BAB V PENUTUP
B. Saran
Diakhiri dengan daftar pustaka, serta lampiran-lampiran yang dapat mendukung laporan penelitian ini.
A. Keteladanan Orangtua
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi perkembangan individu. Sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan keluarga. Dalam hal ini, peranan orang tua menjadi amat sentral
dan sangat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling
meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak
di dalam moral, sosial, dan spiritual. Hal ini karena orangtua adalah contoh
terbaik dalam pandangan anak didik, yang akan mereka tiru bentuk
tindakan-tindakannya, terutama akhlaknya. Disadari ataupun tidak itu akan
tercetak dalam jiwa dan perasaan anak didik1.
Disini, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal
suksesnya anak didik menjadi baik maupun buruk. Jika pendidik jujur, dapat
dipercaya, berakhlak yang mulia dan sanggup melaksanakan perintah Allah
SWT, serta berani dan mampu menjuhkan diri dari perbuatan yang menjadi
larangan Allah SWT, maka punya harapan besar anak didik akan tumbuh
dan berkembang dalam kejujuran terbentuk akhlak mulia, berani mengambil
sikap untuk melaksanakan perintah Allah SWT, berani dan mampu
1 Beni Ahmad Saebani, 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, him. 262
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sebaliknya jika pendidik bohong, khianat, durhaka, dan hina, maka tak heran si anak didik akan tumbuh dalam
kebohongan, durhaka, dan hina. Anak didik, bila dilihat dari satu segi, ia
merupakan buah hati dan bunga dalam keluarga. Dari segi lain ia merupakan
amanat Ilahi yang harus dididik dan dibimbing sesuai dengan kehendak
Allah.
Anak, bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk
kebaikan, dan bagaimanapun sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi
prinsip-prinsip kebaikan terutama pokok-pokok pendidikan, selama mereka
tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dan memilikin moral yang
tinggi. Sangat mudah bagi sosok pendidik mengajar anak didiknya dengan
berbagai metode pendidikan. Namun amat sukar bagi anak didik untuk
melaksanakan selama pendidik diketahuioleh mereka tidak melaksanakan
didikan dan bimbingannya. Malah mereka dibilang oleh anak didik hanya
omong kosong. Akibatnya, lahir krisis moral yang bermula dari krisis
kepercayaan.
Keteladanan ini seharusnya memang dari pendidikan orangtua
dalam lingkungan keluarga. Maksudnya, pihak keluarga tidak boleh cuci
tangan, karena sudah menyerahkan sepenuhnya anaknya ke lembaga
pendidikan2. Perlu disadari, agama atau jalan hidup anak didik tidak bisa
berjalan sendiri, karenanya peran orangtua sangat penting dan ikut
menentukan keberhasilan pendidikan anaknya. Dalam kitab Shahihul
Bukhari dikatakan bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah),
maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak tersebut menjadi
Yahudi, Nasrani, atau Majusi3.
Allah SWT adalah Maha Pendidik dan Dialah peletak pertama
metode samawi yang tiada taranya, bahkan Allah SWT lah Yang Maha
Kuasa menciptakan Nabi dan Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW yang
mampu mendidik sehingga sikap, perilaku, dan keimanan manusia jahiliyah
menjadi manusia yang terhormat. Nabi Muhammad SAW diutus Allah
untuk menyebarkan keteladanan pendidikan samawi kepada seluruh umat
manusia. Hanya dengan 23 tahun, amanat Allah itu sampai dengan
paripurna kepada obyek pendidikan. Rahasianya, dia dalah seorang yang
mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral, maupun intelektual.
Sehingga umat manusia meneladaninya, memenuhi panggilannya,
menggunakan metodenya dalam kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang
terpuji. Karena kenabian Muhammad SAW adalah penugasan (taklif!)
bukan yang dicari-cari (iktisabi).
Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW diutus Allah sebagai
teladan yang baik bagi kaum muslimin dan seluruh manusia disetiap saat
dan tempat dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Firman Allah
dalam QS. Al Ahzab ayat 21 menyatakan :
yXj ^
b 1^ $ b > - b (i c ^ b*^ b iJ© US^T
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik. "*
Namun demikian, ternyata masih ada manusia, apalagi anak didik setelah dewasa tidak mau mengikuti bimbingan dan pendidikan orang tua
maupun pendidiknya, malah memilih jalan lain yang tidak benar. Yang
demikian itu sering teijadi, seperti ada anak didik yang berani menentang
kepada pendidik, berani menentang orang tuanya, berkhianat kepada
agamanya dan lebih celaka lagi murtad. Hal demikian dapat terjadi karena
ada faktor-faktor tertentu antara lain4 5:
1. Anak didik, pendidikan dan pengamalan agamanya kurang.
Yang demikian teijadi karena anak didik tidak banyak mendapatkan
pendidikan dan bimbingan agama di lingkungan rumah tangganya, di
sekolah, dan di lingkungan masyarakatnya.
Keteladanan orang tua di lingkungan rumah tangga dalam mengamalkan
ajaran agama sangat berpengaruh sekali kepada anaknya. Pengarahan
orang tua untuk mengambil keputusan masuk sekolah sangat penting.
Kita akan lebih celaka jika memasukkan anak ke lembaga pendidikan
non muslim, karena secara tidak langsung membentuk pribadi anak
tersebut untuk berbadan Islam tetapi jiwanya sebaliknya. Akibatnya
4 Depag RI, 2005. Al Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, him. 428
perasaan hati anak akan kasar, pandangannya tentang Islam remang- remang, tidak pernah merasakan manisnya iman dan Islam. Itulah
sebabnya anak didik lebih condong memilih jalan hidup yang lain, yang
tidak sesuai dengan ajaran Allah SWT. Agama Islam telah memberi
petunjuk kepada umatnya agar memperhatikan pendidikan Islam kepada
anak-anaknya sejak dini dan menyerahkan tanggung jawab pendidikan
anaknya kepada sekolah yang Islami, bukan yang merugikan Islam.
Disamping itu itu agar orang tua juga menjadi teladan bagi anaknya.
Orang tua menjadi teladan dalam mu'amalah dan 'ubudiyah. Hal ini agar
anak bertambah halus perasaannya, bertambah tajam pandangannya
terhadap kebenaran dan dapat merasakan kenikmatan iman dan Islam.
Maka bersyukurlah anak-anak kita yang terdidik dan prihatin bila anak-
anak kita terlambat dididik.
2. Kurangnya kontrol dan pengawasan orang tua.
Pada umumnya jika orang tua terlalu sibuk mengurus pekerjaannya,
berangkat pagi ketika anak-anak masih tidur dan pulang malam ketika
anak sudah mengantuk atau tidur. Apabila ada masalah anak didik di
sekolah, susah untuk dapat diselesaikan disebabkan undangan pihak
sekolah kepada orang tuanya tidak sempat dihadiri oleh orangtua. Atau
terlalu percaya kepada anak-anak, jika anak pergi kemana saja, orangtua
tidak menaruh curiga sama sekali. Setelah tergelincir dalam kenakalan
yang berat, barulah orangtua sadar untuk memperbaikinya. Penyesalan
V
secara langsung maupun tidak langsung. Jika anak didik menyadari hal demikian, maka ia akan merasa diawasi oleh orang tuanya. Sebaliknya
orang tua tidak akan lupa kepada anaknya dan selalu membimbingnya.
Dalam hal pengawasan ini, Allah berfirman dalam QS. At Tahrim ayat
6
:4u p a j U v f lj ^ L J I U i y j Ijb > > l j Iji oi^<
(^)
0 \ r * } iL* ^^ Ojy»*j V -ti.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari (siksa) api neraka.,l6
Menjaga keluarga ini berarti termasuk anak-anak kita harus dijaga agar
tidak terperosok ke dalam perbuatan yang dilarang agama.
3. Terpengaruh kehidupan matrialistis.
Jika anak kita terbuai dengan dengan konsep hidup duniawi, dan
melupakan hidup ukhrawi, sehingga tidak seimbang antara
perkembangan lahir dan batin. Maka tidak jarang anak menjadi murtad,
hanya karena terpengaruh dengan wanita cantik, jabatan, dan harta.
4. Terpengaruh lingkungan keluarga yang rusak.
Cukup banyak anak-anak yang menyimpang dari jalan yang benar
disebabkan oleh kehidupan dalam rumah tangganya yang tidak
harmonis. Anak yang hidup dalam keluarga yang tidak harmonis akan
berakibat fatal dan kurangnya pendidikan, sehingga mudah teijebak dalam pergaulan bebas.
B. Keberhasilan Pendidikan Agama
Keberhasilan pendidikan agama Islam adalah keberhasilan dalam
bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
terbentuknya kepribadian menurut ukuran-ukuran Islam7. Dari pengertian
ini nampaknya ada dua dimensi yang akan diwujudkannya, yaitu dimensi
transendental dan dimensi duniawi. Dimensi transendental (lebih dari hanya
sekedar ukhrawi) yang berupa ketaqwaan, keimanan dan keikhlasan.
Sedangkan dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarananya,
seperti pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan dan sebagainya. Dengan
demikian, pendidikan agama adalah upaya religiosisasi perilaku dalam
proses bimbingan melalui dimensi transendental dan duniawi menuju
terbentuknya kesalehan (religiositas).
Secara normatif pendidikan agama menciptakan sistem makna untuk
mengarahkan perilaku kesalehan dalam kehidupan manusia. Pendidikan
agama harus mampu memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan
memenuhi tujuan agama yaitu memberikan kontribusi terhadap terwujudnya
kehidupan religiositas8.
Religiositas ialah kemampuan memilih yang baik di dalam situasi
yang serba terbuka. Setiap kali manusia akan melakukan sesuatu, maka ia
Beni Ahmad Saebani, op.cit, him. 63
Ibid, him. 65
akan mengacu pada salah satu nilai yang dipegangi untuk menentukan
pilihan dari berbagai alternatif yang ada. Religiositas juga dimaknai sebagai
upaya transformasi nilai menjadi realitas empiris dalam proses cukup
panjang yang berawal dari tumbuhnya kesadaran iman sampai teijadinya
konversi.
Agama lebih menitikberatkan pada kelembagaan yang mengatur tata
cara penyembahan manusia kepada penciptanya dan mengarah pada aspek
kuantitas, sedangkan religiositas lebih menekankan pada kualitas manusia
beragama. Agama dan religiositas merupakan kesatuan yang saling
mendukung dan melengkapi, karena keduanya merupakan konsekuensi logis
kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu
kutub pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat. Religiositas
merupakan suatu sikap percaya tentang ajaran-ajaran agama tertentu dan
dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Sebagai suatu kritik, religiositas dimaksudkan sebagai pembuka
jalan agar kehidupan orang beragama menjadi semakin inten. Semakin
orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap
kehidupannya sendiri. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak bisa
dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus
terhadap pusat kehidupan, Inilah yang disebut religiositas sebagai inti
kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk
hati dan getaran mumi pribadi. Religiositas sama pentingnya dengan ajaran
religiositas mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi, yaitu antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya di dalam kehidupan
sehari-hari.
Secara operasional religiositas didefinisikan sebagai praktik hidup
berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap
agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya sebagai pandangan
hidup dalam kehidupan. Religiositas dalam bentuknya dapat dinilai dari
bagaimana sikap seseorang dalam melaksanakan perintah agamanya dan
menjauhi larangan agamanya. Dengan pemaknaan tersebut, religiositas bisa
dipahami sebagai potensi diri seseorang yang membuatnya mampu
menghadirkan wajah agama dengan tampilan insan religius yang humanis.
Meminjam konsep Abu Hanifah, religiositas harus merupakan
kesatuan utuh antara iman dengan Islam. Artinya, religiositas jika diamati
dari sisi internal adalah iman dan dari sisi eksternalnya adalah Islam.
Sebagai suatu fenomena sosial, rumusan ini menunjukkan bahwa
pengalaman beragama terdiri atas respons terhadap ajaran dalam bentuk
pikiran, perbuatan serta pengungkapannya dalam kehidupan kelompok9.
Agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan
sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Ada lima dimensi religiositas10, yaitu : Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius
9 Sembodo Ari Widodo, 2006. Pendidikan Islam dan Barat. Bandung: Pustaka Setia, him.
24
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Kedua, dimensi praktik agama yang mencakup perilaku
pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini
terdiri atas dua aspek penting, yaitu aspek ritual dan ketaatan. Ketiga,
dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa
semua agama mengandung pengaharapan-pengharapan tertentu, meski tidak
tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada
suatu waktuakan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai
kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan
super natural.
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-
perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang.
Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan
bahwa orang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal
pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan
tradisi-tradisi. Kelima, dimensi pengamalan. Dimensi ini mengacu pada
identifikasi akibat-akibat atau konsekuensi keyakinan keagamaan, praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari ke hari.
Pendidikan adalah upaya sadar untuk melakukan proses
pembelajaran peserta didik menuju pendewasaan. Pembelajaran adalah
penyampaian pengetahuan atau rangkaian kegiatan untuk memberikan
sebagai produk pembelajaran bila dihubungkan dengan upaya penanaman nilai agama adalah kesalehan yang belakangan lebih popular dengan istilah
religiositas atau keberagamaan. Dengan demikian pembelajaran adalah
proses religiosisasi dalam pendidikan agama.
Prinsip utama yang dimiliki guru dalam pembelajaran religiositas
adalah bahwa proses mengajar tidak terikat oleh ruang dan waktu, dalam
artian mengajar bisa teijadi dimanapun selama siswa memiliki minat yang
tinggi dalam memahami dan mengembangkan materi pelajaran. Tugas
utama guru adalah mengorganaisir suasana dan situasi agar dapat dijadikan
proses belajar.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan keberhasilan pembelajaran
agama. Pertama, Asumsi terhadap siswa. Siswa merupakan input utama
dalam pembelajaran. Siswa merupakan elemen yang memiliki potensi yang
bisa mengarah pada realitas negatif maupun realitas positif. Pembelajaran
mengarahkan siswa kearah terwujudnya atau terbentuknya realitas sikap dan
perilaku siswa yang positif. Dalam konteks ini, maka proses pembelajaran
harus mampu menjawab, memberikan dan menyelesaikan problematika
siswa. Dalam PP Nomor 19 tahun 2005, dinyatakan bahwa dalam
pendidikan harus ada standar proses, yaitu proses pembelajaran yang
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan minat,
tersebut, dalam pembelajaran harus dikemas dengan sedemikian rupa agar siswa dapat berekspresi secara bebas, siswa memiliki rasa senang dan
nyaman dalam belajar, serta memiliki keleluasaan dalam mengembangkan
materi sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga siswa benar-benar
memahamai dan mampu melaksanakan materi yang diterima. Apabila
pembelajaran justru melahirkan situasi dan kondisi dimana siswa tidak
mampu melakukan ekspresi secara bebas, maka religiositas tidak akan dapat
dicapai.
Kedua, asumsi terhadap pembelajaran. Ibarat sebuah pabrik,
pembelajaran adalah proses mencetak sesuatu barang menjadi barang
cetakan. Pembelajaran merupakan proses berinteraksinya seluruh elemen
dalam pembelajaran, seperti, siswa, tujuan, materi, metode, guru, sarana,
lingkungan. Seluruh elemen ini diramu, dikelola guru agar mampu
mewujudkan kualitas siswa sesuai dengan harapan. Pembelajaran berarti
mengoptimalisasikan seluruh eiemeu atau faktor dengan cara yang sesuai
dengan kapasitas siswa. Pembelajaran harus dikemas dalam suasana yang
menyengkan bagi siswa, karena dnegan suasana yang menyenangkan siswa
akan mudah menerima dan mengembangkan materi yang diberikan dari
guru. Banyak anak-anak tidak suka terhadap materi pelajaran tertentu, bukan
disebabkan karena sulitnya materi pelajaran tersebut, tetapi lebih pada faktor
siswa pernah memiliki pengalaman pahit di masa lalu terhadap pelajaran
yang menyenangkan, maka tidak akan dapat melahirkan pembelajaran religiositas.
Ketiga, asumsi terhadap guru. Guru diakui atau tidak memiliki
peluang sangat besar dalam mewujudkan kualitas pembelajaran. Meskipun
demikian, guru tidak bisa bersikap dan berperilaku sembarangan. Guru tidak
diperbolehkan memiliki anggapan bahwa dirinya merupakan satu-satunya
orang yang paling pinter, siswa adalah anak yang tidak mengetahui apa-apa
(bodoh). Apa yang dikatakan guru pasti benar dan tidak boleh dibantah.
Guru ibarat raja kecil didalam kelas yang harus ditiru segala ucapan dan
tindakannya. Jika asumsi demikian yang ada dalam diri guru maka
pembelajaran religiositas tidak pernah ada.
Pembelajaran agama perlu dikonstruk dengan memperhatikan unsur-
unsur yang sangat dominan yaitu : pertama, perumusan mengenai
pentahapan atau klasifikasi pencapaian tujuan pembelajaran yang lazim
disebut taksonomi harus dirumuskan dengan konkret, tidak hanya tetap
berakar pada al Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mewujudkan sosok
kehidupan masa kini yang mampu menunjukkan arah, memberikan motivasi
dan menjadi tolok ukur dalam evaluasi kegiatan.
Kedua, unsur bahan pembelajaran dirancang untuk mencapai tujuan
pendidikan, bersumber pada wahyu dan yang selanjutnya memberikan
penyelesaian praktis permasalahan umat. Cakupan dan arah bahan kemudian
didudukkan sebagai kurikulum sebuah kegiatan belajar mengajar. Struktur
susunannya sudah dikemas dalam sosok muatan nasional dan lokal, pada dasarnya berpeluang untuk menentukan jati diri produk pembelajaran dan
tidak perlu terkungkung oleh jerat formal. Artinya, unsur kurikulum bisa
dibangun dengan membuka pintu baik bidang studi agama maupun non
agama. Ini dilakukan karena masing-masing memiliki kaitan fungsional
dengan ilmu tentang kenyataan praktis sebagai bagian proses mencapai
tujuan. Kemampuan membuka diri masing-masing bidang studi,
menentukan kaitan fungsional antar unsur, dan kemudian membangun
organisasi kurikulum yang kompak dan utuh untuk mencapai tujuan.
Secara lebih operasional, agar pengajaran dan pendidikan agama
perlu sinkronisasi, keijasama dan diinteraksikan dengan pendidikan non
agama, sehingga memudahkan peserta didik mengamalkan agama ke dalam
kehidupan sehari-harinya. Disinilah pendidikan agama tidak boleh
terlampau bersikap menyendiri, tetapi harus saling bekeijasama dengan ilmu
lain. Bentuknya bisa berupa latihan-latihan pengamalan keagamaan,
sehingga pendidikan menjadikan orang beragama secara transformatif.
Artinya pendidikan agama yang bisa mempekokoh kehidupan lewat praktek
A. Gambaran Umum Dusun Doplang I Desa Pakis
Desa Pakis terletak di wilayah Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Adapun batas-batas wilayah Desa Pakis adalah sebelah utara
berbatasan dengan Desa Lebak, sebelah timur berbatasan dengan Desa
Banding, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Banding, dan Sebelah
barat berbatasan dengan Desa Bringin Kabupaten Semarang. Wilayah Desa
Pakis adalah salah satu wilayah yang ada di Kabupaten Semarang dan
sangat terkenal sebagai padi, karena sebagian besar lahannya digunakan
sebagai lahan pertanian untuk menanam padi.
Jumlah penduduk Desa Pakis pada bulan Desember 2009 sebanyak
2.341 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 1.175 orang dan
1.166 orang perempuan, meliputi 986 kepala keluarga. Mata pencaharian
penduduk sebagian besar adalah petani dan buruh pabrik atau pegawai
swasta, sedangkan dari segi religius, seluruh penduduknya yaitu sebanyak
2.341 beragama Islam.
Desa Pakis terdiri dari 6 Rukun Warga (RW) dan 12 Rukun
Tetangga (RT). Adapun struktur organisasi desa berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Desa
B. Keadaan TPA/TPQ di Dusun Doplang I Pakis, Hambatan dan Kebermanfaatannya
Seperti disebutkan diatas salah satu tempat penyelenggaraan
pendidikan agama adalah di mesjid atau yang kini dikenal dengan sebutan
TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), dimana anak akan diajarkan untuk
lebih mendalami ilmu agama khususnya kemampuan dalam membaca serta
memahami isi Al-Qur’an, shalat, menghafal surat-surat pendek serta doa
sehari-hari dan lain sebagainya.
Salah satu tujuan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan agama
seperti TPA/TPQ ini membuktikan betapa pentingnya pendidikan agama,
apalagi ditengah kehidupan masyarakat kita yang semakin modem dan
Selain itu motivasi lain berdirinya lembaga ini adalah dilihat dari tujuan dan fungsi pendidikan agama itu sendiri yaitu lebih berat tanggung jawabnya
bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada umumnya. Sebab fungsi
dan tujuan pendidikan islam adalah untuk memberdayakan atau berusaha
menolong manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kurikulum pendidikan nasional yang hanya mengalokasikan waktu
2 jam pelajaran setiap minggunya untuk pelajaran agama juga menjadi alas
an berdirinya lembaga-lembaga pendidikan agama separti TPA/TPQ. Selain
itu, fakta dalam masyarakat mengidentifikasikan bahwa banyak orang islam
khususnya usia remaja yang belum bisa membaca dan menulis Al-Qur’an.
Hal serupa juga teijadi di Doplang I Desa Pakis, dimana banyak masyarakat
yang tidak bisa membaca Al-Qur’an, padahal seperti diketahui masyarakat
Doplang mayoritas beragama Islam.
Permasalahan besar ini tidak akan terselesaikan hanya dengan
mendirikan lemoaga-lembaga pendidikan islam seperti TPA. Diperlukan
suatu metode yang tepat dalam proses pembelajarannya, terutama dalam hal
pelajaran membaca Al-Qur’an, karena sukses atau gagalnya sebuah
pembelajaran sangat tergantung pada metode yang digunakan. Selain itu