• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Pustaka

4) Sarung Sutra Mandar (Lipa’ Sa’be Mandar)

Pada awalnya dunia tidak tahu kain sutera dibuat dari serat yang diambil dari sejenis binatang ulat, sampai kemudian pendeta-pendeta Eropa mencuri sejumlah bibit ulat sutra dan murbei dari China dan membawanya ke Eropa. Sudah berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad lamanya orang China sudah memiliki pengalaman memelihara ulat sutra. Sutra masuk ke indonesia diperkirakan jelah abad 14 jauh lebih awal, dibawa oleh para pelaut dan tentara China yang mengunjungi kerajaan di Nusantara.

18

Industri tenunan sutra di Mandar dibarengi dengan pemeliharaan ulat sutra dan tanaman murbei. Meskipun demikian produksi benang sutra lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan permintaan penenun di Mandar. Masyarakat penenun di Mandar menggunakan benang-benang import yang datang dari India dan China. Jenis-jenis benang tersebut memiliki kualitas yang berbeda-beda. Benang India adalah benang sintesis yang disebut crayon. Benang memiliki sedikit unsur sutra tetapi cenderung lebih kuat dan tidak mudah putus, harganyapun lebih murah. Benang China kualitasnya lebih baik dan harganyapun jauh lebih mahal.

Tenunan tradisional sutra masyarakat Mandar telah berlangsung cukup lama dan telah mengalami pasang surutnya sesuai dengan perkembangan zaman. Hingga saat ini tenunan tradisional tersebut dapat ditemukan dalam masyarakat. Dalam perjalanan waktu tenunan tradisional sutera mengalami perkembangan mengikuti zaman. Perkembangan itu terdorong oleh aspek internal dalam kebudayaan Mandar dan juga aspek eksternal. Dalam kehidupan sehari-hari orang Mandar ingin maju dan seperti banyak masyarakat dan kebudayaan lainnya di indonesia sehingga masyarakat Mandar harus melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya. Demikian halnya dalam budaya berbusana merekapun membutuhkan pakaian yang tidak lagi terpaku pada masa lalu dengan warna-warna suram dan gelap, sehingga warna-warna dan motif sarung sutera yang mereka tenun semakin lebih bervariatif.

Sarung sutra Mandar (lipa’ sa’be) merupakan salah satu warisan budaya Mandar yang sampai saat ini masih dilestarikan yang memiliki nilai jual tinggi

19

yang dibuat oleh perempuan-perempuan yang tidak memiliki kegiatan. Alat tenun yang digunakan oleh pengrajin masih tradisional yang difungsikan secara manual dalam proses pembuatannya, sehingga membutuhkan ketelitian dan kesabaran dengan waktu yang cukup lama dengan pemilihan bahan sesuai dengan keinginan konsumen.

Sarung Mandar yang bercorak kotak-kotak dibangun atas garis-garis lurus yang berdiri vertikal dan melintang secara horizontal dan saling berpotongan antara satu dengan yang lainnya. Garis-garis tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kuat dan tegasnya aturan dalam dalam masyarakat Mandar yang mengatur hubungan secara Vertikal antara rakyat dan pemimpinnya dan di antara sesama pemimpin atau sesama rakyat secara horizontal dengan memperhatikan strata-strata dalam masyarakat. Selain itu juga ditemukan hubungan yang senantiasa dipelihara oleh masyarakat Mandar dalam kehidupan religius mereka dengan menjaga hubungan dengan manusia (habluminnas) dan hubungan dengan Allah (habluminallah).

Oleh masyarakat Mandar menyebut bentuk garis-garis yang saling berpotongan itu sebagai “pagar” sesuai dengan fungsinya maka pagar adalah sebuah benda yang ditemukan dalam kehidupan yang berfungsi untuk :

1) Menjaga dan melindungi rumah atau sesuatu dari ancaman atau gangguan dari luar dirinya.

2) Pagar juga berfungsi untuk menjadi pemisah antara yang baik dan yang tidak bukan serta pemisah bagian-bagian dari suatu keutuhan.

20

Sehingga dalam kehidupan sarung sutra Mandar yang berbentuk pagar itu dapat dijadikan penjaga dan pelindung kehormatan bagi pemakainya. Sarung Mandar sebagai pemisah dapat dimaknai bahwa orang yang memakai sarung menutup bagian-bagian tubuh yang harus tertutup sebagai bagian kehormatan manusia. Selain itu dengan melihat orang memakai sarung sutra maka akan diketahui strata sosial seseorang.

Meskipun masyarakat Mandar telah memasuki era modern dengan berbagai kemajuan teknologi yang semakin canggih namun dalam menenun kain sutera mereka tetap mempertahankan alat tenun tradisional (gedokan atau dalam bahasa mandar panette). Meskipun dalam perkembngannya alat tenun ini juga telah diciptakan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang bisa memproduksi lebih banyak dibanding alat gedokan/panette namun masyarakat masih bertahan menggunakan alat tradisional mereka. Alat-alat yang digunakan dalam proses menenun dan membuat motif sarung sutra Mandar adalah Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) alat tenun gedogan yang difungsikan dengan posisi penenun duduk dilantai. Proses menenun sarung sutra Mandar sejak dahulu dilakukan dengan alat yang disebut parewatandayang yang diciptakan dan diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Mandar dari generasi kegenerasi. Alat-alat tersebut diantaranya sebagai berikut: panggalenrongan, sautan, potandayangan, pamalu’,patakko, palapa, pallumu-lumu, pappaottong, palapa ta’bu, aweran, susu ale’, ale’, panette’, suru’, passa, patakko passa, talutan, gulang pondo’, passolloran, tora, pappamalingan, unusan, dan roeng.

21

Bahan-bahan dalam proses pembuatan motif tradisional sarung sutra Mandar umumnya menggunakaan pewarna sintetis yang dalam bahasa Mandar disebut (cingga’). Masyarakat yang menggunakan pewarna alam dalam proses pewarnaan sudah jarang ditemukan. Alasan utama masyarakat menggunkaan pewarna sintetis sebagai bahan pewarna benang adalah karena lebih efesien dan efektif dari segi penggunaan waktu.

Pewarna sintetis mudah ditemukan dan mudah dalam proses pewarnaan benang, sedangkan jika menggunakan pewarna alam penenun terlebih dahulu harus mencari bahannya di alam, lalu diolah sedemikian rupa sehingga membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama jika dibandingkan dengan pewarna alam. Meskipun penenun banyak yang beralih menggunakan pewarna sintetis, namun jika ada pelanggan yang memesan sarung dengan pewarna alam, maka penenun akan menggunkaan pewarna alam sebagai bahan dasar mewarnai benang.

Proses pembuatan motif tradisonal sarung sutra Mandar dikelompokkan menjadi 2 tahap, yaitu proses persiapan dan proses menenun. Proses persiapan yang dimaksud disini yaitu proses mempersiapkan benang lungsi dengan cara digalenrong pada alat roeng dan panggalenrongan. Setelah tahap ini, langkah selanjutnya adalah menyusun benang lungsi pada alat sautan. Dalam bahasa Mandar proses ini disemut massumau’.

Setelah benang lungsi disusun, langkah selanjutnya adalah menenun sarung sekaligus membentuk motif. Proses ini melalui 3 tahap, yaitu:

a) Mappamaling adalah mengisi benang pakan dengan menggunakan alat unusan dan pappamalingan.

22

b) Mappatama. Mappatama dalam bahasa Mandar berarti memasukkan, dalam hal ini adalah memasukkan benang lungsi yang telah dilepas dari sautan. Pada tahap ini, benang lungsi dipasang pada patakko. Patakko tersebut dipasang pada pamalu’. Agar benang lungsi tidak lepas dari patakko, maka benang tersebut di sanggah dengan menggunkaan lidi.

c) Manette’. Proses ini merupakan proses inti dari kegiatan

d) menenun. Manette’ merupakan proses membentuk persilangan antara benang pakan dan benang lungsi dengan cara ditekan menggunkaan alat yang disebut panette’. Adapun proses manette adalah sebagai berikut:

1) Penenun memasuki parewatandanyang (tempat menenun) dan duduk diantara passa dan talutan.

2) ambil tora yang berisi benang pakan kemudian disorong sampai pada pinggir benang lungsi, lalu tekan dengan menggunkan panette’.

3) Susu ale’ ditarik ke atas dan tora dikembalikan pada posisi semula kemudian ditette’ lagi beberapa kali.

4) Setiap kali susu ale’ ditarik ke atas, maka panette’ harus selalu ditekan. Demikian seterusnya hingga menjadi selembar kain.

5) Jika sampai pada ukuran sassuru’, langkah selanjutnya adalah membuat pucca atau kepala sarung.

Proses pembuatan motif pada benang (mambunga) dilakukan dengan teknik manjo’jo’. Teknik ini disebut juga dengan teknik usap. Umumnya, benang

23

yang digunakan adalah benang India, namun jika ada yang memesan benang sutra asli maka pambunga menggunakan sutra asli untuk diberi warna.

Sebelum benang diberi warna, langkah awal yang dilakukan adalah mempersiapkan benang dengan cara: benang dirapikan pada alat roeng. Setelah rapi, benang diproses lagi pada alat ayungan. Pada proses ini, benang di bagi menjadi 9 bagian-bagian kecil dengan perhitungan 7 kali putaran 2 kali bolak balik. Selanjutnya benang dimasukkan kedalam pambedangan lalu diberi warna menurut pola tertentu (4 warna atau panca warna). Langkah selanjutnya adalah menjemur benang yang telah diberi warna. Benang yang telah kering dapat digunakan untuk menenun, namun terlebih dahulu harus di pindahkan pada pappamalingan.

Motif klasik sarung sutra Mandar merupakan garis-garis yang simetris antara garis vertikal (lungsi) dan horizontal (pakan) yang saling menyilang secara bergantian hingga membentuk kotak-kotak seperti papan catur. Untuk sureq mara’dia, sureq 99 dan sureq parara ta’bu, motif dibentuk pada saat proses menenun dilakukan, dengan kata lain motif-motif tersebut akan terbentuk pada saat ditenun. Penenun tidak melakukan proses mendesain melainkan mereka membuat motif dengan berpatokan pada sisa-sisa kain dari potongan sarung yang telah dibuat yang di pasang dekat alat sautan.

Selain mempertahankan corak –corak lama dalam tenunan tradisional, merekapun menciptakan motif-motif baru dengan menyesuaikan berbagai perkembangan. Motif –motif baru yang tercipta tersebut sebagian adalah perkembangan corak-corak lama, sebagian pesanan dari orang-orang penting

24

(tokoh masyrakat), dan sebagian lagi terinspirasi oleh alam dan lingkungan masyarakat Mandar.

Lestarinya tenunan tradisional sutera ini disebabkan oleh karena hasil tenunan masih dibutuhkan masyarakat, baik oleh masyarakat Mandar sendiri juga oleh masyarakat diluar Mandar. Sutera hasil tenunan tradisional Mandar dengan mutunya yang cukup baik. Selain tenunannya halus coraknya pun cukup bervariasi dengan sejumlah warna pilihan. Dalam masyarakat Mandar juga masih cukup banyak masyarakat khususnya kaum perempuan yang berminat untuk belajar menenun utama dari kalangan generasi muda. Sehingga dalam masyarakat mandar masih menjadi pewarisan keterampinan menenun dari generasi tua ke anak cucu mereka. Keadaan yang demikian membuat tenunan tradisional sutera mandar ini dapat lestari hingga saat ini.

Tradisi menenun dalam masyarakat Mandar menjadi satu bentuk usaha keluarga yang menjadi perwujudan dan konsep sibali parri yang mendudukkan perempuan sebagai pendamping kaum lelaki untuk bersama-sama memikul tanggung jawab membangun keluarganya. Di samping itu tradisi menenun juga menjadi lembaga pendidikan keluarga bagi anak-anak remaja putri Mandar untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan budaya.

Dokumen terkait