• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

SC SV UMK PE PTT Kuning

3226 Manokwari 46 179 53,8 8,2 62 3008 Lopintol 39 180 26,6 4 30,6 7724 Wailebet 42 181 29,2 5,7 34,9 6495 Saukorem 46 177 46 7 53 6498 Saukorem 45 182 47 8 55 7625 Urbinasopen 45 184 32,7 6,3 39 7723 Urbinasopen 43 183 31,8 4,9 36,7 Mode 45, 46 - Coklat 1453 Mindiptana 44 182 21,3 4,2 25,5 JP Pulau Yapen 40 183 27,1 3,8 30,9 Mode - - Keterangan :

SC : Sisik subcaudal; SV : Sisik ventral; UMK : Panjang ujung mulut-kloaka; PTT : Panjang total tubuh; PE : Panjang ekor

Hasil analisis ukuran tubuh pada jenis kelamin ular M. ikaheka (Tabel 4) menunjukkan bahwa ular jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang tidak berbeda nyata (P>5%). Ukuran tubuh semua kelompok warna (Tabel 5) juga menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>5%).

27

Tabel 4. Perbedaan ukuran tubuh pada jenis kelamin. Probabilitas (P>5 %) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

No. Ukuran Bagian Tubuh Jenis Kelamin t Probabilitas (%) E (n=7) C (n=13) 1. PTT (mean + Stdev) 124.06 + 12.62 107.38 + 29.17 1.353 19.3 2. UMK 109.33 + 11.83 93.28 + 27.00 1.483 15.5 3. PE 14.729 + 1.791 14.092 + 2.586 0.577 57.1 4. PK 4.0157 + 0.477 3.8500 + 0.981 0.417 68.1 5. LK 2.5300 + 0.398 2.2931 + 0.669 0.852 40.5 6. DTB 2.9680 + 0.255 2.4527 + 0.843 1.317 20.9 7. DPE 1.3560 + 0.175 1.1364 + 0.264 1.68 11.5 8. JMH 0.7000 + 0.044 0.5827 + 0.134 1.879 8.12 9. JMM 1.5680 + 0.141 1.2473 + 0.343 1.983 6.74 10. JMUM 1.2340 + 0.131 0.9818 + 0.286 1.853 8.5

Tabel 5 Perbandingan nilai rata-rata ukuran tubuh ketiga kelompok warna

No. Ukuran Bagian Tubuh Warna Hitam (n=3) Kuning (n=13) Coklat (n=4) 1. PTT (mean + Stdev) 121.93 + 7.44 106.38 + 23.22 128.88 + 36.68 2. UMK 107.53 + 6.83 91.86 + 20.82 115.30 + 34.26 3. PE 14.400 + 0.872 14.523 + 2.541 13.575 + 2.553 4. PK 3.8933 + 0.504 3.8092 + 0.787 4.2400 + 1.227 5. LK 2.3567 + 0.464 2.2938 + 0.560 2.6575 + 0.812 6. DTB 2.7650 + 0.077 2.6118 + 0.847 2.5200 + 0.717 7. DPE 1.2700 + 0.212 1.1982 + 0.272 1.1867 + 0.309 8. JMH 0.6750 + 0.021 0.5991 + 0.134 0.6567 + 0.138 9. JMM 1.4600 + 0.056 1.3145 + 0.357 1.3933 + 0.380 10. JMUM 1.1800 + 0.028 1.0173 + 0.283 1.1400 + 0.346

PEMBAHASAN

Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka

Ular M. ikaheka pernah diperkenalkan menjadi dua subjenis yaitu M. ikaheka fasciatus dan M. ikaheka ikaheka oleh beberapa peneliti sebelumnya. Pembagian ini didasarkan pada variasi warna sisik dan zoogeografi. Subjenis M. ikaheka fasciatus diperkenalkan oleh Klemer (1963) diacu dalam O’Shea (1996) sebagai jenis endemik pulau Aru. Kemudian Loveridge (1948) diacu dalam O’Shea (1996) mengemukakan bahwa daerah asal M.i. fasciatus selain pulau Aru juga sampai Aitape (West Sepik) dan Gusiko (Morobe) PNG, sedangkan subjenis M. ikaheka ikaheka dibatasi pada daerah Irian Jaya (Papua) berdasarkan spesimen type dari Fak Fak. Karena dilengkapi data yang tidak cukup untuk membedakan antara kedua subjenis di daratan utama New Guinea, maka ular putih (small-eyed) yang diacu hingga sekarang adalah M. ikaheka, tidak dengan petunjuk dari salah satu subjenis (O’Shea 1996). Selanjutnya, Loveridge juga menyebutkan subjenis yang ketiga yaitu M. ikaheka elapoides dari kepulauan Salomon yang saat ini diperkenalkan sebagai jenis yang terpisah Loveridgelaps elapoides.

Penyebaran flora dan fauna pada suatu wilayah sangat berhubungan dengan sejarah geologi wilayah tersebut. Pulau Yapen adalah sebuah pecahan kecil dari Pegunungan Van Rees pada daratan utama New Guinea (Polhemus dan Allen 2007), yang menyebabkan fauna pada pulau ini bergabung dengan pantai utara Papua. Penyebaran ular M. ikaheka hingga Pulau Yapen diduga juga mengikuti pola biogeografi ini.

Zoogeografi ular M. ikaheka juga mencakup Kepulauan Aru (O’Shea 1996). Kepulauan Aru secara politik adalah bagian wilayah Maluku, tetapi termasuk biogeografi New Guinea yang pernah dihubungkan oleh daratan (Allison 2007). Kepulauan Aru merupakan satu-satunya kepulauan daratan yang sesungguhnya di kawasan ini, terletak kira-kira 125 km dari pesisir Papua (Monk et al. 2000).

Ular M. ikaheka tersebar hingga pulau Waigeo, Batanta dan Salawati walaupun pada kenyataanya pantai utara Pulau Salawati terpisah dengan Batanta oleh selat Sagawin. Selat Sagawin dengan jarak kurang lebih lima km, membuat diskontinyu biogeografik lokal hingga menyebabkan suatu pecahan vicarian bagi

29

spesies burung cenderawasih (Paradisaea minor dan Cicinnurus magnivicus) dimana kedua spesies burung ini tidak ada di Waigeo dan Batanta. Namun demikian, Polhemus dan Allen (2007) menyatakan bahwa selat Sagawin yang memberikan batas biogeografik bagi burung, merupakan sebuah hipotesa sementara yang perlu diverifikasi melalui survey lapangan pada masa mendatang.

Semua ular M. ikaheka tersebar pada hutan dataran rendah (22-305 m dpl), menghuni bagian teresterial hutan serta aktif pada malam hari. Walaupun ular M. ikaheka juga dapat hidup di sekitar rawa (O’Shea 1996), kondisi seperti di Pitohui tidak memungkinkan bagi kehidupan ular M. ikaheka.

Ular M. ikaheka yang merupakan jenis ular semi-fossorial tersebar mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 m dpl (O’Shea 1996). Pola penyebaran ular M. ikaheka di New Guinea adalah melewati garis pantai dan tidak melalui daerah pegunungan yang tinggi. Pada daerah Minyambouw (1700-2023 m dpl) ular M. ikaheka tidak ditemukan. Hutan di daerah Minyambouw termasuk hutan pegunungan menengah Johns (1997), yang mana faktor ketinggian tempat menyebabkan suhu sangat rendah (190C) dan diduga menyebabkan ular M. ikaheka tidak dapat hidup pada daerah ini. Sutarno (2005) menemukan masyarakat suku Hattam di daerah ini memanfaatkan daging dan lemak ular M. ikaheka untuk makanan tambahan dan obat tradisional, tetapi masyarakat harus mencari ke daerah yang lebih rendah. Informasi ini turut mendukung tidak tersebarnya ular M. ikaheka pada wilayah Minyambouw.

Kadal Shpenomorpus simus merupakan salah satu jenis pakan ular M. ikaheka. Kadal jenis ini adalah teresterial dan sering dijumpai pada lokasi-lokasi dimana ular M. ikaheka berada. Makanan ular M. ikaheka kurang diketahui, tetapi katak, kadal dan beberapa mamalia kecil merupakan mangsa utama ular ini (O’Shea 1996).

Pola Warna

Pola warna pada semua kelompok ular M. ikaheka yang ditelaah, sesuai dengan pendeskripsian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rooij (1917) dan O’Shea (1996), kecuali ular kelompok pertama (warna sisik hitam). Kelompok pertama merupakan kelompok ular M. ikaheka yang baru ditemukan dalam penelitian ini, sedangkan M. ikaheka kelompok kedua (warna sisik kuning) adalah

30

kelompok yang pernah diperkenalkan sebagai subjenis M. ikaheka ikaheka dan kelompok ketiga (warna sisik coklat) diperkenalkan sebagai subjenis M. ikaheka fasciatus. Warna sisik pada kelompok ketiga sama dengan kelompok M. ikaheka (Lampiran 6) yang tersebar di daerah Papua New Guinea (O’Shea 1996; Williams 2006). Pola warna sisik ini adalah ciri utama yang menggambarkan variasi dari setiap individu ular M. ikaheka. Perbedaan warna ini juga merupakan ciri utama pembeda antar individu pada setiap tempat.

Populasi ular M. ikaheka di bagian utara PNG memiliki warna yang berbeda dengan populasi di selatan (O’Shea 1996). Pada lampiran 6 dapat dilihat gambar ular M. ikaheka dari bagian utara dan selatan PNG. Ular M. ikaheka bagian utara memiliki warna yang lebih terang dengan pita yang lebih banyak dibanding bagian selatan. Spesimen utara memiliki warna sisik yang sama dengan spesimen dari daerah Mamberamo dan Pulau Yapen (pesisir utara Papua), sedangkan spesimen dari daerah Mindiptana dan Jayawijaya (Kelila dan lembah Baliem) memiliki warna sisik sama seperti M. ikaheka dari daerah selatan PNG. Pola warna ini berlanjut hingga ke arah barat Papua dan berangsur-angsur pitanya mulai memudar. Ular M. ikaheka asal Tanah Merah yang merupakan individu dengan warna transisi mengindikasikan fenomena tersebut. Selanjutnya semakin menjauh ke arah dataran Kepala Burung (vogelkop) hingga pulau-pulau di barat laut Papua, pola pita menjadi hilang total dan membentuk kelompok ular dengan pola warna yang berbeda. Proses evolusi sedang berlangsung dan diduga bahwa variasi warna yang ada muncul dari satu populasi menjadi populasi lainnya mulai dari arah timur ke barat New Guinea. Ketiga warna yang ada merupakan kelompok warna melanin yang pada dasarnya adalah warna coklat dan kuning, kemudian diikuti oleh warna hitam, yang oleh Vevers (1982) melanin sebagai respon terhadap warna gelap (dark colours) dari hewan yang pada prinsipnya adalah warna hitam dan coklat, tetapi kadang juga warna kuning.

Pola warna sisik M. ikaheka kelompok pertama berbeda sangat ekstrim dari individu kelompok lainnya. Warna gelap pada kelompok ular ini diduga dipengaruhi oleh kondisi lokal habitat, seperti dijelaskan oleh Rooij (1917) dan O’Shea (1996) bahwa variasi pada M. ikaheka adalah variasi lokal. Gibson dan Fals (1979) diacu dalam Heatwole dan Taylor (1987) menemukan warna melanin

31

dari seekor ular pada wilayah beriklim sedang, dipelihara oleh suhu tubuh yang tinggi pada saat terkena radiasi matahari dibanding dengan ular yang lebih terang. Warna melanin ular M. ikaheka pada kelompok lainnya (warna sisik kuning dan warna sisik coklat) diduga selain disebabkan faktor genetik juga dipengaruhi oleh lingkungan. Karena semi fusorial, M. ikaheka ditemukan menghuni mikrohabitat seperti lubang atau celah tumpukkan batuan, celah banir pohon dan juga dibawah tumpukan kayu yang gelap. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap perubahan pigmen warna sisik ular M. ikaheka. Selain nokturnal dan juga merupakan kelompok hewan ektoterm, M. ikaheka membutuhkan energi panas yang cukup untuk beraktifitas. Heatwole dan Taylor (1987) menjelaskan sebuah habitat yang memanas dengan cepat pada siang hari juga cepat dingin pada malam hari dan kondisi ini juga berlaku pada tubuh reptil, dimana suatu jenis yang mengasorbsi radiasi energi dengan baik akan cepat hilang panas melalui radiasi balik nokturnal. Variasi warna sisik pada ular Milksnake (Lampropeltis triangulum) yang tersebar di utara hingga bagian tengah Amerika, selain memiliki pita-pita merah, hitam dan putih juga ukuran tubuhnya bervariasi sehingga dikelompokkan dalam beberapa subspesies (Mattison 2005). Salah satu milksnake mengalami perubahan warna secara kontinyu dari kecil hingga dewasa menjadi hitam total dan fenomena ini disebabkan pada daerah beriklim dingin sisik ular menjadi lebih gelap karena pigmen hitam menyerap panas lebih efisien. Pola pita merah, hitam dan putih merupakan suatu mimikri terhadap salah satu ular coral berbisa di daerah itu, dimana pada saat Milksnake kecil mimikri lebih penting dari pada kemampuan mengabsorbsi panas. Ketika mereka bertumbuh besar, mereka berukuran lebih besar dari pada ular coral, jadi merubah warna tidak menyebabkan kerugian. Dalam penelitian ini variasi warna sisik ular M. ikaheka tidak muncul dengan cara mimikri, sebab selain merupakan ular sangat berbisa, saat penelitian tidak dijumpai jenis ular berbisa teresterial lainnya yang serupa kecuali ular tidak berbisa Stegonotus sp. (Colubridae).

Walaupun hanya satu ekor yang ditemukan, ular M. ikaheka asal LNG site Tanah Merah menunjukkan bahwa ada sebuah transisi warna yang menghubungkan ular M. ikaheka kelompok kuning dan coklat. Rooij (1917) menjelaskan bahwa M. ikaheka memiliki warna dorsal hitam dan kuning, kadang

32

dengan pita-pita melintang yang tidak teratur. Walaupun penelitian ini tidak dapat menjelaskan secara pasti bagaimana proses munculnya variasi pola warna sisik ini, tetapi Hildebrand (1974) menjelaskan bahwa warna pada epidermis muncul melalui pigmen melanin (melanophores) dimana warna tersebut dapat konstant atau dapat respon terhadap perubahan warna morfologi, sehubungan dengan umur, musim dan sebagainya.

Variasi pola warna sisik ular M. ikaheka tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Dari 20 ekor ular M. ikaheka yang berhasil diidentifikasi jenis kelaminnya, sebanyak 7 ekor (35%) berjenis kelamin jantan sedangkan sisanya sebanyak 13 ekor (65%) berjenis kelamin betina. Pengamatan ada tidaknya hemipenis yang dilakukan pada semua spesimen dewasa M. ikaheka menunjukkan bahwa setiap kelompok warna memiliki keduanya jenis kelamin jantan dan betina. Kelompok pertama sebanyak tiga spesimen semuanya berjenis kelamin jantan. Setidaknya dalam penelitian ini tidak bisa menerangkan dimorfisme seksual karena semua spesimen pada kelompok pertama adalah jantan. Dalam deskripsi yang dibuat sebelumnya, juga tidak terdapat pertelaahan mengenai dimorfisme seksual dalam kaitannya dengan variasi warna sisik. Penentuan jenis kelamin ular M. ikaheka tidak dapat dilakukan seperti pada beberapa jenis ular dari kelompok Python, dengan mengacu pada karakteristik spur atau taji (struktur kecil seperti duri pada sisi kloaka). Barker dan Barker (1994) menjelaskan pada kelompok Python kedua-duanya jantan dan betina memiliki taji pada daerah sisi sekitar kloaka dan karakteristik dari taji merupakan ciri pembeda dimorfisme seksual.

Sisik dan Ukuran Tubuh Ular M. ikaheka

Kisaran jumlah sisik ventral (SV) pada Tabel 2 adalah sebanyak 174-190, sedangkan kisaran jumlah sisik ventral berdasarkan O’Shea (1996) dan Rooij (1917) adalah 178-223. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa individu memiliki jumlah sisik ventral minimal jauh lebih sedikit, bila dibandingkan dengan jumlah yang disebutkan oleh kedua peneliti sebelumnya. Individu ular M. ikaheka dengan kode spesimen 7802, OB dan 351 memiliki jumlah SV sebanyak 174, sedangkan 6326 dan 2039 masing-masing memiliki SV sebanyak 177 dan 176.

33

Jumlah sisik subcaudal pada spesimen dengan kode OB dan 453 adalah lebih rendah (34 dan 35) dari batasan yang diberikan oleh O’Shea (1996) dan Rooij (1917) yakni 37 sisik. Lebih sedikitnya jumlah sisik ini akibat kondisi fisik ujung ekor yang putus tanpa diketahui penyebabnya.

Data meristik pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa bertambahnya ukuran tubuh dan umur tidak mengakibatkan terjadinya penambahan jumlah sisik. Hal ini disebabkan ular secara kontinyu bertumbuh dan secara periodik pada waktu tertentu akan menggantikan kulitnya. Sisik ular bertumbuh dari lapisan atas (top layer) atau epidermis kulit dan ular hanya merontokkan sisik dan kulitnya (sekitar 6 kali setahun) pada saat sebuah lapisan baru dari sisik dan kulit tumbuh di bawah kulit tua (Hildebrand 1974; Taylor dan O’Shea 2004).

Semua kelompok warna ular M. ikaheka memiliki rata-rata ukuran tubuh yang relatif sama dan kisaran panjang total tubuh (PTT) berada pada kisaran panjang maksimum (1,0-1,5 meter) berdasarkan O’Shea (1996).

Analisis ukuran bagian tubuh semua kelompok warna menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>5%). Analisis ini juga menunjukkan bahwa ukuran bagian tubuh antara jenis kelamin tidak berbeda nyata (P>5%). Seperti dijelaskan oleh Shine (1981) bahwa pada umumnya ular betina memiliki ukuran UMK atau SVL (snout vent length) lebih panjang dari jantan, tetapi pada beberapa jenis ular karakter ini tidak ditemukan. Shine (1981) juga menemukan tidak adanya dimorfisme seksual berdasarkan panjang UMK pada kelompok ular berbisa (Drysdalia spp) di Australia dan kondisi ini merupakan karakteristik dari banyak jenis ular elapid. How et al. (1996), juga menemukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada panjang UMK antara ular Lycodon aulicus jantan dan betina.

Dokumen terkait