• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Meskipun proses pembelajaran dalam lembaga-lembaga pendidikan di Nahdlatul Wathan Jakarta berjalan dengan semestinya. Namun penulis melihat terdapat beberapa kekurangan yang mesti di benahi dan diperbaiki oleh Yayasan dan khususnya para kepala sekolah. Beberapa hal tersebut diantaranya, sarana kelas, media pembelajaran, disiplin pendidik, disiplin siswa dan administrasi.

Pendidikan akan berjalan baik sesuai dengan harapan bila sarana kelas kondusif dan layak serta memadai untuk di jadikan lokasi pembelajaran. Dalam observasi penulis terdapat beberapa sarana kelas yang masih kurang kondusif terdapat beberapa meja dan kursi yang perlu di perbaiki. Peserta didik akan menikmati dan lebih memahami pelajaran bila kelas terasa nyaman tidak pengap dan panas oleh karena itu dibutuhkan kipas angin di setiap ruangan kelas, sehingga peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.

Media juga dibutuhkan dalam proses belajar mengajar untk mempermudah pendidik dalam menyampaikan pelajaran. Walaupun sudah ada proyektor namun jumlahnya masih terbatas sehingga para pendidik masih bergantian dalam menggunakannnya. Oleh karena itu dibutuhkan proyektor dalam setiap kelas hehingga pendidik tidak saling bergantian untuk menggunakan proyektor tersebut, dan tercapai pembelajaran yang kondusif.

Kedisiplinan peserta didik juga terlihat lemah, selama beberapa hari penulis mengadakan observasi terlihat beberapa peserta didik dan beberapa pendidik tidak datang tepat pada waktunya, sehingga mengakibatkan keterlambatan proses belajar mengajar di sekolah tersebut, walaupun hanya beberapa menit. Oleh karena itu kepala sekolah dan staf diharapkan untuk memberi sanksi dan teguran pada peserta didik dan tenaga pendidik tersebut, agar tercapainya proses pendidikan yang sesuai dengan harapan.

Dalam pendidikan juga dibutuhkan administrasi yang propesional. Dalam hemat penulis selama melakukan observasi terlihat beberapa administrasi yang belum disempurnakan, seperti file-file penting yang peletakannya harus tepat sehingga bila dibutuhkan dapat cepat di peroleh. Sehingga tidak mencari-cari terlebih dahulu.

98

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Wawancara, Jakarta: 20 Juli 2011.

Arif, Armai, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam Dasar dan Menengah, (Jakarta: Ciputat Press, 2000).

Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987).

Badri, Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Pada SMP Nahdlatul Wathan JakartaTimur, Tesis Pascasarjana Universitas Islam At Tahiriyah Jakarta, (Jakarta: Universitas Islam At Tahiriyah Jakarta, 2011).

Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1998). Habib, Muslihan, Jakarta: 02 Juni 2011

Harian Umum Suara Nusa, Kobarkan Semangat Kemerdekaan, (Mataram: tanggal 19 November 1997).

Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1968).

Masnun, Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara barat, (Jakarta: Pustaka Al-Miqdad, 2007).

Muhtar, Fathurrahman, Konflik dalam Pengelolaan Pendidikan Islam di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat,

Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010).

N. Grass, W.S. Massan and A.W. Mc. Eachern, Exploration Role Analysis, dalam David Barry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995).

Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001).

Noor, Mohammad, dkk, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu Bekerjasama dengan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta, 2004).

Nu’man, Abdul Hayyi, dkk, Nahdlatul Wathan Organisasi Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah, (Lombok Timur: Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan, 1988).

Poerwadarminta, Wjs., Kamus Modern, (Jakarta: Jembatan, 1976).

Raihanun, Siti, Sambutan Ketua Umum PBNW, (Pada Tasyakkuran Penamatan Santri Podok Pesantren Munirul Arifin NW Praya Tahun Pelajaran 2009/2010) Ahad, 16 Mei 2010.

Sahabuddin, Wawancara, Jakarta: 24 Mei 2011.

Sarwono, Sarlito Wiraman, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005).

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006).

Sofawi, Wawancara, Jakarta: 27 Juli 2011.

Suhaidi, Muhammad, Wawancara, Jakarta: 07 Juni 2011.

Syafi’i, Abdullah, Maulana Syeikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid Menjadi Tauladan Bagi Umat Islam, dalam Sinar Lima (Jakarta: Majalah Triwulan Sinar Lima, 1995).

100

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Presfektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005).

Zainuddin, Muhammad, Nadzam Batu Ngompal Terjemah Tuhfatul Atfal,

(Jakarta: Nahdlatul Wathan Jakarta, 1996).

Zainuddin, Muhammad, Hizib Nahdlatul Wathan, (Jakarta: Nahdlatul Wathan Jakarta, 2003).

Zainuddin, Muhammad, Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, (Mataram: Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, 2002)..

pernah di ajarkan oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid terutama sekali dalam pembelajaran itu ialah tradisi-tradiisi pendidikan yang ada di Pancor Lombok Timur di abadikan di Jakarta. Terutama sekali dalam penerimaan siswa

baru, apabila di Pancor Lombok Timur tradisi semacam ini hanya ada di Ma’had

saja. Namun di Jakarta kita akan coba untuk melestarikan, tradisi ini dalam istilah

bahasa sasak biasa disebut “Penyerahan Mayong Sebungkul” yaitu penyerahan

seorang siswa baru dari wali murid kepada seorang guru untuk di didik selama 4 tahun.

Di Jakarta tradisi ini dikemas sedemikian rupa sehingga setiap awal tahun ajaran baru selalu mengadakan penyerahan siswa baru. Pertama siswa baru tersebut diserahkan oleh para wali murid mereka masing-masing pada yayasan kemudian yayasan akan menyerahkan siswa baru tersebut pada lembaga-lembaga pendidikan yang bersangkutan seperti TK, SD, SMP, dan SMA. Pada waktu penyerahan siswa baru di tahun ajaran baru tersebut biasanya semua siswa, pengurus dan para guru dikumpulkan untuk menyaksikan penyerahan tersebut. Penyerahan dari seorang wali murid pada pengurus yayasan dan guru-guru dengan hati yang ikhlas serta mempercayakan anaknya agar dididik sehingga mendapatkan ilmu yang barokah dan bermannfaat bagi agama Nusa dan Bangsa.

Selain itu, tradisi-tradisi yang di lestarikan di Jakarta ialah tradisi lumrah yang biasanya ada di setiap Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan baik di Lombok sebagai pusat Nahdlatul Wathan ataupun di luar Lombok. Diantaranya ialah membaca Hizib, Sholawat Nahdlatain, do’a Nurul Hayat, do’a Pusaka, dan lain sebagainya. Hizib di baca setiap malam jum’at bagi santri yang berada di pondok

pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta, dimulai setelah shalat magrib sampai kurang lebih pukul 21.00 WIT. Bagi siswa dan siswi lembaga pendidikan membacanya

pada seriap hari Jum’at pagi biasanya dimulai dari pukul 7.00 sampai dengan pukul 09.00 WIT. Shalawat Nahdlatain dan do’a Nurul Hayat biasanya dibaca

pada awal memulai pelajaran di setiap lembaga pendidikan yang ada di Nahdlatul Wathan Jakarta, baik TK, SD, SMP dan SMA, biasanya siswa dan siswi tersebut berbaris di depan halaman lembaga pendidikan masing-masing dan membacanya dengan bersama-sama. Do’a Pusakan biasanya dibaca oleh siswa dan siswi pada akhir pembelajaran yang berlangsung di setiap lembaga pendidikan yang ada di Nahdlatul Wathan Jakarta, biasanya membacanya di setiap kelas masing-masing dengan bersama-sama dan diawasi pleh guru yang mengajar di jam terakhir.

Tradisi-tradisi semacam ini ditanamkan dengan tujuan agar nilai-nilai perjuangan yang ada pada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tetap tertanam dan terpelihara. Baik bagi santri yang berada di Pondok pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta maupun bagi para pelajar yang belajar di setiap lembaga pendidikan yang ada di Nahdlatul Wathan Jakarta.

Metode Pembelajaran yang Diterapkan di Nahdlatul Wathan Jakarta

Metode yang diterapkan di Nahdlatul Wathan Jakarta tidak terlepas dari kurikulum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah baik TK, SD, SMP dan SMA. Akan tetapi selain dari kurikulum yang berasal dari pemerintah, Nahdlatul Wathan Jakarta juga menerapkan pelajaran muatan local yang berisikan pelajaran Bahasa Arab, Keorganisasian dan juga penerapan tradisi-tradisi yang ada di Nahdlatul Wathan. Penerapan kurikulum memang tidak dapat terlepas dari pengawasan pemerintah dalam proses dan pengevaliasiannya, namun Nahdlatul Wathan juga senantiasa menerapkan kurikulum keorganisasian dalam lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungannya, seperti pelajaran keNWan yang memiliki kurikulum tersendiri dalam pengajaran dan penerapan pembelajarannya. Kurikulum keNWan ini dibuat dengan tujuan untuk mempermudah para siswadan siswi juga para santri untuk memahami Nahdlatul Wahtan secara mendalam.

Dalam kurikulum keNWan termasuk juga didalamnya pemanfaattan jam nol, yaitu pembelajaran yang dilakukan sebelum jam pelajaran formal dimulai kurang lebih satu jam sebelum jam pelajaran dimulai, bila jam formal bagi lembaga pendidikan dimulai jam 07.00 maka jam nol dimulai pekul 06.00, pada jam nol ini biasa di isi dengan pelajaran akhlak yang di ajarkan oleh para assatiz

Nahdlatul Wathan Jakarta dan SMA Nahdlatul Wathan Jakarta. Pengadaan pelajaran akhlak ini bertujuan agar membentuk karakter siswa dan siswi pelajar Nahdlatul Wathan yang berakhlak karimah baik dalam lingkungan pendidikan dan di luar lembaga pendidikan, disamping itu juga di Nahdlatul Wathan Jakarta adalah sekolah yang berbasiskan pondok pesantren sehingga siswa dan siswinya diharapkan memiliki sikap dan sifat layaknya seorang santri, dan dalam diri mereka tertanam nilai-nilai kebaikan dan akhlakul karimah.

Dalam hal ini mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa Nahdlatul Wathan Jakarta mendirikan lembaga pendidikan yang bersifat umum sedangkan lingkungannya bernuansa pondok pesantren?. Dalam hal ini Nahdlatul Wathan Jakarta memiliki banyak pertimbangan sehingga terlahirlah lembaga-lembaga pendidikan formal yang bersifat umum, semua ini tidak terlepas dari pengaruh dan dukungan lingkungan sekitar yang mendorong Nahdlatul Wathan Jakarta untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal yang bersifat umum dari TK, SD, SMP dan SMA. Nahdlatul Wathan melihat masyarakat di sekitar lebih cenderung pada lembaga pendidikan yang bersifat umum, sehingga dengan kecendrungan masyarakat tersebut Nahdlatul Wathan akan mewarnai setiap kurikulum yang ada di dalamnya dengan pelajaran keagamaan, sehingga siswa dan siswi Nahdlatul Wathan tidak akan terlepas dari pelajaran dan pendidikan yang bersifat keagamaan walaupun lembaga pendidikan yang bernaung dibawahnya bersifat umum.

itu dihubungkan dengan pak Kyai yang ada di NW yaitu secara otomatis apa yang menjadi ilmu yang diperoleh oleh para akatif yang pernah berkunjung kepada Maulana Syeikh begitu juga secara otomatis ketika murid Maulana Syeikh ini mengajar yang kebetulan dijakarta itu melalui sebuah institusi yang juga bernaung dibawah NW secara otomatis pembelajaran itu juga merupakan penyambung dari apa yang telah diajarkan oleh Maulana Syeikh untuk kemudian disampaikan kepada murid-muridnya di Jakarta dan lagi juga murid-muridnya Maulana Syeikh tersebut jadi, secara otomatis nasihat-nasihat pak Kyai itu secara langsung juga tercurahkan disetiap proses pembelajaran yang dilakukan. Yang paling inti yang selalu juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran adalah nasihat-nasihat Maulana Syeikh yang telah dituangkan didalam wasiatnya direnungan masa yang bait demi bait yang terjejer direnungan masa itu disampaikan oleh setiap ustadz yang ada disini yang terkait dengan tema yang dibahas pada saat yang saya sampaikan disimpulkan bahwa nak niat nasehat pak Kyai melalui muridnya yang mengajar di NW ini juga disampaikan kepada murid-muridnya yang belajar di NW Jakarta.

Untuk metode pembelajaran. Ini kan secara hitoris kalau banyak melihat sekarang memang NW Jakarta sudah berbentuk dalam artian model pembelajarannya itu sudah seperti bagaimana layaknya sebuah institusi pendidikan yang formal sekarang kan sudah menjelma menjadi institusi formal tidak seperti dulu dimana proses pendidikan itu masih tradisional dan itu sesuatu yang wajar karena itu merupakan permulaan, sekarang yang mau ditanyakan, apa? yang mana? model metodologi pembelajaran yang mana? apakah tempo dulu atau yang sekarang? nah kalau yang sekarang secara otomatis metode pembelajarannya mengikuti metodologi pembelajaran yang di Diknas, karena dia berkiblat atau berasiliasi ke diknas, maka secara otomatis model-model pembelajaran yang biasa dilakukan dalam pendidikan yang bernaung dibawah Diknas itu juga

dipergunakan di betawi ini. Karena dia sudah menjadi lembaga formal tetapi merujuk kebelakang secara historis tempo dulu model pembelajarannya tradisional dalam artian bahwa anak-anak itu mengaji lesehan. Jadi tidak pakai bangku, tidak pakai meja, kalau kita dulu mengistilahkan itu bongkar pasang jadi ketika anak-anak datang seluruh apa yang ada di ruangan itu kita singkirkan kemudian gelar tikar proses pembelajaran biasa dilakukan secara tradisional dimana guru khususnya dalam ini memainkan menjadi pemain utama dalam hal ini memang terdengar agak menolong dia tempo dulu, tapi kalau sekarang karena sudah menjelma menjadi sebuah institusi yang formal maka model-model pembelajaran sudah modern seperti biasa ditemukan di pendidikan-pendidikan formal lainnya.

Kalau metode halaqah itu mungkin dia sekarang lebih masih bertahan di majlis taklimnya kalau formal secara otomatis sudah tidak ada ditemukan lagi di metode halaqah itu. Di lembaga-lembaga pendidikan yang nonformal atau informal yang memang masih bernaung di bawah NW disitulah bertahannya metode halaqah tersebut anggaplah seperti ikatan pelajar NW itu juga dibawah naungan NW itu sendiri berdiri institusi independen dia tapi yang jelas ada proses pembelajaran disitu yang juga dilakukan oleh ustadz-ustadz di NW itu, nah disitu sering model pendidikannya halaqah dimana anak-anak berkumpul mengitari ustadz-ustadznya tapi satu hal karena NW yang ada sekarang ini semi pondoklah dikatakan semi pondok karena murid-muridnya itu tidak semuanya pulang pergi kerumah masing-masing ada sebagian diantaranya yang mondok didalam, untuk yang mondok didalam ini ada proses pembelajaran memang sifatnya informal disitu artinya tidak ada belajar formal naah disitu proses halaqah itu dilakukan, bagi anak-anak yang mondok itu dan biasa dilakukan pada sore, malam dan pagi hari sebelum berangkat ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan formalnya. Jadi, halaqah bertahan disitu yang informal dan nonformal.

Terkait dengan konteks pembelajaran untuk yang formal itu sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena memang yang formal itu pasti akan mengikuti aturan yang ada di institusinya ya dalam artian diknas karena aliasinya ke diknas tapi memang model pembelajaran atau pendidikan sekarang sesudah berlakunya.

dengan NW maka ciri khasnya yang ada adalah yang pertama, memperdayakan sisi spiritual yang dimaksud di sisi-sisi spiritual tadi adalah anggaplah sangat ditekankan sekali pelaksanaan shalat. Namanya itu sholat hak untuk seluruh murid-muridnya, terutama yang SMP dan SMA sangat ditekankan sekali, sisi lain juga apa yang disebut dengan ke-NW-an juga ini merupakan bentuk pembelajaran yang sebenarnya lebih mengarah kepada pembiasaan terhadap etika, jenis etika-etika moral religious. Oleh karena dalam ke-NW-an tersebut memang yang diutamakan adalah sisi etika akhlak termasuk dalam hal ke-NW-an disini adalah pembiasaan. System NW itu yang merupakan system yang dikarang atau yang dikumpulkan oleh pendirinya yaitu pak Kyai untuk kemudian yang secara turun temurun diwariskan kepada murid-muridnya dan itu juga menjadi ciri khas yang paling utama dalam proses pembelajaran di NW adanya. Pembacaan system tersebut itu diantara, masih banyak hal yang merupakan ciri-ciri yang lain.

Sebenarnya kalau umpamanya ciri-ciri NW itu, ini dibicarakan memang sering di upayakan meskipun memang untuk sampai saat ini belum dikatakan punya hasil yang maksimal, karena belum kelihatan tanda-tanda keberhasilan namun boleh kita katakana terkait dengan upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertahankan ciri- ciri khas itu yang saya maksudkan disini yang paling kendala kan sebenarnya ada upaya tingkat yayasan untuk membentuk semacam kaderisasi. Yang tadinya sebenarnya yang dipilih adalah tingkatan pelajar NW itu. Akan tetapi memang saat ini saya akui apa ya, ikatan pelajar NW yang sebenarnya menjadi target untuk proses pengkaderan ini adalah upaya untuk memperlakukan ciri–ciri khas dari pada NW itu memang belum dilihat, maka saya ingin mengatakan bahwa terkait upaya-upaya yang dilakukan disini yang paling kendala adalah kebiasaan atau rutinitas yang dilakukan terkait dengan ciri NW karena sebenarnya ciri NW itu merupakan cirri yang paling utama dari keaslian NW itu sendiri, dari sisi apa namanya,,, pemahaman ideology, tentang tauhid, tentang

muamalah, tentang syari’ah, tentang akhlak itu semuanya dapat ditarik dari cirri

NW itu, meski sesungguhnya itu adalah do’a tapi dibalik do’a-do’a tersebut

sangat kentara dan sangat kental bisa di tarik aspek-aspek tauhid, apa namanya,

akhlak syari’ah dan sebagainya. Nah maka proses pembiasaan apa namanya,

proses penjagaan terhadap keaslian ciri NW itu sekarang yang lebih kentara adalah keberhasilan didalam apa ya, menjadikan wirid milik NW ya, atau menjadikan pembaca wirid NW sekarang sudah mulai kentara sudah mulai dilakukan secara istiqamah setidak-tidaknya dalam 2-3 tahun terakhir inilah.

Itu dia terkait dengan tantangan memang yang paling kentara ialah ada dua hal menurut saya dalam hal ini pertama dari sisi SDM ya, ketidak tersediaan SDM yang memadai itu di akui NW itu terutama di Jakarta, kendala itu sangat perkara sekali ada beberapa memang yang diandalkan terkait dengan SDM akan tetapi sangat disayangkan sekali ya, apa namnya, orang-orang yang diandalkan itu cenderung memiliki aktivitas-aktivitas di luar yang menyebabkan aktivitasnya kedalam eksternal NW ini menjadi kalau tidak dikatakan terbengkalai setidak-tidaknya tidak fokus, itu satu hal dari SDM. Kemudian mengarah kepada alumni yang tadinya diharapkan karena memang NW ini juga memiliki anak asuh dan beberapa, bahkan puluhan anak asuh yang sempat di SD, SMP, dan SMA begitu mereka selesai ternyata sampai saat ini belum cukup untuk diandalkan sebagai SDM yang dapat membantu ya, apa namanya, perjalanan pendidikan di NW, ini juga menjadi kendala dari segi SDM, nah kemudia sisi yang kedua dari sisi financial inilah ya, dalam hal financial memang disini begitu kentara karena namanya NW ini ya, boleh dikatakan pure, sumber financialnya adalah sumbangan wajib dari santri dan murid yang belajar di NW itu pun juga karena NW itu merupakan, sebuah rohanisasi social pendidikan dan dakwah justru disini lebih cenderung fungsi sosialnya sehingga dengan demikian harapan untuk menarik financial sebagai kekuatan dana NW itu yaa, dan apa menjadi terkendala disitu kebanyakan yang nunggak, kebanyakan yang nunggak ya, karena dan juga NW itu apa juaga apa ya, Sifatnya yang sosial itu justru “terkadang” ya, dalam tanda kutip dimanfaatkan oleh oang tua murid untuk kemudian ikut menikmati sisi segi sosialnya itu bisa kan kemudian tidak bayar dan sebagainya. Dari segi

apa hal pendanaan itu menjadi sebuah permasalahan yang sangat berat yang sangat besar disini dan sampai sekarang memang upaya NW untuk membuka kran-kran apa itu namanya usaha-usaha ekonomi itu sampai sekarang diakui memang belum muncul, belum ada keberhasilan mungkin upaya-upaya itu terus dilakukan, jadi itu kendalanya, dua kendala yang paling kentara.

Dapat dikatakan seperti itu , fasilitasnya secara otomatis menjadi kurang karena biar bagaimana jumlah itu sangat terkait dengan financial dengan pendanaan,satu hal disisi lain optimalisasi guru didalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru juga menjadi kendala oleh karena kesederhanaan yang bisa ditawar, apa yang kesederhanaan yang diberikan pada akatif dan guru ya, karenan biar bagaimana juga mesti ada unsur keselamatan disitu ya tidak bisa terlaksana, itu yang menyebabkan para akatifnya pada akhirnya memanfaatkan waktu-waktu luang yang sebenarnya bisa dipergunakan untuk berfikir lebih jauh didalam unsure lapiasannya juga malah justru dimanfaatkan keluar dalam rangka memenuhi juga tanggung jawabnya sebagai apa namanya sebagai, seoarang yang juga punya tanggung jawab terhadap keluarganya dalam arti terus terang cari nafkah lah diluar jadi itu yang menyebabkan kurangnya optimalisasi kerja dari pada akatif.

Yang jelas yang paling lucu disini adalah kemampuan –kemampuan dalam hal memahami ajaran-ajaran agama ya, atau kemampuan religiusnya itu menjadi sesuatu hal yang mutlak ya, karena biar bagaimana juga ini lembaga da’wah,

maka itu menjadi sutu hal yang tidak ditawar-tawar terkait dengan kompetensi dalam hal religiusitas ya, keagamaan, pengamat tentang agama. Itu satu hal, kemudian progesualisasi yang lain lalu apa, Juga tidak bisa dihindarkan karena biar bagaimana sebagai lembaga formal maka progesualitas itu menjadi suatau yang tidak bisa ditawar-tawar .anggaplah umpamanya sebagai seorang guru. Kan guru itu sebagaian bidang yang harus dia ini, maka mereka yang dan itu menjadi

aturan umumlah sebuah lembaga pendidikan bagi orang yang bagi seorang guru yang akan mengajarkan ilmu-ilmu S1, tentu dia juga harus berlatar belakang SH

Dokumen terkait