses pada 29 Agustus 2016.
Dari berbagai konflik teritorial antar negara di Asia Tenggara, konflik di LCS kini menjadi sumber ketegangan baru yang dapat menimbulkan ancaman atas keamanan regional maupun internasional. Sumber pesoalan yang membuat kawasan Asia Tenggara diliputi ketegangan adalah sengketa klaim kepemilikan wilayah di LCS, yang melibatkan beberapa negara yaitu Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Philipina, Vietnam dan Brunei Darussalam. Persengketaan di kawasan ini mencakup kedaulatan teritorial maupun kedaulatan maritimnya. Kedaulatan teritorial yaitu menyangkut kepemilikan wilayah yang ada di daerah sengketa. Sementara kedaulatan maritim berhubungan dengan penetapan batas yang diizinkan oleh Hukum Konvensi laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) United Nation Covenant on Law of Sea (selanjutnya disebut UNCLOS) tahun 1982.
Beberapa unsur yang menjadi alasan tidak selesainya masalah sengketa ini yakni akibat benturan masalah hukum laut wilayah antar negara. Malaysia, Brunei Darussalam dan Philipina mengklaim LCS berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 57 UNCLOS1982 yang memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk memperluas wilayahnya tidak lebih dari 200 mil yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif.3
Tiongkok sebagai negara yang mengklaim seluruh wilayah perairan LCS bersikap semakin keras dan cenderung menolak berkompromi terkait sengketa LCS, misalnya dalam insiden dengan kapal survei geologi Vietnam. Begitu pula dalam kasus komunikasi antara kapal perang India yang tengah berlayar di LCS dengan kapal perang Tiongkok, di mana nada pertanyaan dari kapal perang Tiongkok bersifat menantang. Belakangan pemerintah Tiongkok mengganggap bahwa situasi di LCS kini semakin memburuk seiring adanya upaya dan keterlibatan kekuatan luar kawasan di wilayah sengketa itu.
Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration
(selanjutnya disebutPCA) atas klaim Tiongkok di LCS dibuat untuk menanggapi pengajuan keberatan Pemerintah Philipina tahun 2013. Philipina keberatan atas aktivitas dan klaim Tiongkok di LCS, terutama klaim Tiongkok terhadap hak-hak kesejarahan (historic rights) dan sembilan garis putus-putus (nine-dash-line. Nine-dash-line) adalah upaya Tiongkok untuk memetakan klaim historic rights pada fitur maritim dan perairan LCS. Akibatnya, lebih 80 persen wilayah LCS diklaim oleh Tiongkok. Klaim ini tidak didukung dengan data koordinat geografis. Menurut PCA, klaim ini tak sesuai dengan hak berdaulat Zona Ekonomi Ekslusif (selanjutnya disebut ZEE) yang didasarkan pada UNCLOS. Permanent
Court of Arbitration (PCA) menyatakan Tiongkok telah melanggar hak-hak kedaulatan
Philipina dan juga menegaskan bahwa Tiongkok telah menyebabkan kerusakan lingkungan dengan membangun pulau-pulau buatan.
Masyarakat Philipina, sebagai warga dari negara yang mengajukan keberatan atas klaim Tiongkok di LCS, menyambut baik putusan PCA. Sebagian warga menggelar pawai di sejumlah tempat di Manila, membawa poster, dan mengibarkan bendera negeri itu. Salah satu poster bertuliskan, “Kedaulatan Philipina, tidak bisa ditawar-tawar”. Menteri Luar Negeri Philipina, Perfecto Rivas Yasay Jr., menyebut putusan Mahkamah Arbitrase itu sebagai keputusan bersejarah yang memberi kontribusi penting pada upaya pencarian solusi damai atas perselisihan teritorial antarnegara di perairan. Menlu Philipina juga menegaskan sikap dan komitmen negaranya untuk mencari penyelesaian secara damai
4
3
UNCLOS 1982 diakses melalui
convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf pada tanggal 21 Desember 2016.
dengan pandangan untuk mempromosikan dan meningkatkan perdamaian dan stabilitas di kawasan.5
Hal yang mendasari mengapa LCS bisa mengalami permasalahan yang besar. Pertama, kekuatan besar memainkan peran dalam LCS. Tiongkok dan Amerika Serikat memiliki banyak saluran komunikasi bilateral yang bisa saja membuat situasi menjadi meningkat. Tiongkok dan Amerika Serikat secara strategis memberi sinyal satu dengan lain. Namun, Tiongkok dan Amerika Serikat tak akan meningkatkan situasi di luar kendali. Kedua, stabilitas strategis yang dilihat di LCS berasal dari asimetri kekuasaan yang menyediakan ruang strategis untuk bermanuver. Terakhir, setidaknya masih ada
Berbeda dengan Philipina, Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing menyatakan, Tiongkok tidak akan menerima posisi atau aksi apa pun yang didasarkan pada putusan Mahkamah Arbitrase atas pengajuan keberatan Philipina. Namun, Tiongkok tetap akan menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS. Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyatakan putusan Mahkamah itu hampa dan tidak memiliki kekuatan mengikat. “Kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim serta kepentingan Tiongkok di LCS tidak terpengaruh keputusan itu”. Tiongkok menentang dan tidak akan pernah menerima klaim ataupun aksi yang didasarkan pada keputusan itu. Sedangkan Tiongkok, Vietnam dan Taiwan mengklaim LCS berdasarkan sejarah peninggalan kekuasaan dinasti atau kerajaan mereka (Tiongkok) serta peninggalan negara penjajahnya (Vietnam dan Taiwan). Sebenarnya seluruh negara yang bersengketa dan tergabung dalam organisasi regional ASEAN telah sepakat membawa permasalahan ini ke arbitrase internasional akan tetapi anggapan berbeda datang dari Tiongkok yang menginginkan penyelesaian secara bilateral karena akan lebih menguntungkan kedua belah pihak.
5
beberapa dialog yang terjadi dan dapat dilihat bahwa saling ketergantungan ekonomi makin meningkat.6
Tiongkok menegaskan akan menolak semua aturan panel arbitrasi PBB
tentang klaimnya atas wilayah LCS. Saat ini, negara itu terlibat sengketa
perbatasan dengan sejumlah negara asia. Perwira tinggi angkatan Laut Tiongkok,
Laksamana Sun Jianguo, meminta negara-negara lain yang tidak punya klaim di
LCS agar tidak mencampuri urusan itu. Hal itu disampaikannya hari Minggu
(05/06) pada konferensi keamanan regional Shangrila di Singapura. Laksamana
Sun secara tidak langsung menunjuk pada Amerika Serikat dan Australia. "Kami
tidak membuat masalah, tapi kami juga tidak takut," ujar Sun, yang juga wakil
kepala staf militer di Kementerian Pertahanan. "Tiongkok tidak akan menerima
putusan arbitrase dan tidak akan membiarkan pelanggaran apapun pada
kedaulatan dan keamanan Tiongkok dan Tiongkok tidak akan tinggal diam,"
Panel arbitrase sengketa LCS akan digelar beberapa minggu depan di Mahkamah
Internasional di Den Haag, Belanda. Gugatannya diajukan oleh Philipina, yang
mempertanyakan keabsahan politik perbatasan Tiongkok berdasarkan Konvensi
PBB tentang Hukum Laut.
7Angkatan bersenjata Tiongkok berjaga di Spratly Islands, February 2016
pada konferensi yang sama, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Ash Carter
mengatakan, putusan panel arbitrase PBB akan menjadi "kesempatan baik bagi
6 Ibid. 7
Tiongkok dan seluruh kawasan untuk membentuk masa depan yang berprinsip
pada diplomasi dan untuk menurunkan ketegangan.
Ketegangan di LCS diduga akan memicu naiknya anggaran pertahanan di
kawasan Asia-Pasifik sampai seperempatnya hingga akhir dekade ini, demikian
laporan yang dirilis lembaga konsultasi pertahanan IHS Jane pekan lalu.
Anggaran pertahanan di kawaan LCS diprediksikan akan naik dari US$ 435 miliar
tahun lalu menjadi US$ 533 miliar pada tahun 2020. Belanja militer global juga
akan bergeser dari Eropa Barat dan Amerika Utara ke arah pasar negara-negara
berkembang, terutama di Asia.
Pengadilan arbitrase internasional yang menangani sengketa LCS, telah
memutuskan untuk menggugurkan klaim Tiongkok atas wilayah di Kepulauan
LCS. "Arbitrase adalah sandiwara politik dengan dalih hukum,""Tiongkok
memiliki kedaulatan teritorial dan hak maritim dan kepentingan di LCS," kata
sebuah pernyataan terpisah yang berjudul "Pernyataan Pemerintah Republik
Rakyat Tiongkok pada Kedaulatan Tiongkok Teritorial dan Hak Kelautan dan
Kepentingan di LCS".
8Menurut berita Xinhua juga, pemerintah Tiongkok selalu tegas menentang
invasi dan pendudukan ilegal oleh negara-negara tertentu di beberapa pulau dan
terumbu karang Tiongkok Nansha Qundao (Kepulauan Nansha), dan kegiatan
yang melanggar atas hak-hak dan kepentingan Tiongkok di wilayah maritim yang
berada di bawah yurisdiksi Tiongkok. "Tiongkok memiliki kedaulatan atas
Nanhai Zhudao (LCS Kepulauan), yang terdiri dari Dongsha Qundao (Kepulauan
Dongsha), Xisha Qundao (Kepulauan Xisha), Zhongsha Qundao (Kepulauan
Zhongsha) dan Nansha Qundao," kata pernyataan pemerintah Tiongkok.
"Tiongkok memiliki perairan pedalaman, laut teritorial dan zona tambahan,
berdasarkan Nanhai Zhudao. Juga, Tiongkok memiliki ZEE dan landas kontinen,
berdasarkan Nanhai Zhudao
9Konflik LCS memiliki arti penting bagi kawasan Asia Pasifik
dikarenakan keterlibatan 6 (keenam) negara yang bersikeras untuk mendapatkan
klaim wilayah seolah dihantui oleh kemungkinan terjadinya perang apabila upaya
diplomasi dan gencatan senjata gagal dilakukan. Teruntuk dari catatan sejarah
"
Tiongkok memiliki hak bersejarah di LCS," Tiongkok menghormati dan
menjunjung tinggi kebebasan navigasi dan dinikmati oleh semua negara di bawah
hukum internasional di LCS dan tetap siap untuk bekerja dengan negara-negara
pantai lain dan masyarakat internasional untuk menjamin keamanan dan akses
tanpa hambatan ke jalur pelayaran internasional di LCS. Keputusan hari ini oleh
Pengadilan dalam arbitrase Philipina-Tiongkok merupakan kontribusi penting
untuk tujuan bersama dari resolusi damai untuk sengketa di LCS, kata juru bicara
Departemen Luar Negeri John Kirby dalam sebuah pernyataan pers.
Para pejabat AS sebelumnya telah mengatakan mereka khawatir Tiongkok
mungkin menanggapi putusan pengadilan internasional di Den Haag akan
mendeklarasikan zona identifikasi pertahanan udara di LCS, seperti yang terjadi
di Laut Cina Timur pada tahun 2013, atau dengan meningkatkan bangunan dan
fortifikasi pulau buatan.
9
terdapat beberapa kali konflik terbuka antara Tiongkok dan Philipina.
Tiongkok berkeyakinan bahwa wilayah LCS merupakan peninggalan dinasti
leluhur yang sudah seharusnya menjadi bagian atas kedaulatan Tiongkok akan
tetapi hal serupa datang dari kubu Philipina dan kelima negara lain dengan asumsi
bahwa apabila menarik garis pantai dan landasan kontenin maka wilayah LCS
termasuk ke dalam yurisdiksi kedaulatan mereka hingga pada pihak Philipina
mengajukan Tiongkok ke pengadilan PBB dengan harapan menyelesaikan
sengketa wilayah di LCS.
Dari berbagai konflik teritorial antar negara di Asia Tenggara, konflik di LCS kini menjadi sumber ketegangan baru yang dapat menimbulkan ancaman atas keamanan regional maupun internasional. Sumber pesoalan yang membuat kawasan Asia Tenggara diliputi ketegangan adalah sengketa klaim kepemilikan wilayah di LCS, yang melibatkan beberapa negara yaitu Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Philipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Persengketaan di kawasan ini mencakup kedaulatan teritorial maupun kedaulatan maritimnya juga. Kedaulatan teritorial yaitu menyangkut kepemilikan wilayah yang ada di daerah sengketa. Sementara kedaulatan maritim berhubungan dengan penetapan batas yang diizinkan oleh Hukum Konvensi laut PBB UNCLOS, 1982.
Ketegangan di LCS itu telah diwarnai oleh sejumlah insiden militer atau gesekan yang melibatkan sejumlah negara pengklaim. Gejala tersebut harus diwaspadai, mengingat ketegangan di kawasan tersebut berpotensi menimbulkan kekhawatiran akan berkembangnya berbagai insiden militer tersebut menuju terjadinya peperangan regional bahkan global yang tak hanya melibatkan kelima negara, melainkan pula menyeret keterlibatan lebih banyak lagi negara-negara lainnya ke kawasan itu. Indikasi ini tampak dari kesiapan militer Amerika Serikat yang didukung oleh Australia untuk mengirimkan
armada tempurnya jika pecah perang di LCS.10 Seperti dikemukakan oleh McCain, mantan perwira menengah Angkatan Laut Amerika Serikat, Washington harus memperluas dukungan politik dan militernya ke negara-negara Asia Tenggara serta memperkuat barisan menghadapi Tiongkok.11
Sesungguhnya di LCS terdapat empat gugus kepulauan yang menjadi sengketa yaitu; Kepulauan Macclesfield, Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa di LCS adalah Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Philipina, Malaysia. Dalam sengketa Kepulauan Spratly telah melibatkan negara-neggara Pillpina, Vietnam, Tiongkok dan Malaysia. Sedangkan Kepulauan Paracel, telah melibatkan Tiongkok dan Vietnam dalam sengketa.
Laut Cina Selatan (LCS) dianggap perairan yang tidak pernah sepi dari sengketa sekalipun negara-negara yang berada disekitar perairan tersebut menilai obsesinya sebagai wilayah bebas, damai dan netral. Wilayah perairan ini dianggap jaga sebagai perairan tak bertuan karena banyaknya klaim tumpang-tindih di atas pulau-pulau kecil, karang dan atol yang bertebaran di perairan ini.
12
Berdasarkan latar belakang di atas tertarik memilih judul Aspek Hukum
Penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional
dalam Kasus Laut Cina Selatan.
Keduanya berada pada titik tengah jalur navigasi internasional di LCS sehingga siapa yang menguasai kedua gugus kepulauan ini berarti akan mengontrol jalur navigasi internasional di LCS. Tentu saja selain potensil. Sebagai jalur laut internasional adalah potensi sumberdaya alamnya yang cukup tinggi seperti minyak dan potensi perikanan.
/diakses tanggal 1 November 2016.
11
Kompas edisi, Rabu 22 Juni 2011, Cina Tantang Vietnam Perang, diakses tanggal 1 November 2016.
I. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan hukum putusan arbitrase internasional?
2. Bagaimanakah kewenangan arbitrase internasional dalam menyelesaikan
sengketa wilayah dalam hukum internasional?
3. Bagaimanakah aspek hukum penolakan Republik Rakyat Cina terhadap keputusan arbitrase internasional dalam kasus Laut Cina Selatan?
J. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum putusan arbitrase internasional.
2. Untuk mengetahui kewenangan arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa wilayah dalam hukum internasional.
3. Untuk mengetahui aspek hukum penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan.
K. Keaslian Penulisan
Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi
dengan judul Aspek Hukum Penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap
Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan, belum pernah
diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Internasional di Fakultas
Hukum USU, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan
ilmiah.
L. Tinjauan Pustaka 1. Hukum Internasional
Profesor Charles Cheney Hyde dalam J.G Starke menyatakan bahwa hukum internasional dapat didefenisikan sebagai keseluruhan hukum-hukum yang untuk sebahagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka secara umum.13 Hukum internasional diartikan oleh Sugeng Istanto sebagai kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional. Dari segi peristilahan, hukum internasional yang dimaksud adalah hukum internasional public atau law of nations (hukum bangsa-bangsa). Hukum internasional public ini juga merupakan pengertian yang sempit dari hukum internasional.14 Hukum perdata internasional dan hukum internasional publik merupakan pengertian luas dari hukum internasional.15
Pasal 1 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi juga perairan yang ditutup oleh atau terletak disebelah dalam dari garis pangkal lurus kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan, yang disebut sebagai perairan
13 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja), Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 3
14
Sugen Istanto, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1998, hal. 2.
15
Malcolm N. Shaw, Internasional Law, 5th Edition, Cambridge Nuniversity Press, 2004, hal. 1.
kepulauan. Kedaulatan ini juga meliputi ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, beserta kekayaan laut yang terkandung didalamnya.16
2. Hukum Arbitrase Internasional
Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.17 Arbitrase Internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih, yang memberi keputusan dengan tidak harus ketat memperhatikan pertimbangan-pertimbangan hukum. Hal-hal penting dala persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase dan sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.18
3. Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan merupakan salah satu perairan dengan lokasi strategis
dan telah lama menjadi bahan perbincangan yang menorehkan sejarah konfliktual berkepanjangan. Perebutan klaim wilayah atas LCS ditengarai sebagai sengketa
sengit yang melibatkan banyak aktor negara-bangsa seperti, Malaysia, Tiongkok, Brunai Darussalam, Vietnam, Philipina dan Taiwan &'regory dalam The South Tiongkok Sea in Focus: Clarifying the Limitsof Maritime Disputes adanya keserakahan untuk mendominasi baik secara politis maupun ekonomis adalah hasrat bagi seluruh pihak terkait yang tengah berlomba untuk mendapatkan hak klaim wilayah terutama di bagian kepulauan Spratly dan Paracel dengan catatan memiliki cadangan gas alamdan minyak bumi yang berlimpah.19
16
Mochrar Kusuma Atmadja, Pengantar Hukum Internasional.Alumni, Bandung, 2010, hal 11
17
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Jakarta, 2001, hal 1.
18
diakses tanggal 1 September 2016
19
diakses tanggal 1 September 2016.
M. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian
Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif atau disebut penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.20
2. Metode pendekatan
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memutuskan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan skripsi ini sebagai metode penelitian hukum. Penggunaan metode penelitian normatif dalam upaya penelitian dan penulisan skripsi ini dilatari kesesuaian teori dengan metode penelitian yang dibutuhkan penulis.
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue aproach).21
3. Sumber data
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal 13 – 14.
penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.22
4. Pengumpulan Data
Data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari : Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini yang berfungsi untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, karya ilmiah dan sumber-sumber media elektronik. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap badan hukum primer dan badan hukum sekunder, seperti : Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa Indonesia serta
ensiklopedia.
Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca,menelaah, mencatat membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan.
5. Analisis Data
Penulisan skripsi ini merupakan penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Analisis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Bahan hukum yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan
dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum, selanjutnya semua bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dimaksud. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan ini.
N. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun bagiannya, yaitu
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat sub bab antara lain latar