BAB III KENDALA YANG DIHADAPI APARAT PENEGAK HUKUM
B. Sarana dan fasilitas aparat dalam penanggulangan tindak pidana
………91
DAFTAR
ABSTRAK
Tessa Yudistira* Liza Erwina SH., M.Hum** Rafiqoh Lubis SH., M.Hum***
*
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU **
Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ***
Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
Globalisasi teknologi informasi yang telah mengubah dunia ke era cyber dengan sarana internet yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cybercrime, kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Cybercrime dapat dilakukan melalui sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran dan komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut untuk melakukan penelitian terhadap Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Teknologi Informasi dalam sripsi ini dibatasi dalam 2 (dua) permasalahan yaitu: Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi di Indonesia ? dan Bagaimana kendala yang di hadapi aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi ?
Permasalahan-permasalahan tersebut bertujuan untuk mengetahui dan memahami kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi di Indonesia. Adapun Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis norma hukum berupa bahan – bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan.
Upaya penegakan hukum tidak hanya terbatas terhadap peningkatan kemampuan, sarana dan prasarana aparat penegak hukum tetapi juga diiringi kesadaran hukum masyarakat yang didukung dengan kerjasama dengan penyedia layanan internet. Dalam hal kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi pada masa yang akan datang hendaknya berada dalam system hukum pidana yang berlaku saat ini, hal ini juga harus didukung dengan meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional terutama aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi.
ABSTRAK
Tessa Yudistira* Liza Erwina SH., M.Hum** Rafiqoh Lubis SH., M.Hum***
*
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU **
Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ***
Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
Globalisasi teknologi informasi yang telah mengubah dunia ke era cyber dengan sarana internet yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cybercrime, kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Cybercrime dapat dilakukan melalui sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran dan komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut untuk melakukan penelitian terhadap Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Teknologi Informasi dalam sripsi ini dibatasi dalam 2 (dua) permasalahan yaitu: Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi di Indonesia ? dan Bagaimana kendala yang di hadapi aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi ?
Permasalahan-permasalahan tersebut bertujuan untuk mengetahui dan memahami kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi di Indonesia. Adapun Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis norma hukum berupa bahan – bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan.
Upaya penegakan hukum tidak hanya terbatas terhadap peningkatan kemampuan, sarana dan prasarana aparat penegak hukum tetapi juga diiringi kesadaran hukum masyarakat yang didukung dengan kerjasama dengan penyedia layanan internet. Dalam hal kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi pada masa yang akan datang hendaknya berada dalam system hukum pidana yang berlaku saat ini, hal ini juga harus didukung dengan meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional terutama aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.1
Proses globalisasi tersebut membuat suatu fenomena yang mengubah model komunikasi konvensional dengan melahirkan kenyataan dalam dunia maya (virtual reality) yang dikenal sekarang ini dengan internet. Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti berpikir, berkreasi, dan bertindak dapat diekspresikan di dalamnya, kapanpun dan dimanapun. Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang dikenal dengan dunia maya (Cyberspace) atau dunia semu yaitu sebuah dunia komunikasi
Revolusi yang dihasilkan oleh teknologi informasi dan komunikasi dalam era global peradaban dunia pada masa kini biasanya dilihat dari singkatnya jarak , penghilangan batas-batas negara dan zona waktu serta peningkatan efisiensi dalam pengumpulan,penyebaran,analisis dan mungkin juga penggunaan data. Revolusi tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi ujung tombak era globalisasi yang kini melanda hampir seluruh dunia.
1
Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Menimbang : point c
berbasis computer yang menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).2
Percepatan kemajuan teknologi informasi khususnya media internet, dirasakan banyak memberikan manfaat seperti dari segi keamanan, kenyamanan dan kecepatan. Contoh sederhana, dengan dipergunakan internet sebagai sarana pendukung dalam pemesanan/reservasi tiket (pesawat terbang,kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon,listrik, telah membuat konsumen semakin nyaman dan aman dalam menjalankan aktivitasnya. Kecepatan melakukan transaksi perbankan melalui e-banking, memanfaatkan e-commerce untuk mempermudah melakukan pembelian dan penjualan suatu barang serta menggunakan e-library dan e-learning untuk mencari referensi atau informasi ilmu pengetahuan yang Komunitas masyarakat yang ikut bergabung di dalamnya pun kian hari semakin meningkat. Kecenderungan masyarakat untuk berkonsentrasi dalam cyberspace merupakan bukti bahwa internet telah membawa kemudahan-kemudahan bagi masyarakat.
Bagi sebagian orang munculnya fenomena ini telah mengubah perilaku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain, baik secara individual maupun secara kelompok. Perubahan-perubahan tersebut dapat mengenai nilai-nilai sosial, pola-pola perikelakuan,organisasi, susunan lembaga-lembaga masyarakat dan wewenang interaksi sosial dan lain sebagainya.
2 Agus Rahardjo,. Cybercrime pemahaman dan upaya pencegahan kejahatan
dilakukan secara on line karena dijembatani oleh teknologi internet baik melalui komputer atau pun hand phone.
Penggunaan teknologi internet juga tidak dapat dipungkiri membawa dampak negative yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada. Internet membuat kejahatan seperti pengancaman, pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan hingga tindak pidana terorisme kini melalui media internet beberapa jenis tindak pidana tersebut dapat dilakukan secara on line oleh individu maupun kelompok dengan resiko tertangkap yang sangat kecil dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun negara. Fenomena tindak pidana teknologi informasi merupakan bentuk kejahatan yang relative baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional.
Contoh yang ada , para maniak penjudi dapat dengan mudah mengakses situs judi online seperti www.indobandar.com. atau www.indobet.asia dan banyak lagi situs sejenis yang menyediakan fasilitas tersebut dan memanfaatkan fasilitas internet banking untuk pembayarannya tanpa harus bertemu secara fisik. Selain itu masih banyak lagi kejahatan yang memanfaatkan Internet. Seorang hacker bernama Dani Hermansyah, pada tanggal 17 April 2004 melakukan deface (Deface disini berarti mengubah atau mengganti tampilan suatu website) dengan mengubah nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id, yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu. Dikhawatirkan, selain nama–nama partai yang diubah bukan tidak mungkin angka-angka jumlah pemilih
yang masuk di sana menjadi tidak aman dan dapat diubah, padahal dana yang dikeluarkan untuk sistem teknologi informasi yang digunakan oleh KPU sangat besar sekali. 3
Teknik lain adalah yang memanfaatkan celah sistem keamanan server alias hole Cross Server Scripting (XXS) yang ada pada suatu situs. XXS adalah kelemahan aplikasi di server yang memungkinkan user atau pengguna menyisipkan baris-baris perintah lainnya. Biasanya perintah yang disisipkan adalah Javascript sebagai jebakan, sehingga pembuat hole biasa mendapatkan informasi data pengunjung lain yang berinteraksi di situs tersebut. Makin terkenal sebuah website yang mereka deface, makin tinggi rasa kebanggaan yang didapat.4
Seperti yang telah di uraikan di atas ,maka dapat kita lihat bahwa kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Semua aksi itu dapat dilakukan hanya dari depan komputer yang memiliki akses Internet tanpa takut diketahui oleh orang lain/saksi mata, sehingga kejahatan ini termasuk dalam Transnational Crime/kejahatan antar negara yang pengungkapannya sering melibatkan penegak hukum lebih dari satu negara. Mencermati hal tersebut dapatlah disepakati bahwa kejahatan IT/Cybercrime memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana
Cara-cara inilah yang menjadi andalan saat terjadi cyber war antara hacker Indonesia dan hacker Malaysia dikarenakan pengakuan budaya reog oleh pemerintah Malaysia, sehingga terjadi perusakan website pemerintah Indonesia dan Malaysia oleh para hacker kedua negara tersebut.
3
Akbar Kaelola,Black Hacker vs White Hacker,Mediakom, Yogyakarta, 2010, hal 39 4
Kiddo, Hacking Website : menemukan celah keamanan dan melindungi dari serangan
umum baik dari segi pelaku, korban, modus operandi dan tempat kejadian perkara . Kemajuan cara berpikir manusia dan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya haruslah diantisipasi dengan hukum yang mengaturnya. Dampak negatif tersebut harus diantisipasi dan ditanggulangi dengan hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Secara internasional hukum yang terkait kejahatan teknologi informasi digunakan istilah hukum siber atau cyber law. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.5
Sehubungan dengan tindak pidana di dunia maya yang terus berkembang, pemerintah telah melakukan kebijakan dengan terbitnya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diundangkan pada tanggal 21 April 2008. Undang-undang ITE merupakan payung hukum pertama yang mengatur khusus terhadap dunia maya (cyber law) di Indonesia. Substansi/materi yang diatur dalam UU ITE ialah menyangkut masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-comerce, azas persaingan usaha-usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan hukum Internasional serta azas Cybercrime. Undang-undang tersebut mengkaji cyber case dalam beberapa sudut pandang secara komprehensif dan spesifik, fokusnya adalah semua aktivitas yang dilakukan dalam cyberspace seperti perjudian, pornografi, pengancaman,
5
Penjelasan umum Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
penghinaan, penyusupan data, penghancuran data(cracking) dan menjadikan seolah dokumen otentik (phising) .
Untuk dapat melakukan pembahasan yang mendalam mengenai masalah ini maka perlu dilakukan penelitian yang mendalam agar memberi gambaran yang jelas dalam menentukan kebijakan dalam menanggulangi tindak pidana teknologi informasi melalui hukum pidana. Kebijakan hukum pidana tersebut pada hakekatnya bertujuan sebagai upaya perlindungan masyarakat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat
Adanya fenomena seperti yang diuraikan di atas membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai penerapan hukum pidana dalam tindak pidana teknologi informasi , sehingga berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian dengan judul :
Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Teknologi Informasi Dari Perspektif UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut 1. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi
informasi di Indonesia ?
2. Bagaimana kendala yang di hadapi aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi di Indonesia
2. Mengetahui kendala yang di hadapi oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi
Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Sebagai bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam usaha untuk meningkatkan kesadaran terhadap bahaya tindak pidana teknologi informasi yang penulis dapatkan setelah melalui serangkaian studi pustaka.
2. Manfaat praktis
Memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus tindak pidana.
D. Keaslian Penulisan
Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana,akan tetapi tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul yang diangkat yaitu tentang ”KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”.oleh sebab itu,tulisan ini merupakan buah karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan dan apabila ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya terdapat di perpustakaan Departemen Hukum Pidana.
E. Tinjauan Kepustakaan. 1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa yang terjadi didalam hukum pidana.6
a) Moeljatno setelah memilih perbuatan-pidana sebagai terjemahan dari ‘‘Strafbaar Feit”,beliau memberi suatu perumusan (pembatasan) sebagai
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Sebelum dicoba memberikan perumusan tindak pidana, terlebih dahulu akan disitir beberapa perumusan yang telah diperkenalkan oleh beberapa sarjana/ ahli hukum sebagai berikut :
6
Bambang Poernomo, Azas- Azas Hukum Pidana, Gahlia Indonesia, Yogyakarta , 1976, hal. 124
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut, dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tata pergaulan didalam masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus unsur formil, yaitu mencocoki rumusan undang-undang (Tatbestandmaszigkeit) dan unsur materil, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (Rechtswirdigkeit)7 b) R. Tresna setelah mengemukakan bahwa sungguh tidak mudah memberikan
suatu ketentuan atau definisi yang tepat, mengatakan bahwa : Peristiwa – Pidana ialah sesuatu perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Beliau menerangkan bahwa perumusan tersebut jauh daripada sempurna, karena dalam uraian beliau selanjutnya diutarakan bahwa sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana, apabila telah memenuhi persyaratan yang diperlukan.
8
c) Wirjono Prodjodikoro merumuskan, bahwa Tindak-pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.9
7
Moelijatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana, Bina Aksara,Yogyakarta,1983, hal. 17
8
Sr Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 207 9
Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Eresco, Jakarta,1969, hal. 27
Sungguhpun telah banyak diperkenalkan perumusan dari tindak pidana diatas, diantara sarjana itu ada yang merasa yakin atas kelengkapan dari perumusannya, ada yang mengakui ketidak-sempurnaannya. Seperti telah disinggung diatas, istilah Tindak dari Tindak-Pidana adalah merupakan singkatan dari Tindakan atau Penindak. Artinya adanya orang yang melakukan suatu Tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak. Mungkin sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetap dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jenis kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada Negara/ pemerintah, atau
seseorang dari golongan lainnya yang hidup didalam masyarakat. Antara penindak dengan suatu tindakan yang terjadi harus ada hubungan
kejiwaan (pshycologis), selain daripada penggunaan salah satu bagian tubuh, panca indra atau alat lainnya sehingga terwujudnya sesuatu tindakan.Hubungan kejiwaan itu adalah sedemikian rupa dimana petindak dapat menilai tindakannya, dapat menentukan apakah akan dilakukan atau dihindarinya, dapat pula menginsyafi ketercelaan atas tindakannya itu, atau setidak-tidaknya, oleh kepatutan dalam masyarakat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela. Bentuk hubungan kejiwaan itu (dalam istilah hukum-pidana) disebut kesengajaan atau kealpaan, selain daripada itu tiada terdapat dasar-dasar atau alasan peniadaan bentuk hubungan kejiwaan tersebut.10
10
Ibid, hal 28
Tindakan yang dilakukannya itu harus bersifat melawan hukum. Dan tidak
hukum dari tindakan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa ditinjau dari suatu kehendak (yang bebas) dari petindak, maka kesalahan itu adalah merupakan “kata hati” (bagian terdalam) dari kehendak itu, sedangan sifat melawan hukum dari
tindakan itu merupakan “pernyatan “ (bagian luar) dari kehendak itu.11 Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan
hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atu tidak langsung terkena dari tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum disamping kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Dan apabila penguasa tidak turun tangan maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak aka nada habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban, dan kesehjahteraan didalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan.12
11
Ibid, hal 29 12
Ibid, hal. 30
Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umum/ masyarakau termasuk kepentingan perorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu, dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi dari suatu tempat dimana dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku; Dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluarsa); dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan
dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat, dan keadaan (WTK) ini dilihat dari sudut Hukum Pidana Formal, maka ia sangat penting. Karena tanpa kehadirannya dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum. Jadi sama dengan dengan unsur-unsur lainnya yang harus hadir/terbukti. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak-pidana sebagai : “Suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu , yang dilarang (diharuskan ) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan oleh seseorang (yang mampu bertanggungjawab)”.13
Pada awal sejarah, manusia bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi. Bahasa memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain. Tetapi bahasa yang disampaikan
2.Teknologi Informasi dan Perkembanganya
Revolusi yang dihasilkan oleh teknologi informasi biasanya dilihat dari sudut pandang penurunan jarak geografis, penghilangan batas-batas negara dan zona waktu, dan peningkatan efisiensi dalam memanipulasi pengumpulan, penyebaran, analisis, dan mungkin juga penggunaan data. Munculnya keseluruhan dunia sebagai satu komunitas ekonomi global dan komplikasi lebih lanjut dari operasi bisnis telah mengakibatkan suatu konsekuensi paling penting dari revolusi ini.
13
E.Y Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar saja, yaitu hanya pada saat si pengirim menyampaikan informasi melalui ucapannya itu saja. Setelah ucapan itu selesai, maka informasi yang berada di tangan si penerima itu akan dilupakan dan tidak bisa disimpan lama. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak tertentu, meskipun masih terdengar, informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali.14
Keberhasilan dalam memadukan teknologi tersebut atau yang dikenal dengan istilahteknologi informasi (information technology) pada tahun 1970 mulai dimanfaatkan untuk keperluan non-militer oleh berbagai universitas. Pada dekade inilah sebenarnya manusia telah memasuki era baru yaitu melalui perkembangan teknologi informasi telah dimanfaatkan manusia hampir di semua aspek kehidupan. Istilah teknologi informasi sendiri pada dasarnya merupakan gabungan dua istilah dasar yaitu teknologi dan informasi. Teknologi dapat