5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Saran
a. Sistem penyediaan obat, terutama dalam menetapkan stok persediaan produk-produk fast moving, dapat diterapkan metode analisis VEN, analisis pareto (ABC) maupun analisis VEN-ABC untuk menghindari kekosongan stok.
b. Brosur informasi obat sebaiknya disimpan dalam kotak obat kosong dan disusun sesuai dengan sistem penyimpanan barang, agar dapat dilihat sewaktu-waktu jika petugas membutuhkan informasi mengenai obat untuk menunjang pertimbangan klinis resep atau diberitahukan pada pasien.
DAFTAR ACUAN
Kementerian Kesehatan RI. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotik. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta. Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta.
Quick, J. (1997). Managing Drug Supply, The selection, Procurement, Distribution, and Use of Pharmaceuticals, 2nd ed Revised and Expanded. Kumarian Pers.
Seto, S., Yunita, N., & T, L. (2004). Manajemen Farmasi. Jakarta : Airlangga University Pers.
Umar, Muhammad. (2011). Manajemen Apotek Praktis cetakan keempat. Jakarta: Wira Putra Kencana.
Widiyanti, Teja. (2005). Penerapan Analisis Pareto dalam Manajemen Persediaan di Suatu Perusahaan Farmasi Industri Sekunder. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Lampiran 1a. Peta lokasi Apotek Atrika
Lampiran 1b. Papan nama Apotek Atrika
Lampiran 2b. Tata Ruang Ruang Depan Apotek Atrika
Lampiran 2d. Denah ruangan Apotek Atrika
KASIR COUNTER OBAT OTC SOLID
COUNTER OBAT
OTC SOLID
MEJA
RAK OBAT OTC LIQUID RAK OBAT OTC
LIQUID DAN TOPIKAL RAK OBAT KONSINYASI
TOILET
RAK OBAT GENERIK
MEJA KERJA MEJA RACIK
MEJA KERJA
LEMARI PSIKOTROPIKA
LEMARI NARKOTIKA (DITANAM ATAS) DAN ALAT GELAS
(BAWAH) MEJA KOMPUTER RAK OBAT KARDIOVASKULAR (BAWAH) DAN PERNAFASAN(ATAS) RAK OBAT PENCERNAAN DAN SIRUP
RAK OBAT KONTRASEPSI, HORMON, ANTIPSIKOSIS, KARDIOVASKULAR, ANTIHISTAMIN, DAN
PENCERNAAN
RAK OBAT
KORTIKOSTEROID DAN FAST MOVING
RAK OBAT ANALGETIK / ANTIPIRETIK (BAWAH) DAN ANTIBIOTIK(ATAS) RAK OBAT ANTIMIKROBA / ANTIVIRUS (BAWAH)
DAN VITAMIN DAN SUPLEMEN(ATAS)
RAK OBAT BAHAN BAKU (BAWAH) DAN OBAT TETES TELINGA, HIDUNG, DAN MATA (ATAS KIRI
-ATAS KANAN) MEJA KARTU STOK
GUDANG DAN PEMBUKUAN TIMBANGAN GRAM HALUS TIMBANGAN GRAM KASAR KARTU STOK
Lampiran 3. Struktur organisasi Apotek Atrika
Lampiran 4a. Isi Buku Pemasukan Barang Apotek Atrika Pemilik Sarana
Apotek Apoteker Pengelola Apotek (APA) / Apoteker Pendamping
Lampiran 4d. Kartu Stok Kecil Apotek Atrika
Lampiran 4f. Kartu Stok Besar dan Kecil Narkotika (kiri); Psikotropika (kanan)
Lampiran 4h. Buku Resep Apotek Atrika (kiri) dan Buku Pengeluaran Obat
Bebas Luar (kanan)
Lampiran 4j. Buku Penggeluaran Obat yang Diantar
Lampiran 5a. Alur penanganan resep
Penerimaan resep
Resep kredit
Skrining resep dan pemberian harga
Pasien mendapat nomor urut resep
Resep tunai
Skrining resep dan pemberian harga
pasien mendapat nomor resep dan membayar di kasir
Bagian Penyiapan Obat
Obat siap kemas
Obat diterima pasien
Resep disimpan oleh apotek Pembuatan salinan resep dan
kuitansi (jika perlu)
Pemeriksaan kesesuaian obat dengan resep
Penyerahan obat disertai pelayanan nformasi obat
Lampiran 5b. Salinan Resep Apotek Atrika
Lampiran 5d. Label HTKP (Harga, Timbang, Kemas dan Penyerahan)
Keterangan: putih untuk resep non-narkotik dan kuning untuk resep narkotika
Lampiran 7b. Surat Pesanan (SP) psikotropika
Lampiran 8b. Isi Buku Stok Harian Narkotika
Lampiran 9a. Surat Pesanan (SP) psikotropika (lanjutan)
Lampiran 9c. Laporan Penggunaan Psikotropika
Lampiran 9c. Laporan Penggunaan Psikotropika (lanjutan)
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI APOTEK ATRIKA
JL. KARTINI RAYA NO. 34A, JAKARTA PUSAT
PERIODE 7 APRIL – 16 MEI 2014
PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN
DI RUMAH SAKIT TIPE A DAN PMI PADA AWAL ERA SJSN
RAFIKA FATHNI, S.Farm. 1306344085
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK JUNI 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... i DAFTAR ISI ... ii 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ... 3 2.2 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ... 6 2.3 Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) ... 9 2.4 Rumah Sakit Kelas A ... 25 2.5 PMI ... 29 2.6 Pelaksanaan SJSN di Rumah Sakit Kelas A ... 31 2.7 Pelaksanaan SJSN di PMI pada Rumah Sakit Kelas A ... 39 3. METODE PENULISAN ... 40 3.1 Waktu dan Tempat Penulisan ... 40 3.2 Teknik Penulisan ... 40 4. PEMBAHASAN ... 41 4.1 Teknis Pelaksanaan SJSN di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ... 41 4.2 Pembahasan... 42 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
5.1 Kesimpulan ... 45 5.2 Saran ... 45 DAFTAR ACUAN ... 46
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, diantaranya telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat. Ini adalah salah satu alasan dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sudah berlangsung sejak tahun 2014 ini. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharakan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
SJSN yang sudah berjalan selama kurang lebih 6 bulan ternyata masih mengalami berbagai permasalahan di sana-sini, terutama dalam hal jaminan kesehatan yang ditangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan gabungan antara PT. ASKES dan PT. JAMSOSTEK. Masalah yang timbul dalam hal jaminan kesehatan paling banyak terkait dengan tarif pengobatan dan premi yang diterima oleh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang bekerja sama dengan SJSN, baik klinik pratama/utama, apotek, dan rumah sakit.
Rumah sakit merupakan fasyankes tingkat lanjutan berupa institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, sehingga sangat berkaitan dengan pelaksanaan SJSN (UU no.44 tahun 2009). Rumah sakit kelas A adalah fasyankes rujukan nasional yang menyediakan berbagai pelayanan spesialis dan subspesialis, serta pelayanan penunjang medis lainnya, salah satunya kerja sama dengan PMI dalam pelayanan bank darah. Rumah sakit kelas A termasuk bagian yang penting dalam pelaksanaan jaminan
kesehatan oleh SJSN, sehingga perlu dikaji sistem pelayanan dan pembiayaannya secara seksama.
Masalah tarif pelayanan dan pengobatan pasien dalam SJSN juga melibatkan rumah sakit kelas A, dimana untuk tarif pelayanan rawat inap dan rawat jalan pasien di rumah sakit kelas A ditetapkan melalui sistem INA-CBG’s (Indonesian Case Based Groups) yang mencantumkan tarif tertinggi bagi setiap pelayanan sesuai dengan diagnosis penyakit yang diderita pasien. Banyak rumah sakit yang mengeluhkan tarif tersebut kurang sesuai dengan biaya operasional rumah sakit tersebut, terutama rumah sakit swasta, sehingga terancam mengalami kerugian.
Masalah lainnya yang menyertai pelaksanaan SJSN dalam hal jaminan kesehatan adalah sulitnya sistem rujukan dari Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) primer seperti Puskesmas dan klinik pratama/utama menuju rumah sakit, karena masyarakat yang berasal dari daerah yang jauh dari pusat kota akan sulit untuk dirujuk ke rumah sakit tipe A yang merupakan rumah sakit rujukan nasional, namun pasien di sekitar pusat kota akan dengan mudah memperoleh rujukan ke rumah sakit tipe B atau A, sehingga mendapatkan tarif plafon pengobatan yang lebih tinggi (Budiarto, 2014).
Berbagai masalah tersebut perlu diselesaikan dan disosialisasikan kepada tenaga kesehatan terkait, sehingga SJSN dapat berjalan dengan baik dan mencakup seluruh rakyat Indonesia seperti yang direncanakan, serta memenuhi hak rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya tanpa menyulitkan pasien. Untuk itu, pada praktik kerja profesi apoteker ini, penulis menyusun tugas khusus mengenai pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit kelas A dan PMI di awal era SJSN.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan tugas khusus PKPA di Apotek Atrika ini adalah: 1. mengetahui pelaksanaan pelayanan kesehatan dan pengobatan di rumah
sakit kelas A dan PMI pada awal era SJSN,
2. mengetahui masalah yang timbul pada pelaksanaan pelayanan kesehatan dan pengobatan di rumah sakit kelas A dan PMI pada awal era SJSN dan solusinya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah mulai dijalankan sejak 1 Januari 2014 lalu memiliki beberapa dasar hukum, antara lain Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, Undang-Undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan Peraturan Presiden nomor 13 tahun 2012 mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Landasan filosofi SJSN antara lain pasal 34 ayat 2 dan pasal 28 H ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan Konvensi ILO (International Labour Organization) tahun 1952.
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip kegotongroyongan, prinsip nirlaba, prinsip manajemen berupa keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas, prinsip portabilitas, dan prinsip dana amanat. SJSN juga mewajibkan kepesertaan seluruh rakyat Indonesia agar cakupannya luas dan dapat menjangkau seluruh masyarakat. Penerapan SJSN disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat, dan dengan adanya prinsip kegotong-royongan, peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, dan yang sehat membantu yang sakit (UU no. 40 tahun 2004).
Jenis program jaminan sosial yang termasuk dalam SJSN antara lain: 1. Jaminan Kesehatan
Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan. Setiap peserta dapat
mengikutsertakan anggota keluarga lain yang menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran.
Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Manfaat jaminan kesehatan diberikan pada fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan Badan Penelenggara Jaminan Sosial. Dalam keadaan darurat, pelayanan dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Jika di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi, atau jika pasien membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar (UU no. 24 tahun 2011).
Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas (UU no. 24 tahun 2011).
2. Jaminan Kecelakaan Kerja
Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan diberikan kepada seseorang yang telah membayar iuran. Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia. Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan.
3. Jaminan Hari Tua
Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya. Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun. Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua.
4. Jaminan Pensiun
Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Jaminan Kematian
Jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Jaminan kematian diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
Program jaminan kesehatan menjadi prioritas untuk dijalankan pada 1 Januari 2014, dan PT. ASKES diamanatkan sebagai BPJS I. Program jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pension direncanakan diselenggarakan pada 1 Januari 2015 dan PT. Jamsostek diamanatkan sebagai BPJS II.
2.2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011. BPJS bertanggung jawab kepada Presiden. BPJS berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota Negara Republik Indonesia. BPJS dapat mempunyai kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota
BPJS terbagi menjadi dua, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, dan jaminan hari tua.
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam UU no. 24 tahun 2011 pasal 9, BPJS bertugas untuk:
- melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
- memungut dan mengumpulkan iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja; - menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
- mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan Peserta;
- mengumpulkan dan mengelola data Peserta program jaminan sosial; - membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan
sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial; dan
- memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada Peserta dan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam UU. No. 24 Tahun 2011 Pasal 10, BPJS berwenang untuk:
- menagih pembayaran iuran;
- menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; - melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
- membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
- membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
- mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;
- melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan
- melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan Sosial
Selain memiliki tugas dan wewenang, BPJS juga memiliki hak dan kewajiban, dimana hak BPJS antara lain:
- memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dari DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) setiap 6 bulan.
Adapun kewajiban BPJS dalam menjalankan tugasnya antara lain: - memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;
- mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta;
- memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
- memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai dengan Undang-Undang tentang SJSN;
- memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;
- memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;
- memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan pengembangannya 1 kali dalam setahun;
- memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pension 1 kali dalam setahun;
- membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum;
- melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
- melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
BPJS mengelola aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial, dimana kedua aset tersebut wajib dipisahkan. BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan Dana Jaminan Sosial pada bank kustodian yang merupakan badan usaha milik negara. Aset BPJS bersumber dari modal awal pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial; hasil pengembangan aset; dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial, dan sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Aset BPJS dapat digunakan untuk biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial, biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan jaminan sosial, biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan, dan investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara internal dan eksternal. Pengawasan internal BPJS dilakukan oleh Dewan Pengawas dan satuan
pengawas internal, sementara pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas independen.
Monitoring dan Evaluasi merupakan bagian dari sistem kendali mutu dan biaya BPJS. Untuk dapat menyeimbangkan aspek mutu pelayanan dan pengendalian biaya, diperlukan:
1. Seleksi terhadap Provider/PPK (primer, sekunder dan tersier) melalui proses kredensial/rekredensial oleh BPJS bersama Asosiasi dan Dinkes.
2. Penetapan SPM/Standar Terapi Obat (Kemenkes dan Institusi/Badan/ Lembaga terkait.
3. Melakukan Utilization Review dengan membentuk Tim Independen yg melibatkan profesi.
Monitoring dan Evaluasi merupakan tanggung jawab Menteri Kesehatan, dlm pelaksanaannya berkoordinasi dengan DJSN. Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal. Pengawasan internal oleh organ BPJS adalah dewan pengawas dan satuan pengawas internal. Pengawasan eksternal terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Lembaga pengawas independen. BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya. Periode laporan dimulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
2.3. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) 2.3.1. Pendahuluan
Fasilitas Kesehatan menurut Undang-Undang no.40 tahun 2004 tentang SJSN pasal 23 antara lain:
1. Rumah sakit; 2. Dokter praktik;
3. Klinik;
4. Laboratorium; 5. Apotek;
6. dan faskes lainnya.
Fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan UU Kesehatan no.36 tahun 2009 adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Menurut UU SJSN no.40 tahun 2004, fasilitas pelayanan kesehatan diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta, yang wajib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.