• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat penulis berikan kepada pembuat film atau calon pembuat film dokumenter setelah menjalankan pembuatan film dokumentar ini adalah:

1. Hal utama yang harus diperhatikan oleh pembuat film atau calon pembuat film dalam pembuatan film dokumenter adalah pemahan terhadap sinematografi, karena pada dasarnya film adalah gambar bergerak.

2. Selain itu sebagai pemegang kendali pembuatan film kita harus pintar dan jeli dalam memasukan unsur-unsur yang berkaitan dengan penelitian. 3. Hal lain yang harus diperhatikan selain pemahaman akan sinematografi

disarankan pula untuk memahami metodelogi penelitian dan juga objek penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Djuniwati. 2011. Metode Penelitian Lapangan Sebagai Dasar Pembuatan Film Dokumenter. Bandung: STSI.

Kimung. 2011. Jurnal Karat: Karinding Attacks Ujungberung Rebels. Bandung: Minor Books.

Koentjaraningrat. 1995. Seni dan Budaya Jawa. Jakarta: Djambatan.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fisika dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni – Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Soeripto, Ragit. 1992 “Kawit”. Buletin Kebudayaan Jawa Barat.

Sumber Lain:

Gardan, Giar. 2012. (Skripsi Jurusan Etnomusikologi). Kelompok Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat. Yogyakarta : Fakultas Seni

Pertunjukan, Institut Seni Indonesia.

Sunda Underground dan Karinding Attack

http://kiwidyawiduri.blogspot.co.id/2013/02/sunda-underground-dan-karinding-attack.html, (diakses pada 4 November 2014; 12.25WIB)

Posisi Akulturasi Budaya Dalam Masyarakat Yang Heterogen – Antara Enriching dan Degreding

http://aranirif.blogspot.co.id/2013/12/posisi-akulturasi-budaya-dalam.html, (diakses pada 4 November 2014; 21.25WIB)

Melemahnya Budaya Tradisional Ditengah Meluasnya Budaya Modern, https://www.kompasiana.com/fajar47/melemahnya-budaya-tradisional-di-tengah-meluasnya-budaya-modern_54f93e60a3331150278b4778, (diakses pada 12 November 2014; 18.30WIB)

Jew’s Harp Know-How Pages & How To Play Jew’s Harps

https://www.danmoi.com/jewsharp-information-how-to-play-jaw-mouth-jew-harp-sound-instructions-manual-origin, (diakses pada 9 November 2014; 20.15 WIB)

Referesnsi Film:

Karat (Karinding Attack). 2014. Kota Sinema.

Bukit Yang Terkelupas. 2013. Lingkar Institute.

Nusakambangan. 2013. Rajasamas.

Kukang. 2014. Muhammad Taufik Films.

Citarum (The Rainbow River). 2013. Greenpeace Indonesia.

Maestro Episode 20, Profile Affandi. 2002. Indra TV News Agency.

Maestro Episode 28, Profile Basoeki Abdullah. 2002. Indra TV News Agency.

LAMPIRAN

Wawancara Asep Nata

Selain melakukan observasi lapangan, penulispun melakukan kegiatan wawancara dalam mengumpulkan data dan informasi dari Asep Nata. Menurut Djuniwati dan Moleong (Metode penelitian lapangan sebagai dasar pembuatan film dokumenter, 2004) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu: pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Wawancara yang dilakukan penulispun dilakukan secara tatatap muka langsung dengan narasumber. Dibawah ini hasil wawancara penulis dengan Asep Nata?

+ Bagaimana keseharian untuk saat ini?

Untuk sekarang ini kegiatan saya lebih banyak di habiskan di rumah, karena banyak waktu kosong jadi saya gunakan untuk membaca buku dan mengasuh anak. Karena untuk tahun ini saya mengajar seminggu sekali di jurusan seni musik UNPAS. Kegiatan lain yang saya lakukan yaitu mengasuh sanggar, tetapi bukan sanggar saya melainkan sanggar orang lain.

+ Awal mula mengajar?

Saya mulai mengajar saat saya kuliah di jurusan etnomusikologi di Universitas Sumatra Utara (USU). Pada waktu itu saya diberikan tanggung jawab untuk menjadi

asisten dosen mata kuliah Bengkel Instrument (bengkel instrumen itu sejenis bengkel dimana aktifitasnya adalah membuat berbagai alat musik), dan mata kuliah Organologi (mata kuliah yang membicarakan tentang disiplin ilmu tentang alat-alat musik). Setelah saya lulus kuliah, saya pindah ke Bandung dan mengajar di IKIP Bandung (sekarang menjadi UPI Bandung), namun hanya beberapa semester.

Kemudian saya pindah ke Surakarta dan mengajar di program studi Etnomosikologi STSI Surakarta (sekarang menjadi ISI Surakarta). Setelah itu saya kembali ke Bandung dan mengajar di jurusan Karawitan STSI Bandung. Lalu dari tahun 2010 saya mengajar di Jurusan Seni Musik UNPAS.

+ Sudah berapa lama mengenal dan tertarik dengan musik?

Kalau mengenal musik mungkin sejak saya lahir. Tetapi bila tertarik dengan musik sejak kelas 3 SMA. Saya sendiri mempunyai bigground pernah mengikuti kursus gitar klasik bersama seorang teman. Dengan berbekal bisa membaca not balok digitar, saya memberanikan diri untuk mengituti tes masuk dijurusan Etnomusikologi di USU. Karena pada dasarnya dijurusan Etnomusikologi harus bisa membaca not balok. Dikarenakan dalam jurusan ini lebih ditekankan pada riset tentang musik, antropologi budaya pada suku-suku yang kita teliti, dan menganalisis rekaman audio musik (oleh karena itu kita harus pandai membaca dan menulis not balok).

+ Jadi pada awalnya tertarik pada alat musik gitar?

Ya, bisa dikatakan seperti itu. Pada dasarnya semasa SMA saya kursus gitar klasik hanya untuk mengisi waktu saja.

+ Seberapa besar pengaruh musik dalam kehidupan?

Pada akhirnya musik bagi saya adalah identitas. Pengaruh ataupun tidak bagi saya sebagai professional dan sarjana Etnomusikologi, musik menjadi bagian dari area atau objek penelitian. Jadi bagi saya musik telah menjadi bagian dalam hidup saya, walaupun saya bukan khusus sebagai praktisi atau seniman musik.

+ Bagaimana karinding menurut bapak?

Karinding menurut saya adalah alat musik. Seperti pada umumnya perkusi, dimana mana karinding (sejenis karinding atau varian karinding (jaw’s harp)) sampai saat ini selalu begitu, kecuali pada tahun 2013 lalu ada inovasi baru dari temen-teman di Banjarmasin, bahwa karinding atau sejenis karinding yang disebut kurinding itu dimainkan dengan cara dicubit atau dipetik dengan resonator tersendiri. Jadi itu merupakan perkembangan di Indonesia yang paling mutahir untuk saat ini.

+ Seperti kecapi?

Dipetik itu tidak harus stringkan! Ya tetap dibilahan, tetapi dipetik cara memainkannya bukan dipukul ataupun ditarik, tetapi dipetik atau dicubit.

+ Sejak kapan mengenal alat musik karinding?

Sejak kuliah saya sudah mengenal instrument karinding barat yang terbuat dari logam. Kemudian saya juga pernah keliling ke beberapa tempat di Indonesia dan menumukan barang-barang bukti, seperti di Sumatra Utara pada tahun 1990 saya menemukan seorang kakek (yang sudah tidak memiliki gigi) memainkan jaw’s harp

barat, tetapi tidak berbunyi dengan maksimal, ini dikarenakan kakek tersebut tidak memiliki gigi.

Kemudian pada tahun 1995 sewaktu saya berjalan-jalan dan bekerja, dipedalaman Kalimantan saya bertemu seorang nenek yang memainkan karinding lokal disana, yang dimainkan dengan cara dipetik. Kemudian di Kalimantan Timur saya bertemu dengan beberapa orang Ibu-ibu yang sedang memainkan karinding (juga yang dipetik).

Pada Tahun 2000-an saya menemani teman-teman dari UPI untuk reset ke Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Penelitian tentang genggong dan slowbear (alat musik asli suku Sasak di Lombok Timur). Slowbear ini dimainkan dengancara dipetik, serupa dengan karinding towel. Hanya lebih canggih dari segi desain dan strukturnya mempunyai ekor seperti jarum. Sedangkan karinding yang saya ekstrak dari khasanah karinding towel Nusantara tidak menggunakan jarum (karena saya tidak mampu membuat itu, selain itu karena saya hanya mengejar bunyinya saja dan untuk menjawab rasa penasara saya dalam menjawab formula untuk menyetem alat tersebut).

+ Berarti terinspirasi pada saat kebeberapa tempat di Indonesia pada saat itu?

Tidak, pada saat itu saya tidak terinspirasi untuk membuat.

+ Lalu terinspirasi darimana?

Pada saat tahun 2001 saya memainkan karinding barat bersama I Wayan Sandre (seorang maestro dari Surakarta, yang sekarang sudah almarhum). Karinding yang saya mainkan dengan yang beliau mainkan berbeda ukuran, karinding yang saya mainkan berukuran sedang dan yang beliau mainkan berukuran besar (bass). Karena kemampuan

saya (yang sebenarnya bukan seniman dan pemusik sejati) dibandingkan dengan beliau, membuat saya di kejar-kejar dengan emosi saat memainkan karinding. Sehingga saya kehilangan kontrol, yang akhirnya mengakibat-kan gigi saya terbentur oleh karinding yang saya mainkan. Sejak saat itu saya menjadi jera memainkan karinding barat (karinding yang terbuat dari logam).

Sempat beberapa waktu saya tidak mau memainkan karinding, walaupun saya suka dengan timbre-nya dan warna bunyinya. Akan tetapi lama kelamaan saya rindu, tetapi tidak mau memainkan itu lagi (karinding logam). Sampai pada akhirnya saya feedback evaluasi diri, membongkar catatan-catatan lapangaan, dan dokumen-dokumen rekaman, sampai pada akhirnya saya berfikir kembali untuk merekontruksi instrument tersebut yang berbahan natural. Karena saya punya keyakinan nenek moyang kita mewariskan alat-alat yang berbahan natural karena aman untuk semua orang, dari anak-anak sampai kakek-nenek yang sudah tidak mempunyai gigi aman saat memainkannya. Jadi pada prinsipnya semua umur bisa memainkannya, kecuali balita. Dari situlah saya mulai merekontruksi karinding tradisional, berawal dari merekontruksi karinding buhun Sunda tetapi selalu gagal (nadanya selalu rendah, sedangkan tujuan saya adalah mencari formula membuat tuning). Karena bigground saya bukanlah pengrajin jadi saya selalu kejeblos nadanya. Lama kelamaan saya berfikir untuk menyunat ekornya (jarum dari karinding buhun Sunda) agar lebih praktis dalam mencari perbedaan nada-nada.

Kemudian saya mendapatkan kesimpulan apa yang sesungguhnya membuat alat ini (karinding) bisa distem nada rendah maupun nada tinggi dan inisaya buktikan dengan membuat susunan satu oktaf (13 urutan nada seperti pada gitar dan piano), sehingga saya mendapatkan karinding towel yang seperti saat ini. Dari situlah saya optimis bahwa formula ini bisa diterapkan pada semua jenis karinding yang ada di Nusantara.

+ Dengan hadirnya karinding towel bagaimana pengaruhnya terhadap karinding yang sudah ada sebelumnya? Seberapa besar?

Dahulu pada saat saya mulai berproses dalam membuat karinding sendiri, karinding towel tidak ada pengaruhnya terhadap karinding Sunda (buhun). Karena kawan-kawan musisi karinding itu hanya berfikir soal pentingnya hukum ruangan, jika kita berbicara nada sebenernya berbicara soal ruangan. Jadi dengan asumsi waktu itu karinding banyak yang mengklaim bahwa karinding buhun (Sunda) tidak bernada. Tetapi saya menolak itu, karena jika tidak bernada kenapa bunyinya bisa sampai ketelinga, karena jika tidak bernada seharusnya tidak berbunyi. Jadi saya menolak asumsi tersebut, oleh karena itu saya selalu menunjukan aktifitas saya dalam membuat karinding ditempat-tempat yang mudah terlihat orang (bukan didalam ruangan) tidak eklusif pendekatannya, itu saya lakukan dalam beberapa semester ditempat saya mengajar pada waktu itu. Dari saat itu banyak yang melamar untuk berguru (membuat karinding towel), yang akhirnya saya terima dan belajar bersama-sama.

+ Seberapa besar pengaruh karinding dalam kehidupan Bapak?

Besar dan tidak besar, itu dikarenakan saya sudah mempunyai formula (karinding towel yang bertangga nada) dan saya harus mem-pertahankannya, yang akhirnya menjadi identitas saya.

+ Bagaimana cara bapak memperkenalkan karinding

Karinding towel ini saya sharing dengan masyarakat dimanapun selain itu juga saya memanfaatkan teknologi internet (youtube, facebook, dan lain-lain). Tujuan saya adalah menawarkan satu tradisi baru atau membuat budaya baru, oleh karena itu saya

harus mempertahankannya sampai saya meninggal. Jadi sebelum saya meninggal saya harus mempertahankan itu agar menjadi sebuah tradisi, jadi sesederhana apapun karya saya akan saya pertahankan, sehingga pada akhirnya orang akan tahu bahwa pesannya adalah karinding, sejenis karinding atau semua alat musik harus bisa distamp (harus bisa membuat tangga nada, bisa diturunkan atau dinaikan nadanya). Kerena itu semua adalah tujuan saya dan mudah-mudahan bisa mempengaruhi atau bisa diserap metode dan keyakinan saya terhadap chuning bisa diaplikasikan terhadap alat-alat musik yang lain (alat-alat musik yang diasumsikan oleh kebanyakan orang bahwa alat itu kalau alat tersebut adalah mainan). Itu dikarenakan jika memang disebut alat musik sedah pasti harus ada kuncinya untuk menyetem, sehingga disini yang saya tawarkan adalah optimis.

+ Apa harapan Bapak untuk karinding?

Harapan saya tidak terlalu muluk-muluk. Karinding sudah bertahan didunia ini selama ribuan tahun dari zaman batu hingga zaman digital sekarang ini, apa lagi yang kita harapkan kalau benda budaya seperti itu (yang sudah mampu bertahan ribuan tahun) maka saya yakinitu akan terus bertahan sampai kapanpun, karena berarti alat yang sesederhana itu mempunyai daya tahan hidup dilintas zaman. Walaupun memang di suku tertentu tidak populer lagi, Walaupun tidak populer lagi, sekarang ini mulai tumbuh rasa optimis dari Jawa Barat (Bandung pada khususnya) dikarenakan karinding begitu massif perkembangannya. Di Kalimantan Selatan sekarang ini perkembangannya hampir serupa dengan yang terjadi di Jawa Barat (ada kecenderungan untuk bangkit lagi). Saya berharap itu menular ke propinsi-propinsi yang lain, sehingga akhirnya karinding (varian karinding atau keluarga karinding) bisa menjadi alternatif musik baru untuk generasi muda sesudah kita.

+ Menurut Bapak seperti apa filosofi karinding?

Menurut saya karinding adalah alat komunikasi, yang secara bentuk menekankan pada kesimbangan, contohnya pada bagian karinding kiri dan kanan itu harus seimbang, tebal pada setiap bagian harus seimbang karena jika tidak seimbang maka bunyinya tidak nyaring. Lalu saya mempunyai model karinding towel yang pada dasarnya karinding saya ini hasta (tangan), jadi harus ada dua bagian yang nanti kebandul dan dua bagian lagi yang lebih panjang dari bandul, serta ada bagian yang lebih panjang sebagai lidahnya. Kaitannya dengan komunikasi, karena pada saat kita berkomunikasi selalu berkaitan dengan lidah, jadi disaumsikan mulut diibaratkan pesan, oleh karena itu karinding ini diuji terlebih dahulu bunyinya, agar nadanya sesuai dengan keinginan dan tidak salah nada.

+ Menurut yang penulis baca pada awalnya karinding itu digunakan untuk mengusir hama, bagaimana pendapat bapak?

Itu karinding Sunda, katanya seperti itu akan tetapi saya tidak percaya.

+ Jadi menurut Bapak karinding itu untuk apa?

Kalau menurut saya karinding bisa mengusir hama itu faktornya bukan karena karindingnya, mungkin karena orang memainkan karinding mengikuti sistem atau cara atau tata cara dari pertanian, bukan karena bunyinya. Hama itu sendiri seperti apa? Sejenis serangga atau apa?. Saya pernah bereksperimen dengan hama tikus, dimana saya mencoba berkomunikasi dengan tikus lewat bunyi karinding towel. Saya menemukan nada tertentu bisa membuat tikus tenang, tikus bergerak kesegala arah dan tikus berpindah tempat.

+ Bagaimana cara mebuat Karinding Towel?

Relatif, gampang tidaknya membuat Karinding Towel tergantung kebiasaan dan keterampilan, tetapi metode saya sedikit berbeda dengan karinding tradisional. Jika karinding tradisional menggunakan bambu yang kering dikebun, sedangkan bambu yang saya gunakan tidak. Bambu yang masih mudapun bisa saya olah, yaitu mencuci, membelah dan me-ngeringkannya dngan menggunakan oven kue (seperti membuat kue) ini dimaksudkan agar lebih cepat kering (kandungan airnya cepat habis). Baru setelah itu saya simpan dua minggu didalam platik kemudian diangin-anginkan selama beberapa minggu baru saya simpan sebagai stok (cara agar supaya kualitas bambunya tetap bagus dan cara memperlakukan bahan baku karinding towel).

Sesudah itu semua bambu saya tipiskan menjadi kurang lebih tebalnya 3mm, panjangnya kuarang lebih satu jengkal (karena pada prinsipnya pola karinding towel itu ada ditangan, jadi seukuran dengan tangan si pembuat), dan kemudian mulai membuat pola. Setelah semua itu yang pertama kita lakukan membuat lekukan, membuat celah, merapihkan serta membentuk, menghaluskan mengunakan ampelas dan kemudian menyetem (cuning sebagai finising).

Agar karinding towel tidak menyerap oksigen atau udara yang dapat menyebabkan lembab pada bambu, yaitu dengan meberi cover dengan sejenis clear (yang biasanya mengunakan larutan melamit, seperti yang digunakan untuk meng-cover gitar). Ini dimaksudkan untuk mem-pertahankan bagian daging bambu agar tidak mudah menyerap air.

+ Akan dibawa kemana atau akan ditawarkan kemana karinding towel ini? Sejak awal karinding towel yang saya tawarkan ada beberapa hal:

• Karinding towel inovasi saya ini didedikasikan untuk memvitalkan aspek keberadaan karinding tradisional, jadi ini hanya media untuk membangkitkan dan menjadi vital kembali karinding yang sudah ada sebelumnya (warisan dari nenek moyang kita).

• Karinding towel ini bisa menjadi sarana edukasi, dimana anak-anak bisa membuat serta memainkan karinding towel ini.

• Karinding towel ini bisa menjadi alat atau teman dikala sepi.

• Bisa menjadi sarana meditasi ketika kita emosi, dimana cara meredam atau melatih kesabaran itu dengan membuat karinding towel.

• Bisa menjadi sarana atau alat untuk kegiatan sains, kegiatan ilmiah seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok sains dari SD Santa Angela beberapa tahun yang lalu (meneliti pengaruh suara karinding terhadap tikus).

Riwayat Hidup

A. Data Pribadi

Nama lengkap : Asep Nata Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat / tanggal lahir : Sumedang, 24 Juni 1964

Agama : Islam

Alamat : Jl. M. Toha, Gang H. Hanafiah 9c/203, Ciseureuh, Bandung 40255

Email : asepnata@yahoo.com

B.I. Pendidikan

1. Sekolah Dasar : SDN Lenkong Besar 105/IV Bandung. Tahun ijazah 1976.

2. SLTP : SMP Pasundan I Bandung. Tahun ijazah 1980.

3. SLTA : SMA Pasundan I Bandung. Tahun ijazah 1983.

4. Universitas : Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Tahun ijazah 1994 (Judul skripsi: Gendang Bingé: Musik dalam Ritual Ercibal Manuk Si Telu).

B.II. Pendidikan Khusus

1. Lokakarya Pembuatan Video Etnografi. Jurusan Etnomusikologi, Fak Sastra, USU, bekerjasama dengan Institut Indonesia Australia dan Kedutaan Besar Australia. Instruktur: Dr. Linda Connor (Australia) dan Patsy Asch (USA). 2. Tahun 1991, Pelatihan Program Siaran Radio Musik Etnik. (Tingkat dasar

dan tingkat lanjutan). Instruktur: Errol Jonathans (Radio Suara Surabaya FM) dan Jerome Samuel (Radio France Internationale, Perancis).

3. Tahun 1996 – 1997, Pelatihan Rekaman Lapangan (pendekatan etnomusikologis untuk keperluan siaran radio). Instruktur: Philip Yampolsky. Tahun 1996 – 1997.

B.III. Keterampilan Khusus Lain

1. Videografer pendekatan etnografis dan etnomusikologis.

2. Juru rekam audio lapangan pendekatan musikologis dan etnomusikologis.

3. Juru protret lapangan pendekatan etnografis dan etnomusikologis, dan proses cuci-cetak foto hitam-putih.

4. Menguasai beberapa aplikasi program pengolah kata, database, penerbitan, video, dan audio (Ms Word, Ms Access, Aldus Page Maker, Pinnacle, dan Cool Edit Pro).

C. Pengalaman

1. Tahun 1986/1987. Magang di besalén (bengkel) pembuatan gamelan perunggu di Desa Wirun (Bekonang), Kec. Mojolaban, Kab. Sukoharjo, Jawa Tengah. (Laporannya berupa makalah berjudul “Aspek Ritual dalam Pembuatan Gamelan”, dipresentasikan dalam forum Temu Wicara Etnomusikologi III, Februari 1987 di Universitas Sumatra Utara Medan, yang kemudian diterbitkan dalam Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia, edisi pertama tahun1991).

2. Kemudian dilanjutkan di tahun 1989/1990 dengan mewujudkan eksperimentasi pembuatan gamelan cemengan (hitam) untuk Universitas Sumatra Utara Medan, yang diberi nama Kyai Mangungun (berlaras sléndro) dan Kyai Gudo Sih (berlaras pélog).

3. Tahun 1988 – 1992. Kolektor rekaman lapangan (video dan audio) dan penyusun arsif rekaman pada lembaga kearsipan di Jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatra Utara.

4. Tahun 1989 – 1994. Asisten pengajar beberapa mata kuliah, yaitu: Metode dan Teknik Penelitian di Lapangan, Organonolgi dan Akustika, dan Bengkel Instrumen di Jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatra Utara.

5. Tahun 1992 – 1993. Pemimpin Umum dan Redaksi HOHO: Media Komunikasi Budaya, buletin mahasiswa Jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatra Utara.

6. Tahun 1991, 1995, dan 1996. Berpartisipasi sebagai peneliti, asisten engineer, dan fotografer dalam proyek Seri Musik Indonesia untuk wilayah lapangan di beberapa daerah dan provinsi seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Pulau Biak, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulaun Riau, dan Jawa Tengah. Pemimpin proyek: Philip Yampolsky. Proyek kerja sama The Smithsonian Institution (Washington D.C.) dengan Yayasan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), dan disponsori oleh The Ford Foundation.

7. Tahun 1997 – 2001. Tim penyusun data dan kompilasi rekaman audio sebagai bahan siaran di radio-radio anggota jejaring Program Siaran Musik Etnik. Koordinator: Sapto Raharjo (Radio Geronimo FM, Yogyakarta). 8. Tahun 1997. Tim pengajar mata kuliah Organologi dan Akustika,

Universita Pendidikan Indonesia Bandung.

9. Tahun 1997 – 1998. Tim konsultan (bersama Dieter Mack dan Endo Suanda) dalam Proyek Pengembangan Paket Pengajaran pada Tari dan Musik Tradisional Indonesia untuk Pendidikan Seni di Sekolah Umum Indonesia. Proyek kerjasama Universita Pendidikan Indonesia Bandung dengan DAAD (Jerman Barat) dan The Ford Foundation.

10. Tahun 1998. Konsultan dalam pembuatan gamelan cemengan (hitam) untuk Universita Pendidikan Indonesia Bandung, dan gamelannya diberi nama Sekar Ageng Fatahillah.

11. Tahun 1998 – 2007. Tim instruktur dan fasilitator dalam kerja jejaring radio musik etnik bidang pelatihan Program Siaran Musik Etnik, dan Pelatihan Rekaman Lapangan (pendekatan etnomusikologis). Koordinator: Errol Jonathans (GM radio Suara Surabaya FM), sponsor: The Ford Foundation.

12. Tahun 2002 – 2003. Konsultan perekaman lapangan di wilayah Pulau Jawa dan Pulau Madura. Proyek pembuatan media bahan ajar untuk Program Studi Etnomusikologi, Jurusan Karawitan, STSI Surakarta. Sponsor: DUE Like.

13. Tahun 2002 – 2003. Anggota tim pengajar mata kuliah Fieldwork dan mata kuliah Seni Budaya Daerah, di Program Studi Etnomusikologi, Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.

14. Tahun 2004 - 2005. Tim produksi Jurnal Panggung. Majalah ilmiah Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.

15. Tahun 2004 - 2011. Tercatat sebagai anggota tim pengajar (status luar biasa) mata kuliah Multimedia di Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.

16. Tahun 2005. Inventor (pencipta) instrumen KARTO (akronim dari Karinding Towél, dalam pengertian bahasa Sunda berarti instrumen “genggong yang dimainkan secara dipetik dengan jemari”), merupakan instrumen generik atau ekstrak dari genggong (jews harp) petik yang dibuat dari bahan bambu dan/atau pelepah aren. Sampel KARTO model kromatik (berupa serial skala nada musik Barat) satu set diberikan kepada

Sapto Raharjo (pengelola Yogyakarta Gamelan Festival) dan satu set lainnya diberikan kepada Prof. Dieter Mack (dosen Pasca Sarjana di kedua perguruan tinggi Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan Institut Seni Indonesia Surakarta).

17. Tahun 2007. Perancang program database Bank Data Hipermedia untuk tujuh jurusan di Institut Seni Indonesia Padangpanjang (ISI Padangpanjang).

18. Tahun 2008. Perancang program database Akademik untuk Bidang Akademik Institut Seni Indonesia Padangpanjang (ISI Padangpanjang). 19. Tahun 2009. Klip video pertama tentang “Karinding Towel by Asep Nata”

diluncurkan ke dunia maya.

20. Tahun 2010 (Oktober). Workshop Karinding Towel di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Surakarta (ISI Surakarta). Kembali melakukan workshop di tempat yang sama pada tahun 2012.

Dokumen terkait