• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

B. Saran

Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubung dengan penulisan skripsi ini adalah

1. Perlu dilakukan revisi terhadap KUHP, mengingat secara historis KUHP merupakan produk kolonial yang sifatnya sudah tertinggal dari perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia, khususnya pada Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan diharapkan akan memberi perubahan bukan hanya dalam hal penegakan hukum, tapi juga sebagai langkah dalam proses kemandirian hukum nasional, dimana hukum yang diterapkan dalam menyelesaikan perkara dipengadilan adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai bangsa Indonesia karena berasal dari nilai-nilai

sosial masyarakat yang diangkat kedalam bentuk suatu peraturan atau kodifikasi hukum.

2. Setelah dibuktikan kesalahan Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan dan dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang ada, diterapkannya penjatuhan Pidana Penjara selama 8 (delapan) tahun masih dirasa kurang untuk memberikan efek jera kepada sipelaku, seperti dalam kasus yang telah dianalisis, bahwa terdakwa melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap korban yang mengalami gangguan mental dan akibat perbuatan pelaku, korban hamil dan mengalami trauma psikis. Mengingat korbannya adalah orang yang tidak berdaya karena mengalami gangguan mental, dan korban diperkosa secara berlanjut hingga korban hamil, seharusnya dakwaan jaksa dan putusan hakim dapat memberikan hukuman yang lebih bagi pelaku, agar menimbulkan efek jera dan memberikan keadilan bagi seluruh pihak, maka hukuman 8 (delapan) tahun penjara yang dijatuhkan oleh hakim dirasa masih belum memenuhi rasa keadilan, karna kurangnya pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim yang tidak melihat pertimbangan-pertimbangan lain dari sisi korban.

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING)

A. Pengaturan Tindak Pidana Pemerkosaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)38

1. Pasal 285 KUHP Pasal ini berbunyi:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Unsur-unsur delik:

a. Subjek (Normadressaat): Barangsiapa (Laki-laki) b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen):

1) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; 2) Memaksa;

3) Seorang perempuan bersetubuh dengan dia; 4) Di luar perkawinan.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Pembuat Undang-Undang menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa laki-laki bersetubuh, bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak

38

mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Bukankah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak karena perbuatan itu.39

2. Pasal 286 KUHP Pasal ini berbunyi:

”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahui perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun” Unsur-unsur delik:

e. Subjek (Normadressaat)

f. Bagian Inti (Delictsbestanddelen):

1) Bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan

2) Diketahui bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Delik dalam pasal 286 KUHP mensyaratkan kesengajaan, karena mengetahui bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya.Akan tetapi (Hoge Raad, 19 Januari 1993, NJ. 1993, 491), menerima kesengajaan bersyarat (sengaja kemungkinan; dolus eventualis) dalam hal ini.40

Tidak berdaya, menurut Clairen yaitu keadaan fisik tidak dapat melawan yang korban tidak sadar untuk melawan itu (Hoge Raad, 28 Februari 1989, NJ 1989, No. 658).Jadi tidak berdaya tidak berarti tidak berdaya secara psikis.41

Menurut R. Soesilo dalam penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membedakan defenisi tidak berdaya dan defenisi pingsan. Menurutnya, tidak berdaya adalah tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat melakukan perlawanan sama sekali, misal mengikat tangan dan kaki

39

R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia) 1994

40

seseorang dengan tali, mengurung dalam kamar, atau member suntikan yang menyebabkan seseorang menjadi lumpuh. Orang yang tidak berdaya masih dalam keadaan sadar dan masih mengetahui apa yang sedang terjadi. Sedangkan pengertian pingsan menurut R. Soesilo adalah tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya dan tidak sadar akan apa yang sedang terjadi, misalnya korban diberi minuman racun yang membuatnya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.

Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan seseorang dapatdikenakan pasal ini jika pingsan atau tidak berdayanya perempuan dikarenakan bukan karena perbuatan si pelaku, jika pingsan atau tidak berdaya nya korban dikarenakan perbuatan si pelaku, maka ia dikenakan Pasal 285 KUHP42

3. Pasal 287 KUHP Pasal ini berbunyi:

(1) ”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan diluar perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawini, diancam pidana penjara paling lama Sembilan tahun”

(2) “Penuntutan hanya berdasarkan pengaduan, kecuali jika perempuannya belum sasmpai dua belas tahun atau jika salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294”

Ini berarti menjadi delik biasa, bukan delik aduan jika anak itu belum berumur dua belas tahun. Juga mengakibatkan luka berat (Pasal 291) atau dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau orang yang belum dewasa yang mempeliharanya, pendidikannya, dan penjagaannya diserahkan kepadanya atau dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa (Pasal 294 ayat (1)). Termasuk juga pegawai negeri kepada bawahannya atau orang penjagaannya dipercayakan kepada atau diserahkan

42

kepadanya; begitu pula pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sosial, rumah sakit, atau rumah sakit jiwa (Pasal 249 ayat (2)).

Unsur-unsurnya:

a. Subjek (Normadressat) : Barangsiapa (Laki-laki)

b. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk dikawini.

4. Pasal 288 KUHP Pasal ini berbunyi:

“(1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang perempuan yang diketahui nya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawini, apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

(2) ”Jika perbuatannya mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.”

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhi pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Inilah pasal yang diterapkan kepada orang-orang yang kawin dengan anak-anak.Karena orang Indonesia sering ada yang kelahirannya tidak tercatat resmi, maka sering tidak diketahui umur anak perempuan secara pasti, sehingga perlu dipakai rumus diketahui (sengaja) atau patut dapat diduga (culpa) mengenai sudah atau belum waktunya perempuan itu dikawini.Bukan umur yang pasti. Menurut Lemaire, pasal ini diciptakan untuk mencegah perkawinan anak-anak menurut hukum adat Indonesia. Pidana bukan karena telah terjadi persetubuhan, tetapi

karena menimbulkan luka-luka.Disini ada gabungan antara Pasal 288 dan delik penganiayaan.43

B. Pengaturan tentang pemerkosaan diluar KUHP

1. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002

Undang-undang perlindungan anak ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila.

Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.44

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak nya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin sejak janin dalam kandungan sampai anak berumur delapan belas tahun.Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluuh dan komprihensif, Undang-undang ini meletakkan kewajiban member perlindungan kepada anak.

43

Andi Hamzah mengutip pendapat W.L.G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht, Voor Ned. Indie vergeleken met hed ned. Wetboek van Strafrecht, 1934, hal. 112

44

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.45

merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Draf pertama Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak ini tersusun pada tahun 1998 dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang menguntungkan serta krisis ekonomi yang begitu mengkhawatirkan.

Pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang dalam Undang-undang No.23 tahun 2002. Pembentukan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional,khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini

46

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

Hal inilah yang menyebabkan draf ini tertunda.Situasi yang tidak kondusif ini mendorong UNICEF untuk memfasilitasi penyusunan Rancangan Undang-Undang ini. Setelah melewati proses yang begitu panjang maka pada tanggal 22 Oktober 2002 RUU tersebut disahkanAsas dan tujuan lahirnya undang-undang ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal3, sementara mengenai hak anak diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 18 dan kewajibannya diatur dalam Pasal 19. Disebutkan dalam Pasal 13 bahwa:

a. Diskriminasi47

45

Pasal (1) angka 2 UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

46

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : KPAI, Halaman 1.

47

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual48 c. Penelantaran49

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan50 e. Ketidakadilan51

f. Perlakuan salah lainnya52

2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

(1) Kewajiban orang tua tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 ini juga diatur kewajiban orang tua, antara lain:53

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

d. Memberikan pendidikan Karakter dan Penanaman Nilai Budi Pekerti pada Anak. (Tambahan dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang perrubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)

(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan

tanggungjawab, kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)

jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental

48

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan

49

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajibab untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya

50

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa:perlakuan yang kejam, mislanya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, mislanya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial

51

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

dijelaskan bahwa: perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak

52

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak

53

Dalam hal orang tua melakukan perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang maka orang tua tersebut dinyatakan telah melakukan tindak pidana,yang disebut juga delik. Menurut wujud dan sifatya, tindak pidana ini adalah pebuatan-perbuatan yang melawan hukum.Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dan bertentangan dengan atau mengahambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap adil.54

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak terekspoitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yag menjadi korban penyalahgunaan markotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang No.23 tahun 2002 telah diubah ke UU No 35 Tahun 2014 tentang perbuahan atas UU No 22 Tahun 2002 sehingga perubahannya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pasal 59

(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak yang lari dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan Seksual k. Anak Korban Jarinag Terorisme l. Anak Penyandang disabilitas

54

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran n. Anak dengan perlakuan sosial yang menyimpang

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi Orang Tuanya

Pasal 64

i. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

ii. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus;

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak

yang berhadapan dengan hukum;

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

iii. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal 66

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 67

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 68

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya

a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 71

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Kehadiran Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan angin segar bagi para aktivis hukum dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Namun, Undang-Undang ini belum dapat berjalan

secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari agar tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Adapun yang menjadi pemikiran sehingga menyebabkan lahirnya Undang- Undang ini adalah:

a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warganya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;

b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangann bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;

d. Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bentuk perlindungan yang telah ada dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam beberapa pasal, misalnya:

Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 diubah menjadi:

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berkonflik dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban kejahatan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

Secara khusus perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j diatas dan Pasal 69 UU No.23 tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Pasal 69A sebagaimana berikut:

“Perlindungan Khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebgaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. Rehabilitasi sosial;

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat

pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam hal ini incestberhak untuk mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau

Dokumen terkait