• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Bagi Peneliti

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dalam menunjukkan perbedaan kadar hemoglobin pada Diabetes Mellitus tipe 2 terkontrol dan tidak terkontrol. Penelitian selanjutnya direkomendasikan supaya dapat memperluas populasi, jangan hanya pada satu jenis kelamin dan satu rumah sakit di satu kota saja. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan meneliti lamanya seseorang tersebut menderita Diabetes Mellitus tipe 2 dan juga menambahkan tahun penelitian, jangan hanya pada 1 tahun saja.

2. Bagi Kalangan Medis

Kalangan medis dan sejawat yang lain harus mengetahui dampak Diabetes Mellitus tipe 2 terhadap kesehatan dan melakukan langkah pencegahan dan bimbingan yang sewajarnya.

3. Bagi Masyarakat Umum

Masyarakat harus peka terhadap masalah dibawa oleh Diabetes Mellitus tipe 2 terutama pada usia lebih dari 40 tahun dan Diabetes Mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol yaitu terjadinya komplikasi terutama anemia.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus

2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) bukan merupakan kesatuan penyakit yang tunggal tetapi sebaliknya merupakan sekelompok kelainan metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia yang sama di balik kelainan tersebut. Efek netto tersebut berupa kelainan kronik pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan komplikasi jangka-panjang yang mengenai pembuluh darah, ginjal, mata serta saraf. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 140 juta orang yang mengidap penyakit diabetes dan dengan demikian membuat penyakit ini sebagai salah satu di antara sejumlah penyakit tidak menular yang paling sering ditemukan (Mitchel, Kumar, Abbas, dan Fausto, 2006).

Diabetes Mellitus adalah penyakit sindroma metabolik dengan hiperglikemi atau kedua di antara defisiensi absolut sekresi insulin atau reduksi pada keefektifan insulin (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus

Tingkat prevalensi Diabetes Mellitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan ganggren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat.

Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Prevalensi DM di seluruh dunia telah meningkat secara dramatis selama dua dekade terakhir, dengan perkiraan 30 juta kasus pada tahun 1985 sampai 382 juta di tahun 2013 (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).

Gambar 2.1. Prevalensi Diabetes Mellitus di Seluruh Dunia

Sumber: dikutip dari Fauci, et al., 2008.

2.1.3 Etiologi dan Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi Diabetes Mellitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita Diabetes Mellitus (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Manifestasi klinis Diabetes Mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi indulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa

setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

2.1.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Klasifikasi diabetes telah diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa: (1) Diabetes Mellitus tipe 1 (2) Diabetes Mellitus tipe 2, (3) diabetes gestational (diabetes kehamilan), dan (4) tipe khusus lain (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Sumber: dikutip dari ADA, 2015

Salah satu bentuk yang sering terjadi, tipe 1 atau Diabetes Mellitus dependen-insulin (insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM), disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi otoimun sel-sel di pulau-pulau Langerhans pankreas. Diabetes tipe 1 biasanya timbul sebelum usia 40 tahun sehingga disebut diabetes juvenilis (Ganong, 2005). Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya. (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Bentuk tersering kedua, tipe 2, atau diabetes melitus nondependen-insulin (non-insulin-dependent diabetes melllitus, NIDDM), ditandai oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Masih belum jelas mana yang pertama kali

Tabel 2.1. Klasifikasi Dibetes Mellitus

No. Klasifikasi DM Definisi

1. Diabetes Mellitus tipe 1 karena destruksi sel- , biasanya menyebabkan kekurangan insulin absolut.

2. Diabetes Mellitus tipe 2 karena pengeluaran insulin yang progresif menyebabkan resistensi insulin.

3. Diabetes Mellitus gestational

diabetes didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga kehamilan.

4. Tipe diabetes yang spesifik karena penyebab lainnya

misalnya syndrome diabetes monogenic (seperti diabetes neonatus dan maturity-onset diabetes of the young [MODY]), penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), dan diabetes yang diinduksi obat-obatan atau zat kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

terjadi, tetapi dapat saja terjadi resistensi insulin yang meningkatkan glukosa plasma, yang kemudian merangsang sekresi insulin sampai cadangan sel terlampaui. Dalam hal ini, kadar insulin plasma biasanya meningkat (Ganong, 2005). Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas. Insidens diabtes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

Diabetes gestational (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, da riwayat diabetes gestational terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).

2.2. Diabetes Mellitus tipe 2

2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes tipe 2-sebelumnya dikalsifikasikan sebagai non-insulin dependent diabetes- biasanya mengenai seseorang dengan resistensi insulin yang relative daripada defisiensi insulin absolute. Terhitung 80-90% kasus diabetes di Amerika Serikat. Pasien biasanya dewasa berumur lebih dari 40 tahun dengan berbagai derajat obesitas (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

2.2.2. Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2

Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antara berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat

dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura dan Taiwan (Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.2. 1. Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, Angola itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes (Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.3. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.2. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2

No. Faktor Resiko

1. Riwayat keluarga yang menderita diabetes (contoh, orang tua atau saudara kandung dengan diabetes tipe 2) .

2. Obesitas (BMI ≥β5 kg/m2 atau overweight) 3. Diet yang tidak sehat

4. Aktivitas fisik yang jarang

5. Usia (usia yang semakin bertambah meningkatkan resiko diabetes) 6. Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)

7. Ras/etnik (contoh, Amerika Afrika, Latin, penduduk asli Amerika, Amerika Asia, penduduk Pulau Pasifik)

8. Sebelumnya diidentifikasikan IFG atau IGT 9. Riwayat GDM atau kelahiran bayi > 4 kg

Sumber: dikutip dari IDF, 2014

Catatan: BMI: Body Mass Index; IFG: Impaired Fasting Glucose; IGT: Impaired Glucose Tolerance; GDM: Gestational Diabetes Mellitus;

2.2.4. Patogenesis Dibetes Mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 sejauh ini merupakan tipe yang lebih sering ditemukan dengan kerentanan genetik yang lebih besar lagi. Penyakit tersebut tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetik yang masing-masing menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-faktor lingkungan. Berbeda dengan tipe 1, pada DM tipe 2 tidak ada bukti yang menunjukkan dasar autoimun. Dua defek metabolik utama yang menandai diabetes tipe 2 adalah resistensi insulin dan disfungsi sel (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap hormon insulin. Sejumlah penelitian fungsional

pada orang-orang dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada lintasan penyampaian sinyal insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui sebagai sebuah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik serta lingkungan. Sebagian besar faktor genetik yang berkaitan dengan resistensi insulin masih menjadi misteri karena mutasi pada reseptor insulin itu sendiri sangat sedikit menyebabkan seseorang mengidap diabetes tipe 2 (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

Di antara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling kuat. Korelasi obesitas dengan diabetes tipe 2 telah dikenali selama beberapa dekade dan resistensi insulin menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko terjadinya diabetes meningkat seiring indeks massa tubuh (ukuran untuk menentukan kandungan lemak tubuh dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang mungkin memengaruhi resistensi insulin pada obesitas meliputi kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam darah dan sel ini dapat memengaruhi fungsi insulin (lipotoksisitas) dan sejumlah sitokin yang dilepaskan oleh jaringan adiposa (adipokin); sitokin ini meliputi leptin, adiponektin, dan resistin. PPAR- (Peroxisome Proliferator-Activated Receptor gamma), yaitu suatu reseptor nukleus adiposit yang diaktifkan oleh kelas preparat antidiabetik baru yang dinamakan thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen dalam adiposit dan hal ini akhirnya akan mengurangi resistensi insulin (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

Disfungsi sel-

Disfungsi sel- bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat dalam memghadapi resistensi dan hiperglikemia. Disfungsi sel- bersifat kualitatif (hilangnya pola sekresi insulin normal yang berayun [osilasi] dan pulsatil serta pelemaan fase pertama sekresi insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma) maupun kuantitatif (berkurangnya massa sel- , degenerasi pulau

Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam pulau Langerhans) (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).

2.2.5. Gejala Klinis Dibetes Mellitus tipe 2

Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 selalu memperlihatkan karakteristik gejala dan tanda (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

Gejala klasik seperti poliuri, haus, penglihatan kabur yang berulang, parastesia, dan kelelahan adalah manifestasi dari hiperglikemi dan diuresis osmosis dan karena itu merupakan kedua bentuk dari diabetes. Bagaimanapun, banyak pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang mempunyai onset hiperglikemia yang tersembunyi dan membahayakan dan yang awalnya relatif tanpa gejala. Hal ini yang terutama berlaku pada pasien obesitas, yaitu diabetes dapat dideteksi setelah glikosuria atau hiperglikemia yang tercatat selama studi laboratorium rutin. Infeksi kulit yang kronis biasa terjadi. Kadang-kadang, seseorang pria dengan diabetes yang tidak terdiagnosa mempunyai gejala impotensi (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

Pasien yang tidak obesitas dengan bentuk ringan diabetes sering kali tidak ada temuan karakteristik fisik. Pasien obesitas dengan diabetes tipe 2 mungkin memiliki distribusi lemak; namun diabetes terlihat lebih sering dikaitkan pada wanita dan pria dengan lokasi dari deposit lemak di bagian atas tubuh (terutama perut, dada, leher dan wajah) dan relatif lebih sedikit pada bagian tubuh pelengkap, yang mungkin bagian muskular. Distribute lemak yang sentripetal disebut “android” dengan karakteristiknya perbandingan puncak pinggang sampai pinggul. Berbeda dari yang sentrifugal bentuk “gynecoid” obesitas, dimana lokasi lemak di pinggul dan paha dan sedikit pada bagian atas tubuh. Hipertensi ringan mungkin menunjukkan pasien obesitas dengan diabetes tipe 2, terutama ketika bentuk “android” obesitas lebih utama (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).

2.2.6. Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.3. Kriteria Diagnostik DM

No. Kriteria

1. Gejala diabetes dan konsentrasi glukosa darah random ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) atau

2. Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (126mg/dL) atau 3. Hemoglobin A1C ≥ 6,5% atau

4. Glukosa plasma 2 jam ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) selama tes toleransi glukosa oral.

Sumber: dikutip dari ADA, 2007

Toleransi glukosa diklasifikasikan ke dalam 3 kategori: homeostatis glukosa yang normal, DM, atau gangguan homeostatis glukosa. Toleransi glukosa bisa dinilai menggunakan glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose / FPG), respon glukosa oral, atau hemoglobin A1C (HbA1C). Nilai FPG < 5,6 mmol/L (100 mg/dL), glukosa plasma < 140 mg/dL (11,1 mmol/L) diikuti dengan glukosa oral, dan HbA1C < 5,7% dianggap untuk menetapkan toleransi glukosa yang normal. The International Expert Committee dengan anggota yang ditetapkan ADA, asosiasi Eropa untuk penelitian diabetes, dan IDF telah mengeluarkan kriteria untuk diagnostik DM (Tabel 2.1.) berdasarkan beberapa alasan: (1) FPG, respon terhadap glukosa oral (tes toleransi glukosa oral [oral glucose tolerance test/OGTT]), dan perbedaan HbA1C diantara setiap orang, dan (2) DM didefinisikan dengan tingkatan glikemi dimana komplikasi spesifik terjadi bukan pada deviasi rata-rata berdasarkan populasi. Sebagai contoh, prevalensi retinopati di Native Americans (populasi Pima Indian) dimulai dengan peningkatan FPG > 6,4 mmol/L ( 116mg/dL). FPG ≥ 7.0 mmol/L (126 mg/dL), glukosa ≥ 11.1 mmol/L (200 mg/dL) 2 jam setelah glukosa oral, atau HbA1C ≥ 6.5% menjamin diagnosis DM (Tabel 2.1.). Konsentrasi glukosa plasma acak ≥ 11.1 mmol/L (200mg/dL) disertai gejala klasik DM (poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan) cukup untuk mendiagnosis DM (Tabel 2.1.).

Homeostatis glukosa yang abnormal didefinisikan sebagai: (1) FPG = 5.6 – 6.9 mmol/L (100-125 mg/dL), dimana didefinisikan sebagai gangguan glukosa puasa (IFG); (2) Kadar plasma glukosa antara 7.8 dan 11 mmol/L 140 dan 199 mg/dL) diikuti glukosa oral, dimana disebut sebagai gangguan toleransi glukosa (IGT); atau (3) HbA1C 5.7 – 6.4 %. Beberapa menggunakan istilah, prediabetes, peningkatan resiko deiabetes atau hiperglikemi intermediate (WHO) untuk kategori DM. Kriteria saat ini untuk diagnosis DM menekankan pada tes HbA1C atau FPG yang dapat dipercaya dan sesuai untuk megindentifikasi DM pada individu yang tidak mempunyai (bagaimanapun, beberapa mungkin mempunyai kriteria untuk 1 jenis tes tetapi tidak untuk tes yang lain). OGTT, meskipun masih valid untuk mendiagnosis DM, tetapi jarang digunakan pada pemeriksaan rutin. (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).

2.2.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2

Pilar penalataksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat bera badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penggunaan yang perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

2.2.7.1. Farmakoterapi

a. Golongan Insulin Sensitizing

 Biguanid

Saat ini golongsn biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati,

tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah, dan juga pada plasmino-gen activator inhibitor (PAI-1) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. Pemberian metformin dapat menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonyurea (SU), repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase, dan glitazone. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa (60-70 mg/dL) dan HbA1c (1-2%) dan dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian kombinasi dengan SU, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh SU-nya. Pengobatan terapi kombinasi

dengan obat anti diabetes yang lain dapat menurunkan HbA1c 3-4% (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Efek samping gastrointestinal tidak jarang (~50%) didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, meski kejadiannyab cukup jarang (0,03 per 1000 pasien) namun berakibat fatal pada 30-50% kasus. Pada gangguan fungsi ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat (yang dapat diperberat dengan alkohol). Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin>1,3 mg/dL pada perempuan dan >1,5 md/dL pada laki-laki) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

 Glitazone

Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisomje proliferator-activated receptor gamma (PPARa) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid, glitaxon dapat meningkatkan efisiensi dan respons sel beta pankreas

dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan infeksi saluran nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb) sekitar 1 gr/dL) juga dilaporkan. Insiden fraktur ekstremitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

b. Golongan Sekretagok Insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU (glinid) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

 Sulfonilurea (SU)

SU telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. SU sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meingkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relatif murah (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. (Bahkan sampai > 20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu

dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1 (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Hipoglikemia merupakan efek samping terpentinga dari SU terutaam bila asupan pasien tidak adekuat. Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan

Dokumen terkait