• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.2 Tingkat Perjumpaan dan Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa

5.1.2.2 Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa

Pola sebaran macan tutul di TNGHS berdasarkan sebaran scrape, scratch, kotoran, suara, dan jejak kaki yang disajikan pada tabel V-28.

Tabel V-28. Analisis pola sebaran macan tutul jawa di TNGHS

Metode Analisis Data Nilai Bentuk sebaran Indeks Dispersion (ID)

a. Hutan pegunungan bawah sekunder ID= 0,16 Homogen b. Hutan pegunungan bawah primer ID= 0 Homogen c. Hutan pegunungan tengah ID= 0,16 Homogen

Analisis data sebaran aktifitas tersebut menggunakan pendekatan nilai indeks dispersion (Majid 2009). Perhitungan menggunakan index of dipersion

menunjukkan bahwa macan tutul jawa di masing-masing tipe habitat menyebar homogen. Penyebaran macan tutul jawa yang homogen diduga karena satwa ini memiliki sifat soliter dan mempunyai teritori masing-masing. Individu macan tutul jawa yang sudah memiliki teritori akan mempertahankan wilayahnya dan

berusaha untuk tidak memasuki wilayah teritori macan tutul jawa lainnya, sehingga akan terbentuk suatu pola penyebaran yang homogen.

Penyebaran maupun keberadaan macan tutul tidak ditentukan oleh tipe habitat tertentu melainkan ditentukan oleh masing-masing komponen habitat yang dibutuhkannya (tempat berlindung, berburu, dan lain-lain). Macan tutul jawa dapat hidup di mana saja asalkan mempunyai cover, satwa mangsa, dan aman dari gangguan manusia.

Gambar V-10 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan bawah sekunder.

Berdasarkan jaraknya dari sumber air utama berupa sungai, keberadaan macan tutul jawa dibedakan pada selang 500 meter dari sungai, dan terdapat empat selang jarak dari sungai. Kemudian, jumlah perhitungan aktivitas tersebut diuji menggunakan uji statistik regresi linier.

Tabel V-29. Jumlah jejak macan tutul jawa dan satwa mangsa yang ditemukan berdasarkan jarak dari sungai

Jarak dari sungai Jejak kaki macan tutul jawa Jejak satwa mangsa

0-100 m 31 8

100-250 m 15 8

250-500 m 23 11

>500 m 2 1

Jarak 250-500 meter dari sungai merupakan lokasi ditemukannya jumlah jejak kaki macan tutul jawa dan satwa mangsanya dalam jumlah yang tertinggi.

46

Nilai pertemuan tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa dan satwa mangsanya yang paling sedikit berada pada selang jarak diatas 500 meter. Semakin menjauhi sungai, maka aktivitas macan tutul jawa maupun satwa mangsanya akan semakin sedikit. Namun, jarak paling sering ditemukan tanda-tanda keberadaan macan tutul jawa terdapat di selang jarak 250-500 meter.

Gambar V-11 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan bawah primer.

Untuk mengetahui keterkaitan antara jarak sungai dan satwa mangsa terhadap keberadaan macan tutul jawa dilakukan uji statistik regresi linier dan menghasilkan Y= -5,29a + 1,45b + 20,8 dimana y= jejak kaki macan tutul jawa, a = jarak dari sungai dan b = jejak satwa mangsa. Perpaduan jarak sungai dan jumlah jejak satwa mangsa memiliki keterkaitan terhadap jumlah jejak kaki macan tutul jawa yang sangat erat karena nilai r = 0,85, namun pada taraf non- signifikan karena berada pada P > 0,05 (Nugroho 2005). Hal ini menunjukkan, adanya hubungan yang sangat erat antara perpaduan jarak sungai dan satwa mangsa, namun tidak termasuk yang paling berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa.

Gambar 21 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan tengah.

Macan tutul jawa akan mengikuti jalur yang dilewati oleh satwa mangsanya agar bisa mendapatkan makanannya. Macan tutul akan mencari daerah yang memiliki semak tinggi untuk bersembunyi mengintai mangsa. Sumber air juga merupakan tempat yang disukainya untuk berburu ketika musim kemarau, karena satwa mangsa secara bergantian akan mendatangi tempat ini.

Gambar V-13 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan pegunungan bawah sekunder.

48

Macan tutul jawa sensitif terhadap aktivitas manusia, karena macan tutul jawa merupakan jenis satwa yang pemalu dan cenderung menghindar dari manusia. Macan tutul jawa memang sering ditemukan memasuki pemukiman masyarakat sekitar, namun aktivias macan tutul jawa sebenarnya selalu terpusat di dalam hutan dimana terdapat cover dan satwa mangsa yang melimpah.

Gambar V-14 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan pegunungan bawah primer.

Berdasarkan jarak dari pusat gangguan yaitu pemukiman masyarakat, maka jaraknya dibedakan dalam selang 500 m sehingga ada empat selang jarak dari pemukiman. Dari jumlah jejak satwa mangsa dan jarak dari pemukiman dilakukan uji regresi linier keterkaitan antara jumlah jejak kaki macan tutul jawa dengan jarak dari pusat pemukiman.

Tabel V-30. Jumlah jejak macan tutul jawa dan satwa mangsa yang ditemukan berdasarkan jarak dari pemukiman

Jarak dari pemukiman Jejak kaki macan tutul jawa Jejak satwa mangsa

0-500 m 0 0

500-1000 m 0 2

1000-2000 m 19 29

>2000 m 10 42

Berdasarkan tabel V-30, macan tutul jawa dan satwa mangsa tidak ditemukan pada jarak 500 meter dari pemukiman, namun pada jarak 500-1.000 meter ditemukan jejak satwa mangsa. Satwa mangsa terbanyak berada di jarak lebih jauh dari 2 km dari pemukiman. Jejak kaki macam tutul jawa terbanyak

ditemukan pada jarak 1-2 km. Hal ini diduga karena keberadaan satwa mangsa juga tinggi di selang jarak tersebut.

Gambar V-15 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan pegunungan tengah.

Untuk mengetahui keterkaitan antara jarak sungai dan satwa mangsa terhadap keberadaan macan tutul jawa dilakukan uji statistik regresi linier dan menghasilkan Y= 4,7a + 0,629 b – 16,1 dimana y= jejak kaki macan tutul jawa, a = jarak dari pemukiman dan b = jejak satwa mangsa. Perpaduan jarak sungai dan jumlah jejak satwa mangsa memiliki keterkaitan terhadap jumlah jejak kaki macan tutul jawa yang erat karena nilai r = 0,65, namun pada taraf non-signifikan karena berada pada P > 0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara perpaduan jarak pemukiman dan satwa mangsa, namun tidak termasuk yang paling berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Habitat Macan Tutul Jawa 5.2.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi

Pada inventarisasi tingkat perjumpaan macan tutul jawa menunjukkan bahwa hutan pegunungan bawah sekunder merupakan tipe habitat yang paling banyak ditemukan aktivitas macan tutul jawa di dalamnya berupa kotoran, scrape

(cakaran di tanah), dan scratch (cakaran di pohon). Hal ini dikarenakan hutan

50

pegunungan bawah sekunder di Koridor maupun Gunung Endut memiliki bentuk vegetasi yang sebagian besar merupakan hutan-hutan yang tersisa dari perambahan. Selain itu, di wilayah ini banyak dijumpai tumbuhan-tumbuhan bawah yang tumbuh pasca perambahan seperti pakis-pakisan, cariu (Entada phaseoloides), dan ki tai (Dysoxylum amooroides). Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan yang menjadi pakan satwa-satwa mangsa macan tutul jawa. Di lokasi pengamatan, terdapat bekas-bekas sungkuran dan korehan dari satwa mangsa seperti babi hutan, ayam hutan, maupun trenggiling. Hutan pegunungan bawah sekunder juga memiliki karakteristik wilayah peralihan antara hutan tertutup dan hutan terbuka yang menjadi tempat ideal bagi macan tutul jawa untuk mengintai mangsanya.

Hutan pegunungan bawah primer TNGHS berbatasan langsung dengan perkebunan teh Nirmala Agung. Perkebunan teh kerap kali menjadi habitat dan lalu lintas rutin bagi satwa-satwa mangsa seperti babi hutan, sigung, dan musang. Di dalam hutan primernya, hutan pegunungan bawah memiliki topografi terjal yang di bawahnya terdapat sungai dan air terjun. Vegetasi tidak terlalu rapat dan sedikitnya tumbuhan bawah memungkinkan satwa mangsa terlihat lebih jelas oleh macan tutul jawa. Pada hutan pegunungan bawah sekunder tidak terdapat pohon berdiameter besar atau berbanir sehingga peluang menemukan cover untuk berlindung semakin kecil, namun di tempat ini terdapat banyak tumbuhan bawah yang tumbuh sepanjang aliran sungai yang merupakan tempat strategis bagi macan tutul jawa mencari mangsanya.

Tajuk pohon yang masih rapat, lebar, dan tinggi menjadi tempat mencari makan bagi kelompok primata seperti lutung, owa, dan surili di hutan pegunungan tengah. Hutan pegunungan tengah juga memiliki banyak cover untuk macan tutul jawa berupa kerapatan pohon yang tinggi, dan terdapat areal yang memiliki rumpun bambu di ketinggian 1100 mdpl, namun perjumpaan dengan satwa mangsa sangat sulit, mengingat daerah ini merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh manusia.

5.2.1.2 Ketersediaan Cover A. Tempat Berlindung

Macan tutul jawa membutuhkan vegetasi untuk melindungi dirinya dari terik matahari. Tajuk pohon yang memiliki kerapatan tinggi sangat disukai oleh macan tutul jawa (Afnan 2009) karena ini dapat melindungi macan tutul jawa dari panas matahari. Kerapatan tajuk pohon mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang menyentuh lantai hutan, sehingga fungsi utama dari cover tajuk pohon adalah sebagai thermal cover.

Cover thermal ditemukan di seluruh lokasi penelitian. Sebagian besar tumbuhan tinggi, rimbun, dan besar yang menjadi pelindung panas bagi macan tutul jawa adalah jenis kiriung anak (Castanopsis acuminatisima). Kiriung anak merupakan salah satu jenis yang dominan dan ditemukan di seluruh lokasi penelitian. Kiriung anak juga memiliki batang besar dan tinggi sehingga memudahkan macan tutul jawa untuk bersembunyi dan scratching, sebagai tanda teritorinya.

B. Tempat Istirahat (Sheltering)

Batang pohon besar berbanir dipilih macan tutul jawa sebagai tempat istirahat dan menyembunyikan sisa makanannya dari satwa lain (Gunawan 2010). Di daerah pegunungan hanya sedikit pohon yang memiliki banir lebar, sehingga menjadi faktor yang sangat penting bagi hidup macan tutul. Batang pohon yang besar dapat membantu macan tutul jawa bersembunyi ketika mengintai satwa mangsanya. Di pohon yang besar juga macan tutul jawa dapat menandai wilayahnya dengan menggarukkan scratch di pangkal batang. Pohon yang besar dan tinggi dapat menjadi tempat istirahat macan tutul jawa dan mudah untuk dipanjat. Pohon-pohon pegunungan yang besar diantaranya pasang (Quercus sundaica), puspa (Schima walichii), dan kiriung anak (Castanopsis acuminatisima).

Rumpun bambu selama penelitian hanya ditemukan di hutan pegunungan tengah. Macan tutul jawa senang menggunakan rumpun bambu sebagai cover karena bambu tumbuh berkelompok rapat dalam satu rumpun sehingga menjadi tempat bersembunyi dan beristirahat yang aman dan nyaman (Ahmad (2007).

52

C. Tempat Berburu Mangsa

Tumbuhan bawah, semai, dan pancang yang rimbun merupakan tempat aman bagi satwa untuk bersembunyi. Bagi macan tutul jawa, vegetasi tersebut digunakan sebagai tempat bersembunyi dari mangsanya ketika mengintai dalam perburuan. Di hutan pegunungan bawah sekunder, semak rimbun diduga digunakan macan tutul jawa untuk mengintai mangsanya. Hal ini diindikasikan oleh adanya jejak kaki macan tutul jawa dan babi hutan di jalur pengamatan Koridor-Gunung Tenggek.

Hutan pegunungan bawah sekunder memiliki cover semak yang baik untuk macan tutul jawa karena bentunya yang tinggi dan rapat. Di hutan pegunungan bawah sekunder pula, terdapat suatu area yang digunakan macan tutul jawa diduga untuk mengejar mangsanya yang memiliki karakteristik area terbuka yang lebih luas dari sekitarnya dan ditumbuhi semak yang tinggi. Tampak banyak jejak kaki macan tututl jawa dan babi hutan yang tidak beraturan di area tersebut dengan arah yang sama dan berdekatan. Rumpun bambu dan batang pohon besar digunakan macan tutul jawa untuk beristirahat karena bentuknya yang lebar dan rimbun sehingga aman dan teduh.

Masing-masing tipe habitat memuliki tipe cover yang berbeda-beda karakteristiknya. Jadi, macan tutul jawa tidak memilih tipe habitat tertentu untuk hidup, namun lebih memilih tempat yang aman dari gangguan manusia maupun satwa lainnya untuk memelihara anak-anaknya, dan menyediakan banyak peluang untuk mendapatkan satwa mangsa dan tempat istirahat.

D. Tempat Mengasuh Anak

Goa di TNGHS terdapat di hutan pegunungan bawah sekunder dan hutan pegunungan bawah primer. Goa secara umum berfungsi sebagai tempat istirahat, melahirkan, dan mengasuh anak macan tutul jawa. Goa juga secara jelas dapat mengindikasikan bahwa di daerah tersebut kemungkinan besar terdapat macan tutul jawa khususnya macan tutul jawa betina dan anak-anaknya yang masih kecil (Afnan 2009).

Karakteristik goa di masing-masing lokasi penelitian sangat berbeda. Goa di hutan pegunungan bawah sekunder merupakan goa di tengah-tengah kerapatan hutan yang tinggi, yang sebagian besar merupakan batu kapur yang dinamakan

Cadas Putih, namun goa yang terdapat di hutan pegunungan bawah primer merupakan goa yang terletak di dekat sungai yang memiliki air terjun yang dinamakan Curug Macan. Penemuan jejak kaki macan tutul di hutan menuju Goa Macan cukup sering dan termasuk ke dalam jejak-jejak kaki macan tutul jawa yang baru tercetak. Hal ini menunjukkan bahwa goa ini diduga sering dilewati oleh macan tutul jawa.

Goa di hutan pegunungan bawah primer besar diduga sudah jarang dipakai lagi sebagai tempat istirahat karena keadaan goa itu sekarang sering terendam air sungai yang meluap saat hujan turun. Hutan pegunungan bawah primer relatif aman terhadap gangguan manusia maupun satwa karnivora pesaing lainnya, seperti ajak (Cuon alpinus), yang tidak ditemukan tanda keberadaannya selama penelitian. Hal ini memungkinkan macan tutul jawa di hutan pegunungan bawah dapat dengan mudah mencari alternatif tempat mengasuh anak di wilayah tersebut.

Goa di hutan pegunungan bawah sekunder juga mempunyai indikasi masih digunakan oleh macan tutul jawa karena terdapat bekas-bekas aktivitas macan tutul jawa di sekitarnya berupa jejak kaki dan scratch. Goa di hutan pegunungan bawah sekunder berupa batuan kapur yang membentuk lubang. Di daerah ini pula terdengar suara macan tutul jawa di pagi hari. Goa ini terletak jauh dari jalur utama sehingga memungkinkan menjadi persembunyian yang aman bagi macan tutul jawa.

5.2.1.3 Ketersediaan Mangsa

Ketersediaan mangsa merupakan salah satu komponen yang penting bagi satwaliar. Makanan juga menjadi faktor pembatas (Alikodra 2002), artinya makanan harus selalu tersedia baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebaran satwa karnivora akan mengikuti sebaran satwa mangsanya (Bailey 1984 dalam

Gunawan 2010). Dengan demikian, dimana satwa mangsa melimpah, di daerah tersebut satwa karnivora juga diduga akan melimpah.

Satwa mangsa di hutan pegunungan bawah primer yang berada pada kelas

common (biasa dijumpai) adalah babi hutan (Sus scrofa) dan ayam hutan (Gallus gallus). Pada kotoran yang ditemukan di hutan pegunungan bawah primer, macan tutul jawa diduga memangsa landak (Hystrix javanica), babi hutan (Sus scrofa), dan surili (Presbytis comata). Hal ini didukung oleh data inventarisasi bahwa di

54

hutan pegunungan bawah primer ditemukan babi hutan, landak, dan surili serta pernyataan Hart et al (1996) bahwa komposisi makanan macan tutul terdiri atas 53,5% ungulata dan 25,4% primata. Macan tutul jawa menyukai jenis ungulata diduga karena satwa ungulata beraktivitas di lantai hutan yang memungkinkan macan tutul jawa akan dengan mudah menyergap ketika memangsa satwa tersebut.

Hutan pegunungan bawah sekunder mempunyai tingkat perjumpaan babi hutan terbesar. Hal ini dikarenakan kawasan hutan langsung berbatasan dengan perkebunan masyarakat yang menyediakan banyak makanan untuk babi hutan. Keadaan hutan yang dipenuhi tumbuhan bawah yang merupakan makanan utama babi juga tersedia melimpah. Babi hutan merupakan salah satu satwa mangsa paling banyak dimakan oleh macan tutul jawa walaupun ukuran tubuhnya lebih besar dibandingkan dengan jenis satwa mangsa yang lain. Pada kotoran macan tutul jawa yang ditemukan juga terdapat rambut babi hutan. Menurut Lestari (2006), rambut babi hutan memiliki karakteristik warna bulu yang bervariasi dari hitam sampai keputihan dan warna yang paling dominan adalah warna hitam. Bentuk rambut agak besar/tebal dan terdapat percabangan (2-3 cabang). Menurut Seidensticker (1976) dalam Gunawan (1988), macan tutul lebih sering memangsa satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul. Babi hutan menjadi salah satu mangsa yang disukai macan tutul jawa (Afnan 2009) karena mudah dijumpai di berbagai tipe habitat.

Satwa mangsa yang paling banyak dijumpai di hutan pegunungan tengah adalah jenis lutung (Tracypithechus auratus). Lutung juga termasuk ke dalam mangsa yang sering diincar oleh macan tutul jawa (Anonim 1978 dalam Ahmad 2007). Lutung memiliki kebiasaan unik yang menguntungkan macan tutul jawa dalam memangsanya. Lutung hidup dalam kelompok, yang apabila terdapat ancaman mereka akan berlari tidak beraturan dan seringkali bergegas turun ke lantai hutan. Dalam situasi seperti inilah, peluang macan tutul untuk mendapatkan lutung sebagai mangsanya semakin besar.

Selain memangsa satwa yang ada di hutan, macan tutul jawa kerapkali turun ke perkampungan masyarakat dan memangsa ternak-ternak mereka. Hal ini sering terjadi di hutan pegungan bawah sekunder dan hutan pegunungan tengah yang

berbatasan langsung dengan pemukiman warga yang memelihara ternak. Ternak yang menjadi mangsa macan tutul jawa adalah kambing. Beberapa kasus pemangsaan ini sering dilaporkan masyarakat dalam kurun waktu 2008 ke belakang terjadi lebih dari 42 kasus penyergapan ternak oleh macan tutul jawa. Setelah itu masyarakat biasanya membuat kandang ternak terpusat dekat rumahnya dengan memelihara anjing penjaga atau mereka menjual kambing- kambingnya dengan beralih menjadi pekebun.

Tingkat perjumpaan satwa mangsa berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa di suatu tipe habitat. Semakin mudah dan melimpah satwa tersebut dijumpai menandakan semakin mudahnya mengetahui keberadaan macan tutul di suatu tempat. Hal ini dikarenakan macan tutul akan menggunakan energi yang seminimal mungkin untuk menemukan dan mengejar mangsa. Macan tutul jawa juga termasuk satwa oportunis, artinya dia akan menggunakan peluang mendapatkan mangsa dari apa yang paling melimpah terdapat di daerah tersebut.

Indeks kemiripan komunitas menunjukkan bahwa ketiga tipe habitat yang menjadi lokasi penelitian memiliki kesamaan jenis yang tidak berbeda jauh. Hal ini menguntungkan bagi macan tutul jawa karena macan tutul jawa dapat memperoleh jenis-jenis tersebut di berbagai tipe habitat tempatnya hidup.

Indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa juga menunjukkan angka yang non-signifikan, artinya tidak adanya perbedaan yang berarti antara keanekaragaman jenis di suatu tipe habitat dengan habitat lainnya. Hal ini sangat menguntungkan bagi macan tutul jawa karena pilihan pakan bagi macan tutul jawa juga banyak. Hal ini berarti keanekaragaman dan kekayaan jenis tidak berpengaruh nyata terhadap keberadaan macan tutul jawa di suatu daerah, melainkan mudah atau tidaknya satwa mangsa tersebut ditemukan sesuai pernyataan Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) bahwa macan tutul akan membunuh dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya.

Faktor yang paling berpengaruh bagi macan tutul jawa adalah ketersediaan (availability) satwa mangsa. Kepadatan relatif dan frekuensi relatif satwa mangsa sangat mempengaruhi ketersediaan satwa mangsa di alam. Dengan begitu, semakin melimpah dan frekuensi ditemukannya satwa mangsa itu semakin mudah,

56

kemungkinan akan menyebabkan ketersediaan satwa mangsa bagi macan tutul jawa di alam akan semakin melimpah.

5.2.1.4 Ketersediaan Air

Kebanyakan satwa memenuhi kebutuhan airnya dengan minum dari air permukaan (Shaw 1985 dalam Gunawan 2010). Di hutan pegunungan bawah sekunder sumber air sebagian besar adalah parit yang akan membentuk sungai di kawasan yang lebih rendah dan rawa-rawa di genangan bekas perambahan lahan yang ditumbuhi rumput-rumput serta vegetasi bambu.

Daerah pegunungan mempunyai daerah aliran air yang masih terjaga dengan baik karena merupakan daerah hulu. Berbagai sumber air dapat ditemukan di daerah ini. Sumber air yang ditemukan selama penelitian adalah sungai, air terjun, rembesan goa, aliran parit, dan rawa.

Sungai merupakan salah satu sumber air yang paling banyak ditemukan di daerah pegunungan. Sungai memiliki arus dan kedalaman yang bervariasi. Kebanyakan sungai-sungai di hutan pegunungan bawah primer, merupakan jenis sungai dengan arus deras dan lebar. Sungai Cikaniki merupakan sungai besar yang terdapat di hutan pegunungan bawah. Di sungai ini terdapat goa yang dulu sering digunakan oleh macan tutul. Sungai tersebut juga memiliki air terjun di dekat goa. Kualitas fisik sumber air ini sangat baik dilihat dari kejernihan dan tidak ada sampah di dalamnya. Beberapa jejak kaki macan tutul banyak ditemukan di pinggir sungai ini. Hal ini diduga bahwa macan tutul jawa seringkali melewati daerah ini. Kenyataan ini didukung pula oleh keterangan masyarakat yang tidak sengaja melihat macan tutul jawa di sekitar daerah ini. Menurut Amir (komunikasi pribadi 2010), laporan masyarakat yang melihat macan tutul jawa di subuh dan malam hari beberapa kali menunjukkan mereka menemukannya di daerah ini.

Sungai di hutan pegunungan tengah merupakan sungai kecil yang mengalir dari arah kawah yang di daerah lebih rendahnya lagi akan menjadi sungai lebih besar yang digunakan masyarakat dan pengelola wisata sekitar untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Terdapat beberapa air terjun, yang menjadi salah satu karakteristik bentuk air di daerah pegunungan.

Sungai di daerah hutan sekunder sangat terbatas. Sungai kerapkali ditemukan hanya dalam bentuk aliran parit dan air rawa. Aliran parit ini

digunakan masyarakat untuk kebutuhan air mereka sehari-hari sedangkan daerah rawa banyak terdapat di daerah terbuka.

Macan tutul jawa merupakan kucing besar yang tidak terlalu banyak memanfaatkan air untuk minum. Macan tutul jawa juga tidak berenang seperti yang terjadi pada harimau. Macan tutul memenuhi asupan air melalui daging

Dokumen terkait