• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Penelitian ini merupakan penelitian yang fokus pada pembahasan dari sisi moral yang mana belum merupakan penelitian mendalam terkait sosiologi sastra. Penulis berharap agar penelitian selanjutnya mengikutsertakan konteks sosial masyarakat sehingga penelitian yang disajikan lebih mendalam.

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1Konsep

Konsep diartikan sebagai unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti. Dengan demikian, berikut beberapa defenisi dari istilah-istilah yang terkait sebagai referensi fokus penelitian ini.

2.1.1 Novel

Waluyo (2002: 36) mengatakan Istilah novel berasal dari bahasa Latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Kata ini kemudian diadaptasikan dalam bahasa Inggris menjadi istilah novel. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roma.

Nurgiyantoro (1994: 9) berpendapat bahwa istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novellet), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Senada dengan pendapat tersebut, Abrams menyatakan bahwa sebutan novel dalam bahasa Inggris dan yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti "Sebuah barang baru yang kecil", dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek (short story) dalam bentuk prosa.

Atar Semi (1993: 32) menyatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkap aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Henry Guntur Tarigan (2003: 164) dalam “The American Colege Dictionary” mengatakan bahwa novel merupakan prosa fiksi dengan panjang tertentu, yang isinya antara lain: melukiskan para tokoh, gerak serta adegan peristiwa kehidupan nyata representatif dengan suatu alur atau suatu keadaan yang kompleks.

Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul paling akhir jika dibandingkan dengan cerita fiksi yang lain. Novel mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa dan latar ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain.

Fungsi novel pada dasarnya untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita dan apa yang terkandung didalamnya bertujuan memberikan hiburan kepada pembaca, sebagaimana yang dikatakan Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 1994: 3), membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.

Novel merupakan ungkapan serta gambaran kehidupan manusia pada suatu zaman yang dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup. Permasalahan hidup manusia yang kompleks dapat melahirkan suatu konflik dan pertikaian. Melalui novel,

pengarang dapat menceritakan tentang aspek kehidupan manusia secara mendalam termasuk berbagai perilaku manusia. Novel memuat tentang kehidupan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup, novel dapat berfungsi untuk mempelajari tentang kehidupan manusia pada zaman tertentu.

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1994: 11) menyatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih komplek.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah cerita narasi fiktif yang relatif panjang dan dapat dibaca berulang-ulang dalam waktu yang relatif panjang serta mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya.

2.1.2 Pesan Moral

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 856), pesan adalah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan lewat orang lain. Penyampaian pesan sering disampaikan pengarang secara tersirat.

Moral menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 745), moral adalah 1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; 2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan; 3) ajaran kesusilaan yang ditarik dari suatu cerita.

Moral menurut Derajat (dalam Kamaruddin, 1985 :9) adalah kelakuan yang sesuai ukuran (nilai-nilai) masyrakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut. Tindakan ini haruslah mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

Menurut Lillie (dalam Budiningsih 2004: 24), kata moral berasal dari mores (bahasa Latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Dewey (dalam Budinigsih 2004: 24) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila. Hal ini membuktikan bahwa moral berfungsi untuk menilai baik buruknya perilaku seseorang. Semakin sesuai perilaku seseorang dengan moral yang ditetapkan dalam masyarakat maka semakin tinggi moralitasnya.

Moral merupakan sesuatu keinginan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca yang merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya dan makna yang disarankan lewat cerita (Nurgiyantoro, 2007: 322). Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro 1995:3 22) biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat tokoh-tokohnya.

Dari pengertian yang diberikan terhadap kata moral, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa moral, sebagaimana dikatakan Sudarsono (1993:592), “Berhubungan dengan norma-norma perilaku yang baik/benar dan salah menurut keyakinan-keyakinan etis pribadi atau kaidah-kaidah sosial, ajaran mengenai baik perbuatan dan kelakuan”. Secara deskriptif, pengertian kata moral dijelaskan oleh Magnis-Suseno (1988 :19) berikut ini.

“Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik buruknya saja, misalnya sebagai dasar, tukang masak, pemain bertingkah atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebiasaannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan benar salahnya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku perasaan tertentu dan terbatas.”

Pengertian pesan moral dari kesimpulan pengertian secara terpisah di atas adalah amanat yang ingin disampaikan mengenai perbuatan, sikap, kewajiban yang baik dan buruk berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Pada penelitian ini, permasalahan pesan moral yang diambil dari novel Lelaki yang Setia Mencumbui Senja mengenai: kejujuran, kesabaran, penolong, rajin belajar, ketaatan dalam beribadah, ketaatan pada orang tua, dan penyesalan.

Kejujuran dalam KBBI (2007: 479) adalah (keadaan) jujur; ketulusan (hati); kelurusan (hati). Kejujuran adalah melakukan tindakan sesuai hati nurani. Hati nurani selalu membuat yang terbaik untuk dilaksanakan. Bila tidak sesuai hati nurani maka kita telah berbohong. Jujur memang mudah untuk dibicarakan namun sulit untuk dilakukan.

Bersikap jujur dapat diartikan menjaga amanah. Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang mulia dan biasanya mendapat kepercayaan orang lain. Jujur adalah sikap yang tidak mudah dilakukan jika hati tidak benar-benar bersih. Namun sayangnya sifat ini belakangan sangat jarang kita temui, kejujuran saat ini menjadi barang langka. Hal ini disebabkan semakin menurunnya moral pada setiap anggota masyarakat, semua berlomba-lomba saling menjatuhkan dengan cara memfitnah sesamanya untuk mendapatkan keuntungan sendiri.

Kejujuran adalah harga diri yang harus dijaga karena kejujuran adalah harga mati yang harus dipegang sampai mati pula. Miskin materi tidak mengapa asalkan kita masih punya nilai kejujuran karena di saat kita tiada materi tiada berguna karena tidak dibawa sampai mati.

Pesan moral berikutnya adalah kesabaran. Kesabaran merupakan sebuah keutamaan yang menghiasi diri seorang manusia, di mana orang itu mampu mengatasi berbagai kesusahan dan tetap berada dalam ketaatan kepada Allah meskipun kesusahan dan cobaan itu begitu dahsyat (Abdillah, 2005: 57). Sebagai seorang manusia yang baik harus senantiasa bersabar dan mengharap kuasa Allah serta berdoa untuk memiliki kesabaran menghadapi segala cobaan.

Kesabaran merupakan ketenangan hati dalam menghadapi cobaan. Tanpa kesabaran sedikit kesulitan akan membuat sesorang emosional, gegabah, dan melakukan kesalahan. Sedikit kegagalan membuat kita frustasi, sepatah kata hinaan membuat diri sakit hati, balas dendam, akibatnya hidup memiliki banyak musuh. Jadi kesabaran merupakan moral yang harus kita miliki dan terus kita jaga dalam hidup bermasyarakat.

Penolong merupakan suatu sifat yang mulia dan salah satu moral yang hendaknya dimiliki setiap orang. Oktava (2011 : 56) mengatakan bahwa tolong menolong, saling menghargai, menghormati, dan dapat menjaga perasaan antara yang satu dengan yang lainnya mungkin hidup akan terasa damai. Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri meskipun telah memiliki segalanya pastilah membutuhkan orang lain. Dalam hal tersebut tidak hanya sebagai teman dalam kesendirian, tetapi juga rekan dalam melakukan sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, sosial, budaya, politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Dalam hal tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lain. Saling berbagi terhadap sesama merupakan suatu kebutuhan sebagi manusia.

Mengenai pesan moral rajin belajar Slameto (2010: 2) menyatakan dalam bukunya bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan, sebagai pengalaman individu itu sendiri dengan interaksi dengan lingkungannya. Selain itu Sardiman (2010: 20) mengatakan bahwa belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Jadi rajin belajar adalah usaha dilakukan individu secara berlanjut untuk memperoleh perubahan pada dirinya menjadi lebih baik dengan cara membaca, mengamati, mendengarkan dan sebagainya.

Pesan moral berikutnya adalah ketaatan dalam beribadah. Salam (2000: 193) mengemukakan bahwa itu merupakan salah satu dari 12 (dua belas) dimensi kewajiban manusia dalam kristalisasi akhlak yang baik. Atas segala rahmat-Nya manusia jelas

berutang budi yang besar, Dialah yang wajib diibadahi dan ditaati oleh segenap manusia maka sudah sepatutnya apabila manusia berterima kasih atas segala pemberian-Nya dengan salah satu cara diantaranya, yaitu taat.

Salam (2000:194) menjelaskan tentang taat, yaitu berarti melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sebagaimana difirmankan. Taat ini juga dimaksudkan sebagai takwa, yakni memelihara diri agar selalu berada pada garis dan jalan-Nya yang lurus.

Pesan moral yang selanjutnya yaitu tentang ketaatan terhadap orang tua, hal inipun masih termasuk ke dalam 12 (dua belas) dimensi kewajiban manusia dalam kristalisasi akhlak yang baik menurut Salam. Orang tua adalah orang yang paling berjasa dalam kehidupan anak-anaknya, merawat dengan seluruh kasih sayang dan memenuhi kebutuhan anaknya. Jadi sebagai seorang anak sudah sepatutnya kita taat kepada orangtua untuk membalas budi mereka.

Pesan moral berikutnya adalah penyesalan. Wulandari (2011: 32) mengatakan bahwa penyesalan adalah suatu perasaan di mana seseorang merasa bersalah atau melakukan kesalahan akan sesuatu dan ingin kembali ke masa saat melakukan kesalahan tersebut, dan memperbaikinya pada masa yang telah lalu. Penyesalan adalah perasaan yang harus dirasakan dalam hidup. Karena dengan menyesal (bagi yang berpikir), seseorang akan berusaha menjadi lebih baik lagi, dan meminimalisasi kesalahan dalam hidupnya. Belajar dari kesalahan, itulah yang akan diperbuat sesorang setelah merasa menyesal.

Menyesal jangan terlalu berlarut-larut. Jangan jadikan kesalahan itu beban yang sulit, tapi jadikan itu tantangan serta uji kesabaran agar diri menjadi lebih baik lagi. Seseorang akan berpikir, lalu melakukan perenungan, kemudian timbullah tekad untuk menjadi lebih baik lagi.

2.2 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan interdisiplin dari dua ilmu yang berbeda, yaitu sosiologi dan sastra. keduanya memiliki objek kajian yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meski objek kajian dari kedua ilmu tersebut sama, tetapi ada perbedaan dalam hal memandang persoalannya. Sosiologi lebih cenderung kepada hal yang bersifat objektif dan faktual, sementara sastra adalah kebalikannya, yaitu bersifat subjektif dan rekaan.

Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga, dan proses sosial (Damono, 1978: 6). Hal ini sejalan dengan pendapat Semi (1984: 52) bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia, masyarakat dan proses sosial. Sosiologi menelaah mengenai bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah yang ada di dalam masyarakat.

Ratna (2003: 1) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sosiologi meneliti hubungan individu dengan kelompok dan budayawan

sebagai unsur yang bersama-sama membentuk kenyataan kehidupan masyarakat dan kenyataan sosial.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia dan hubungannya dengan proses sosial termasuk pada perubahan sosial.

Ratna (2003: 1) menyatakan bahwa sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan berikut kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan 'su', sehingga menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah, sedangkan Teeuw (dalam Atar Semi, 1993: 9) mengatakan sastra itu adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Perspektif sosiologi sastra yang juga perlu diperhatikan adalah pernyataan Levin (Suwardi Endraswara, 2003: 79), literature is not only the effect of social causes but also the cause of social effect yang memberikan arah bahwa penelitian sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Yang keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilira nnya menarik perhatian peneliti.

Saraswati (2003: 3) mengatakan perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra mencoba memahami setiap kehidupan sosial dari relung perasaan yang terdalam. Damono menambahkan (dalam Saraswati, 2003: 3) yang satu beranjak dari hasil pemikiran sedangkan yang satu lagi beranjak dari hasil pergulatan perasaan yang merupakan dua kutub yang berbeda, seandainya ada dua orang sosiologi mengadakan penelitian atas satu masyarakat yang sama, hasil penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga, sedangkan seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan seseorang.

Menurut Damono (1984: 129), sosiologi sastra adalah salah satu cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang, proses penulisan maupun pembaca (sosiologi komunikasi teks) serta teks sendiri (penaksiran teks secara sosiologis). Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan dalam menganalisis karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakaan untuk mengetahui makna totalitas. Sosiologi sastra berusaha untuk menemukan keterjalinan antara pengarang, pembaca, kondisi sosial budaya, dan karya sastra itu sendiri.

Dalam pandangan Wollf (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 77) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semua berurusan dengan

hubungan sastra dengan masyarakat, sedangkan Faruk (1994: 1) berpendapat bahwa sosiologi merupakan gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan ditentukan oleh masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosiologi, proses belajar secara kultural, individu dialokasikan pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu.

Endraswara (2003: 77) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin meneliti sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat karenanya. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.

Sosiologi sastra adalah sebuah cabang dari kajian sastra yang membahas hubungan antara karya sastra dan konteks sosialnya, termasuk pola pembahasan, jenis penikmat, gaya penerbitan dan penyajian dramatis, dan posisi kelas sosial penulis dan pembaca. Berawal pada abad ke-19 di Perancis dengan karya-karya Mme de Stael dan Hippolyte Taine, sosiologi sastra muncul kembali dalam dunia yang menggunakan bahasa Inggris dengan kemunculan suatu kajian seperi The Long Revolution oleh Raymond Wiliams (1961), dan ini paling sering dikaitkan dengan pendekatan Marxisme terhadap analisa kebudayaan.

Ian Watt Sapardi (dalam Faruk, 1994: 4) juga mengklasifikasikan sosiologi menjadi tiga bagian, yaitu: konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial masyarakat.

1) Konteks sosial pengarang, hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti dalam ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya pendekatan sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang,

2) Sastra sebagai cermin masyarakat, sehingga yang terutama mendapatkan perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis, (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya, (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat.

3) Fungsi sosial sastra, terdapat tiga hubungan yang perlu menjadi perhatian: (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat, (b) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai penghibur masyarakat saja, (c) Sejauh mana terjadi sintetis antara kemungkinan (a) dengan (b).

Berdasarkan pendapat di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan dalam menganalisis karya sastra yang memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Demikian beberapa teori tentang sosiologi sastra serta hubungan antara karya sastra dengan masyarakat yang dipakai dalam analisis sosiologi sastra terhadap novel Lelaki yang Setia Mencumbui Senja karya Andi Zulfikar.

Sosiologi sastra memiliki defenisi yang sangat beragam tetapi defenisi yang paling mendekati dengan penelitian ini adalah pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra akan meneliti sastra sebagai (1) ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai sebuah cermin, (2) karya sastra memuat aspek sosial dan budaya yang memiliki fungsi sosial berharga. Aspek fungsi sosial sastra berkaitan dengan cara manusia hidup bermasyarakat (Endraswara 2011: 20).

Dari uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra merupakan teori terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, mempunyai sikap yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya serta pembaca dan kajian yang tepat untuk penelitian ini. Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Ratna.

Ratna (2003: 340) dengan pertimbangan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, antara lain: (1) menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi; (2) sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika; (3) menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai cermin atau refleksi sosial.

2.2 Tinjauan Pustaka

Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal itu dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam melakukan penelitian. Oleh sebab itu, tinjauan terhadap penelitian terdahulu sangat penting untuk mengetahui relevansinya.

Teori sosiologi sastra banyak dipergunakan dalam mengkaji skripsi, tetapi penelitian yang menjadikan novel Lelaki yang Setia Mencumbui Senja sebagai objek kajian baru pertama kali dilakukan. Penelitian ini berfokus pada pesan moral yang terkandung dalam novel. Setelah peneliti melakukan pencarian di perpustakaan Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara (USU) dan juga melalui media internet diantaranya ditemukan beberapa skripsi yang kajiannya relevan dengan penelitian kali ini. Adapun beberapa skripsi yang pernah mengangkat aspek moral dan amanat sebagai rumusan masalah diantaranya adalah :

Fuad (1997) dalam skripsinya berjudul “Pergolakan karya Wildan Yatim: Analisis Moralitas Keberadaan Tokoh Cerita”. Skripsi ini membicarakan tentang strukturalisme dan moralitas terhadap novel Pergolakan: novel ini membahas masalah-masalah moralitas dengan tema keterbelakangan dan kebodohan masyarakat desa. Peristiwa secara umum dilakukan di kota dan desa yang dipergunakan kebanyakan berada di Sumatera yang dikisahkan secara kronologis menggunakan alur maju yang diselingi teknik sorot balik. Nilai-nilai moral yang ingin diungkapkan oleh pengarang adalah persoalan tentang bagaimana kemampuan tokoh dalam usaha melepaskan diri

Dokumen terkait