• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

C. Uraian Teoritis

1. Definisi Pajak

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Pajak adalah Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarka undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan (kontraprestasi) secara langsung dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, wajib pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut perundang-undangan perpajakan ditentukan utuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

Fungsi Pajak ada dua yaitu :

1. Fungsi Budgeteir (sumber keuangan Negara), artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.

2. Fungsi Regulerrande (mengatur), artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu dibidang keuangan. (Siti Resmi, 2011).

2. Defisini Penagihan Pajak

Berdasarkan Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penangung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan Surat Paksa, menguslkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adapun yang menjadi dasar penagihan pajak adalah Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan pajak Kurang Bayar Tambahan(SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding serta Putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus di bayar bertambah.

Pada dasarnya proses penagihan pajak melibatkan unsur-unsur yang mempuyai arti penting,yaitu :

2.1. Utang pajak, yaitu besarnya utang pajak yang belum dilunasi oleh Wajib Pajak ditambah dengan biaya penagihan sebagai dasar melakukan penagihan pajak.

2.2.Serangkaian tindakan sesuai jadwal waktu yang benar, yaitu penerbitan Surat Teguran, pemberitahuan Surat Paksa, pelaksanaan penyitaan berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, sampai dengan pelaksanaan lelang.

2.3.Aparat Direktorat Jenderal Pajak, yaitu Jurusita Pajak yang telah memenuhi syarat untuk melakukan penagihan pajak.

2.4.Penanggung pajak yang mempunyai kewajiban melunasi utang pajak. 2.5.Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, yaitu UU KUP 1984 dan UU

PPSP serta peraturan pelaksana.

3. Jurusita Pajak

Berdasarkan Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, disebutkan bahwa Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat, dan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak

daerah.Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 562/KMK.04/2000 tentang syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian jurusita pajak syarat-syarat untuk menjadi jurusita pajak adalah sebagai berikut :

1. Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau Sederajat.

2. Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan IIa. 3. Berbadan sehat.

4. Lulus pendidikan dan latihan jurusita pajak. 5. Jujur bertanggung jawab dan penuh pengabdian. Adapun wewenang Jurusita Pajak adalah :

1. Jurusita pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan pasal 5 ayat 5 UU PPSP.

2. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 5 ayat 4 UU PPSP, dalam melaksanakan tugas, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah Setempat, Badan Pertahanan Nasional, Direktorat Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain. 3. Jurusita Pajak berwenang untuk memasuki dan memeriksa semua ruangan

untuk menemukan objek sita ditempat usaha dan melakukan penyitaan ditempat kedudukan, di tempat tinggal penganggung pajak atau ditempat

lain yang dapat diduga tempat penyimpanan objek sita dalam melakukan penyitaan.

Tugas Jurusita Pajak sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 dan UU PPSP adalah : a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. b. Memberitahukan Surat Paksa.

c. Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan Surat Perintah melaksanakan penyitaan.

d. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.

Sebagaimana Surat Pengangkatan Tugas diterbitkan ketika Jurusita Pajak diangkat, maka Surat Keputusan Pencabutan atau Pemberhentian juga diterbitkan ketika Jurusita Pajak diberhentikan.

Adapun Jurusita Pajak dapat diberhentikan apabila : a. Meninggal dunia,

b. Pensiunan,

c. Karena alih tugas atau kepentingan dinas lainnya,

d. Ternyata lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas, e. Melakukan perbuatan tercela,

f. Melanggar sumpah atau janji jurusita pajak, dan g. Sakit jasmani atau rohani terus menerus.

Dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jurusita Pajak adalah pelaksana penagihan pajak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan penagihan sesuai dengan Surat Perintah yang diterbitkan oleh Pejabat.

4. Dasar Hukum Penagihan Pajak

4.1.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan.

4.2.Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Selanjutnya disebut pula UU PPSP).

4.3.Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

4.4.Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 56/KMK.04.2000 tentang Syarat-syarat pengangkutan dan Pemberhentian Jurusit Pajak.

4.5.Peraturan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dan Penagihan pajak dengan Surat paksa.

4.6.Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor 62/PJ./2001 tentang Tata Cara Pemblokiran dan Penyitaan Harta kekayaan penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak dengan surat Paksa.

5. Penyitaan Pajak

Menurut Undang- Undang Penagihan Pajak pada Undang-Undang nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, menyebutkan’’Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh juru sita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan per Undang-Undangan’’. Apabila utang pajak tidak dilunasi penanggung pajak dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah surat paksa diberitahukan, pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. Penyitaan di lakukan oleh juru sita pajak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2(dua) orang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh juru sita pajak, dan dapat dipercaya.

Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dan penanggung pajak.Oleh karena itu penyitaan dapat dilaksanakan terhadap

semua penanggung pajak. Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah surat paksa yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2x 24 jam sebagaimana dimaksud dalam surat paksa. Artinya apabila penanggung pajak / WP tetap tidak melunasi utang pajak sebagai tercantum dalam surat paksa, barulah penyitaan dapat dilaksanakan. Dalam hal ini penyitaan WP / penanggung pajak tidak mengakibatkan penundaan kewajiban membayar/melunasi pajak terutang atau kurang bayar.

Dokumen terkait