• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Sebagai bangsa yang majemuk selain memiliki berbagai macam suku dan budaya yang menjadi sebuah kekayaan Indonesia juga memiliki Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih perlu digali dan dibina supaya dapat menghasilkan nilai ekonomi yang mengarah terhadap kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Banyak hal yang perlu dilakukan untuk mencapai sebuah keseimbangan ekonomi kerakyatan, misalnya dengan mendaur ulang barang-barang bekas menjadi produk baru, mengolah tumbuhan di lingkungan seperti bambu, kelapa, dan bahan-bahan lainnya menjadi sebuah barang bermanfaat yang bisa menghasilkan nilai ekonomi.

Sama halnya dengan usaha pandai besi Dusun Gaman meskipun digolongkan terhadap usaha berbasis kecil dan berorientasi usaha rumah tangga, akan tetapi dengan keterampilan yang dimiliki sumber daya manusia dapat mengolah sumber daya alam yang ada di sekitar masyarakat Dusun Gaman tersebut setidaknya mampu menambah nilai ekonomi bagi pelaku ekonomi tersebut. Dengan demikian sebagai hasil karya anak bangsa perlu dibina dan dikembangkan supaya kecintaan akan produk dalam negeri semakin meningkat pula. Untuk mencapai hasil tersebut diharapkan kerja sama dari berbagai pihak, baik pihak pemerintah, masyarakat, dan pandi besi tersebut.

Adapun saran penulis dalam tulisan ini sebagai sebuah usulan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan ekonomi masyarakat menengah ke bawah

yang sangat membutuhkan perhatian berupa pemberian modal dan sarana transportasi dalam pengembangan usaha. Sampai saat ini para pandai besi masih terkendala dengan modal dan alat transportasi. Selain itu pemerintah diharapkan dapat membantu pandai besi dalam proses pemasaran barang-barang produksi.

Dengan mengadakan hubungan kerja sama dan terobosan pasar dengan pihak dan badan usaha tertentu seperti BUMN yang bergerak di bidang perkebunan di Sumatera utara khususnya dalam pengadaan alat-alat pertanian seperti golok atau parang panjang, arit, dodos akan membantu pandai besi untuk menambah nilai ekonomi baran usaha mereka sekaligus menjadi sarana luasnya pemasaran hasil usaha pandai besi Dusun Gaman.

Bagi masyarakat juga diharapkan untuk tetap tetap mencintai produk lokal dibandingkan produk luar, selain itu masyarakat juga perlu menjalin kerja sama dan toleransi yang baik antara para pengrajin dengan masyarakat lain supaya tercipta hubungan sosial yang harmonis.

para pandai besi juga diharapkan tetap memproduksi karya-karya baru dengan desain yang tetap memperhatikan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan barang dan kerajinan yang sekarang ini semakin banyak.

BAB II

GAMBARAN UMUM DUSUN GAMAN DESA SIHASTORUAN

KECAMATAN TARABINTANG KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN 2.1 Letak geogrfafis Dusun Gaman Desa Sihastoruan

Desa Sihastoruan terbagi menjadi 4 dusun yaitu, Dusun Gaman, Dusun Gaman Toruan, Dusun Situmeang dan Dusun Onggol, termasuk Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa ini merupakan salah satu desa dari 10 desa yang terdapat di Kecamatan Tarabintang. Sihastoruan merupakan kepanjangan dari Sihotang Hasugian Toruan, disebut sebagai Desa Sihotang Hasugian Toruan karena penduduk desa ini kebanyakan marga Sihotang dan Hasugian.

Terletak pada ketinggian 700-1000 m diatas permukaan laut, dengan topografi berbukit-bukit atau pengunungan, banyaknya curah hujan pertahun 2000 mm, dan suhu udara rata-rata 280 C. Desa Sihastoruan berbatasan dengan Kecamatan Parlilitan di sebelah Utara, Desa Marpadan di sebelah Timur, Desa Sihombu di sebelah Selatan, dan Desa Tarabintang di sebelah Barat. Jarak kota Medan sebagai ibukota provinsi adalah 400 Km, Doloksanggul sebagai ibukota kabupaten adalah 50 Km, jarak Tarabintang sebagai ibukota kecamatan adalah 12 Km. Luas Desa Sihastoruan adalah sekitar 46 Km2. wilayahnya merupakan pedesaan yang masih dikelilingi hutan yang ditumbuhi tanaman keras, sedangkan pada lahan yang datar dijadikan persawahan dan ladang yang dapat ditanami padi dan tanaman-tanaman muda. Di wilayah Desa ini

mengalir beberapa sungai kecil yang mengelilingi Desa Sihastoruan, sungai inilah yang dimanfaatkan penduduk desa untuk keperluan sehari-hari, seperti memasak, mandi, mencuci, menjala, dan juga untuk mengairi sawah. Pola pemukiman didesa ini adalah pola berbanjar dengan posisi rumah berhadap-hadapan satu dengan lainnya,lantai dan dinding terbuat dari papan dan seng.

Hanya sebagian kecil saja rumah penduduk yang terbuat dari keramik dan beton. Jalan yang terbentang dihadapan rumah merupakan halaman bersama seluruh warga desa, pada umumnya halaman warga desa masih luas, sehingga halaman ini biasa digunakan sebagai tempat untuk bermain anak-anak, melaksanakan upacara adat dan tempat para pengrajin melaksanakan kegiatannya. Pada bagian belakang, biasanya terdapat kandang ternak babi atau ayam, diantara kandang ternak tersebut biasanya ditanami kopi, rambutan, langsat, sirsak dan lain-lain.

2.2 Komposisi Penduduk

Mata pencaharian di kecamatan Tarabintang pada umumnya adalah bertani. Hal ini terjadi karena wilayah pertanian yang masih luas. Mayoritas penduduk adalah petani padi yang kemudian merangkap menjadi petani karet, di Desa Sihastoruan tepatnya di Dusun Gaman sebagian masyarakat juga bekerja sebagai pengrajin. Dalam hal pekerjaan, terdapat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Biasanya laki-laki akan turun tangan menangani pohon karet mereka sedangkan perempuan akan bekerja disawah atau diladang.

Data-Data Penduduk Desa Sihas Toruan

NO KETERANGAN JUMLAH ( JIWA )

1 Jumlah Laki-Laki 436

2 Jumlah Perempuan 404

3 Pendidikan SD 345

4 Pendidikan SLTA 169

5 Pendidikan D3/S1 13

Sumber: Data Umum Desa Sihas Toruan, Kantor Kepala Desa Sihas Toruan Tahun 2009.

2.3 Kehidupan Ekonomi

Kehidupan ekonomi masyarakat Desa Sihastoruan didominasi kehidupan sebagai petani, karyawan baik negri/swasta dan pedagang. Kehidupan ekonomi ini tampak dalam hal pemilikan rumah tempat tinggal, kelengkapan rumah tangga, makanan, pendidikan dan juga pakaian. Sebagian besar rumah tempat tinggal penduduk terbuat dari bahan baku kayu baik untuk lantai maupun dindingnya, atap rumah umumnya telah menggunakan seng ada juga rumah yang sudah berlantaikan semen, sebagian masyarakat juga sudah berlantai keramik dan berdinding beton.

Begitu pula pemilikan dalam kelengkapan rumah tangga masih tampak jelas, belum semua warga yang mempunyai TV dirumahnya, akan tetapi baik di kedai kopi maupun kedai tuak televisi dapat kita temukan. Sebagaiman biasanya masyarakat Batak baik Batak Toba maupun Pakpak nasi adalah makanan utama, frekuensi makan

nasi tiga kali satu hari, yakni pagi, siang, dan malam. Dalam bersantap makanan tidak ketinggalan lauk dan sambal, lauk yang biasa dimakan warga adalah ikan asin, dan kadang-kadang ikan yang dipancing dan di jala dari sungai seperti ikan haporas, ikan gaman, dan ikan anak garing dan juga lauk dari hewan buruan atau yang didapat warga dari jorat atau perangkap yang dipasang warga di kebun karet mereka, seperti kancil, monyet, dan babi hutan. Biasanya jika warga mendapatkan hasil perangkapnya maka akan dimakan bersama oleh warga dan dibuat tambul9oleh laki- laki yang minum tuak, sedangkan sayur-sayuran biasanya langsung dari ladang warga dipetik dan dimasak menunggu hari pekan yang ada sekali seminggu di ibukota kecamatan. Kebiasaan lain yang dikenal warga Desa Sihastoruan adalah

manggadong10

Masyarakat Desa Sihastoruan sebagian besar belum memiliki kamar mandi, sehingga untuk mandi, mencuci, dan mengangkat air semua dari sungai yang mengalir berada dekat rumah penduduk. Sarana penerangan sudah menjangkau sampai ke desa-desa sehingga sebagian besar penduduk sudah memanfaatkan fasilitas penerangan berupa listrik tersebut. Masih sedikit masyarakat yang memiliki kendaraan roda dua apalagi memiliki mobil masih bisa dihitung jari. Untuk bepergian ke kota Medan hanya ada satu bus yaitu Sampri yang sejak dulu sampai saat ini masih beroperasi.

,akan tetapi sekarang telah berkembang dan bervariasi jenis makananya, seperti goreng pisang, lepat, mi sop, mi ayam dan bakso.

9

Tambul sejenis makanan yang diminum bersama tuak atau nira . 10

Manggadong adalah sejenis makanan pengganti nasi pada zaman dulu yang artinya memakan ubi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menyekolahkan anak-anak kaum ibu bekerja di ladang dan sawah mereka, sedangkan kaum ayah bekerja dikebun karet dan diusaha pandai besi bagi yang memiliki usaha pandai besi, anak-anak biasanya membantu orangtua setelah pulang sekolah. Kebutuhan warga desa ini agaknya masih tergolong sederhana apabila ditinjau dari segi pemilikan barang-barang serta menu makanan serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

2.4. Kehidupan Sosial Budaya

Penduduk Desa Sihastoruan mengikuti garis keturunan Patrilineal, yakni sistem penarikan garis keturunan mengikuti pihak laki-laki, oleh karena itu, bapak adalah sumber keturunan dan kekuasaan maka garis keturuna patrilineal berlaku sampai saat ini di Desa tersebut. Satu keturunan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang yang sama dinamakan marga.Suatu kelompok kekerabatan didesa ini dihitung berdasarkan satu bapak atau ayah (sa ama)satu kakek atau nenek moyang(sa ompu). Warga desa ini masih menunjukkan garis hubungan kekerabatan terhadap kaum kerabatnya sampai beberapa generasi sebelumnya. Satuan kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga batin yang disebut ripe yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Satuan kekerabatan yang lebih besar adalah marga yang dapat berarti klen. Bagi mereka kesamaan marga sangat penting karena orang yang satu marga masih merasa satu keturunan yang sangat dekat. Hal ini menimbulkan adanya rasa persaudaraan yang bertanggungjawab satu sama lain, meskipun telah dipisahkan oleh garis keturunan yang cukup jauh.

Perkawinan yang semarga tidak diperbolehkan dan dianggap tabu oleh warga Desa.Suatu perkawinan mengakibatkan terjadinya hubungan antar kelompok- kelompok kerabat dari seseorang dengan kelompok kerabat tempat istrinya berasal dan kelompok kerabat suaminya. Kelompok pemberi anak disebut dengan hula-hula, kelompok penerima anak disebut dengan boru, sedangkan kelompoknya sendiri disebut dengan dongan sabutuha. Secara keseluruhan ketiga kelompok ini dinamakan

Dalihan Na Tolu dan merupakan prinsip dasar yang menjadi landasan dan ukuran dalam tata hubungan sosial orang Batak Toba. Dalihan Na Tolu tidak hanya sekedar menetapkan struktur sosial dan fungsi sosial masyarakat Toba, tetapi juga menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan oleh setiap kelompok. Manat

atau berhati-hati merupakan sikap terhadap dongan sabutuha (marga yang sama). Somba atau hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap hula-hula dan

elek atau lemah lembut merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap boru.

Hubungan tersebut digambarkan dalam suatu kalimat yang bersifat hipotesis dan selalu diucapkan oleh orang Batak Toba pada umumnya yakni “somba marhula- hula”, “elek marboru”, dan “manat mardongan tubu” yang kira-kira berarti sembah sujud kepada hula-hula, bersifat membujuk pada boru, dan berhati-hati terhadap kerabat semarga.11

Disamping kelompok kekerabatan dalam masyarakat Desa Sihastoruan terdapat pengelompokan sosial seperti dongan sahuta, yaitu( kerabat satu kampung /desa) yang merupakan kesatuan yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal,

11

dongan saparadaton yaitu (pengelompokan sosial yang didasarkan atas kesatuan dalam kerja adat). Biasanya kelompok ini adalah gabungan dari beberapa desa yang masih mempunyai hubungan kekerabatan walaupun sudah agak jauh. Biasanya ibu- ibu yang masih semarga atau semarga suaminya mempunyai kumpulan yang disebut dengan arisan yang dilakukan sekali sebulan secara bergilir dirumah masing-masing anggota. Selain untuk menjalin kekeluargaan ibu-ibu ini juga membuat kumpulan uang khas guna menambah simpanan untuk keperluan mendadak dan keperluan lainya.

Dalam adat-istiadat penduduk desa ini sangat ditekankan menghormati orangtua dan orang yang lebih tua. Hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kerja adat di desa ini. Selain itu terdapat pula pantangan terhadap anak untuk menyebutkan nama orang tua, biasanya mempunyai panggilan berdasarkan nama anaknya yang tertua.

Di desa Sihastoruan masih sering diselenggarakan upacara-upacara adat terutama upacara dalam daur hidup atau mangukkal holi,12

12

Mangungkkal holi adalah upacara atau pesta menggali tulang tulang nenek moyang yang telah lama meninggal dan menyatukan nya dengan keluarganya yang sudah meninggal juga dalam suatu tugu yang telah dibangun, acara mangukkal holi adalah salah satu pesta besar bagi orang Batak Toba

meskipun dalam pelaksanaanya telah diwarnai oleh upacara keagamaan khususnya agama Kristen. Dengan masuk dan berkembangnya kehidupan beragama di Desa Sihastoruan sangat berpengaruh dalam kehidupan seluruh warga desa khusunya bagi keluarga inti, hal ini dapat dilihat dari keluarga inti dimana suami sebagai kepala keluarga tidak ada yang mempunyai istri

lebih dari satu, selain itu sangat jarang ditemukan kasus perceraian suami-istri di Desa Sihastoruan.

Disamping satuan sosial yang didasarkan atas kesatuan geneologis dan kesatuan teritorial, terdapat pula kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan agama, satuan sosial yang didasarkan atas agama dibedakan berdasarkan sektenya, yaitu sekte HKBP, sekte GKLI, dan Katolik. Setiap sekte memiliki perkumpulan kaum ibu, perkumpulan bapak-bapak, dan perkumpulan remaja atau muda-mudi. Kegiatan kelompok tersebut diutamakan untuk tujuan pengembangan kerohanian dan mengisi sebagian dari acara kebaktian setiapa hari minggu di gereja.

Di Desa Sihastoruan terdapat lembaga PKK, Poskesdes dan Posyandu, disamping itu terdapat pula lembaga sosial dibidang pendidikan formal seperti PAUD dan SD. Untuk menciptakan lingkungan yang bersih warga desa melaksanakan gotong royong sekali dalam dua bulan, belum terdapat balai desa sebagai tempat rapat atau pertemuan warga, dinas dan pejabat yang mengadakan pertemuan. Jika ingin diadakan rapat atau pertemuan maka akan diadakan di rumah kepala desa dan rumah raja huta.

Penduduk Desa Sihastoruan terdiri dari etnis Batak Toba dan Etnis Pakpak. Ini terlihat dari daftar marga-marga di buku data penduduk Desa Sihastoruan, terdiri dari marga: Hasugian, Sihotang, Tumanggor, Meka, Nahampun, Tinambunan, Limbong, Simamora, Silalahi, Pandiangan, Butar-butar, Sinaga, Pane, Sihaloho,

Simbolon, Purba dan lain-lain.13

Saat ini akibat terjadinya migrasi dan tingginya mobilitas, kelompok masyarakat yang mengaku etnis Pakpak sudah menyebar hampir keseluruh wilayah nusantara, walaupun dibandingkan dengan sub etnis Batak lainnya jumlahnya termasuk minoritas dan tertinggal ditinjau dari aspek sosial ekonomi. Berdasarkan

Meskipun terdapat dua etnik yang mendominasi akan tetapi masyarakat Desa Sihastoruan hidup rukun dan hampir tidak pernah ada kesenjangan sosial diantara mereka. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Sihastoruan menggunakan Bahasa Pakpak atau lazimnya disebut Bahasa Dairi, meskipun menggunakan bahasa Dairi dalam bahasa sehari-hari mereka juga mengerti dan mahir berbahasa Batak Toba. Adat yang dipakai dalam pesta adalah adat Batak Toba dan ibadah gerja juga menggunakan Bahasa Batak Toba.

Bayak kalangan yang mengelompokkan pakpak sebagai bagian dari sub etnis Batak, pendapat ini bisa saja bila ditinjau dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti adanya kesamaan struktur sosial, bahasa, dan sistem kekerabatan yaitu menganut prinsip patrilineal. Secara geografis sub etnis Pakpak berbatasan langsung dengan sub etnis Batak lainnya, malah beberapa nama marga dari masing- masing sub etnis hampir sama sebutannya dan bahkan diakui berasal dari nenek moyang yang sama. Contohnya marga Manik Siketang (Sihotang), Lembeng(Limbong), Kebeaken (Habeahan) dan marga-marga lainya. Secara teoritis kesamaan dapat terjadi karena faktor intensitas dan intervensi dari proses difusi, akulturasi, dan asimilasi, disamping didukung oleh faktor geografi.

13

dialek dan daerah asalnya, wilayah Pakpak dapat dikategorikan menjadi 5 sub yang dalam bahasa Pakpak disebut Pakpak silima suak, yakni: Pakpak Simsim, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Kelasen Dan Pakpak Boang.

Dusun Gaman Desa Sihastoruan termasuk kategori Suak Pakpak Kelasen. Pakpak Kelasen berarti orang Pakpak yang berasal dari wilayah Kelasen, yang berada diwilayah pemerintahan Tapanuli Utara (khusunya kecamatan Parlilitan) dan Tapanuli Tengah (khususnya Kecamatan Manduamas).14

Aktifitas gotong royong yang bersifat ekonomi di Dusun Gaman akan terlihat dalam kehidupan masyarakat petani. Dalam masyarakat Toba kegiatan gotong royong yang dilakukan untuk kegiatan pertanian disebut marsiadapari

Hal ini yang menjadi alasan mengapa masyarakat Desa Sihastoruan menggunakan Bahasa Pakpak atau Bahasa Dairi dalam percakapan sehari-hari, walaupun demikian mereka juga memahami Bahasa Batak Toba.

Manusia merupakan mahluk sosial yang hidup bermasyarakat sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus hidup saling tolong menolong sesama manusia dalam masyarakat. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia.

15

14

Lister Berutu, Aspek-aspek kultural etnis Pakpak suatu eksplorasi tentang potensi lokal, Medan: Monora, 2002, hal. 23.

15

Marsiadapari adalah suatu aktifitas yang dilakukan secara berkemlompok dan saling membatu dalam pekerjaan baik di sawah, ladang, maupun dalam lingkungan sehari-hari.

.Kelompok ini pada dasarnya berasaskan kekeluargaan.Kelompok marsiadapari biasanya bekerja di ladang ataupun di sawah secara berkelompok. Mereka terlebih dahulu mengerjakan sawah yang perlu dikerjakan lalu kemudian sawah berikutnya hingga seluruh sawah atau ladang setiap anggota kelompok selesai dikerjakan.Namun akibat perkembangan

teknologi dan dorongan ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan rasa kebersaman antara mereka semakin berkurang sehingga aktifitas marsiadapari sudah mulai hilang.

Aktifitas gotong royong yang dilakukan masyarakat secara spontanitas yang bersifat kekeluargaan terlihat apabila ada masyarakat yang mengalami musibah kemalangan ataupun ketika ada acara-acara adat. Masyarakat akan memberikan bantuan berupa materi ataupun tenaga. Dalam hal ini masyarakat tidak pernah memandang agama, suku maupun status sosialnya. Masyarakat menganggap bahwa mereka adalah satu keluarga yang seharusnya saling membantu. Hal seperti ini menyebabkan masyarakat dapat hidup berdampingan secara rukun, meskipun konflik- konflik kecil ada juga terjadi antar sesama tetangga.

Demikian juga apabila salah satu dari warganya yang baru mendapatkan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluargannya, maka etnik Toba khususnya dan masyarakat pakpak umumnya, terutama kaum ibu akan datang ke rumah tersebut untuk memberikan ucapan selamat. Biasanya pada waktu berkunjung mereka membawa beras dan telur yang dimasukan ke dalam sebuah wadah yang lajim disebut dengan Tandok16

Selain itu apabila salah satu masyarakat mengadakan upacara pernikahan, maka semua tetangga akan menghadiri pesta tersebut untuk menghadiri dan memberikan ucapan selamat. Masyarakat juga akan membantu si penyelenggara pesta

. Beras ini ditujukan untuk anak yang dilahirkan dengan harapan anak tersebut cepat besar.

16

Tandok adalah wadah seperti karung yang dianyam dari pandan yang biasa dipakai sebagai tempat beras untuk menghadiri suatu pesta Batak.

dalam hal tenaga untuk mempersiapkan acara tersebut dan juga dalam hal materi karena biasanya pada saat pesta diadakan setiap keluarga akan memberikan sumbangan sukarela yang lajim disebut oleh orang Toba yaitu Papungu Tuppak17

17

Papungu Tuppak adalah istilah mengumpulkan uang dalam etnik Toba ketika hendak melakukan acara pesta.

.

Masyarakat Desa Sihastoruan yang dihuni oleh etnik pakpak dan etnik Toba dapat hidup berdampingan secara damai dengan etnik pendatang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat terbuka dan memiliki rasa toleransi yang cukup tinggi. Hubungan yang erat dan saling memiliki antara masyaraka tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan suatu etnik di suatu wilayah memiliki sejarah dan latar belakang tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki oleh suatu etnik dalam hubungannya dengan etnik lainnya. Sebagai suatu etnik yang merupakan kelompok etnik pendatang dan berinteraksi dengan etnik asli dalam suatu wilayah, maka secara alami akan menempatkan etnik pendatang tersebut dalam posisi yang lemah. Ruang sosial merupakan ruang publik serta wadah dimana berbagai perbedaan etnik dipertemukan. Suatu etnik dengan etnik yang lain memiliki titik pertemuan yang memungkinkan mereka untuk memperkenalkan nilai-nilai etniknya sehingga rasa menghargai antar etnik dapat tercapai. Interaksi yang terjadi di dalam ruang publik tersebut akan memberikan ruang gerak untuk belajar berkomunikasi dengan etnik lain dan juga belajar untuk menghargai perbedaan-perbedaan yang ada diantara berbagai etnik. Hal tersebut memungkinkan terciptanya kedamaian dan hubungan yang baik diantara masyarakat yang beranekaragam.

Budaya yang dimiliki etnik Toba memiliki kemiripan dengan budaya etnik Pakpak yang. Toba dan Pakpak memang awalnya satu dalam sub-etnik Batak. Hal tersebut dibuktikan dengan kesamaan ras dan budaya-budaya yang dimiliki etnik- etnik tersebut hampir sama. Tetapi akhir-akhir ini etnik Pakpak tidak lagi ingin disebut Batak Pakpak. Kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah penggunaan istilah Batak yang terlalu umum dan pemahamannya lebih mengarah kepada etnik Toba. Begitu juga dengan sub-etnik Batak lainnya yang juga tidak ingin disebut Batak seperti Etnik Karo dan Simalungun.

Kemiripan budaya Toba dengan budaya Pakpak sangat terlihat jelas, misalnya seperti arsitektur bangunan rumah adat, penggunaan ulos, serta menggunakan identitas marga. Begitu juga dengan rangkaian proses-proses adat diantara kedua etnik tersebut. Batasan kebudayaan yang paling nyata antara etnik Toba dan etnik Pakpak hanya pada penggunaan bahasa. Oleh karena itu hubungan interaksi kedua

Dokumen terkait