5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Saran
1. Perlunya penambahan sumber daya manusia serta pengadaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan efektivitas kerja.
Universitas Indonesia
2. Kegiatan binwasdal yang dilakukan oleh Suku Dinas Kesehatan terhadap sarana pelayanan kesehatan farmasi, makanan dan minuman harus lebih intensif untuk meminimalisasi pelanggaran yang ada.
3. Peningkatan kompetensi petugas Seksi Sumber Daya Kesehatan melalui pelatihan yang sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing bagian. 4. Kegiatan pembinaan perlu dioptimalkan untuk meningkatkan kesadaran
dan pengetahuan tenaga kesehatan maupun pemilik sarana pelayanan kesehatan farmasi, makanan dan minuman.
DAFTAR ACUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2012). Peraturan Kepala BPOM Nomor
HK.03.1.23.04.12.2207 tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2002). Keputusan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta Nomor 58 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2001). Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi DKI Jakarta. Jakarta: Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2009). Peraturan Gubernur No. 150 Tahun 2009
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan. Jakarta: Gubernur
Provinsi DKI Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (1978). Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2002a). Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 1331/Menkes/SK X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 167/KAB/B.VIII/1972 Tentang Pedagang Eceran Obat. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2002b). Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1332 / Menkes / SK / X / 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/ Menkes / PER / X / 1993. tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1184/Menkes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan PKRT. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Universitas Indonesia
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 284/Menkes/Per/III/2007 tentang Apotek Rakyat. Jakarta: Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1191/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 006 tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (1999a). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (1999b). Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Negara Republik Indonesia Jakarta. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2000). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2009a). Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2009b). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Sub Dinas Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. (2002).
Pedoman Pembinaan Pengawasan dan Pengendalian Sarana Farmasi Makanan dan Minuman Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Sub Dinas Pelayanan
Universitas Indonesia
Lampiran 2. Formulir permohonan surat izin praktek apoteker (SIPA) atau surat
izin kerja apoteker (SIKA) Hal : Permohonan Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) Surat Izin Kerja (SIK)*
Kepada Yth.
Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat Di
Jakarta Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama Lengkap : ... Nomor STRA : ... Tempat/ Tanggal Lahir : ... Jenis Kelamin : Laki-Laki / Perempuan (*)
Pendidikan Terakhir : ... Tempat Praktek/ Kerja :...
Rt/Rw ... Kelurahan ... Kecamatan ... Telp ...
Alamat Praktek Lain ** : 1 ... : 2 ... Alamat Rumah : ... No ... Rt/RW... Kelurahan ... Kecamatan ... Telp ... No Sertifikat Kompetensi : ... Tgl Sertifikat Kompetensi : ...
Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatakan Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) / Surat Izin Kerja(SIK) sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktikdan Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasiaan, sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan : a. Foto kopi STRA yang dilegalisir oleh KFN yang masih berlaku.
b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitaspelayanan kefarmasiaan atau dari pimpinan produksi atau distribusi/penyalur.
c. Surat rekomendasi dari Organisasi profesi (IAI = Ikatan Apoteker Indonesia).
d. Pas foto berwarna terbaru ukuran 4 x 6 cm ( 2 lembar) untuk satu tempat praktik dan 3 x 4 cm (1 lembar). e. Surat izin dari pimpinan instansi / sarana pelayanan kesehatan dimana Apoteker dimaksud bekerja(khusus bagi
Apoteker yang berpraktek/ bekerja di sarana pelayanan kesehatan pemerintah atau saranapelayanan kesehatan yang ditunjuk pemerintah).
f. Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku. g. Melampirkan SIPA yang lama bila ingin memperpanjang SIPA.
h. Melampirkan fotokopi izin sarana untuk berpraktek / bekerja di sarana (kecuali RS dan sarana pelayanankesehatan yang ditunjuk pemerintah).
Demikian atas perhatiaan Bapak/ Ibu, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, ……… Pemohon
Materai 6000 ………. Tembusan :
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (**) diisi sesuai permohonan (SIPA/SIK) *** untuk SIPA sebagai Apoteker pendamping
Lampiran 3. Formulir permohonan surat izin kerja tenaga teknis kefarmasian
(SIKTTK)
Hal : Permohonan Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK)
Kepada Yth.
Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat Di
Jakarta Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama Lengkap : ... Nomor STRTTK : ...
Tempat/ Tanggal Lahir : ... Jenis Kelamin : Laki-Laki / Perempuan (*)
Lulusan : SMF /D3 Farmasi / Sarjana Farmasi
Tahun Lulus : ... Alamat Rumah : ... No ... Rt/RW ... Kelurahan ... Kecamatan ...
Nama Sarana Ke 1 : ... Alamat Sarana Kesehatan : ... Nama Sarana Ke 2 : ... Alamat Sarana Kesehatan : ... Nama Sarana Ke 3 : ... Alamat Sarana Kesehatan : ...
Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatakan Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasiaan(SIKTTK) sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasiaan, sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan :
a. Foto kopi STRTTK yang dilegalisir.
b. Surat pernyataan Apoteker atau Pimpinan tempat pemohon melaksanakan pekerjaan kefarmasiaan. c. Surat rekomendasi dari Organisasi yang menghimpun tenaga teknis kefarmasiaan.
d. Pas foto berwarna terbaru ukuran 4 x 6 cm (3 lembar) dan 3 x 4 cm (2 lembar). e. Foto kopi KTP.
Demikian atas perhatiaan Bapak/ Ibu, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, ………..
Pemohon Materai 6000
………. (*) coret yang tidak perlu
(**) diisi salah satu yang sesuai
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Surat izin praktek apoteker (SIPA)
Nomor TU: /1.779.3
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS KESEHATAN
SUKU DINAS KESEHATAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA PUSAT SURAT IZIN PRAKTIK APOTEKER (SIPA)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja tenagaKefarmasian, yang bertanda tangan dibawah ini, Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat memberikan Izin Praktik Apoteker kepada:
XXXX XXXXXXXXXXXXXXX
Tempat/Tanggal Lahir : Alamat :
No.STRA :
STRA berlaku sampai dengan : Untuk berpraktik sebagai: Apoteker Nama dan Alamat Praktik :
Nomor Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA):
19861210/SIPA_31.01/2013/1002 ...
Masa berlaku s.d: Dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan pekerjaan/praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian harus selalu mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sertaketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Surat Izin ini batal demi hukum apabila bertentangan dengan angka 1 diatas dan pekerjaan kefarmasian dilakukan tidak sesuai dengan tercantum dalam surat izin.
Dikeluarkan di : Jakarta Pada tanggal : Oktober 2013 KEPALA SUKU DINAS KESEHATAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA PUSAT
Dr. Netry Listriani, MKM
NIP: 196111961987012001
Tembusan:
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2. Ketua Komite Farmasi Nasional
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta 4. Organisasi Profesi
Foto 4x6 cm
Lampiran 5. Surat izin kerja apoteker (SIKA)
Nomor TU: /1.779.3
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS KESEHATAN
SUKU DINAS KESEHATAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA PUSAT
SURAT IZIN KERJA APOTEKER (SIKA)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja tenaga Kefarmasian, yang bertanda tangan dibawah ini, Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat memberikan Izin Kerja Apoteker kepada:
XXXX XXXXXXXXXXXXXXX
Tempat/Tanggal Lahir : Alamat :
No.STRA : STRA berlaku sampai dengan :
Untuk berpraktik sebagai : Apoteker Nama dan Alamat Praktik :
Nomor Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA):
19861210/SIKA_31.01/2013/1002 ...
Masa berlaku s.d: Dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan pekerjaan/praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian harus selalu mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Surat Izin ini batal demi hukum apabila bertentangan dengan angka 1 diatas dan pekerjaan kefarmasian dilakukan tidak sesuai dengan tercantum dalam surat izin.
Dikeluarkan di : Jakarta Pada tanggal : Oktober 2013 KEPALA SUKU DINAS KESEHATAN
KOTA ADMINISTRASI JAKARTA PUSAT
Dr. Netry Listriani, MKM
NIP: 196111961987012001
Tembusan:
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2. Ketua Komite Farmasi Nasional
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta 4. Organisasi Profesi
Foto 4x6 cm
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 13. Formulir permohonan sertifikat produksi pangan industri rumah
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SERTA SISTEM
PERENCANAAN DAN PENGADAAN OBAT DI PUSKESMAS
KECAMATAN KEMAYORAN
JAKARTA PUSAT
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI SUKU DINAS KESEHATAN KOTA ADMINISTRASI
JAKARTA PUSAT
PERIODE 1 - 18 JULI 2014
MOHAMMAD DENY INDARTO, S.Farm.
1306502642
ANGKATAN LXXIX
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SERTA SISTEM
PERENCANAAN DAN PENGADAAN OBAT DI PUSKESMAS
KECAMATAN KEMAYORAN
JAKARTA PUSAT
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI SUKU DINAS KESEHATAN KOTA ADMINISTRASI
JAKARTA PUSAT
PERIODE 1 - 18 JULI 2014
MOHAMMAD DENY INDARTO, S.Farm.
1306502642
ANGKATAN LXXIX
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
DESEMBER 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iv
1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penulisan ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Penggunaan Obat Rasioanal ... 3 2.2 Indikator Penggunaan Obat Rasional ... 5 2.3 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) ... 8 2.4 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) ... 8 2.5 Diare ... 9 2.6 Myalgia ... 11 2.7 Penggunaan Antibiotik ... 12 2.8 Perencanaan dan Pengadaan Obat di Puskesmas ... 13
3. DESKRIPSI KEGIATAN ... 18 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tugas Khusus ... 18 3.2 Metode Pengumpulan Data ... 18 3.3 Cara Kerja ... 18
4. PEMBAHASAN ... 21 4.1 Penggunaan Obat Rasional (POR) ... 21 4.2 Perencanaan dan Pengadaan Obat ... 24
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 27 5.1 Kesimpulan ... 27 5.2 Saran ... 27
iii
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Monitoring Indikator Peresepan ISPA Non Penumonia Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta
Pusat Bulan Juni Tahun 2014 ... 28
Lampiran 2. Formulir Monitoring Indikator Peresepan Diare Non
Spesifik Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta
Pusat Bulan Juni Tahun 2014 ... 30
Lampiran 3. Formulir Monitoring Indikator Peresepan Myalgia
Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat Bulan
Juni Tahun 2014 ... 32
1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengobatan merupakan salah satu upaya terapi yang dilakukan oleh dokter atau paramedis terhadap pasien. Penggunaan obat untuk tujuan pengobatan harus didasarkan pada prinsip bahwa secara medis akan memberikan manfaat dan aman bagi pasien. Dalam praktek pengobatan sering ditemui kebiasaan-kebiasaan penggunaan obat yang tidak sesuai dengan prinsip diatas, hal ini disebut dengan penggunaan obat tidak rasional.
Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan karena kemungkinan memberikan dampak negatif. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat pada umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Terdapat beberapa kriteria untuk dapat dikatakan suatu pemberian obat sudah rasional atau tidak. Prinsip dari pemberian obat yang rasional adalah terpenuhinya enam tepat, yaitu tepat pasien, indikasi, obat, dosis, waktu pemberian, dan tepat informasi. Secara singkat, pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau
prescribing), dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat
sangat kecil atau tidak ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Vance dan Millington, 1986).
Di sini terkandung aspek manfaat, risiko efek samping dan biaya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam membuat pertimbangan mengenai manfaat, risiko dan biaya ini masing-masing dokter dapat berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau diperkecil kalau komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-elemen pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan (Vance dan Millington, 1986).
Untuk mengurangi praktek penggunaan obat tidak rasional, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui proyek dengan melaksanakan pelatihan penggunaan obat secara rasional untuk dokter dan paramedis serta pelatihan
supervisi terpadu pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional di Puskesmas. Puskesmas merupakan unit organisasi pelayanan kesehatan terdepan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat yang tinggal di suatu wilayah kerja tertentu. Puskesmas sebagai salah satu organisasi fungsional pusat pengembangan masyarakat yang memberikan pelayanan promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Fungsi utama Puskesmas adalah memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, melakukan perencanaan dan pengadaan obat juga merupakan fungsi penting Puskesmas untuk menetapkan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar.
Tugas khusus PKPA ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penggunaan obat rasional (POR) dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional untuk penyakit ISPA non Pneumonia, diare non spesifik, dan myalgia di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat serta sistem perencanaan dan pengadaan obat-obatan.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan pelaksanaan tugas khusus bagi mahasiswa adalah untuk :
a. Mengetahui profil penggunaan obat secara rasional di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat.
b. Mengetahui sistem perencanaan dan pengadaan obat di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat.
3 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggunaan Obat Rasioanal
Menurut WHO penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien diberikan obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya. WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Obat yang diberikan kepada pasien harus sesuai dari segi pemilihan, indikasi, cara pemberian, dosis, lama pemberian, informasi yang diberikan kepada pasien, evaluasi serta biayanya. Tujuan dari penggunaan obat rasional (POR) adalah meminimalisai masalah yang timbul akibat penggunaan obat yang tidak tepat (Kemenkes RI, 2011).
Departemen Kesehatan menjabarkan bahwa secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria (Depkes RI, 2008) :
a. Tepat diagnosis.
b. Sesuai dengan indikasi penyakit. c. Tepat pemilihan obat.
d. Tepat dosis.
e. Tepat cara pemberian.
f. Tepat interval waktu pemberian. g. Tepat lama pemberian.
h. Waspada terhadap efek samping. i. Tepat penilaian kondisi pasien.
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
k. Tepat informasi.
l. Tepat tindak lanjut (follow up). m. Tepat penyerahan obat (dispensing).
n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan.
Dengan demikian penggunaan obat yang rasional haruslah mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Tepat diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
b) Tepat indikasi
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri.
c) Tepat pemilihan obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d) Tepat dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat.
e) Tepat cara pemberian
Obat antasid seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula dengan antibiotika tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorbsi sehingga menurunkan efektifitasnya.
f) Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien.
g) Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. h) Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. i) Penilaian terhadap kondisi pasien
Respons individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan karena resiko terjadinya nefrotoksik pada
5
Universitas Indonesia
j) Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi.
k) Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala takhikardi. Jika hal ini terjadi maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti.
l) Obat yang efektif, aman dan mutu terjamin dan terjangkau
Untuk efektif, aman dan terjangkau digunakan obat-obat dalam daftar obat
esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di
bidang pengobatan dan klinis.
m) Tepat menyerahkan obat (Dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat sebagaimana seharusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat pada pasien.
n) Pasien patuh
Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut : 1. Jenis sediaan obat yang beragam.
2. Jumlah terlalu banyak.
3. Frekuensi pemberian obat perhari terlalu sering.
4. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi.
5. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat.
2.2 Indikator Penggunaan Obat Rasional
Indikator penggunaan obat rasional (POR) secara nasional berdasarkan program kinerja POR Nasional oleh Binfar yaitu berdasarkan rata-rata jumlah obat per pasien, persentase penggunaan antibiotik pada infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) non pneumonia, presentase penggunaan antibiotik pada diare non spesifik dan persentase penggunaan injeksi pada myalgia. Dasar pemilihan ketiga diagnosis tersebut sebagai indikator penilaian kinerja POR di Puskesmas adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2007):
a. Termasuk 10 penyakit terbanyak
b. Diagnosis dapat ditegakkan oleh petugas tanpa melakukan pemeriksaan penunjang
c. Pedoman terapi untuk ketiga diagnosis jelas d. Tidak memerlukan antibiotic/injeksi
e. Selama ini ketiganya dianggap potensial untuk diterapi secara tidak rasional.
Tabel 2.1 Indikator utama penilaian rasionalitas penggunaan obat Indikator Parameter Penilaian
Peresepan Rata-rata jumlah obat yang diresepkan untuk tiap pasien Persentase peresepan obat generik
Persentase peresepan antibiotik Persentase peresepan injeksi
Persentase peresepan obat dari daftar obat esensial yang ada Pelayanan Rata-rata waktu untuk konsultasi
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penyerahan obat Persentase obat yang diserahkan pada pasien
Persentase obat yang pelabelannya mencukupi Pengetahuan pasien tentang pengobatan yang benar Fasilitas Ketersediaan formularium atau daftar obat-obat esensial Ketersediaan obat-obat esensial
Batas toleransi dari indikator peresepan penggunaan obat rasional untuk penggunaan antibiotik pada ISPA non pneuomonia adalah 20%, penggunaan antibiotic pada diare non spesifik adalah 8%, penggunaan injeksi pada myalgia adalah 1% dan batas toleransi rerata jumlah item obat per resep adalah 2,6 item.
7
Universitas Indonesia
Indikator POR berdasarkan WHO lainnya tetap diukur, namun tidak menjadi indikator POR nasional.
Banyak faktor yang mempengaruhi kerasionalan penggunaan obat. Akan tetapi, WHO (1993) menyimpulkan tiga faktor utama adalah pola peresepan, pelayanan yang diberikan bagi pasien, dan tersedianya fasilitas untuk merasionalkan penggunaan obat. Faktor peresepan berpengaruh langsung pada ketepatan pemberian obat yang akan dikonsumsi oleh pasien. Faktor pelayanan pasien berpengaruh pada ketepatan diagnosis dan terapi untuk pasien, serta informasi yang seharusnya diterima oleh pasien agar pasien mengerti akan tujuan terapinya dan paham tentang penggunaan obatnya. Faktor fasilitas yaitu ketersediaan obat esensial dan daftarnya menjadi penunjang bagi tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan penggunaan obat yang rasional. Ketiga faktor tersebut berperan penting pada tercapainya kerasionalan penggunaan obat.
2.3 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional, standar wilayah kerja suatu puskesmas adalah satu kecamatan (target penduduk 30.000 jiwa). Apabila pada satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas (Departemen Kesehatan RI, 2006).
Menurut Kepmenkes No. 128 (2004), puskesmas termasuk fasilitas