• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : PENUTUP

5.2. Saran

Saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan penelitian ini adalah: 1. Untuk nelayan dan “tekong” (toke).

- Nelayan dan “tekong” harus lebih memperhatikan proses interaksi yang dirasakan oleh anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik”. Pendewasaan anak-anak dapat berjalan lebih baik lagi jika anak-anak juga dapat bergaul dan berinteraksi secara intens dengan sebayanya. Hal tersebut diperlukan agar anak-anak juga dapat belajar dari teman sebayanya. Belajar bagaimana berinteraksi, belajar bagaimana menyelesaikan masalah secara kolektif ketika mereka sedang mengalami masalah dan lain sebagainya yang tidak didapatkan “anak itik” ketika dia sedang bekerja.

- Nelayan dan “tekong” harus memekerjakan setidaknya dua anak untuk menjadi “anak itik” di kapal mereka. Hal tersebut diperlukan agar “anak itik” bisa mendapatkan sparing partner (teman kompak) yang sesuai dengannya. Hal yang tidak kalah penting adalah proses pendewasaan diri yang optimal akan didapatkan oleh “anak itik” dengan belajar bersaing sekaligus tetap kompak dalam hal pekerjaan. 2. Untuk orang tua.

- Keluarga memiliki berbagai fungsi yang harus dijalankan, dan peran orang tua adalah menjalankan fungsi tersebut agar dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan dalam keluarga. Salah satu fungsi keluarga adalah edukasi, dan tanggungjawab orang tua adalah

memberikannya kepada anak. Pendidikan formal adalah pendidikan yang dirancang sedemikian rupa agar anak-anak dapat bersaing secara global dengan orang lain. Jika anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” sampai putus sekolah dan tidak mengenyam pendidikan formal tersebut, maka itu merupakan kesalah orang tua apabila wawasan anaknya tidak seluas anak-anak yang mengenyam pendidikan formal selama 12 tahun lainnya.

3. Untuk anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik”.

- Masa anak-anak adalah masa yang diisi dengan kreatifitas dan imajinasi yang luas untuk bermain dan bereksplorasi. Anak-anak yang bekerja sebagai “anak itik” haruslah lebih banyak menghabiskan waktu untuk berinteraksi bersama teman sebaya mereka, daripada di pelabuhan untuk bekerja. Karena diusia mereka yang memang masih anak-anak adalah usia dimana mereka memperoleh kesenangan yang tidak akan mereka dapatkan nantinya ketika mereka sudah remaja atau dewasa.

4. Untuk pemerintah.

- Pemerintah harus lebih bijak lagi dalam membuat kebijakan. Adanya kearifan lokal yang bertentangan dengan hukum positif seperti “anak itik” harus diberikan solusi yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Melalui penelitian ini, pemerintah dapat mempertimbangkan sistem pendidikan lain yang dapat diberikan kepada pekerja anak seperti “anak itik”.

BAB II

TINJAUA PUSTAKA

2.1. Proses Sosialisasi Menuju Masyarakat

Sosialisasi adalah proses penanaman nilai pada individu dari masyarakat secara simultan dengan tujuan agar individu tesebut siap untuk mnejadi bagian dari struktur sosial. Sosialisasi dibutuhkan manusia sebagai proses untuk mempelajari peran dan statusnya di masyarakat.

Socialization is the process of learning the roles, statuses, and values necessary for participation in social institutions. Socialization is a lifelong process. It begins with learning the norms and roles of our family and our subculture and making these part of our self-concept. As we grow older and join new groups and assume new roles, we learn new norms and redefine our self-consept (Brinkerhoff, dkk: 1995).”

Artinya sosialisasi adalah proses pembelajaran tentang peran, status, dan nilai-nilai penting untuk dapat berpartisipasi dalam institusi sosial. Sosialisasi merupakan proses yang memakan waktu seumur hidup. Hal ini dimulai dengan mempelajari norma-norma dan peran-peran di keluarga dan masyarakat, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari konsep diri. Semakin kita tumbuh dewasa dan masuk kedalam kelompok yang baru dan memperoleh peran baru, kita mempelajari norma-norma baru dan mendefenisikannya kembali menjadi bagian dari konsep diri kita.

Pertama, Primary Socialization (sosialisasi primer): sosialisasi pada anak usia dini merupakan sosialisasi primer. Masa ini meruapan tahapan yang paling penting dalam proses sosialisasi. Pada masa ini, anak-anak mengembangkan kepribadian dan konsep dirinya, berkembangnya kemampuan berhasan serta mereka dihadapkan kepada dunia sosial yang penuh dengan peran, nilai-nilai, dan norma. Pada tahapan ini, Mead (dalam Ritzer, 2010) membagi tahapan sosialisasi primer menjadi 2 tahapan, yaitu:

1. Tahap bermain (play stage). Dalam tahap ini anak-anak akan mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri.

2. Tahap Permainan (game stage). Pada tahap play stage, anak mengambil peran orang lain yang berlainan, sedangkan dalam tahap ini anak harus mengambil peran orang lain mana pun yang terlibat dalam permainan. Lebih lanjut, peran yang berlainan ini harus mempunyai hubungan nyata satu sama lain.

3. Generelize other (orang lain yang digeneralisir). Generelize other merupakan sikap seluruh komunitas. Kemampuan untuk mengambil peran umum orang lain adalah penting bagi diri: “sepanjang dia

mengambil sikap kelompok sosial terorganisasi di mana ia berada, melakukan aktivitas sosial kooperatif atau aktivitas yang dilakukan kelompok, maka barulah dia bisa mengembangkan diri secara penuh.

Kedua, Anticipatory Socialization (sosialisasi antisipatoris). Tipe ini adalah proses pembelajaran akan peran untuk mempersiapkan individu pada peran

yang akan diperolehnya di masa yang akan datang. Semakin bertambahnya usia, individu akan mengganti perannya yang lama dengan yang baru. Dikarenakan sosialisasi ini, kebanyakan orang akan mempersiapkan diri untuk bertanggungjawab atas apa yang akan mereka hadapi nantinya, baik itu sebagai orang tua, pekerja, atau dokter.

Ketiga, Resocialization (resosialisasi). Tipe ini diperoleh ketika individu meninggalkan konsep diri dan cara hidupnya untuk secara radikal memperoleh

yang baru. perubahan “social behavior”, nilai-nilai, dan konsep diri yang diperoleh dari pengalaman seumur hidup merupakan hal yang sulit, dan hanya sebagian orang saja yang mampu menjalaninya.

Agen sosialisasi juga merupakan faktor penting dalam proses sosialisasi. Setiap tahapannya memiliki agen-agen tersendiri yang sangat berperan penting dalam proses sosialisasi. Brinkerhoff, dkk (1995) membagi agen sosialisasi menjadi 6, yaitu; keluarga, sekolah, teman sebaya, media massa, agama, dan tempat bekerja.

2.2. Kekerasan Simbolis Dalam Pandangan Pierre Bourdieu

Kekerasan simbolis merupakan suatu perlakuan dominasi kultural dan sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadal kelompok/ ras/ suku/ gender tertentu. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004), kekerasan simbolis

adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.

Kekerasan simbolik dapat terjadi akibat legitimasi yang meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama dia diterima sebagai sesuatu yang sah, maka kebudayaan memperkuat kekerasan simbolis tersebut melalui relasi kekuasaan. Hal itu dapat diraih melalui suatu proses salah mengerti (misunderstanding), yaitu suatu proses yang relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif tetapi tetap saja menjadikan kekuasaan tersebut absah bagi pemeluknya.

Menurut Jerkins (2004) Inti penggunaan kekerasan simbolis adalah

„tindakan pedagogis‟. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya, yang di dalamnya

terdapat tiga mode, yaitu:

1. Pendidikan yang tersebar luas (diffuse education), yang terjadi dalam interaksi dengan anggota bangunan sosial (satu contoh mungkin adalah kelompok umur informal).

2. Pendidikan keluarga, yang berbicara untuk dirinya sendiri.

3. Pendidikan institusional (misalnya ritual inisiasi, di satu sisi atau sekolah, di sisi yang lain.)

Tindakan pedagogis, ketika mereproduksi kebudayaan dalam segala kesmrawutannya, juga mereproduksi relasi kekuasaan yang menjamin

keberlangsungannya. Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan, yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak meratan antar kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.

Penanaman nilai yang bersifat dominan dari satu kelompok kepada kelompok lain memerlukan tindakan pedagogis yang simultan. Tindakan pedagogis tersebut memerlukan otoritas sebagai prasyarat keberhasilannya. Menurut Jerkins (2004), otoritas ini adalah suatu kekuasaan yang berubah-ubah untuk bertindak, tanpa disadari oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu yang legitimate. Adanya legitimasi ini memungkinkan suatu tindakan pedagogis untuk beroperasi. Semua bentuk donimasi harus mendapakan pengakuan atau diterima sebagai sebuah legitimitas (Wahyuni, 2008).

Kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan simbolik yang dirujuk oleh Bourdieu. Hal itu merujuk pada kekerasan simbolik yang memerlukan kekuasaan yang dapat mendesak kelompok yang dikuasai agar menerima ideologi yang ditanamkannya dan “memaksakannya” agar menjadi

legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya. Di area simbolik inilah pertarungan kelas terjadi. Gejala ini dapat diamati pada fenomena pekerja anak di Desa Bogak Kec. Tanjung Tiram Kab. Batubara yang berisi perlakuan dominasi secara simbolis dari hubungan senior-junior pada masyarakat nelayan.

2.3. Pekerja Anak-Anak

Hasil penelitian Endrawati (2011) pada pekerja anak di sektor informal di

Kota Kediri yang berjudul “Faktor Penyebab Anak Bekerja Dan Upaya

Pencegahannya” menyebutkan bahwa ada 6 faktor penyebab anak bekerja, yaitu:

1. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi merupakan landasan utama bagi pekerja anak. Dengan asumsi awal bahwa penghasilan mereka dapat membantu perekonomian keluarga dan dapat meringankan beban orang tua. Hasil penelitian Netty Endarwati pada pekerja anak di sektor informal tersebut menyebutkan bahwa sebagian besar dari pekerja anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak atau kurang mampu secara ekonomi.

2. Faktor orang tua

Selain ekonomi, faktor lainnya adalah orang tua atau keluarga. Hal tersebut dikarenakan keluarga adalah komunitas pertama yang membentuk karakter anak.Lebih jauh lagi, keluarga merupakan tempat di mana anak dapat memperoleh hak-hak dasar mereka sebagai seorang anak dari kedua orang tua mereka. Dalam sebuah keluarga, orang tua mempunyai tanggung jawab kepada anaknya. Maka dalam hal ini, orang tua mempunyai andil dalam memberikan izin kepada anak tentang apa yang akan dilakukan oleh anak tersebut.

3. Faktor budaya (kebiasaan)

Masyarakat memiliki norma-norma yang berlaku sebagai aturan dalam menjalankan sistem yang ada. Seorang anak akan mendapatkan nilai lebih dari

masyarakat dengan membantu keluarga dan masyarakat sekitar. Semakin besar kontribusi yang diberikan oleh anak tersebut, maka semakin tinggi statusnya di mata keluarga dan juga di masyarakat.

4. Kemauan sendiri (kemandirian)

Kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan dapat mengelola keuangan secara otonomi akan memberikan kepuasan tersendiri bagi pekerja, terutama anak-anak. Anak-anak akan merasa sangat senang jika mereka bisa membeli apa yang mereka inginkan dengan menggunakan uang hasil kerja mereka. Maka kemandirian dalam hal finansial sejak usia dini merupakan dorongan bagi anak-anak untuk masuk dalam dunia industri.

5. Faktor lingkungan

Tidak sedikit dari anak-anak yang bekerja disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosial di luar dari keluarga mereka seperti teman, tetangga, kerabat dan saudara. Melihat teman-temannya sukses dalam bekerja dan pekerjaan yang dilakukan menurut anak-anak yang bekerja dirasa tidak terlalu berat tetapi menghasilkan uang banyak, maka bagi anak-anak hal tersebut merupakan daya tarik tersendiri untuk ikut bekerja seperti yang dilakukan oleh teman-temannya itu.

6. Faktor hubungan keluarga

Di samping beberapa faktor anak bekerja, tidak dapat dipungkiri adanya faktor lain yang mendorong anak bekerja, yaitu dorongan atau ajakan dari sanak saudara. Pada umumnya faktor saudara atau kerabat ini dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, tetapi belum mencukupi kebutuhan

keluarga. Hal semacam ini yang membuat kerabat atau keluarga dekat menawarkan kepada anak mereka untuk ikut bekerja bersamanya dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut seluas 64,85% dari luas wilayah Indonesia atau 3.544.743,9 km² (Kementerian Kelauatan dan Perikanan, 2011). Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan sebagai produsen hasil kelautan terbesar nomor 5 di dunia (Adam, 2015). Sehingga dalam menunjang produksi yang sedemikian rupa, industri kelautan membutuhkan tenaga kerja yang tinggi.

Dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di dunia maritim, pelaku-pelaku produksi tidak hanya memanfaatkan usia-usia produktif (15-60 tahun) saja, namun pelaku-pelaku produksi juga menyerap tenaga kerja yang masih berusia sekolah atau kanak-kanak. Seperti fenomena yang terjadi pada Desa Bogak. Para nelayan tidak hanya membutuhkan orang-orang dewasa saja, namun mereka juga memakai tenaga anak-anak untuk membantu pekerjaan mereka.

Desa Bogak memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.974 orang. Jumlah penduduk tersebut jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin adalah 2.478 laki-laki dan 2.495 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1251 KK. Berdasarkan data yang ditemukan di kantor kepala desa bahwa terdapat 579 KK penduduk miskin dan yang mendapat kartu sehat sebanyak 550 jiwa (Kantor Kepala Desa, 2013).

Mayoritas pekerjaan penduduknya adalah nelayan dengan presentase 90% dari total penduduk. Masyarakat tersebut mayoritas memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dikarenakan perekonomian mereka sebagian besar bergerak disektor nelayan yang pendapatannya dipengaruhi dari hasil penangkapan ikan serta sangat dipengaruhi oleh keadaan alam. Hal ini dibuktikan oleh data kependudukan desa tahun 2013 bahwa pendapatan perkapita masyarakat setempat hanya mencapai rata-rata 35 ribu/hari. Tentu saja pendapatan tersebut masih tergolong rendah jika harus memenuhi biaya kehidupan sehari-hari seperti makan, pendidikan, serta biaya hidup lainnya. Sehingga pendidikan anak-anak yang ada di desa tersebut sangat rendah, bahkan sebagian dari mereka harus putus sekolah karena lebih mementingkan membantu orang tua daripada melanjutkan pendidikan.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak). Anak merupakan tunas bangsa yang merupakan generasi penerus di masa depan. Dalam diri seorang anak terdapat hak-hak manusia seutuhnya. Berbeda dengan kategori dewasa, anak-anak memiliki hak-hak lebih daripada kewajibannya.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi pekerja atau buruh. Menurut Endrawati (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak-anak menjadi pekerja di sektor informal adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1

Data Pekerja Anak Berdasarkan Faktor Penyebab NO Faktor Penyebab Bekerja Jumlah Pekerja

Anak Prosentasi 1 Diajak Teman 22 44% 2 Orang tua 8 16% 3 Diajak tetangga 7 14% 4 Ikut-ikutan / coba-coba 13 26% N 50 100% (Sumber: Endrawati, 2011)

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak yang bekerja di sektor informal dikarenakan ajakan dari teman bermain. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja anak-anak tersebut banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman sebaya mereka. Dalam hal ini, mereka banyak mengganti waktu bermain mereka menjadi waktu bekerja.

Masa kanak-kanak yang seyogyanya diisi dengan masa bermain dan belajar bersama teman dan mengembangkan kreatifitasnya setinggi tingginya. Hal tersebut merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 pasal 28A sampai 28J, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak pasal 16 dan Undang-Undang Perlindungan aanak No. 23 Tahun 2002 Bab III pasal 4 sampai pasal 19 mengenai Hak Anak.

Di perdesaan maupun di perkotaan, perlakuan terhadap individu dipicu dengan adanya status sosial dan kelas. Perlakuan masyarakat terhadap kelompok atau individu yang memiliki status sosial dan kelas sosial yang lebih tinggi tentunya berbeda dengan yang lebih rendah. Perbedaan tersebut diimplementasikan melalui berbagai bentuk simbol dan sikap masyarakat. Berbagai kebiasaan serta adat istiadat yang ada di perkotaan maupun di perdesaan

banyak menggambarkan perbedaan status. Bahkan tidak jarang ada individu yang diberikan julukan atau predikat oleh masyarakat sesuai dengan status serta prestise yang ada pada individu tersebut.

Masyarakat perdesaan maupun masyarakat perkotaan memiliki nilai serta norma yang berlaku untuk menjaga keseimbangan sistem masyarakat. Nilai serta norma yang ada antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan berbeda satu sama lain. Seperti yang telah dijelaskan di atas, antara perdesaan dengan perkotaan memiliki perbedaan yang krusial pada sistem solidaritasnya.

Seiring dengan keanekaragaman budaya di desa dan kota seperti yang telah dijelaskan di atas. Masyarakat memiliki istilah tersendiri untuk individu yang memiliki predikat serta prestise tertentu dalam masyarakat. Di kota-kota besar seperti di Medan, Jakarta dan Bandung, masyarakat menyebut anak-anak yang hidup di kelas menengah atas dan tinggal dengan kekayaan yang melimpah dari orang tuanya biasa disebut sebagai “anak gedongan”. Berbeda dengan masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat pesisir di beberapa daerah seperti di Desa Bogak, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara. Masyarakat memberikan julukan “anak itik” kepada anak-anak yang membantu nelayan.

Fenomena “anak itik” tersebut merujuk pada pekerja anak-anak. “Anak itik” biasanya membantu nelayan dalam hal membersihkan kapal dan jaring, bahkan tidak jarang “anak itik” juga ikut melaut bersama nelayan untuk mencari ikan atau hasil laut lainnya. Dengan kata lain, “anak itik” merupakan pekerja di sektor informal.

“Anak itik” di Desa Bogak merupakan bagian dari budaya yang ada di Desa Bogak. “Anak itik” juga merupakan bentuk sosialisasi pendewasaan dari masyarakat melalui ranah pekerjaan dengan harapan nantinya para pekerja anak tersebut menjadi individu yang sukses dan mandiri. Dengan kata lain, “anak itik” merupakan bagian dari kearifan lokal yang ada di Desa Bogak.

Selain itu, faktor ekonomi dari keluarga serta kebutuhan tenaga kerja dari nelayan yang ada sering kali mengakibatkan hak-hak anak tereksploitasi dikarenakan pekerjaan mereka. Tidak hanya dari orang yang mempekerjakan mereka saja, namun juga pihak keluarga sendiri mengabaikan hak-hak anak tersebut untuk dapat bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya mereka. Hukum perlindungan hak asasi manusia khususnya anak-anak telah ditetapkan, fenomena di masyarakat baik di perkotaan maupun di desa masih banyak yang mengabaikan aturan-aturan tersebut. Lebih jauh lagi, fenomena tersebut nampaknya telah menjadi kebiasaan tersendiri di beberapa daerah. Sebagai contoh adalah masyarakat di Desa Bogak, Kabupaten Batubara. “Anak itik” merupakan manifestasi dari pekerja anak di desa pesisir tersebut.

Pekerja anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap anak. Menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, usia yang digolongkan sebagai anak-anak adalah usia 18 tahun kebawah. Kemudian lebih lanjut dalam pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan usia mereka. Kenyataan yang terjadi pada pekerja anak adalah hal yang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut. Jika ditelaah lebih

jauh lagi, “anak itik” merupakan pekerja anak yang dilarang dalam hukum positif dan tentunya melanggar undang-undang tersebut.

“Anak itik” di Desa Bogak dipekerjakan oleh toke dan nelayan untuk membantu mereka dalam berbagai jenis pekerjaan dari yang sulit hingga yang mudah seperti mengutip ikan di sampan. Terjadi perubahan konsep pada “anak itik” di Desa Bogak ketika mereka ikut melaut bersama nelayan. Ketika mereka ikut melaut maka mereka dikategorikan sebagai anak buah kapal (ABK). Maka ketika “anak itik” berada di kapal dan ikut melaut bersama nelayan, pekerjaan yang mereka lakukan tentu berbeda dari hanya sekedar membersihkan kapal di pelabuhan.

Fenomena “anak itik” yang ada di Desa Bogak merupakan bentuk nyata dari mutualisme antara eksploitasi industrial dan kearifan lokal yang ada pada masyarakat tersebut. Orang-orang yang mempekerjakan mereka tidak jarang adalah orang tua mereka sendiri yang bekerja sebagai nelayan. Adanya keinginan “anak itik” untuk membantu orang tua mengakibatkan “anak itik” ikut membantu nelayan dengan banyak mengabaikan hak-hak mereka serta memenuhi keinginan masyarakat sebagai salah satu bentuk kearifan lokal diri bagi mereka. Lebih jauh lagi, kearifan lokal tersebut bertentangan dengan hukum positif yang ada, dikarenakan hak-hak anak yang tidak dipenuhi oleh keluarga maupun masyarakat.

Hal tersebut adalah salah satu dari bentuk kekerasan simbolis yang dirasakan oleh “anak itik” di desa tersebut. Secara tidak sadar “anak itik” telah mengalami kekerasan yang tidak disadari oleh mereka dalam bentuk pengabaian

hak-hak mereka, serta korban dari mutualisme antara eksploitasi masyarakat industri dengan kearifan lokal. Pengabaian hak-hak mereka yang tidak mereka sadari dengan jelas merupakan kekerasan simbolis yang dialami oleh pekerja anak di Desa Bogak tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial, dimana anak-anak yang seharusnya mengisi waktu mereka dengan bermain dan berkreatifitas bersama teman-teman sebaya. Ada sebuah kearifan lokal yang mengikat mereka secara implisit untuk menjadi “anak itik” sebagai fase pertumbuhan untuk menjadi orang yang sukses nantinya. Sedangkan pada dasarnya, anak-anak dilarang dipekerjakan karena melanggar hak asasi. Maka peneliti menyimpulkan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sosialiasi “anak itik” yang dilakukan oleh keluarga dan toke mereka?

2. Bagaimanakah kekerasan simbolik yang terjadi pada “anak itik” di Desa Bogak?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana sosialisasi “anak itik” yang dilakukan oleh keluarga dan toke mereka.

Dokumen terkait