• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

5.2 Saran

a. Perlu ditambahnya media informasi yang bersifat edukatif seperti poster, brosur, dan majalah kesehatan untuk mendukung swamedikasi oleh masyarakat.

b. Perlu dilakukan desain tambahan pada papan nama apotek agar lebih terlihat dari depan jalan seperti misalnya lampu-lampu kecil berwarna-warni yang dilekatkan di sekeliling neon box.

c. Perlu dilakukan penambahan jenis komoditi lainnya seperti kosmetik, makanan dan minuman sehat yang sedang digemari oleh masyarakat

d. Perlu dibuat area khusus untuk tempat para pasien berkonsultasi dengan APA, mengingat banyaknya permintaan akan konseling mengenai pilihan obat yang tepat untuk mengatasi penyakitnya masing-masing.

DAFTAR ACUAN

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas

dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.1332/MenKes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.922/MenKes/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997Tentang

Psikotropika. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

Tentang Narkotika. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.922/Menkes/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan 919/MENKES/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 917/MENKES/PER/X/1993 Tentang Wajib Daftar Obat Jadi.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 347/MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

26 Tahun 1965 Tentang Apotek.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28/Menkes/PER/I/1978 Tentang Penyimpanan Narkotika.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1976

Tentang Narkotika.

Quick, J. (1997). Managing Drug Supply, The selection, Procurement, Distribution, and

Use of Pharmaceuticals, 2nd ed. Revised and Expanded. Kumarian Press.

Seto, S., Yunita, N., & T, L. (2004). Manajemen Farmasi. Jakarta: Airlangga University Press.

Tan, H.T. dan Raharja, Kirana. (1993). Swamedikasi Edisi Pertama. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Lampiran 1. Denah Bangunan Apotek Keselamatan

Lampiran 3. Surat Pesanan

Lampiran 6. Format Laporan Penggunaan Narkotika

Laporan Narkotika Bulan Mei 2011

Unit Pelayanan : AP KESELAMATAN

Data ini sudah di verifikasi oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek: Azizahwati Tanggal :

Nama Satuan Saldo Awal Pemasukan Penggunaan Saldo Akhir Dari Jumlah Untuk Jumlah

Codein 10 mg Tablet Tablet Codein 15 mg Tablet Tablet Codipront Capsul Kapsul Codipront Syrup Botol Doveri 100 mg Tablet Tablet Doveri 100 mg Tablet Tablet

Lampiran 7. Format Laporan Penggunaan Psikotropika

Laporan Psikotropika Bulan Mei 2011 Unit Pelayanan : AP KESELAMATAN

Data ini sudah di verifikasi oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek: Tanggal :

Nama Satuan Saldo Awal Pemasukan Penggunaan Saldo

Akhir Dari Jumlah Untuk Jumlah

Analsik Tab Tablet Sanbe Far Danalgin Tab Tablet ENSEVAL Frisium 10 mg Tablet

Librax Tablet

Spasmium 5 mg Tab Tablet Stesolid 2 mg Tablet Stesolid 5 mg Tablet Valisanbe 2 mg Tab Tablet Valisanbe 5 mg Tab Tablet Xanax 0,25 mg Tab Tablet Xanax 0,5 mg Tab Tablet

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PARETO (ABC) DAN KOMSUMSI RATA-RATA

TERHADAP PRODUK VITAMIN BERDASARKAN

PENJUALAN DI APOTEK KESELAMATAN

PERIODE JUNI 2010 – MEI 2011

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

WILDYANTI PUSPITASARI KARDIANTO, S. Farm.

(1006835570)

ANGKATAN LXXIII

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN FARMASI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR TABEL ... iv 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Pengadaan dan Pengendalian Persediaan ... 3 2.2 Analisis Pareto (ABC) ... 10 2.3 Vitamin ... 12 3. METODE PENGAMATAN ... 13 3.1 Waktu dan Tempat Pengamatan ... 13 3.2 Metode Pengolahan Data ... 13 4. PEMBAHASAN ... 15 4.1 Hasil ... 15 4.2 Pembahasan ... 15 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20 5.1 Kesimpulan ... 20 5.2 Saran ... 20 DAFTAR REFERENSI ... 21

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Diagram pie analisis pareto (ABC) produk vitamin di Apotek Keselamatan ditinjau dari persentase produk per kelompok periode Juni 2010 – Mei 2011 ... 22 Gambar 4.2 Diagram pie analisis pareto (ABC) produk vitamin di Apotek

Keselamatan ditinjau dari nilai investasi produk per kelompok periode Juni 2010 – Mei 2011 ... 22

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Pengelompokan Produk Vitamin dengan Analisis Pareto (ABC) Berdasarkan Nilai Investasi Periode Juni 2010 - Mei 2011 ... 23 Tabel 4.2 Persentase Nilai Investasi Tiap Item Vitamin di Apotek

Keselamatan Periode Juni 2010 - Mei 2011 ... 23 Tabel 4.3 Data analisis Pareto terhadap Vitamin di Apotek Keselamatan

Periode Juni 2010 - Mei 2011 ... 25 Tabel 4.4 Konsumsi Rata-Rata Per Produk Vitamin di Apotek

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker, seperti pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Dalam hal ini, obat merupakan salah satu elemen penting bagi apotek.

Pengendalian persediaan yang efektif adalah mengoptimalkan dua tujuan yaitu memperkecil total investasi dan menjual berbagai produk yang benar untuk memenuhi permintaan konsumen. Menjual berbagai produk yang benar adalah sama pentingnya, tetapi dengan menekankan pada pengecilan investasi maka analisis keuangan yang diterapkan (Seto, Yunita, & T, 2004). Salah satu komponen penting dalam manajemen pengendalian persediaan adalah pemesanan atau pengadaan barang di apotek. Pemesanan barang tersebut terkait dengan jumlah pendapatan yang dikeluarkan di apotek. Apotek harus mempunyai produk yang dibutuhkan pasien dalam jumlah yang dibutuhkan pasien. Selain itu, pengendalian persediaan memiliki pengaruh yang kuat dan langsung terhadap perolehan kembali atas investasi apotek (Departemen Kesehatan RI, 2002) (Soerjono, 2004).

Salah satu solusi dalam pengendalian persediaan dengan item produk yang banyak dapat dilakukan dengan menggunakan metode Pareto (ABC), yaitu dengan menyesuaikan rencana pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia sehingga skala prioritas obat dan jumlah obat yang akan dibeli dapat dioptimalkan untuk menjamin ketersediaan obat yang bermutu tinggi, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat waktu untuk dapat digunakan secara rasional (Quick, 1997).

1.2 Tujuan

Penyusunan tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Keselamatan ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan perbekalan farmasi khususnya obat over the counter (OTC) yang mengandung vitamin di Apotek Keselamatan dengan menggunakan analisis Pareto (ABC) periode Juni 2010 sampai Mei 2011.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengadaan dan Pengendalian Persediaan 2.1.1 Pengadaan

Manajemen pengadaan diperlukan untuk meningkatkan laba apotek dan memuaskan konsumen dengan memenuhi kebutuhannya. Pengadaan produk harus berdasarkan kebutuhan dan permintaan dari konsumen. Dalam melakukan pengadaan dapat dengan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Pembelian barang dapat dilakukan dengan cara, antara lain (Quick, 1997): a. Pembelian kontan

Dalam pembelian kontan, pihak apotek langsung membayar harga obat yang dibeli dari distributor. Biasanya dilakukan oleh apotek yang baru dibuka karena untuk melakukan pembayaran kredit apotek harus menunjukkan kemampuannya dalam menjual.

b. Pembelian kredit

Pembelian kredit adalah pembelian yang pembayarannya dilakukan pada waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan, misalnya 30 hari setelah obat diterima apotek.

c. Pembelian konsinyasi (kredit atau titipan obat)

Pembelian konsinyasi adalah titipan barang dari pemilik kepada apotek, di mana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila barang tersebut terjual. Jika barang tersebut tidak terjual sampai batas waktu kadaluarsa atau waktu yang telah disepakati, barang tersebut dapat dikembalikan pada pemiliknya.

2.1.2 Pengendalian persediaan

Apotek harus mempunyai produk yang dibutuhkan pasien dalam jumlah yang dibutuhkan pasien. Selain itu, pengendalian persediaan memiliki pengaruh yang kuat dan langsung terhadap perolehan kembali atas investasi apotek (Departemen

Kesehatan RI, 2002) (Soerjono, 2004). Pengendalian yang efektif berakibat pada investasi yang lebih kecil. Untuk suatu laba tertentu, pengendalian stok obat atau dengan menyingkirkan barang atau obat yang tidak mudah djiual dan bila pengurangan ini digunakan untuk menurunkan modal sendiri, maka perolehan kembali atas modal sendiri akan meningkat. Sebaliknya, bila investasi atau penanaman modal atas persediaan obat atau barang dagangan dinaikkan, perolehan atas modal dengan sendirinya akan menurun (Seto, Yunita, &T, 2004).

Pengendalian persediaan berhubungan dengan aktivitas dalam pengaturan barang agar dapat menjamin persediaan obat di apotek. Untuk pengaturan ini perlu ditetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkenaan dengan persediaan, baik mengenai pemesanannya maupun mengisi tingkat persediaan yang optimum. Untuk pemesanan perlu ditentukan bagaimana cara pemesanannya, berapa jumlah yang dipesan agar pemesanan tersebut ekonomis dan kapan pemesanan dilakukan. Untuk penyimpanan perlu ditentukan berapa besarnya persediaan pengaman, persediaan pada waktu pemesanan kembali, dan besarnya persediaan maksimum.

Pengendalian persediaan dapat dilaksanakan secara efektif apabila dipertimbangkan tiga hal berikut, yaitu : (Seto, Yunita, &T, 2004)

a. Berapa banyak suatu item obat atau barang akan dipesan pada suatu waktu b. Kapan dilakukan pesanan ulang terhadap item tersebut

c. Yang mana dari item-item perlu dilakukan pengawasan

Pengendalian persediaan mempunyai beberapa fungsi, beberapa diantaranya yaitu (Quick, 1997):

a. Menghilangkan resiko akibat keterlambatan pengiriman obat atau bahan baku obat yang dibutuhkan untuk memenuhi pelayanan kesehatan

b. Menghilangkan resiko terhadap kemungkinan kenaikan harga atau inflasi c. Memberikan kontribusi optimum kepada apotek dalam rangka memberikan

pelayanan yang terbaik bagi pasien atau konsumen d. Mengurangi biaya pengadaan

e. Menghilangkan resiko kekosongan persediaan ketika terjadi pengembalian barang yang dipesan karena mutu barang yang kurang baik atau jenis produk yang dipesan tidak sesuai.

Untuk melaksanakan pengendalian persediaan yang efektif perlu dilakukan pengontrolan jumlah stok untuk memenuhi kebutuhan dengan cara paling ekonomis. Bila stok terlalu kecil, permintaan kerap kali tidak terpenuhi sehingga pasien atau konsumen kecewa dan tidak puas, sehingga dapat terjadi kehilangan konsumen. Selain itu, diperlukan tambahan biaya untuk mendapatkan bahan obat cepat guna memuaskan pasien atau konsumen. Sedangkan bila stok terlalu besar, menyebabkan biaya penyimpanan, resiko kehilangan, rusak atau kadaluarsa semakin tinggi.

Di dalam mengambil keputusan tentang persediaan baik jumlah maupun waktu pemesanannya harus diperhatikan dan dipertimbangkan biaya-biaya variable sebagai berikut : (Seto, Yunita, &T, 2004)

a. Biaya penyimpanan

Biaya ini berhubungan langsung dengan jumlah persediaan, antara lain biaya fasilitas penyimpanan (penerangan, penyimpanan suhu dingin, dan lain-lain), biaya resiko kerusakan dan kecurian, biaya asuransi persediaan, biaya pajak persediaan, dan biaya pengelolaan atau administrasi penyimpanan

b. Biaya pemesanan

Setiap kali suatu bahan atau obat dipesan akan menanggung biaya pemesanan seperti biaya telepon atau surat menyurat, pemrosesan pesanan dan biaya ekspedisi, upah, biaya pengepakan dan penimbangan, biaya pemeriksaan penerimaan, dan biaya pengiriman ke gudang dan lain-lain. Biaya tidak tergantung pada jumlah per item barang yang dipesan setiap kali pemesanan. Biaya pemesanan dipengaruhi frekuensi pemesanan per periode kegiatan. Semakin sering dilakukan pemesanan, semakin besar pula total biaya pemesanannya. Biaya pemesanan per periode dihitung sebagai perkalian antara jumlah frekuensi pesanan dikalikan dengan biaya setiap kali pesan. c. Biaya kekurangan atau kekosongan bahan

Biaya ini terjadi apabila persediaan tidak mencukupi terhadap permintaan atas bahan tersebut. Biaya ini meliputi kehilangan penjualan, kehilangan pelanggan, biaya karena pemesanan khusus biaya, biaya perjalanan, biaya karena terganggunya operasi, dan biaya kegiatan administrasi dan lain-lain. Parameter-parameter dalam pengendalian persediaan antara lain, sebagai berikut (Quick, 1997):

a. Konsumsi rata-rata

Konsumsi rata-rata sering juga disebut permintaan. Permintaan yang diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan variabel kunci yang menentukan berapa banyak stok barang yang harus dipesan. Walaupun banyaknya permintaan dapat diprediksi, kemungkinan adanya kehabisan atau kekosongan barang dapat terjadi apabila salah memperkirakan waktu tunggu barang tersebut.

b. Waktu tunggu (lead time)

Waktu tunggu (lead time) merupakan waktu yang dibutuhkan mulai dari pemesanan sampai dengan barang yang dipesan datang/diterima. Lead

time ini berbeda-beda untuk setiap pemasok. Lead time seringkali menjadi

parameter yang tidak pasti, karena pada dasarnya faktor keterlambatan adalah sesuatu yang tidak bisa diduga. Namun, kita bisa tetap memperhitungkan lead time dengan rumus:

Keterangan: DDe = waktu tunggu yang sebenarnya.

DDp = waktu tunggu yang dijanjikan supplier. OD = rata-rata keterlambatan.

% OD = % keterlambatan. c. Stok pengaman (safety stock)

Stok pengaman merupakan persediaan yang dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan selama menunggu barang datang, untuk

mengantisipasi keterlambatan barang pesanan atau untuk menghadapi suatu keadaan tertentu yang diakibatkan karena perubahan pada permintaan, misalnya karena adanya permintaan barang yang meningkat secara tiba-tiba (karena adanya wabah penyakit).

Stok Pengaman dapat dihitung dengan rumus :

Keterangan: SS = Stok Pengaman LT = Waktu tunggu CA = Konsumsi rata-rata d. Persediaan maksimum

Persediaan maksimum merupakan jumlah persediaan terbesar yang boleh tersedia. Jika kita telah mencapai nilai persediaan maksimum, kita tidak perlu lagi melakukan pemesanan untuk menghindari terjadinya stok mati yang dapat menyebabkan kerugian.

Keterangan: PP = waktu pemesanan e. Persediaan minimum

Persediaan minimum merupakan jumlah persediaan terendah yang masih tersedia. Apabila penjualan telah mencapai nilai persediaan minimum, pemesanan sebaiknya segera dilakukan agar kontinuitas usaha dapat berlanjut. Jika barang yang tersedia jumlahnya sudah kurang dari jumlah persediaan minimum maka dapat terjadi stok kosong.

Keterangan : Smin = Persediaan minimum Smin = (LT x CA) + SS

Smax = Smin + (PP x CA) SS = LT x CA

Smax = Smin + (PP x CA)

SS = LT x CA

f. Perputaran persediaan Dihitung dengan cara:

Keterangan: So = Persediaan awal P = Jumlah pembelian Sn = Persediaan akhir SR = Rata-rata persediaan

g. Reorder point (ROP /titik pemesanan)

Titik pemesanan merupakan suatu titik di mana harus diadakan pemesanan kembali sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang dipesan adalah tepat waktu, di mana persediaan di atas persediaan pengaman sama dengan nol. Pada keadaan khusus (CITO), dapat dilakukan pemesanan langsung tanpa harus menunggu hari pembelian yang telah ditentukan bersama antara apotek dan pemasok.

Keterangan: ROP = Titik pemesanan SS = Stok Pengaman LT = Waktu tunggu

Berbagai paremeter pengendalian persediaan tersebut di atas saling berkesinambungan satu sama lain untuk dapat menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan. Jika produk berada dalan kuantitas persediaan rata-rata, kebutuhan permintaan produk oleh konsumen akan terpenuhi. Idealnya kuantitas persediaan rata-rata dari suatu produk di apotek perlu mempertimbangkan 2 komponen, yaitu stok kerja dan stok pengaman. Jika

So + P - Sn atau Penjualan

SR rata-rata persediaan

tingkat persediaan sudah semakin menurun dan berada dalam level persediaan minimum, diperlukan pemesanan kembali (reorder point) terhadap produk tersebut. Pemesanan kembali harus memperhitungkan waktu tunggu (lead time) kedatangan obat agar tidak terjadi kekosongan persediaan obat ketika menunggu obat yang dipesan datang. Saat obat yang dipesan datang (Qo), maka tingkat persediaan meningkat kembali pada level persediaan maksimum SS+Qo (stok on hand). Dengan berjalannya waktu, persediaan akan kembali turun dan perlu dilakukan pemesanan kembali, dan begitu seterusnya. Siklus ini akan terus berputar untuk menjamin ketersediaan obat. Model siklus pengendalian persediaan obat yang ideal dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 2.1.

Sumber : Quick, 1997

Gambar 2.1. Grafik yang menunjukkan persediaan obat di apotek

Pengelolaan persediaan di apotek yang memiliki banyak item obat memerlukan teknik pengelolaan yang tidak mudah. Untuk itu perlu dilakukan strategi terhadap item obat yang banyak dengan variasi harga dan tingkat keperluan serta pemakaian dalam pengelolaan persediaan yang efektif dan efisien. Metode pengendalian persediaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya sevagai berikut:

1. Analisis VEN

2. Analisis PARETO (ABC)

3. Analisis kombinasi VEN dan Pareto 2.2 Analisis Pareto (ABC)

Analisa Pareto menggunakan klasifikasi ABC dimana membagi persediaan berdasarkan atas nilai rupiah sehingga pengendalian persediaan barang difokuskan pada item persediaan yang bernilai tinggi daripada yang bernilai rendah. Nilai persediaan yang dimaksud adalah volume persediaan yang dibutuhkan dalam satu periode dikalikan harga per unit (Quick, 1997).

Analisis Pareto dapat diaplikasikan dalam beberapa proses pengelolaan obat di apotek, meliputi (Quick, 1997):

a. Pemilihan Obat

Analisis Pareto membantu dalam mengidentifikasi pemilihan item obat yang perlu disediakan untuk memenuhi kebutuhan apotek. Misalnya, beberapa item obat Kelompok A membutuhkan biaya pengadaan yang cukup tinggi, jika pemilihan obat yang diperlukan tidak tepat, akan mengakibatkan biaya penyimpanan obat menjadi tinggi.

b. Pengadaan Obat

Analisis Pareto pada proses pengadaan sangat berguna dalam menentukan beberapa hal, diantaranya frekuensi pemesanan, seperti menentukan rata-rata pemesanan untuk stok pengaman, jumlah pemesanan, beban pengadaan, dan pencarian PBF untuk item obat kelompok A. Proses pengadaan sebaiknya cenderung untuk memilih PBF yang memberikan harga lebih murah atau potongan harga yang lebih besar, terutama untuk item obat kelompok A, karena dengan mencari sumber yang lebih murah akan mengurangi biaya untuk item obat kelompok A. Selain itu, analisis Pareto juga dapat digunakan untuk memantau status pemesanan, terutama untuk item obat kelompok A karena kekurangan item obat kelompok A yang tidak terduga dapat mengakibatkan pembelian langsung dengan harga yang lebih

tinggi. Di samping itu, juga bermanfaat untuk memantau prioritas pengadaan karena analisis ABC membantu pemantauan pola pengadaan yang disesuaikan dengan prioritas sistem kesehatan.

c. Distribusi dan Pengelolaan Persediaan

Analisis Pareto dapat membantu dalam memantau waktu penyimpanan, menentukan jadwal pengiriman pesanan, jumlah stok, dan penyimpanan.

d. Penggunaan

Dengan menggunakan analisis Pareto dapat diketahui jenis obat apa saja yang sering direkomendasikan oleh dokter atau sering dibutuhkan oleh konsumen.

Kelompok dalam klasifikasi ABC, antara lain (Quick, 1997) a. Kelompok A

Persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelompok ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh produk yang ada. Memiliki dampak biaya yang tinggi.

b. Kelompok B

Persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah. Kelas ini mewakili sekitar 15-20% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 10-20% dari seluruh produk yang ada.

c. Kelompok C

Persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelompok ini

mewakili sekitar 5-10% dari total nilai persediaan, tapi jumlahnya lebih dari 60-80% dari seluruh produk yang ada.

Persentase volume rupiah dan item total kelompok Pareto selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1

Kelompok % dari Volume Rupiah Total % dari Item Total Barang A 75-80 10-20 B 15-20 10-20 C 5-10 60-80 (Sumber : Quick, 1997) 2.3 Vitamin (Murray, 2006)

Vitamin adalah kelompok nutrien organik yang dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk berbagai fungsi biokimia dan umumnya tidak dapat diintesi oleh tubuh sehingga harus dipasok dari makanan.

Vitamin larut lipid adalah senyawa hidrofobik yang dapat diserap secara efisien hanya jika penyerapan emak berlangsung normal. Seperti lipid lain, vitamin ini diangkut darah dalam bentuk lipoprotein atau meleka pada protein pengikat spesifik. Vitamin kelompok ini memiliki beragam fungsi, misalnya vitamin A untuk penglihatan dan diferensiasi sel, vitamin D untuk metabolisme kalsium dan fosfat serta diferensiasi sel,vitamin E untuk antioxidan, dan vitamin K untuk pembekuan darah. Diet yang tidak adekuat dan gangguan pencernaan dan penyerapan vitamin dapat menyebabkan sindrom defisiensi vitamin. Toksisitas dapat terjadi akibat asupan vitamin yang berlebihan

Vitamin larut lemak terdiri dari vitamin B dan C, keduanya terutama berfungsi ebagai kofaktor enzim. Asam fola berfungsi sebagai pembawa unit satu-karbon. Defisiensi salah satu dari vitamin B kompleks jarang dijumpai karena diet yang kurang umumnya berkaitan dengan keadaan defisien multipel.

Untuk setiap zat gizi, terdapat kisaran asupan antara hal yang jelas inadekuat yang menyebabkan keadaan defisiensi klinis, dan hal yang jauh melebihi kapasitas metaolik tubu sehingg timbul gejala-gejala toksisitas. Di antara kedua keadaan ekstrem ini terdapat tingkat asupan yang cukup untuk kesehatan normal dan untuk mempertahankan integritas metabolik. Kebutuhan akan nutrien untuk setiap orang tidak sama meskipun dihitung berdasarkan ukuran tubuh atau pengeluaran energi.

BAB 3

METODE PENGAMATAN

3.1 Waktu dan Tempat Pengamatan

Pengambilan data dilakukan selama satu minggu yaitu 20-25 Juni 2011 di Apotek Keselamatan. Data yang dibutuhkan adalah nama dan jumah produk vitamin yang terjual beserta harga ualny. Data tersebut diperoleh dari buku penjualan apotek periode Juni 2010-Mei 2011.

3.2 Metode Pengolahan Data

Analisis data dilakukan dengan menghitung nilai investasi dari setiap produk vitamin dengan cara sebagai berikut (Quick et al, 1997) :

a. Membuat daftar penjualan dari setiap produk vitamin setiap bulan periode Juni 2010-Mei 2011.

b. Menghitung investasi dari tiap produk vitamin dengan mengalikan harga satuan produk dengn jumlah penjualan produk dan nilai investasi total seluruh produk.

c. Mengurutkan produk berdasarkan nilai investasi tiap produk vitamin dari produk yang memiliki investasi terbesar sampai yang terkecil.

d. Menghitung persentase nilai investasi tiap produk vitamin, yaitu dengan membagi nilai investasi tiap produk dengan nilai investasi total seluruh produk.

e. Menghitung persentase kumulatif dari nilai total investasi untuk setiap produk vitamin.

f. Menentukan batasan kelompok A, B, dan C dari presentase kumulatif tersebut dengan kriteria sebagai berikut:

1) Kelompok A adalah kelompok dari produk-produk yang memiliki nilai

Dokumen terkait