• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

Setelah melakukan penelitian mengenai proses komunikasi antar pribadi dalam keluarga ibu bekerja ini, peneliti memberikan saran yang kiranya bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu :

1. Akademis, ada beberapa hal yang dapat diteliti lebih dalam lagi dari keluarga ibu bekerja. Misalnya kepuasan suami dan anak dalam keluarga dengan kondisi ibu bekerja.

2. Teoritis, semoga penelitian dan teori yang saya gunakan dalam penelitian ini dapat dikembangkan lagi oleh penelitian berikutnya khususnya yang terkait dengan komunikasi keluarga dan ibu bekerja.

3. Praktisi, para ibu bekerja harus lebih intens lagi dalam berkomunikasi dengan suami dan anak-anak, membangun komunikasi yang berkualitas dalam keterbatasan waktu yang dimiliki bersama suami dan anak-anak. Tetap menjunjung tinggi saling percaya dan saling mendukung serta berikan perhatian-perhatian lebih berupa kasih sayang dan memanfaatkan waktu luang untuk keluarga.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Perspektif / Paradigma Kajian

Paradigma (paradigm) merupakan salah satu dari banyak hal yang memengaruhi dan membentuk ilmu pengetahuan dan teori. Istilah paradigma di perkenalkan dan dipopulerkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang klasik, The Structure of Scientific Revolutions. Dalam bidang keilmuan, paradigma sering juga disebut dengan perspektif (perspective), mahzab pemikiran (school of thought) atau teori, model, pendekatan, strategi intelektual, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, serta pandangan dunia (worldview) (Mulyana, 2001:9).

Pada hakikatnya, penelitian merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun praktisi melalui model-model yang disebut dengan paradigma. Seperti yang dijelaskan Tucker (dalam Mulyana, 2001:16) bahwa paradigma sebagai suatu pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu mempengaruhi pandangan individu mengenai fenomena. Jadi, paradigma dapat dikatakan sebagai keseluruhan susunan model dan kepercayaan serta asumsi-asumsi yang dipegang dan dipakai oleh peneliti dalam memandang fokus penelitiannya.

Paradigma dalam penelitian digunakan karena menyadari bahwa suatu pemahaman selalu dibangun oleh keterkaitan antara apa yang diamati dan apa yang menjadi konsep pengamatan. Penggunaan paradigma dapat mengimbangi keberubahan fakta sosial yang terus menerus berubah dan mewajibkan peneliti untuk toleran pada perbedaaan cara pandang, serta bijak dalam menggunakan pelbagai metode (Ardianto & Q-Anees, 2007:77-78). Dengan demikian, peranan paradigma dalam penelitian menjadi sangat penting dalam mempengaruhi teori, analisis, maupun tindak perilaku seseorang.

Paradigma yang berkembang pada ilmu komunikasi sangat beragam, namun yang sering digunakan dan bersangkutpaut dengan penelitian hanya meliputi positvisme, post-positivisme, interpretif, konstruktivis, dan kritis. Secara singkat,

kelima paradigma ini muncul dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan cara pandang terhadap realitas dan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis (asumsi tentang realitas), asumsi epistimologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti) dan asumsi metodologis (asumsi tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan). Pada dasarnya, kemunculan kelima paradigma ini bertujuan sebagai kerangka pencarian penemuan pengetahuan ilmu manusia.

Paradigma atau perspektif interpretif muncul dilatarbelakangi atas ketidakpuasan pada teori post-positivis. Perspektif positivis dinilai terlalu umum, terlalu mekanis, tidak dapat menangkap keruwetan, nuansa dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana manusia membentuk dunia pemaknaan melalui interaksi dan bagaimana manusia berperilaku terhadap dunia yang mereka bentuk itu (Ardianto & Q-nees, NN:124). Dalam pencarian pemahaman ini, kebenaran dilihat sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan, dan peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Dengan demikian, peneliti berusaha memasuki dunia konseptual subjek yang diteliti.

Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif. Paradigma interpretatif ini dipakai karena paradigma/pendekatan ini menyatakan bahwa pemahaman individu mengenai makna merupakan hasil interaksi dengan individu lainnya terhadap kehidupan sehari-hari dan pengalamannya, sehingga dengan paradigma/pendekatan ini peneliti dapat memahami bagaimana proses komunikasi ibu bekerja dengan keluarga dalam waktu yang terbatas dalam hubungan harmonisasi dengan suami dan anak pada ibu bekerja di Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.

2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Fenomenologi

Secara etimologis, kata fenomenologi merupakan terusan dari kata fenomenon dan logos. Kata logos menunjuk pada pengertian uraian, percakapan, atau ilmu. Sedangkan kata fenomenon menunjuk pada pengertian sesuatu yang tampak, terlihat, karena bersinar atau bercahaya, sering disebut sebagai gejala. Dengan demikian, fenomenologi dapat diartikan sebagai uraian, percakapan, atau ilmu tentang gejala atau sesuatu yang sedang menampakkan diri. Secara singkat, fenomenologi merupakan sesuatu yang menggejala.

Istilah fenomenologi diperkenalkan pada tahun 1764 oleh Johann Heinrich Lambert, untuk menunjuk pada Teori Penampakan. Lambert beserta Kant merupakan filsuf Jerman yang pertama kali menggunakan kata fenomenologi. Istilah fenomena (phenomenon) digunakan Lambert bagi gambar khayal dari pengalaman manusia, dan kemudian mengartikan fenomenolgi (phenomenoulogy) sebagai “teori tentang khayalan”, sedangkan Kant memberi arti baru dan lebih luas tentang fenomena. Kant membuat perbedaan antara fenomena (phenomenon) dan numena (noumenon). Menurutnya, fenomena (phenomenoun) merupakan objek dan kejadian yang tampak dalam pengalaman kita, sedangkan numena (noumena) merupakan objek dan kejadian yang berada dalam dirinya sendiri serta tidak tampak dalam gejala-gejala yang kita tangkap dengan indra (Sobur, 2013:17).

Selain Lambert dan Kant, masih banyak lagi para filsuf yang memberikan pengertian dan pandangan mengenai fenomenologi seperti Eduard von Hartmann, Husserl, Max Scheler, Sartre, Marleau-Ponty, Schutz, Berger, Hegel, Carl Rogers, Austin, Habermas, dan yang lainnya. Istilah ‘realitas’ menjadi pokok pandangan mereka. Para filsuf umumnya melihat bahwa ‘realitas’ bukanlah kata benda, melainkan lebih mengacu pada aturan mengenai bagaimana pribadi dan benda dapat dikenal. Jadi, kata ‘realitas’ tidak digunakan untuk suau objek yang khusus dan konkret, melainkan tentang kriteria tentang apa objek yang nyata itu sebenarnya.

Inti dari penelitian fenomenologi adalah ide atau gagasan mengenai ‘dunia kehidupan’ (lifeworld), sebuah pemahaman bahwa realitas setiap individu itu berbeda dan tindakan individu hanya bisa dipahami melalui pemahaman terhadap dunia kehidupan individu, sekaligus melalui sudut pandang mereka masing-masing. Dengan demikian, fenomenologi mengkaji bagaimana anggota masyarakat menggambarkan dunia sehari-harinya terutama bagaimana individu dengan kesadarannya membangun makna dari hasil interaksi dengan individu lainnya.

Konsep dasar fenomenologi menurut Deetz (1973, dalam Sobur, 2013:19) terdiri dari tiga konsep. Adapun konsep tersebut yaitu :

1. Pengetahuan diperoleh secara langsung lewat pengalaman sadar – individu akan mengetahui dunia ketika individu berhubungan dengannya. 2. Makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam hidup seseorang. Dengan

kata lain, bagaimana individu berhubungan dengan benda, menentukan maknanya bagi individu itu sendiri.

3. Bahasa merupakan kendaraan makna. Individu memahami dunia lewat bahasa yang ia gunakan guna mendefenisikan serta mengekspresikan dunia tersebut.

Mulyana menyebutkan pendekatan fenomenologi termasuk pada pendekatan subjektif atau interpretif (Mulyana, 2001:59). Lebih lanjut Marice Natanson mengatakan bahwa istilah fenomenologi dapat digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna objektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial (Mulyana, 2001:20-21). Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu

Menurut Dedy Mulyana (Hidayat, 2011:161-162), analisis fenomenologi dapat merekonstruksi dunia kehidupan manusia dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Dalam hal ini Schutz menjelaskan bahwa realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi dan komunikasi.

Fenomenologi menurut Schutz merupakan sebuah metode yang berusaha mengungkapkan tentang pengalaman dan perilaku manusia dalam dunia sosial

keseharian sebagai realitas yang bermaknna secara sosial (socially meaningful reality). Schutz menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Makna dari tindakan sosial yang dilakukan “aktor” akan dipahami individu lain melalui proses pengamatan dan pendengaran tentang apa yang dikatakan atau diperbuat “aktor”.

Schutz menjelaskan bahwa melihat ke depan pada masa yang akan datang menjadi hal yang esensial bagi konsep tindakan atau action. Tindakan adalah perilaku yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah ditetapkan. Dapat diartikan masa lalu juga menentukan sebuah tindakan. Dengan demikian, tujuan tindakan memiliki elemen ke masa lalu dan masa depan. Untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang, Schutz membaginya ke dalam dua fase, yaitu tindakan in-order-to-motive (Um-zu-Motiv) yang merujuk pada masa yang akan datang dan tindakan because-motive (Weil-Motiv) yang merujuk pada masa lalu (Hidayat, 2011:163).

Oleh sebab itu dalam penelitian ini, peneliti mengangkat komunikasi ibu bekerja dengan suami dan anaknya sebagai bagian dari masalah penelitian. Hal ini dikarenakan tindakan menjadi ibu bekerja serta kondisi ibu bekerja adalah sebuah fakta atau realita dari pengalaman hidup yang sangat memungkinkan dialami oleh sebagian besar keluarga.

2.2.2. Interaksionisme Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Istilah fenomenologis digunakan oleh Maurice Natanson sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial (Mulyana, 2001:61).

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Menurut teori ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Individu merupakan organisasi aktif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah, maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Dengan demikian, interaksi menjadi variabel penting yang menentukan perilaku manusia.

Dalam teori yang dipopulerkan oleh George Herbert Mead ini, kehidupan sosial juga dipandang sebagai suatu proses interaksi. Kesalinghubungan merupakan basis dari kenyataan sosial, semua aspek kehidupan dianggap didasari oleh interaksi, begitu halnya dengan komunikasi. Komunikasi merupakan inti dari struktur sosial. Berinteraksi berarti berkomunikasi, dengan demikian keberadaan suatu masyarakat direkat atau dijalin melalui tindak komunikasi. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi individu dalam berinteraksi. Makna suatu bahasa sangat bergantung pada interaksi dan dimana interaksi tersebut berlangsung. George Herbert Mead, seperti yang dikutip dalam Mulyana (2001:68), menekankan bahwa esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu berkomunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.

2.2.2.1. Tema dan Asumsi teori Interaksionalisme Simbolik

Teori interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Oleh karenanya, teori ini memiliki tema dan kerangka asumsi-asumsi untuk menginterpretasikan ide-ide tersebut secara luas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (1993) bahwa teori interaksi simbolik memperlihatkan tiga tema besar. Adapun tema tersebut yaitu :

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Konstruksi interpretif dibutuhkan diantara orang-orang untuk menciptakan makna, dan dalam prosesnya dibutuhkan interaksi dengan tujuan untuk menciptakan makna yang sama. Kesamaan makna menjadi hal yang penting karena tanpa makna yang sama, berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin. Sebagai

contoh (“Sudah saya katakan jangan membuat teh terlalu manis.” “2 sendok gula adalah takaran gula yang sesuai bagi saya untuk tidak membuat teh menjadi terlalu manis.” “Tetapi maksud saya adalah 1 sendok saja sudah cukup.” “Kamu tidak mengatakan hal itu!”). Dengan demikian, kita berbicara dengan lawan bicara kita dengan asumsi kita sepakat akan sebuah makna pembicaraan tanpa harus menjelaskan semua makna dalam pembicaraan. Akan tetapi, terkadang kita keliru dengan pemahaman makna lawan bicara kita (Herbert Blumer (1969) dalam Turner & West, 2009:99).

• Asumsi-asumsinya :

a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepadanya. Asumsi ini menjelaskan bahwa perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Seperti misalnya kita sering kali melihat gaya hidup sebagai ukuran dari status sosial individu dalam masyarakat/menghubungkan status sosial dengan gaya hidup seseorang.

b. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Makna merupakan “produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi (Blummer (1969) dalam Turner&West:2009:100). Makna dapat ada ketiika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai symbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi.

c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Proses interpretif makna menurut Blummer berlangsung dalam dua langkah: (1) para pelaku menentukan benda-benda yang memiliki makna; (2) melibatkan perilaku memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna didalam konteks dimana mereka berada.

2. Pentingnya Konsep diri

Tema kedua dalam teori ini berfokus pada pentingnya konsep diri (self-concept). Konsep diri merupakan seperangkat persepsi atau tanggapan yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri individu dapat terbentuk dari pemahaman karakteristik mengenai ciri-ciri fisik, peranan, talenta, keadaan emosi, nilai, keterampilan dan keterbatasan sosial, intelektualitas, dan sebagainya. Karakteristik seperti inilah yang menjadi hal penting dalam teori ini. Teori ini sangat tertarik dengan cara orang mengembangkan konsep diri. Dalam

teori ini, individu digambarkan sebagai diri yang aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.

• Asumsi-asumsinya :

a. Individu-individu mengebangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa individu membangun perasaaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. orang-orang tidak lahir dengan konsep diri, melainkan mereka belajar mengenai diri mereka melalui interaksi. Sebagai contoh bayi tidak memiliki perasaan mengenai dirinya sendiri, namun selama tahun pertama kehidupannya, anak-anak mulai untuk membedakan dirinya dari alam sekitarnya.

b. Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Prinsip penting dalam teori interaksi simbolik yaitu pemikiran bahwa keyajinan, nlai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri mempengaruhi perilaku tiap individu. Mead (Turner&West:2009:102) mengemukakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup memiliki diri dan mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Diri dilihat sebagai proses, bukan struktur. Memiliki diri memaksa orang untuk mengontruksi tindakan dan responsnya, daripada sekedar mengekspresikannya. Jadi, misalnya jika ibu yang bekerja dalam keluarga merasa yakin akan kemampuannya melakukan peran ganda, maka akan sangat mungkin ibu tersebut berhasil dengan baik dalam menjalani peran gandanya itu.

3. Hubungan antara individu dan masyarakat

Tema yang terakhir dalam teori interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial.

• Asumsi-asumsinya :

a. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu, dan budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap. Contohnya, kita memakai pakaian yang sopan dan rapi ketika berada di kantor karena berpakaian seperti itu dirasakan lebih pantas secara sosial dengan konteks kerja dan berpakaian sopan dan rapi sesuai dengan budaya Indonesia. b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Asumsi ini

menekankan bahwa manusia adalah pembuat pilihan dan dapat memodifikasi situasi sosial (Turner & West, 2009:104).

Konsep penting dalam teori interaksionalisme simbolik menurut Mead yaitu pikiran, diri, dan masyarakat (Turner & West, 2009:104). Pikiran merupakan kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama

yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan orang lain. Diri merupakan kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri dari perspektif orang lain. Melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Subjek atau diri yang bertindak dikatakan sebagai I dan objek atau diri yang mengamati adalah Me.

Masyarakat merupakan jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Dengan demikian, masyarakat mempengaruhi pikiran dan diri. Individu-individu mengenal atau mengetahui diri mereka melalui interaksi dengan orang lain yang berkomunikasi kepada mereka siapa mereka (Rogers (1986) dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:190).

2.2.3. Komunikasi

2.2.3.1. Definisi dan Prinsip Komunikasi

Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia ingin mengetahui apa yang terjadi dengan lingkungan sekitarnya bahkan yang terjadi dengan dirinya. Rasa ingin tahu inilah yang membuat manusia berkomunikasi dengan yang lain. Komunikasi adalah hal yang fundamental didalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan rasa ingin tahu tersebut.

Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari bahasa latin yaitu communis, berarti sama. Sama dalam hal ini maksudnya adalah sama makna. Menurut Laswell dalam Onong Uchjana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Hovland mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lain. Laswell mengatakan bahwa komunikasi memiliki lima unsur utama, yaitu (Effendy, 2001:9):

Komunikator merupakan seseorang yang menyampaikan pesan atau informasi kepada seseorang atau sejumlah orang. Komunikator yang baik ialah komunikator yang selalu memperhatikan umpan balik sehingga ia dapat mengubah gaya komunikasinya jika ia mengetahui bahwa umpan balik dari komunikan bersifat negatif.

2. Pesan (Message)

Pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komuniator. Penyampaian pesan dapat dilakukan secara verbal dan non verbal. Penyampaian pesan secara verbal dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa, sedangan pesan secara non verbal dapat dilakukan dengan menggunakan alat, isyarat, gam`bar, atau warna untuk mendapatkan umpan balik dari komunikan.

3. Media (Channel)

Media adalah saluran komunikasi atau tempat dimana berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang dapat secara langsung menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan.

4. Komunikan (Receiver/Recepient)

Komunikan adalah orang yang menerima pesan dari komunikator. Komunikanlah yang akan memberikan umpan balik kepada komunikator. Umpan balik memainkan peranan penting dalam komunikasi, sebab umpan balik yang akan menentuan berlanjutnya komunikasi atau berhentinya komunikasi yang diutarakan oleh komunikator. Oleh sebab itu, umpan balik dapat bersifat positif ataupun negatif.

5. Efek (Effect)

Efek merupakan tanggapan atau seperangkat reaksi pada komunikan setelah menerima pesan dari komunikator.

Kesamaan dalam berkomunikasi dapat diibaratkan dua buah lingkaran yang bertindihan satu sama lain. Daerah yang bertindihan itu disebut kerangka pengalaman (field of experience). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik empat prinsip dasar komunikasi, yaitu:

1. Komunikasi hanya bisa terjadi bila terdapat pertukaran pengalaman yang sama antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi.

2. Jika daerah tumpang tindih menyebar menutupi lingkaran A dan B, menuju terbentuknya satu lingkaran yang sama, makin besar kemungkinannya tercipta suatu proses komunikasi yang mengena (efektif).

3. Tetapi kalau daerah tumpang tindih ini makin mengecil dan menjauhi sentuhan kedua lingkaran, atau cenderung mengisolasi lingkaran masing-masing, komunikasi yang terjadi sangat terbatas. Bahkan besar kemungkinannya gagal dalam menciptakan suatu proses komunikasi yang efektif.

4. Kedua lingkaran ini tidak akan bisa saling menutup secara penuh karena dalam konteks komunikasi antar manusia tidak pernah ada manusia diatas dunia ini yang memiliki perilaku, karakter, dan sifat-sifat yang persis sama sekalipun kedua manusia itu dilahirkan secara kembar (Cangara, 2007:21-22).

Menurut Berlo dalam bukunya The Process Communication (1960), komunikasi sebagai proses adalah suatu kegiatan yang berlangsung secara dinamis. Sesuatu yang didefinisikan sebagai proses, berarti unsur-unsur yang ada di dalamnya bergerak aktif, dinamis, dan tidak statis (Cangara, 2007:51). Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan dari seseorang (komunikator) kepada orang lain. Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan lain sebagainya. Perasaan dapat berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Adapun proses komunikasi terbagi atas dua tahap (Effendy, 2001:11):

Dalam proses komunikasi ini, komunikator menyampaikan pikiran atau perasaannya kepada komunikan dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang disini pada umumnya adalah bahasa, tetapi dalam situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang digunakan dapat berupa gerak tubuh, warna dan gambar.

2. Proses Komunikasi Secara Sekunder

Dalam proses komunikasi ini, komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang-lambang pada media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua karena komunikan berada di tempat yang relatiflebih jauh atau jumlahnya banyak. Misalnya dengan menggunakan surat, telepon, majalah, radio, televisi, dan sebagainya. Proses ini merupakan sambungan dari proses primer untuk enembus ruang dan waktu, dalam prosesnya komunikasi sekunder ini akan semakin efektif dan efisien karena didukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih.

Dilihat dari prosesnya, komunikasi melibatkan komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Djamarah (2004:14) menjelaskan komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa tulisan, sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan isyarat, gerak-gerik, gambar, lambang, mimik muka, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain secara verbal

Dokumen terkait