BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.2 Saran
a. Perlunya penambahan sumber daya manusia di bagian koordinator farmasi makanan dan minuman untuk meningkatkan efisiensi kerja.
b. Meningkatkan pengawasan terhadap laporan yang diserahkan ke Suku Dinas Kesehatan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan pelaporan di tingkat koordinasi yang lebih tinggi.
c. Mengoptimalkan kegiatan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tenaga kesehatan maupun pemilik sarana pelayanan kesehatan, farmasi, makanan, dan minuman serta untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran.
DAFTAR ACUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2003). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.5.1640 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1972). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 167 Tahun 1972 tentang Pedagang Eceran Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246 Tahun 1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002a). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1331 Tahun 2002 tentang: Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 167 Tahun 1972 tentang Pedagang Eceran Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RepublikIndonesia. (2002b). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1332 Tahun 2002 tentang: Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 922 Tahun 1993 tentang: Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 284 tahun 2007 tentang Apotek Rakyat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2010). Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2008) Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2008). Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2009a). Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2009b). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 150 Tahun 2009 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Kesehatan. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. (2000). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Otonom. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. (2009a). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. (2009b). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Lampiran 1. Struktur organisasi Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Kota
Administasi Jakarta Selatan
SUKU DINAS KESEHATAN KOTA ADMINISTR SUB BAGIAN TATA USAHA SEKSI SUMBER DAYA KESEHATAN SEKSI PELAYAN AN KESEHATA SEKSI PENGENDALI AN MASALAH KESEHATAN SEKSI KESEHATAN MASYARAK AT PUSKESMAS KECAMATA N PUSKESMAS KELURAHAN
Lampiran 2. Formulir Permohonan Surat Izin Apotek
No. Dokumen F-SD-001
No. Revisi 01
No. : Jakarta,
Lamp :
Hal : Permohonan Surat Izin Apotek Kepada
Yth. Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Selatan
di Jakarta
Bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Izin Apotek dengan data-data sebagai berikut :
I PEMOHON
Nama Apoteker : ... No. STRA : ... No. KTP : ... Alamat & No. Telp : ... ... Pekerjaan sekarang : ... No NPWP : ... II APOTEK Nama : ... Alamat : ... Kelurahan/Kecamatan : ... No. Telp : ...
Provinsi : DKI Jakarta
III Dengan menggunakan : milik sendiri / milik pihak lain
sarana
Nama Pemilik sarana : ... Alamat : ... No. Telp. : ... No NPWP : ... Akta perjanjian : ... kerjasama No. Dibuat di hadapan : ... Notaris di : ... Bersama permohonan ini kami lampirkan :
1. Data Apoteker
Fotocopy KTP Apoteker Pengelola Apotek / APA (Jabodetabek)
Fotocopy NPWP APA
Pasfoto berwarna uk.4x6 cm 1 lembar
Fotocopy Surat Izin Kerja/ Surat Penugasan
Fotocopy Surat Lolos butuh dari Dinas Kesehatan Provinsi bagi APA yang berasal dari luar Provinsi DKI Jakarta/Surat Berhenti dari sarana farmakmin lain bila pernah bekerja di DKI
Lampiran 2 (Lanjutan). Formulir Permohonan Surat Izin Apotek
No. Dokumen F-SD-001
No. Revisi 01
2. Data Pemilik Sarana Apotek (PSA)
Fotocopy KTP Pemilik Sarana Apotek (PSA) / Pimpinan Perusahaan
Fotocopy NPWP
Pasfoto berwarna uk.4x6 cm (1 lembar)
3. Fotocopy Akte Perusahaan bila berbentuk badan hukum yang telah terdaftar di Depkeh dan HAM RI
4. Salinan Akte Perjanjian kerjasama antara APA dan PSA / SK pengangkatan bagi perusahaan BUMN
5. Fotocopy IMB yang telah dilegalisir (Kecuali Bagi sarana yang berada di Perkantoran, Pertokoan, Mall dan Pasar)
6. Fotocopy Undang-undang Gangguan (UUG) dari dinas Tramtib yang telah dilegalisir (Kecuali Bagi sarana yang berada di Perkantoran, Pertokoan, Mall dan Pasar)
7. Surat Pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek tidak bekerja pada perusahaan Farmasi lain di atas materai Rp. 6000,-
8. Surat Pernyataan APA yang menyatakan akan tunduk serta patuh kepada peraturan yang berlaku di atas materai Rp. 6000,-
9. Surat Pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek tidak melakukan penjualan Narkotika, Obat Keras Tertentu tanpa resep di atas materai Rp. 6000,-
10. Surat Pernyataan Pemilik Sarana Apotek tidak pernah terlibat dan tidak akan terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang Farmasi / obat dan tidak ikut campur dalam hal pengelolaan obat di atas materai Rp. 6000,-
11. Peta lokasi & Denah ruangan beserta fungsi dan ukurannya 12. Struktur Organisasi dan Tata Kerja / Tata Laksana
13. Rencana jadwal buka Apotek
14. Daftar Ketenagaan berdasarkan pendidikan 15. Kelengkapan Asisten Apoteker / D3 Farmasi
Surat Izin Asisten Apoteker
Fotocopy KTP
Surat Pernyataan Bersedia Bekerja Di atas Materai Rp 6000,-
16. Daftar peralatan peracikan Obat 17. Daftar Buku Pustaka
18. Perlengkapan Administrasi
Contoh Etiket Kartu Stock Copy resep,
Blanko SP & Blanko faktur Form Laporan Narkotika
Demikian permohonan kami, atas perhatian dan persetujuannya kami ucapkan terima kasih.
Pemohon,
Apoteker Pengelola Apotek
( ... ) METERAI
Lampiran 3 (Lanjutan). Formulir Persyaratan Permohonan Izin
Lampiran 4 (Lanjutan). Berita Acara Pemeriksaan Sarana Apotek
Lampiran 7. Formulir Permohonan Izin Cabang/Sub Penyalur Alat Kesehatan
Lampiran 7 (Lanjutan). Formulir Permohonan Izin Cabang/Sub Penyalur
Lampiran 16. Alur dalam pemberian izin Cabang PAK
Keterangan:
a. Kepala dinas kesehatan provinsi berkoordinasi dengan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota untuk membentuk tim pemeriksa dan membuat Berita Acara Pemeriksaan dengan menggunakan Formulir 2.
b. Apabila telah memenuhi persyaratan, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setelah menerima hasil pemeriksaan tim pemeriksa bersama meneruskan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dengan menggunakan Formulir 3. ** Bila pemeriksaan tidak dilaksanakan pada waktunya, pemohon dapat
membuat surat siap melaksanakan kegiatan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dengan menggunakan Formulir 4.
c. Setelah melakukan pemeriksaan, kepala dinas kesehatan provinsi dapat mengeluarkan izin cabang PAK, penundaan atau penolakan permohonan izin Cabang PAK dengan menggunakan Formulir 5 dan 6 .
d. Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sejak diterbitkan surat penundaan.
Lampiran 18. Brosur Penyuluhan Kesehatan Mengenai Penggunaan Obat Minum
yang Benar Halaman 1
Lampiran 18. (Lanjutan). Brosur Penyuluhan Kesehatan Mengenai Penggunaan
Obat Minum yang Benar Halaman 2
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA
PROFESI APOTEKER DI SUKU DINAS KESEHATAN
KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN
PERIODE 17 JUNI – 28 JUNI 2013
PEMBERIAN INFORMASI OBAT AMLODIPIN
DALAM BENTUK BROSUR DAN LEAFLET
FITRI PAUZIAH, S.Farm. 1206329625
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iv BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Pelayanan Kefarmasian... 3 2.2 Pelayanan Informasi Obat ... 4 2.3 Media Promosi Kesehatan ... 5 2.4 Hipertensi ... 8 2.5 Informasi Obat Amlodipin ... 13
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 16
3.1 Waktu dan Tempat ... 16 3.2 Metode Pelaksanaan ... 16
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
4.1 Hasil ... 17 4.2 Pembahasan ... 17
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 20
5.1 Kesimpulan ... 20 5.2 Saran ... 20
DAFTAR ACUAN ... 21 LAMPIRAN ... 23
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun
menurut JNC 7 ... 9 Tabel 2. Modifikasi gaya hidup untuk mengontrol Hipertensi ... 13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Brosur Pemberian Informasi Obat Amlodipin ... 23 Lampiran 2. Leaflet Pemberian Informasi Obat Amlodipin ... 25
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Undang-undang RI No.36, 2009). Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Visi Departemen Kesehatan yaitu masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat, dan untuk mewujudkan tujuan dan keinginan hal tersebut maka diselenggarakan upaya kesehatan dengan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dan diselenggarakan bersama antara pemerintah dan masyarakat (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006). Untuk mencapai tujuan tersebut upaya kesehatan harus dilakukan secara integral oleh seluruh komponen baik pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat.
Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai sumber informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam jangka waktu yang lama untuk menghindari kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang obat dan penggunaanya. Dalam hal ini apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse). Masyarakat cenderung hanya tahu merk dagang obat tanpa tahu zat berkhasiatnya (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan farmasi
rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Kemenkes, 2004).
Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama drug oriented ke paradigma baru patient oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Kemenkes, 2004).
Mahasiswa apoteker, pada Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Selatan ini diharapkan mahasiswa dapat memberikan informasi obat yang benar mengenai obat hipertensi (Amlodipin) kepada masyarakat dan lebih baik lagi jika disertai dengan memberikan brosur atau leaflet. Pada brosur atau leaflet biasanya memuat keterangan lebih lengkap dibandingkan dengan keterangan yang tertera pada kemasan obat seperti komposisi, indikasi, kontraindikasi, efek samping dan keterangan-keterangan penting lainnya mengenai obat tersebut.
1.2 Tujuan
Pembuatan tugas khusus ini ditujukan agar mahasiswa dapat memahami dan memberikan apa saja yang perlu disampaikan dalam pemberian informasi penggunaan obat, khususnya pemberian informasi penggunaan obat Amlodipin dalam bentuk brosur dan leaflet sesuai dengan peran dan tanggung jawab seorang apoteker.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dan merupakan wujud pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian. Saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi pada pasien (patient oriented) yang mengacu pada azas Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi bertambah menjadi pelayanan yang komprehensif berbasis pasien dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien (Undang-Undang No. 36 tahun 2009).
Tenaga kefarmasian tidak saja sebagai pengelola obat, namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) (Peraturan Pemerintah RI No. 51, 2009).
Konsekuensi dari perubahan paradigma tersebut maka apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain secara aktif, berinteraksi langsung dengan pasien di samping menerapkan keilmuannya di bidang farmasi. Apoteker di sarana pelayanan kesehatan mempunyai tanggung jawab dalam memberikan informasi yang tepat tentang terapi obat kepada pasien. Apoteker berkewajiban menjamin bahwa pasien mengerti dan memahami serta patuh dalam penggunaan obat sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan terapi (Undang-Undang No. 36 tahun 2009).
2.2 Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini
kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien (Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197, 2004). Kegiatan ini bertujuan :
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan.
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat.
c. Meningkatkan profesionalisme apoteker. d. Menunjang terapi obat yang rasional.
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam pelayanan informasi obat, antara lain :
a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan pasif.
b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka.
c. Membuat buletin, leaflet, label obat.
d. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lainnya.
e. Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini sangat diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Sumber informasi obat adalah buku Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI), Farmakologi dan Terapi, serta buku-buku lainnya. Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap kemasan atau brosur obat (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Informasi obat yang diperlukan pasien dan dapat diberikan oleh tenaga kefarmasian, antara lain :
a. Waktu penggunaan obat, misalnya berapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah penggunaan di waktu pagi, siang, sore, atau malam, apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan.
b. Lama penggunaan obat, misalnya apakah selama keluhan masih ada atau harus dihabiskan meskipun sudah terasa sembuh.
c. Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu, pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang benar.
d. Efek yang akan timbul dari penggunaan obat yang akan dirasakan, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang waspada, tinja berubah warna, air kencing berubah warna, dan sebagainya.
e. Hal-hal yang mungkin timbul, misalnya efek samping obat, interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu, dan kontraindikasi obat tertentu dengan diet rendah kalori, kehamilan, dan menyusui.
f. Cara penyimpanan obat, misalnya apakah obat disimpan pada suhu kamar atau dalam lemari pendingin.
2.3 Media Promosi Kesehatan (Pusat Promosi Kesehatan, 2004)
Media atau alat peraga dalam promosi kesehatan dapat diartikan sebagai alat bantu untuk promosi kesehatan yang dapat dilihat, didengar, diraba, dirasa atau dicium, untuk memperlancar komunikasi dan penyebarluasan informasi kesehatan. Biasanya alat peraga digunakan secara kombinasi, misalnya menggunakan papan tulis dengan foto dan sebagainya. Tetapi dalam menggunakan alat peraga, baik secara kombinasi maupun tunggal, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Alat peraga harus mudah dimengerti oleh masyarakat sasaran
b. Ide atau gagasan yang terkandung di dalamnya harus dapat diterima oleh sasaran
Alat peraga yang digunakan secara baik memberikan keuntungan-keuntungan, antara lain :
a. Dapat menghindari salah pengertian/pemahaman atau salah tafsir. Dapat memperjelas apa yang diterangkan dan dapat lebih mudah dimengerti.
b. Apa yang diterangkan akan lebih lama diingat, terutama hal-hal yang mengesankan.
c. Dapat menarik serta memusatkan perhatian.
d. Dapat memberi dorongan yang kuat untuk melakukan apa yang dianjurkan.
Alat-alat peraga dapat dibagi dalam 4 kelompok besar :
a. Benda asli, yaitu benda yang sesungguhnya baik hidup maupun mati. b. Benda tiruan, yaitu benda yang ukurannya lain dari benda
sesungguhnya.
c. Gambar/Media grafis, seperti poster, brosur, leaflet, gambar karikatur, dan lukisan.
d. Gambar alat optik, seperti foto, slide, dan film.
2.3.1 Brosur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, brosur diartikan sebagai (1) bahan informasi tertulis mengenai suatu masalah yang disusun secara bersistem, (2) cetakan yang hanya terdiri atas beberapa halaman dan dilipat tanpa dijilid (3) selebaran cetakan yang berisi keterangan singkat, tetapi lengkap (tentang perusahaan atau organisasi) (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012-2013). Dengan demikian, maka brosur dapat dijadikan sebagai media dalam promosi kesehatan.
Brosur dibagikan secara gratis dengan tujuan untuk memperkenalkan secara lebih terperinci mengenai suatu produk, layanan, program untuk membantu dalam upaya pemasaran atau pemberian informasi kepada masyarakat. Brosur bersifat umum untuk mengintepretasikan produk atau suatu layanan yang ingin disebarkan. Akhir-akhir ini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, brosur juga disajikan dalam bentuk digital yang bisa dibaca oleh siapa saja yang memerlukannya.
Meski begitu banyak batasan mengenai brosur yang berbeda-beda, namun secara umum mempunyai kesamaan dalam hal :
a. Pernyataan pesannya selalu tunggal.
b. Umumnya dicetak pada kedua sisi kertas dan dilipat dengan pola lipatan tertentu hingga membentuk sejumlah panel yang terpisah.
c. Dibuat dengan tujuan untuk menginformasikan, mengedukasi, dan membujuk atau mempengaruhi masyarakat untuk membeli atau mengadopsi pesan yang disampaikan.
d. Diterbitkan hanya sekali, tetapi bisa dicetak ulang berkali-kali baik dengan diperbarui atau tidak.
e. Brosur harus bisa menarik dan merebut perhatian publiknya.
f. Memiliki sistem distribusi sendiri yang bukan merupakan bagian dari media lainnya.
g. Hasil akhir brosur yang sudah di print harus jelas dan desainnya harus menarik.
2.3.2 Leaflet (Pusat Promosi Kesehatan, 2004)
Leaflet adalah selembaran kertas yang berisi tulisan dengan kalimat-kalimat yang singkat, padat, mudah dimengerti dan gambar-gambar yang sederhana. Biasanya hanya terdiri dari satu lembar halaman. Leaflet didesain agar menarik perhatian, dicetak di atas kertas yang baik dalam usaha membangun citra yang baik terhadap isi dalam leaflet tersebut.
Leaflet digunakan untuk memberikan keterangan singkat tentang suatu produk, layanan, fasilitas umum, profil perusahaan, sekolah, atau dimaksudkan sebagai sarana beriklan, misalnya deskripsi pengolahan air di tingkat rumah tangga, deskripsi tentang diare dan pencegahannya, dan lain-lain. Leaflet dapat diberikan atau disebarkan pada saat pertemuan-pertemuan dilakukan seperti pertemuan FGD, pertemuan Posyandu, kunjungan rumah, dan lain-lain. Leaflet dapat dibuat sendiri dengan perbanyakan sederhana seperti difotokopi.
2.4 Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Dosh, 2001).
2.4.1 Hipertensi Primer (essensial)
Persentasi lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial (hipertensi primer) (Chobaniam, et al., 2003). Literatur lain mengatakan, hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi esensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitrit oksida, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
2.4.2 Hipertensi Sekunder
Persentasi kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti penyakit ginjal kronis, penyakit tiroid atau paratiroid. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering (Oparil, et al., 2003). Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini seperti pil KB dengan kadar estrogen tinggi dan NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug). Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
2.4.3 Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18