• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Scylla oceanica

Kepiting bakau Scylla oceanica mempunyai bentuk badan bundar dan tebal berukuran ± 9 – 18 cm. Tubuhnya berwarna coklat kehijau-hijauan. Bentuk H pada karapas dalam dan kedua duri pada fingerjoint jelas dan runcing, serta melimpah pada daerah karapas dan bentuk gerigi pada karapas tidak tajam. Capit bagian atas lebih panjang dibandingkan capit bagian bawah dan mata agak menonjol keluar, dapat dilihat pada Gambar 4a dan 4b berikut ini.

Gambar 4a. Scylla serrata

Gambar 4b. Scylla oceanica

Hasil penelitian yang telah dilakukan di ekosistem mangrove Belawan ternyata memperlihatkan bahwa pada seluruh stasiun dijumpai 2 jenis kepiting bakau, yakni S. serrata dan S. oceanica. Mulya (2000) menyatakan kepiting bakau di hutan mangrove Karang Gading Langkat diperoleh 3 jenis kepiting bakau yakni S. serrata, S. oceanica dan S. transquabarica, sedang Rosmaniar (2008) di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang yang mendapatkan 2 jenis kepiting bakau yakni S. serrata dan S. oceanica. Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa jenis kepiting bakau yang ada di Belawan sama kondisinya dengan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang dan berbeda dengan kondisi di Karang Gading Langkat yang telah mendapatkan 3 jenis kepiting bakau. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi faktor fisik kimia di Belawan masih kurang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan kepiting bakau. Kordi (1997) menyatakan parameter lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, kandungan organik, DO, BOD memberi pengaruh terhadap kepiting bakau.

4.3. Nilai Kepadatan Populasi (ind/m3), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Kepiting Bakau Scylla spp. di Setiap Stasiun Pengamatan Penelitian

Hasil penelitian yang telah dilakukan di ekosistem mangrove Belawan didapatkan kepiting bakau S. serrata yang memiliki nilai kepadatan populasi tertinggi dari kepiting bakau S. oceanica (Tabel 3).

Tabel 3. Nilai Kepadatan Populasi (KP ind/m3) , Kepadatan Relatif (KR %) dan Frekuensi Kehadiran (FK %) Kepiting Bakau Scylla spp di Setiap Stasiun Pengamatan Penelitian

Secara keseluruhan tampak bahwa kepadatan kepiting bakau pada setiap stasiun berkisar 21,18 ind/m3 – 30,05 ind/m3. Kepadatan populasi kepiting bakau tertinggi dijumpai pada stasiun 3 sebesar 30,05 ind/m3 sedang kepadatan populasi kepiting bakau terendah dijumpai pada stasiun 1 sebesar 21,18 ind/m3

Spesies

. Tingginya kepadatan populasi kepiting bakau pada stasiun 3 ini selain karena letaknya jauh dari pemukiman penduduk, juga dipengaruhi karakteristik vegetasi mangrove yang umumnya ditumbuhi Rhizophora spp. Yayasan mangrove (1993) menyatakan vegetasi mangrove Rhizophora spp. memiliki akar jangkar yang melengkung sehingga dapat dijadikan sebagai pelindung untuk kepiting bakau dan adaptasinya yang kuat terhadap lingkungan sehingga biji (propagul) Rhizophora berkecambah di pohon (vivipar) serta banyaknya lentisel pada bagian kulit pohon sehingga ketersediaan pakan alami yang dibutuhkan untuk keberlangsungan kehidupan

Stasiun

kepiting bakau banyak dan mendukung kehadiran untuk pertumbuhan dan perkembangan kepiting bakau.

Rendahnya nilai kepadatan populasi kepiting bakau pada stasiun 1 disebabkan kondisi stasiun 1 sangat dekat dengan pemukiman penduduk yang mengakibatkan banyaknya aktivitas masyarakat dan juga umumnya ditumbuhi vegetasi mangrove Rhizophora spp., Sonneratia spp., Hisbiscus tliaceus, Xylocarpus granatus sehingga keadaan ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan dan aspek kehidupan kepiting bakau.

Siahainenia (2000) menyatakan bahwa rendahnya nilai kepadatan kepiting bakau pada suatu ekosistem disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penurunan kualitas lingkungan terutama akibat sedimentasi, konversi areal hutan untuk pembangunan pemukiman dan atau aktivitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Mulya (2000) melaporkan kepadatan kepiting bakau di ekosistem mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur berkisar 186 ind/ha – 621 ind/ha, sedang Siahainenia (2008) pada wilayah ekosistem mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan, Jawa Barat, mendapatkan kepadatan kepiting bakau secara berurutan berkisar antara 90 – 840 ind/ha atau 0,9 – 8,4 ind/100 m2; 90 – 460 ind/ha atau 0,9 – 4,6 ind/100 m2; dan 100 – 740 ind/ha atau 0,1 – 7,4 ind/ 100 m2, selanjutnya Rosmaniar (2008) mendapatkan kepadatan kepiting bakau di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang berkisar antara 3,14 ind/m2 – 6,01 ind/m2

Nilai Kepadatan Relatif kepiting bakau Scylla spp. pada stasiun penelitian di ekosistem mangrove Belawan mendapatkan hasil Kepadatan Relatif yang bervariasi.

Kepiting bakau jenis Scylla oceanica pada Stasiun 1 didapati Kepadatan Relatif (KR>10%), Stasiun 2 dan 3 memiliki Kepadatan Relatif (KR >20%) dan Stasiun 4 didapati Kepadatan Relatif (KR>25%), sedang hasil Kepadatan Relatif (KR) kepiting bakau jenis Scylla serrata pada keempat stasiun mendapatkan nilai Kepadatan Relatif (KR>50%). Hal ini menunjukkan bahwa kepiting bakau jenis Scylla serrata memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan perairan di ekosistem mangrove Belawan dibandingkan dengan kepiting bakau jenis Scylla oceanica. Nazar

.

(2002) menyatakan perbedaan jumlah jenis kepiting bakau Scylla spp. pada suatu ekosistem disebabkan faktor hereditas secara genetis dan terjadinya selektivitas terhadap beberapa kondisi lingkungan tertentu atau pemilihan pada relung-relung yang sesuai untuk kebutuhan fisiologisnya. Nilai keseluruhan frekuensi kehadiran kepiting bakau jenis Scylla oceanica dan Scylla serrata mendapatkan nilai FK>75%.

Soim (2003) menyatakan suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan suatu organisme apabila organisme tersebut memiliki nilai Kerapatan Relatif (KR>10%) dan Frekuensi Kehadiran (FK>25%). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kepiting bakau jenis Scylla oceanica dan Scylla serrata yang terdapat pada keempat stasiun di ekosistem mangrove Belawan masih memiliki kisaran toleransi cukup baik sehingga dapat hidup dan berkembang dengan baik.

4.4. Nilai Distribusi Morista

Hasil pengukuran yang telah dilakukan di ekosistem mangrove Belawan menunjukkan bahwa nilai indeks distribusi kepiting bakau pada lokasi penelitian termasuk ke dalam pola distribusi berkelompok (Tabel 4.).

Tabel 4. Nilai Indeks Distribusi Morista pada Seluruh Stasiun Penelitian No Spesies Indeks Distribusi Keterangan

1. S. oceanica 1,107 Distribusi Berkelompok

2. S. serrata 1,732 Distribusi Berkelompok Secara keseluruhan tampak pada Tabel 4. bahwa nilai indeks distribusi kepiting

bakau jenis Scylla oceaanica sebesar 1,107 dan nilai indeks distribusi kepiting bakau jenis Scylla serrata sebesar 1,732. Berdasarkan kriteria Bengen (1998) bahwa bila nilai indeks distribusi 1 - 0 maka tergolong pola distribusi acak, bila nilai indeks distribusi 1 < 0 maka tergolong pola distribusi normal, dan bila nilai indeks distribusi 1 > 0, maka tergolong ke dalam pola distribusi berkelompok (Bengen, 1998).

Selanjutnya Odum (1996) menyatakan bahwa pola distribusi berkelompok

merupakan pola yang paling umum dijumpai di alam. Dikatakannya bahwa dalam pola distribusi berkelompok, kelompok – kelompok dapat sama atau berubah – ubah besarnya dan mereka dapat tersebar secara acak, seragam, atau berkelompok sendiri dengan ruang luas yang tidak terisi. Hal ini disebabkan karena kepiting bakau jenis Scylla oceanica dan Scylla serrata cenderung mencari habitat yang paling sesuai guna mendukung keberadaannya yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola distribusinya. Sara (1994) menyatakan daerah terlindung yang bersubstrat lumpur dengan tingkat penggenangan yang baik serta ketersediaan makanan alami yang cukup merupakan habitat yang disenangi kepiting bakau. Suin (2002) menyatakan faktor fisik kimia yang hampir merata pada suatu habitat serta tersedianya makanan hewan yang hidup di dalamnya sangat menentukan hewan tersebut hidup berkelompok. Hasil penelitian ini juga didukung oleh Mulya (2000) melaporkan bahwa nilai distribusi kepiting bakau di ekosistem mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur digolongkan ke dalam pola distribusi berkelompok. Nilai indeks distribusi kepiting bakau jenis S. oceanica berkisar antara Id = 1,19 – 1,50 dan S. serrata berkisar antara Id = 1,07 – 1,48. Selanjutnya Nazar (2002) mendapatkan indeks distribusi kepiting bakau di Perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah digolongkan ke dalam pola distribusi berkelompok. Nilai Indeks distribusi kepiting bakau yang didapat sebesar Id = 2,80.

Penelitian yang telah dilakukan Rosmaniar (2008) di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang mendapatkan nilai indeks distribusi kepiting bakau berkisar antara Id = 0,48 – 0,68 digolongkan ke dalam pola distribusi genus beraturan. Nilai indeks distribusi kepiting bakau jenis S. oceanica sebesar Id = 0,48 dan nilai indeks distribusi kepiting bakau jenis S. serrata sebesar Id = 0,68. Siahainenia (2009) melaporkan mendapatkan nilai indeks distribusi kepiting bakau pada wilayah ekosistem mangrove Desa Passo tergolong berkisar antara Id = 0,2 – 1,1 dan digolongkan ke dalam pola distribusi berkelompok.

4.5. Analisis Korelasi Pearson antara Beberapa Parameter Fisik Kimia Perairan terhadap Indeks Kepadatan Kepiting Bakau Scylla spp. pada Tiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan hasil pengukuran faktor-faktor fisik-kimia yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian dan selanjutnya dikorelasikan dengan kepadatan kepiting bakau, maka diperoleh nilai indeks korelasi seperti pada Tabel 5. berikut.

Tabel 5. Nilai Analisis Korelasi Pearson dengan Parameter Fisik Kimia Perairan terhadap Indeks Kepadatan Kepiting Bakau Scylla spp.

pada Stasiun penelitian (-) = Korelasi berlawanan (*) = Berpengaruh sangat kuat

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan kepiting bakau Scylla spp. berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya. Analisis korelasi kepiting bakau didapatkan nilai pH substrat, Salinitas air, Fraksi substrat liat, N total, P substrat, BOD5

Parameter fisik kimia perairan seperti Suhu air, pH air, pH substrat, Salinitas air, Fraksi substrat pasir, Fraksi substrat debu, DO, dan BOD

, Nitrat dan Fosfat, berkorelasi positif dengan kepadatan kepiting bakau Scylla serrata. Sedangkan Suhu air, pH air, kecepatan arus, Fraksi substrat pasir, Fraksi substrat debu, Kandungan organik substrat, dan DO berkorelasi negatif dengan kepadatan kepiting bakau Scylla serrata. Fraksi substrat pasir berkorelasi negatif berpengaruh sangat kuat terhadap kepadatan kepiting bakau Scylla serrata, sedang kedalaman berkorelasi positif berpengaruh sangat kuat terhadap kepadatan kepiting bakau Scylla serrata. Hal ini menggambarkan bahwa apabila pada stasiun penelitian didapatkan fraksi substrat pasir tinggi akan menyebabkan kepadatan kepiting bakau S. serrata rendah, begitu juga sebaliknya. Fraksi pasir tidak memberikan peran yang cukup besar sebagai habitat yang sesuai untuk perkembangan kepiting bakau terutama S. serrata. Oshiro (1991) menyatakan substrat berpasir akan menampakkan kandungan bahan organik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe substrat lain karena arus yang kuat pada substrat berpasir tidak hanya menghanyutkan partikel sedimen yang berukuran kecil, namun akan menghanyutkan pula bahan organik yang ada.

5, berkorelasi negatif dengan kepadatan kepiting bakau Scylla oceanica. Sedang Kecepatan arus, Kedalaman, Fraksi substrat liat, Kandungan organik substrat, N total, P substrat, Nitrat dan Fosfat, berkorelasi positif terhadap kepadatan kepiting bakau Scylla oceanica. Kedalaman dan Fraksi substrat liat berkorelasi positif berpengaruh sangat kuat terhadap kepadatan kepiting bakau Scylla oceanica. Kordi (2000) menyatakan tanah liat dan berlumpur merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau.

BAB V

Dokumen terkait