• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI BUDAYA

3.2 Biografi Pengarang

3.3.2 Bentuk dan Dampak Transformas

3.3.2.1 Sebelum Transformas

Kehidupan masyarakat Lamalera dahulu kalah sangat menjunjung tinggi keramahan dan damai, baik dalam keluarga, antar sesamanya maupun warga desa tetangga. Semuanya kunci utamanya yaitu keluarga. Membina hubungan baik dalam keluarga sendiri akan mendidik anak untuk baik terhadap orang lain. Tidak pernah ada sebuah keluarga menginginkan agar anak atau cucunya berkepribadian kurang baik di mata masyarakat. Di dalam beberapa puisi Pukeng Moe, Lamalera digambarkan bagaimana penyair hidup dalam keluarga yang bahagia antara kedua orangtua serta saudara-saudarinya. Namun bagi penyair sosok seorang ibu dianggap paling perperan dalam kehidupannya. Di setiap gerak-gerik langkah hidup, ibunya selalu hadir. Artinya, ketika melihat (mata) ibunya seolah-olah mengandung pesan kehidupan (“Mata Ibuku -1”), ibarat cermin melihat kebaikan dan keburukannya (“Mata Ibuku -2”), dan membawa batin si penyair begitu tenang dan damai (“Mata Ibuku-3”). Hal tersebut terjadi di dalam keluarga menyair sendiri, tetapi setiap keluarga yang berdomisili di Lamalera juga demikian.

cuaca Lamalera dengan suhu tergolong panas membuat orang lelah dan kehausan. Tawaran singgah itu tidak hanya orang yang dikenal saja tetapi juga yang tidak dikenal. “Mereka” tidak pandang bulu. Di depan “emperan” sambil bercerita, disugukan juga makanan khas daerah, yaitu jagung titi dan segelas teh atau kopi. Di situlah sebuah kekeluargaan dan kebersamaan terbentuk.

Setiap keluarga di Lamalera dalam membangun sebuah rumah selalu saja beremperan. Meskipun rumah kecil beratapkan alang-alang dan dindingnya dari belahan bambu pun teras rumahnya selalu ada. Rumah mereka memang terlihat seperti gubuk, namun paling dibanggakan adalah terasnya, dimana keluarga beristirahat dan bercengkrama dengan tamu. Rumah dengan teras di depan rumah tersebut sudah dianggap sebagai sebuah keharusan. Sekarang malah kebalikan dari zaman dulu “Sekarang ini, Rumah kita besar dan luas/Tapi tak punya emperan yang selalu terbuka untuk siapa saja./Rumah kita besar hanya untuk diri sendiri./Rumah kita rumah kekikiran/Rumah ingat diri/Rumah kesombongan./

Seperti diketahaui bahwa matapencaharian masyarakat Lamalera ialah nelayan sehingga tiap hari melaut. Karena sudah diketahui sebelumnya kalau ayahnya melaut, anak-anak ketika pulang dari sekolah langsung makan siang dan bergegas ke pantai untuk menunggu orang tua kembali mengais rejeki di pinggir pantai. Mereka tidak hanya duduk kosong di pantai. Uniknya, mereka mandi di pantai bersama teman-teman sebaya dan selalu saja pergi ke Baofutung dan yang lainnya main ombak dipesisir (dalam puisi “Baofutung”, “Ombak”, “Futung”, serta “Batu Kursi dan Batu Meja”, (hlm, 47, 57, 60, 64). Mereka sangat asik kalau mandi di air asin (laut) (“Anak Kecil”). Anak-anak yang berada di

Baofutung sudah diketahui kalau mereka melakukan sebuah atraksi, melakukan seolah-olah menjadi lamafa ‘penikam’. Mereka melompat dari atas tanjung tersebut dengan memegang sebilah kayu yang diandaikan sebagai tempuling ‘tombak’dan melompat ke dalam laut untuk menikam ikan paus yang diimajinasikan itu. Anak-anak berpikir bila dewasa nanti mereka akan mengganti posisi ayahnya menjadi seorang pelaut yang pantang menyerah dan gagah berani. Dengan melatih diri sejak kecil mereka dapat meneruskan tugas ayah sebagai seorang pelaut apabila tidak dapat melanjutkan sekolah dengan berbagai alasan tertentu, masalah ekonomi. Hal demikianlah yang perluh dibiasakan (dilestariakan) sejak kecil mengingat masyarakat setempat mengenal sebuah semboyan, yaitu

Inate amate gena ola, ola kae tode tai/ Tite bai mi ola plau lefa pe bata na mura/ Ara puka ina-amate gena kae/

Tite tode tairo

(nenek moyang sudah mewariskan kerja ini, karena merupakan kerja, maka haruslah kita jalankan/ Kita merasa bahwa pekerjaan di laut itu sungguh berat /tetapi karena nenek moyang kita sudah mewariskan/ maka kita harus menjalankan).

Semboyan tersebut sampai sekarang tidak mungkin terlupakan karena setiap anak daerah dianggap sudah terpatri dalam diri mereka. Hingga dewasa nanti mereka akan menjalankan amanah tersebut. Maka dalam “Dedaunan” (Bruno, 2011:43) secara jelas mengajar setiap insan Lamalera agar hidup seperti

dalam diam/mengerjakan tugasnya dalam diam/layu dalam diam/jatuh berguguran dalam diam/”. Sebagai putra daerah, penyair sangat prihatin dengan kehidupan yang semakin hari semakin menyimpang dari kebiasaan aslih mereka dari leluhur.

3.3.2.2 “Saksi Bisu” dalam Transformasi

Bidang yang sebetulnya memberikan harapan ialah pariwisata. Lamalera adalah daerah tujuan wisata, baik lokal, nasional maupun internasional. Ada usaha WWF sejak tahun 2007 untuk membuka wisata bahari, khususnya Whale Watching, tetapi usaha itu ditentang masyarakat setempat yang khawatir proyek itu merupakan usaha terselubung untuk melarang penangkapan ikan paus. Pencanangan laut Sawu sebagai Taman Nasional pada 13 Mei 2009 mendapat reaksi keras dari penduduk. Pemerintah memang menegaskan tidak akan membatasi penangkapan oleh nelayan tradisional yang menangkap ikan di perairan Laut Sawu, tetapi itu tidak mengurangi kekhawatiran mereka oleh kehadiran LSM asing yang biasanya paling vokal mengampanyekan penyelamatan satwa langkah termasuk kotoklema‘ikan paus’yang menjadi perburuan utama di Lamalera.

Mendengar perairan laut Sawu akan dikonservasikan reaksi masyarakat sangat keras dan ingin membatalkan segala daya upaya pihak LSM (WWF). Masyarakat tidak setuju dengan konservasi laut sawu. Akankah setelah konservasi laut dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan dapat bertanggung jawab atas hilangnya tradisi tersebut? Masyarakat Lamalera sangat bergantung pada hasil

laut khususnya tradisi khas kampung yaitu menangkap ikan paus. Tradisi tradisional ini sudah diturunkan dari nenek moyang sehingga mau tidak mau harus dijalankan. Masyarakat berpendapat bahwa mereka bukan membunuh secara massal seperti menggunakan bom ikan sehingga trumbu karang dan biota laut lainnya akan rusak dan mati. Mereka (nelayan Lamalera) hanya menggunakan alat tradisional sebagai alat pembunuhnya. Artinya salah satu sasaran tersebut tertikam maka yang lain (biota laut) tidak terkena dampaknya.

Penambangan emas di wilayah timur dan Lembata (Omesuri, Buyasuri, dan Lebatukan) juga mencemaskan mereka sebab dari pengalaman pertambangan di tempat lain di Indonesia, limbah tambang selalu mecemari lingkungan. Limbah tailing dikhawatirkan akan dibuang ke laut Sawu sehingga mematikan biota laut dan paus. Oleh sebab itu, penyair menulis dalam beberapa judul puisinya, yaitu dalam“Bukit Tebulele, Ile Goppol, Tomastobbi”(Bruno, 2011:68), selalu saja menjaga dan menjadi saksi sejarah kampung Lamalera. Begitu juga “Tanjung Naga”(Bruno, 2011:76) dan “Atadei atau Somiboladerre” (hlm, 80). Mereka hanya terdiam dan menyaksikan perkembangan atau sejarah kampung Lamalera, sedangkan “Atadei atau Samiboladerre” merupakan sebuah legenda terkenal di Kabupaten Lembata yang digambarkan kesetiaan dengan kampung halamannya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa demi menyelamatkan kampung.

Dalam “Guru Kehidupan” (Bruno, 2011:86). Penyair memohon agar leluhur tidur dan beristirahatlah di surga/tetapi jangan tidur lelap/ingat kampung/. Artinya Penyair sudah tidak bisa mengatasi masalah sendiri sehingga

dengan bantuan dari mereka, “leluhur” mungkin pikiran masyarakat akan terbuka dan segera memperbaiki pola hidup yang semakin mundur itu.

Dokumen terkait