• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

a. Untuk meningkatkan kenyamanan konsumen saat menunggu proses pelayanan perlu adanya peningkatan fasilitas di ruang tunggu seperti majalah, koran atau televisi. Penambahan musik instrumental atau musik yang easy listening juga dapat dipertimbangkan. Selain itu mainan untuk pasien yang membawa anak kecil ataupun permen juga dapat disediakan.

b. Untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian, Apotek Atrika sebaiknya juga meningkatkan pelayanan konseling pasien, dan mengembangkan lebih lanjut pengobatan sendiri atau swamedikasi.

DAFTAR REFER ENSI

Menteri Kesehatan. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

347/MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Kesehatan. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No.

919/MENKES/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta.

Menteri Kesehatan. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No.

922/MENKES/PER/X/1993Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotik. Jakarta.

Menteri Kesehatan. (1997). Peraturan Menteri Kesehatan No.

28/Menkes/Per/I/1978 Tentang Tata Cara Penyimpanan Narkotika.

Jakarta.

Menteri Kesehatan. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor: 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta.

Menteri Kesehatan. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.

Menteri Kesehatan. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas

Terbatas. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2009a). Undang-Undang Republik Indonesia No.

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2009b). Undang-Undang Republik Indonesia

Quick, J. (1997). Managing Drug Supply, The selection, Procurement,

Distribution, and Use of Pharmaceuticals, 2nd ed Revised and Expanded.

Kumarian Pers.

Seto, S., Yunita, N., & T, L. (2004). Manajemen Farmasi. Jakarta : Airlangga University Pers.

Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2009a). Undang-Undang Republik Indonesia No.

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2009b). Undang-Undang Republik Indonesia

Lampiran 1a. Peta lokasi Apotek Atrika

Lampiran 1b. Lokasi Apotek Atrika di tepi jalan besar

Lampiran 2a. Tata Ruang Apotek Atrika Tampak Luar

Lampiran 2d. Denah ruangan Apotek Atrika

Rak obat generik

Rak obat ethical oral

solid (atas) dan liquid

(bawah

)

Rak obat ethical topikal Rak obat ethical oral solid

Meja

komputer

Meja kerja Meja racik

Lemari narkotika dan psikotropika Meja kartu stok dan buku-buku

Rak obat OTC liquid Rak obat OTC liquid

dan topikal Rak obat konsinyasi

Counter obat OTC solid

Counter obat OTC solid

Kasir

Meja

Rak obat ethical

Lampiran 3a. Lemari Penyimpanan Obat Topikal di Apotek Atrika

Lampiran 3c. Lemari Penyimpanan Obat Oral Cair dan Obat yang Hampir Kadaluwarsa di Apotek Atrika

Lampiran 4. Contoh Buku Administrasi di Apotek Atrika

Lampiran 5. Struktur Organisasi Apotek Atrika

Apoteker Pengelola Apotek (APA) Asisten Apoteker Juru Resep Apoteker Pendamping Kasir Kurir Pemilik Sarana Apotek (PSA)

Lampiran 6. Alur penanganan resep

Penerimaan resep

Resep kredit Resep tunai

Pemeriksaan kelengkapan administrasi Pemberian harga Pasien mendapat nomor urut resep

Pasien mendapat nomor resep dan membayar di kasir

Bagian peracikan

Obat jadi Obat racikan

Pemberian etiket dan salinan resep Pemeriksaan kesesuaian obat Penyerahan obat Obat diterima pasien Resep disimpan oleh apotek

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK ATRIKA

JALAN KARTINI RAYA NO.34 JAKARTA PUSAT

PERIODE 9 JANUARI – 19 FEBUARI 2013

REKAPITULASI DAN ANALISA RESEP ANTIBIOTIK

DALAM TERAPI INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT

(ISPA) DI APOTEK ATRIKA

PERIODE JULI – DESEMBER 2012

EPIN YUNANTA TARIGAN, S. Farm.

1206313021

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR ...iv DAFTAR LAMPIRAN ...v BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang...1 1.2 Tujuan ...2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...3

2.1 Definisi ISPA...3 2.2 Patofisiologi ISPA ...3 2.3 Klasifikasi ISPA ...4 2.4 Gejala K linik ISPA ...5 2.5 Diagnosis ISPA ...6 2.6 Faktor Resiko ISPA ...6 2.7 Penatalaksanaan ISPA ...8

BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN ...9

3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian...9 3.2 Metode Pengumpulan Data ...9 3.3 Metode Pengolahan Data...9

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...10

4.1 Hasil...10 4.2 Pembahasan Analisa Resep dan Konseling ...11

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...15

5.1 Kesimpulan ...15 5.2 Saran ...15

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Frekuensi peresepan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian paling banyak pada anak di negara berkembang. ISPA yang merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat terjadi pada saluran napas atas maupun saluran bawah. Infeksi saluran nafas atasmeliputi otitis media, sinusitis, faringitis, rinitis, laringitis, epiglotitis, dan tonsillitis, sedangkan infeksi saluran nafas bawah meliputi bronkhitis dan bronkhiolitis yang menginfeksi bronkhus, dan pneumonia yang menginfeksi bronkhus dan alveolus. Penyakit ini adalah suatu penyakit yang paling sering diderita oleh anak-anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju. Banyak dari pasien tersebut yang dirawat di rumah sakit bahkan mengalami kematian. (WHO / UNICEF, 2006).

Data statistik Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2004 menunjukkan bahwa ISPA terutama pneumonia menyebabkan kematian sekitar 19% pada balita, pada tahun 2008, kematian balita akibat pneumonia sebanyak1,16 juta jiwa yang disurvey pada 15 negara-negara berkembang dengan persentase kejadian pneumonia terbanyak (WHO / UNICEF, 2009). Pada tahun 2010, penyakit ISPA terutama pneumonia telah membunuh lebih dari 1,2 juta jiwa anak berusia dibawah 5 tahun dan sebanyak 1,3 juta jiwa (atau sekitar 18% dari seluruh kejadian kematian bayi)di tahun 2011. Dalam survei tersebut dinyatakan bahwa sekitar 99% kejadian kematian anak akibat pneumonia terjadi di negara- negara berkembang. (IVAC, 2012).

Prevalensi ISPA di Indonesia memiliki angka kejadian yang tinggi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa prevalensi nasional ISPA yaitu 25,5%, angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi sebanyak 2.2 %, Balita sebanyak 3%, dan angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8% (KemenKes RI, 2011). Pada tahun 2008, angka kematian bayi akibat ISPA sebanyak 32,1% pada tahun 2009, 18,2% pada tahun 2010, dan 20,5% pada tahun 2011 (KemenKes RI, 2012).

Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran ISPA antara lain faktor lingkungan, status gizi yang rendah, dan perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik seperti kebiasaan cuci tangan yang belum terlaksana dengan baik dan membuang sampah sembarangan. Faktor lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban, pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara. (DepKes, 2005).

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yaitu penatalaksanaan tanpa obat dan dengan obat. Istirahat cukup yang ditambah dengan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi adalah tahap pertama yang dapat dilakukan. Apabila dengan langkah ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, maka dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa dekongestan, anti- influenza, dan multivitamin. Pemilihan obat bebas, penggunaan antibiotik, dan terapi yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi penyakit dan kebutuhan pasien (DepKes, 1992).

Dalam kesempatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Atrika, dilakukan pengkajian resep yang mengandung antibiotik yang diterima di Apotek Atrika selama periode Juli sampai Desember 2012. Dari hasil pengkajian resep tersebut, diharapkan dapat diketahui profil peresepan dan penggunaan obat antibiotik pada apotek ini.

1.2 Tujuan

a. Mengetahui antibiotik yang paling banyak diresepkan oleh dokter kepada pasien berdasarkan resep yang diterima Apotek Atrika selama periode Juli hingga Desember 2012.

b. Melakukan analisa resep untuk pengobatan ISPA yang terdapat di Apotek Atrika mengenai kesesuaian obat dan terapi yang diberikan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura.Penyakit saluran pernafasan ini meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, faringitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia (DepKes, 2002).

ISPA merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris

Acute Respiratory Infections (ARI).Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,

saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut (DepKes, 2005) : a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam

tubuhmanusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

b. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli besertaorgan adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2.2 Patofisiologi ISPA

Menurut Kendig dan Chernik (2006), klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan.

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktivitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran napas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.

Adanya infeksi virus menurut Kendig dan Chernick (2006) merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenza dan Staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Terdapat lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia penyebab ISPA. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pnemococcus,

Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain

golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,

Herpesvirus.

2.3 Klasifikasi ISPA

2.3.1 Klasifikasi berdasarkan umur

Menurut DepKes RI (1992) dalam Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasikan ISPA sebagai berikut:

a. Pneumonia berat: batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, kejang,

apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat

pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.

c. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.

Berdasarkan kelompok umur dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.

Kelompok umur di bawah 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu, kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang. b. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali

per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun diklasifikasikan atas :

a. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas.

b. Pneumonia: batuk dan pernafasan cepat tanpa disertai penarikan dinding dada.

c. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, tidak disertaipenarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.

2.4 Gejala Klinik ISPA

Penularan ISPA timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin secara terus- menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di daerah tersebut. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan

sesak atau pernafasan terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah (Danukusumo, H., 2000).

ISPA ringan biasanya dapat dengan mudah diketahui oleh orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat diperlukan pengamatan lebih lanjut. Untuk ISPA ringan biasanya ditandai oleh gejala seperti batuk, suara serak, pilek, dan demam. ISPA sedang ditandai oleh gejala : pernafasan cepat, suhu tubuh lebih dari 390C, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga terasa sakit. Sedangkan pada ISPA berat ditandai oleh gejala : bibir atau kulit membiru, kesadaran menurun, pernafasan cepat (> 60 kali/menit), pernafasan berbunyi seperti mendengkur dan anak gelisah, sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas, dan tenggorokan berwarna kemerahan.

2.5 Diagnosis ISPA

Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, dan diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura. Untuk pemeriksaan penunjang bisa dilakukan pemeriksaan foto toraks (chest X-ray) (World Lung Foundation, 2010).

2.6 Faktor Resiko ISPA

Menurut Depkes RI (2002), faktor resiko terjadinya ISPA secara umum yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

2.6.1 Faktor Lingkungan

a. Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.

b. Ventilasi rumah

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan di dalam rumah sangat diperlukan karena akan mengurangi polusi asap yang ada di dalam rumah sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA.

c. Kepadatan hunian rumah

Anak yang tinggal di rumah yang padat (< 10 m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA hingga 2 kali lebih besar dibandingkan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat.

2.6.2 Faktor Individu a. Umur

Insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi danusia dini pada anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan.

b. Berat badan lahir

Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah akan mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan. Hal ini dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi. c. Status gizi

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.

2.6.3 Faktor Perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Peran aktif keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian serius oleh masyarakat karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga balita dan anggota keluarganya yang sebagian besar

dekat dengan balita dapat lebih mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ketika anaknya sakit.

2.7 Penatalaksanaan ISPA

Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA. Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi (DepKes, 2005) :

a. Pneumonia berat : anak dirawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami sianosis sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang hebat), terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin.

b. Bukan pneumonia : terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, menasihatkan ibu untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu mengganggu saat memberi makan.

Untuk kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun, pengobatannya meliputi :

a. Pneumonia berat: anak dirawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin secara intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari dan berikan terapi suportif seperti pemberian analgesik-antipiretik, antihistamin, kortikosteroid, dekongestan, bronkodilator, atau mukolitik.

b. Pneumonia : anak diberi pengobatan di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain intramuskular per hari, menasihatkan ibu untuk memberikan perawatan di rumah dan pemberian terapi suportif.

c. Bukan pneumonia (batuk atau pilek): anak diberi pengobatan di rumah, terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan memperbaiki gizi dan pemberian imunisasi agar sistem imun anak semakin baik, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan, dan menghindarkan kontak dengan penderita ISPA karena penyakit ini mudah menular.

BAB 3

METODOLOGI PENGKAJIAN

3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 14-18 Januari 2013 yang bertempat di Apotek Atrika, Jalan Kartini Raya No.34, Jakarta Pusat.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data diperoleh dengan mengumpulkan resep bulan Juli hingga Desember 2012, kemudian dilakukan pencatatan terhadap resep-resep untuk pengobatan penyakit ISPA selama periode tersebut.

3.3 Metode Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dicatat kemudian dihitung frekuensi peresepannya. Data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel serta dilakukan analisa data yang disesuaikan dengan literatur.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Penatalaksanaan untuk penyakit ISPA terdiri dari 2 jenis, yaitu secara non- farmakologis dan secara farmakologis. Secara non- farmakologis dapat dilakukan dengan beristirahat, mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi, dan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, Terapi non-farmakologis dapat dilakukan untuk mengurangi gejala penyakit dan menghindari terjadinya keparahan yang lebih lanjut. Namun apabila terapi non- farmakologis tidak cukup kuat menekan gejala, dapat dilakukan terapi secara farmakologis dengan obat secara kombinasi.

Terapi farmakologis untuk ISPA pada dasarnya digunakan untuk mengurangi gejala penyakit yang mirip yaitu bersin, hidung tersumbat, sakit kepala, dan demam. Secara umum, obat seperti dekongestan, antihistamin, analgesik, bronkodilator, dan mukolitik sering digunakan untuk terapi penyakit ISPA. Obat-obat tersebut banyak tersedia dalam bentuk tunggal maupun dalam kombinasi antara golongan obat tersebut. Dokter juga sering meresepkan obat antibiotik untuk penanganan penyakit ISPA yang dikombinasikan dengan obat lain sebagai terapi suportif untuk mendukung keberhasilan terapi antibiotik tersebut.

Berdasarkan hasil pengkajian resep yang mengandung antibiotik untuk pengobatan ISPA di Apotek Atrika periode Juli 2012 hingga Desember2012, diperoleh profil peresepan dan penggunaan antibiotik di apotek ini. Data yang diperoleh menggambarkan persentase peresepan antibiotik oleh dokter untuk penyakit ISPA. Perhitungan resep ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. Selama periode tersebut, didapatkan sebanyak 21 resep untuk pengobatan ISPA yang mengandung antibiotik. Semua antibiotik yang diresepkan untuk penyakit ISPA selalu dikombinasi dengan obat lain sebagai terapi suportif atau penunjang dalam terapi ISPA.

Tabel 4.1 Frekuensi peresepan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada periode Juli hingga Desember 2012.

Nama Obat Zat Aktif Frekuensi Peresepan Persentase

(%) Tunggal Kombinasi Cefadroxil (generik) Cefadroxil 500 mg 0 9 42,85 Zistic® Azithromycin 500 mg 0 1 4,76 Clindamycin (generik) Clindamycin 300 mg 0 1 4,76 Amoxsan® Amoxicillin 250 mg 0 3 14,28 Levofloxacin (generik) Levofloxacin 500 mg 0 2 9,52 Spiradan® Spiramisin 500 mg 0 4 19,04 Biothicol® Thiamphenicol 500 mg 0 1 4,76

Berdasarkan hasil pengkajian resep periode Juli 2012 hingga Desember 2012, antibiotik yang paling banyak diresepkan adalah Cefadroxil (generik) yaitu sebanyak 42,85% dengan jumlah 9 kali diresepkan. Spiradan® merupakan antibiotik kedua terbanyak yang diresepkan dengan total 4 kali diresepkan, Amoxsan® diresepkan sebanyak 3 kali, Levofloxacin (generik) diresepkan sebanyak 2 kali, sedangkan Zistic®, Clindamycin (generik), dan Biothicol® diresepkan sebanyak hanya 1 kali selama periode pengkajian resep, yaitu dari Juli hingga Desember 2012.

Dokumen terkait