BAB III : BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MUHAMMAD CHOLIL
A. Sejarah Hidup
Kyai Cholil Bangkalan lahir pada Selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H, bertepatan dengan tahun 1835 M. Kedua orang tuanya sangat gembira akan kelahiran anaknya tersebut, terutama sang ayah, KH. Abdul Lathif, di dalam jiwanya membahana dalam dan amat bersyukur. Lantunan pujian dipanjatkan kepada Allah SWT, sebagai rasa syukur atas anugerah yang didapat hari itu.
Bayi tersebut sangat diharapkan kehadirannya, memang hal ini sudah lama dirindukan. Terbayang dalam benak KH. Abdul Lathif akan jejak leluhur nenek moyangna. Nenek moyang yang sangat berkhidmat kepada Islam ditanah Jawa, yaitu Kanjeng Sunan Gunung Jati. Sang ayah sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin uamt sebagaimana nenek moyangnya, yaitu Sunan Gunung Jati. Maka sesuai dengan ajaran Islam, KH. Abdul Lathif meng-adzani telinga kanan bayi yang baru lahir itu dan mengiqomahi telinga kiri mengikuti sunnah Rasul. Sang ayah memohon kepada Allah SWT. Agar sang
Pencipta mengabulkan permintaannya tersebut. Do’a demi do’a selalu dipanjatkan setiap hari
mengikuti perkembangan hidup sang bayi. Bayi yang diaqiqohi, bayi yang baru lahir itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil. Ketika Cholil dilahirkan, Kyai Abdul Lathif tinggal di kampong senenan, Desa Kemayoran, Kec.Bangkalan. Pada saat itu, Kyai Abdul
Lathif sudah menjadi Ulama’ besar dan terkenal di Bangkalan. Menurut riwayat, leluhur Kyai
Abdul Lathif yaitu dari jalur Kyai Asror Karomah, lahir bibit-bibit unggul beberapa Ulama’
dilingkungan Madura.Dalam lingkunganke ulamaan inilah Cholil hidup dan dibesarkan.
30 33
Sementara itu, ada cerita lain yang menyebutkan bahwa Kyai Abdul Lathif adalah seorang
Da’I keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (Ibu Nyai Maryam), sejak saat itu beliau lebih aktif berdakwah ke kampung-kampung, beliau pun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.1
Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kyai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki sekitar umur tujuh tahun. Kyai
Abdul Lathif berkata pada Nyai Maryam, “ Wahai Maryam, aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu. Kutingalkan dia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku mendidikmu
“.Setelah itu Kyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa.Tidak ada yang tahu kapan
persisnya Kyai Cholil dilahirkan.Sebagian sesepuh keturunan Syaikh Cholil ada yang memperkirakan bahwa Syaikh Cholil lahir pada 1252. Atau sekitar tahun 1835 M.
Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus
meninggalkan Isma’il, putra beliau yang masih bayi di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke Palestina untuk menjalankan tugas dakwah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak seusia Cholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah yang mulai senja, ingin Nyai Maryam merawat sang ayah karena mestinya sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar bahwa keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama,
1
Wawancara pribadi dengan Bapak H. Ikhsan Fadhil ( Selaku Sekretaris Umum Pondok Pesantren Syaikhona Muhammad Kholil Demangan Barat Bangkalan) pada tanggal 28 September 2010
tidak ada istirahat untuk berdakwah sampai ajal pun tiba.Istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur mereka.
Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kyai Abdul lathif tidak pernah Pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulungnya.2
2. Masa Kecil
Penulis kesulitan untuk menuliskan bagaimana masa kecil Kyai cholil karena hampir bisa dikatakan tidak ada satupun penulis temui data yang meriwayatkan masa tersebut. Minimnya data ini sebenarnya bukan sekedar persoalan sangat aneh, melainkan sangat disayangkan karena penulis menemui banyak data ataupun masih ada beberapa data yang meriwayatkan masa kecilnya para muridnya, seperti masa kecil KH. Hasyim Asy’ari.
Penulis semula melihat ada kemungkinan karena ini berkaitan dengan zamannya. Akan tetapi, jika hal tersebut dijadikan patokan, maka itu sangat tidak masuk akal karena penulisan Biografi Syaikh Nawawi Bantani menurut penulis cukup lengkap. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa kita selama ini kurang memperhatikan dan kurang memiliki kepedulian terhadap Kyai Cholil sehingga tidak merawat baik tradisi oral dan membentuk sebuah penulisan biografinya secara komplit.
Dari sinilah, penulis akhirnya menuliskan masa kecilnya Kyai Cholil dengan data seadanya. Masa kecilnya dilalui seperti halnya anak kecil pada umumnya, suka bermain. Akan tetapi, karena orang tuanya yang begitu menyayanginya dan berharap besar pada anak tersebut, memberikan pendidikan yang sangat ketat sejak kecil. Jadi selain berdo’a tiap hari,
sejak kecil Kyai Cholil sudah di didik oleh kedua orang tuanya tentang ajaran Islam.
2
Nyai Maryam bersama sang suami, Kyai Kaffal mulai merawat dan mendidik Cholil kecil, mengaji membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Cholil kecil, Kyai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah Pesantren agar Cholil kecil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka, mereka pun memilih Pesantren Bunga, Gresik yang diasuh oleh Kyai Sholeh.3
3. Silsilah
Kyai Muhammad Cholil Bangkalan masih keturunan Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Songo di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Barat, tempat Sunan Gunung Jati mendapat tugas syiar Islam. Di bawah ini adalah silsilah Kyai Cholil menurut catatan resmi KH. R.
As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo Asembagus Situbondo.4
1. Sunan Gunung Jati
2. Sayyid Sulaeman Mojoagung (cucu Sunan Gunung Jati) 3. Kyai Abdullah
4. Kyai Asror Karomah 5. Kyai Muharrom 6. Kyai Abdul Karim 7. Kyai Hamim 8. Kyai Abdul Lathif
9. Kyai Muhammad Cholil Bangkalan
Bahkan jika ditelaah lebih jauh, silsilah Kyai Cholil akan bersambung pada Rasulullah, Muhammad SAW. Menurut catatan KH. Abdullah Sachal, silsilahnya adalah sebagai berikut:
3
Wawancara pribadi dengan Bapak H. Ikhsan Fadhil
4
Ibnu Assayuti Arrifa’I, Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan dan NU;
1. Sayyidina Fathimah az-Zahro binti Rasulullah SAW 2. Sayyidina Husain bin Fatimah, wafat di Karbala 3. Sayyidina Ali Zainal Abidin, wafat di Madinah 4. Sayyidina Muhammad Baqir, wafat di Madinah 5. Sayyidina Ja’far Shodiq, wafat di Madinah
6. Sayyidina Ali al-Uraidi, wafat di Madinah 7. Sayyidina Muhammad Tsaqib, wafat di Basroh 8. Sayyidina Isa, wafat di Basroh
9. Sayyidina Ahmad Muhajir, wafat di Sahab 10. Sayyidina Abdullah, wafat di al-Ardibur 11. Sayyidina Alwi, wafat di Sahal
12. Sayyidina Muhammad, wafat di Bait Khabir 13. Sayyidina Alwi, wafat di Bait Khabir
14. Sayyidina Ali Kholil Qosim, wafat di Tarim Hadramaut 15. Sayyidina Muhammad Shahib Mirbad, wafat di Dhifar 16. Sayyidina Ali, wafat di Tarim Hadramaut
17. Sayyidina Abdul Malik, wafat di Hindustan
18. Sayyidina Abdullah Adhimah Khan, wafat di Hindustan 19. Sayyidina Ahmad Syah Jalal, wafat di Hindustan 20. Maulana Jamaluddin Akbar, wafat di Bukis 21. Maulana Ali Nuruddin
22. Maulana Umdaduddin Abdullah, wafat di China 23. Syarif Hidayatullah, wafat di Gunung Jati, Cirebon 24. Sayyid Sulaeman, wafat di Mojoagung Jombang 25. Kyai Abdullah
26. Kyai Asror 27. Kyai Hamim 28. Kyai Abdul Lathif
29. Kyai Muhammad Cholil Bangkalan5
Sekali lagi kita disuguhi data sejarah, terutama berkaitan dengan penulisan biografi seorang tokoh selalu dikaitkan dengan tokoh yang lebih besar, dan lebih besar lagi. Kevalidan data seperti ini memang sering kali diragukan oleh banyak kalangan intelektual ataupun sejarawan.
Akan tetapi, apakah kita tidak bisa membacanya secara lebih arif? Pertama, karena data ini tentunya lebih bekaitan dengan penggunaan data sejarah oral, mulut ke mulut, atau tutur ke tutur yang sudah menjadi tradisi dari masyarakat tersebut dan di dalam ajaran Islam, seperti dalam penggunaan hadits, yang mungkin di Pulau Jawa hal ini kurang ketat karena kurang pengorganisasian dan ideologinya, sementara di Islam hal ini dijaga secara ketat. Kedua, intelektual dan sejarawan hanya meragukan, tetapi tidak melakukan pendekatan dengan empati. Jadi, jika sebuah data itu dianggap meragukan, maka langsung diberi garis pemisah sebagai hal yang tidak ilmiah, bukan sebagai sebuah kemungkinan kebenaran.
Hal itu perlu dicermati karena jika kita melihat pola masyarakat tempo dulu, kebanyakan adalah bersifat patriaki, yaitu kebanyakan laki-laki memiliki lebih dari satu istri, dan mungkin bisa lebih jika laki-laki tersebut adalah seorang tokoh, semisal raja, yaitu bukan hanya memiliki permaisuri dan selir-selir yang sah, terkadang ia juga mengambil istri dari kalangan petani ataupun buruh walaupun kemungkinan tidak diperhatikan nasibnya. Maka, tidak berlebihan jika banyak orang Jawa di Pedesaan dalam sebuah keluarga sering membuat
5
Saifur Rahman, Biografi dan Karamah Kyai Kholil Bangkalan: Surat Kepada Anjing Hitam,
silsilah yang kemudian menghubungkan diri mereka pada suatu tokoh tertentu, entah itu Wali, Sunan, ataupun seorang prajurit sebuah kerajaan. Ini berkaitan pula dengan banyak nama desa yang sama di Pulau Jawa, seperti nama Desa Purworejo, Desa Pati, dan lain sebagainya.
Sementara itu, ada data lain yang sedikit memiliki perbedaan mengenai persoaln silsilah. Akan tetapi, perbedaan ini lebih pada konteks keturunan yang berada di Bangkalan, Madura. Penulis hanya memberikan data lain. Data-data tersebut adalah sebagai berikut;
Di Desa Langgundih, Keramat, Bangkalan ada seorang Kyai bergelar Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau dikenal
dengan “ Kyai Asror Keramat “, dinisbatkan pada kampung beliau. Kemudian, oleh sebagian
orang diubah menjadi “ Asror Keramat “, mungkin dalam rangka mengarabkan kata „ Keramat „. Beliau menurunkan ulama-ulama besar Madura dan Jawa. Kyai Asror memiliki putra dan putri. Di antara mereka adalah Kyai Khotim, ayah dari Kyai Nur Hasan, pendiri Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Di antara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka dinikahkan dengan Kyai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).6
Melalui Kyai Abbas, Kyai Asror memiliki cucu bernama Kyai Kaffal dan melalui Kyai Hamim beliau memiliki cucu bernama Kyai Abdul Lathif. Kyai abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah.Kemudian, Nyai Maryam dinikahkan dengan Kyai Kaffal dan Nyai Sa’diyah dinikahkan dengan seorang Kyai dari Socah, Bangkalan.
6
Sementara itu, KH. Ali bin Badri Azmatkhan, salah seorang keluarga Kyai Cholil Bangkalan memberikan versi lain dalam silsilah, yang hal itu tertuang dalam bukunya berjudul dari Kanjeng Sunan Sampai Romo Kyai Syaikhona Muhammad Cholil Bangkalan. Dalam tulisan tersebut, KH. Ali bin Badri Azmatkhan menyebutkan bahwa silsilah Kyai Cholil merupakan pertemuan beberapa Sunan, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, yang silsilah itu dikaitkan dengan penggunaan marga Azmatkhan.7