• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUSEUM KRETEK KUDUS

I. Sejarah Industri Rokok Kretek Kudus

1. Lahirnya Industri Rokok Kretek Pada Masa Hindia-Belanda

Kudus adalah salah satu kabupaten di pesisir utara Pulau Jawa bagian tengah. Secara geografis sekitar sepertiga (32,12%) dari seluruh wilayah Kudus adalah lahan dengan jenis tanah alluvial coklat, dengan kemiringan 0-2° (Onghokham, 1987:166). Jenis tanah di Kudus kurang subur dan lahannya sempit sehingga sektor pertanian di Kudus tidak berkembang seperti banyak daerah lainnya di Jawa. Karena itu maka industri justru lebih pesat di Kudus, bahkan sejak masa penjajahan Belanda (Wahyu, 2010:73).

Riwayat berkembangnya industri di Kudus bermula ketika industri batik mulai merosot sejak abad 17. Persaingan lokal yang sangat ketat antara pengusaha batik pribumi dengan Tionghoa juga mematikan industri batik di Kudus. Beberapa dari pengusaha pribumi tersebut akhirnya beralih ke berbagai jenis usaha lain, termasuk industri rokok kretek.

Lahirnya industry rokok kretek di Kudus, bahkan di Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari Haji Djamhari, seorang penduduk asli Kudus. Awalnya, penduduk asli kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh, hasilnya sakitnya pun reda. Djamhari lalu bereksperimen menghaluskan cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Temuan yang pada awalnya dimaksudkan sebagai obat untuk melegakan dada

yang terasa sesak, ternyata dimanfaatkan sebagai produk untuk dapat dinikmati disegala kesempatan. Hasil temuan Haji Djamhari pada awalnya dinamakan “rokok cengkeh” , tapi sewaktu disulut api untuk dihisap menimbulkan bunyi kumretek, sehingga rokok buatannya dinamakan “rokok kretek” (Wasith, 2000:254).

Setelah Haji Djamhari meninggal pada tahun 1890, kretek tidak ikut mati, malah semakin berkembang. Karena memang menguntungkan dan semakin berkembang. Banyak orang kemudian menjadi pengusaha kretek, beberapa bahkan berhasil sukses. Salah satunya adalah Roesdi yang lebih dikenal dengan nama Nitisemito (Basjir, 2010:76).

Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito antara tahun 1903-1905, dan pada tahun 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek Tjap Bal Tiga. Pada awalnya, Nitisemito mencoba mengusahakan rokok kretek secara kecil-kecilan yaitu dengan jalan melinting dan menjualnya sendiri. Pada tiap langganannya, Nitisemito tidak segan-segan meminta kritik dan saran terhadap rokok yang dijualnya. Nitisemito meminta kritik dan saran dengan bertanya secara langsung kepada pelanggannya, karena waktu itu beliau menjual rokoknya sendiri dan belum mempunyai anak buah. Cara tersebut dilakukan Nitisemito pada saat memulai usaha rokok. Cara yang dilakukan Nitisemito membuahkan hasil yang baik. Melalui cara tersebut, rokok buatan Nitisemito bertambah baik kualitasnya dan bertambah pula langganannya. Banyaknya pelanggan yang membeli rokok Nitisemito maka semakin berkembang pula usaha rokoknya. Melihat usaha rokoknya semakin berkembang, maka diberikan label pada pembungkusnya.

Untuk rokoknya dipilih merk atau cap “Kodok Mangan Ulo, dalam bahasa Indonesia “Katak makan Ular” (Nusyirwan, 1980:6). Merk atau cap tersebut menimbulkan banyak kritikan dari para pelanggannya. Mereka mengutarakannya secara langsung karena nama merk tersebut menurut mereka sangat aneh. Nitisemito kemudian mengganti cap atau merk tersebut dengan “BULATAN TIGA” serta dicantumkanya nama pengusahanya yaitu M. Nitisemito. Pemberian cap baru ini memberikan banyak penafsiran dari masyarakat seperti munculnya bermacam-macam nama yang diberikan oleh masyarakat, yaitu Cap Bunder Tiga, Cap Bola Tiga, Cap Bal Tiga, dan Cap Tiga Roda. Dari tafsiran yang ada nama yang paling terkenal adalah Cap Bal Tiga Nitisemito (Alex, 1980 : 21). Pada tahun 1908, perusahaanya mendapat izin resmi Pemerintah Hindia Belanda dengan cap dagang resmi “Bal Tiga”. Tetapi, barulah pada tahun 1909 dia memulai memproduksi kretek, karena pada tahun tersebut Nitisemito telah melakukan proses perekrutan tenaga kerja dan pabrik untuk menghasilkan produksi dalam jumlah besar.

Pemerintah Hindia Belanda sangat menaruh perhatian terhadap industri rokok kretek. Industri ini, kecuali menyerap demikian banyak tenaga kerja, juga memberikan banyak pendapatan bagi pemerintah sendiri, yang diperoleh dari berbagai macam pajak. Contohnya adalah kebijaksanaan dalam penyelesaian kasus Nitisemito, dimana pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengangsur hutang pajaknya dan sekaligus membuka kembali pabriknya, hal itu merupakan salah satu langkah perlindungan dari Belanda. Kasus tersebut adalah tuduhan penggelapan pajak oleh pemerintah

kolonial. Nitisemito dituduh menggelapan pajak yang merugikan pemerintah kolonial sebesar f 160.000,- melalui pembukuan dobel. Perkara ini menyeret Nitisemito ke pengadilan, awalnya pengadilan memutuskan akan menyita kekayaan Nitisemito serta menutup pabrik rokoknya. Diputuskan Nitisemito harus melunasi hutang pajak f 160.000 itu dengan menyicilnya. Oleh pemerintah, Nitisemito yang sudah tua saat pengadilan itu, dipandang sebagai manusia yang sangat berjasa dalam industri rokok kretek, industri yang juga memberikan masukan (berupa pajak) pada pemerintah kolonial masa itu (Kristanto, 2005:607).

2. Konflik Pengusaha Kretek Pribumi dengan Non-Pribumi

Pada umumnya masyarakat cenderung berperilaku pedoman pada institusi yang ada di masyarakat. Walaupun demikian, terkadang sejumlah warga masyarakat secara berkelompok ataupun berkerumun menampilkan perilaku yang tidak berpedoman pada institusi yang ada. Perilaku tersebut dinamakan perilaku kolektif (collective behavior) dari Neil Smelser. Perilaku kolektif merupakan perilaku yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang, tidak bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu. Seperti halnya pada kerusuhan 1918 di Kudus, kelompok pribumi melakukan tindak kekerasan pada etnis Tionghoa yang menurut mereka telah menjadi penghalang usaha ekonomi pribumi.

Pada awal mulanya seluruh perusahaan rokok di Kudus berada di tangan orang pribumi. Namun, setelah para pengusaha ini berhasil mencapai demikian banyak kemajuan baik secara kualitas maupun kuantitas dalam waktu yang relatif

singkat, para pengusaha Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak mereka. Di antara kedua pihak kemudian muncul persaingan ketat. Pada tahun 1918 persaingan ini telah mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab meletusnya sebuah kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober 1918. Pada peristiwa itu banyak pengusaha pribumi yang berpengaruh, diajukan ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman. Akibatnya, industri rokok kretek pribumi mengalami kemunduran, sebaliknya para pengusaha Tionghoa berhasil memperkuat posisi mereka dalam industri rokok kretek di Kudus (Amen,1987 : 107). Peristiwa tersebut menjadi catatan sejarah yang penting, yang menggambarkan betapa sentimen rasial sudah hidup lama di negeri ini, bahkan menunjukkan bentuknya dalam beberapa kerusuhan rasial anti-Tionghoa, kerusuhan rasial seperti api dalam sekam. Dipicu masalah sepele saja kerusuhan itu bisa meletus, umumnya timbul terutama karena sentimen dagang, orang Tionghoa dipandang sebagai penghalang usaha ekonomi pribumi sebagaimana yang ditegaskan oleh Budi Setiyono “Di Kudus kerusuhan terjadi pada 31 Oktober 1918, kejadiannya jauh lebih besar karena meliputi hampir seluruh kota yang disertai pembakaran pecinan, perampokan, dan pembunuhan. Latar belakangnya karena sentimen dagang yang sudah berlangsung lama. Perkembangan perusahaan rokok dan batik milik Tionghoa mengkhawatirkan pengusaha pribumi”. (budisetiyono.blogspot.com).

Kerusuhan ini bermula dari berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo pada awalnya sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan pedagang Tionghoa yang dianggap pesaing utama para pedagang Islam

(Pramoedya, 1985:120). SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya mencapai setengah juta orang.

Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi yang paling militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajah Belanda. Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Belanda melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan pedagang- pedagang Islam yang dipelopori para pedagang Arab dengan pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya.

Persaingan antara pedagang batik dan rokok kretek keturunan Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan pemerintah kolonial Belanda dengan para penasehatnya dari Biro Umum Bumiputera, hal tersebut dilakukan untuk mengalihkan konflik. Pemerintah kolonial Belanda melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan pedagang-pedagang Islam yang dipelopori para pedagang keturunan Arab dengan pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya.

Perisitiwa kerusuhan ini diawali dengan perkelahian antara sejumlah pemuda Tionghoa yang sedang melakukan prosesi arak-arakan gotong Toapekong dengan sejumlah pemuda SI. Prosesi ini di selenggarakan sebagai upaya menangkal wabah penyakit influenza yang menyerang kota Kudus dan telah meminta korban jiwa, karena wabah penyakit ini dikuatirkan akan meminta lebih banyak korban, masyarakat Tionghoa di Kudus yang masih percaya akan kebiasaan yang berbau tahayul lalu mengadakan upacara gotong Toapekong untuk menghentikan wabah tersebut. Namun ada sekelompok haji yang menjadi pengusaha pabrik rokok kretek yang selama ini merasa dirugikan, karena kalah

bersaing dengan para pengusaha Tionghoa. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk menghasut para pengurus dan anggota SI setempat dengan melakukan sejumlah provokasi. Ketika berlangsung prosesi, kelompok tersebut lalu mengganggu dan mengejek para peserta upacara itu. Ternyata para pemuda Tionghoa tersebut terpancing dan terjadi perkelahian yang kemudian berhasil dilerai, namun pada keesokan malamnya terjadilah kerusuhan tersebut. Terjadilah sejumlah bentrokan kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut seperti ulah beberapa orang pribumi yang menertawakan rombongan perarakan. Tindakan ini dibalas dengan pukulan oleh orang Tionghoa yang tak bisa menahan amarahnya, penghinaan balasan juga dilakukan. Suasana jadi memanas, tapi perselisihan itu kemudian bisa dilerai, bahkan dengan kesepakatan damai. Bentrokan tersebut mencapai puncaknya pada Kamis malam 31 Oktober 1918 di kota Kudus yang terkenal dengan Peristiwa Peroesoehan di Koedoes. Pada malam itu semua rumah dan toko milik orang Tionghoa di kota Kudus habis dijarah dan dibakar oleh ribuan massa Sarekat Islam yang datang dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah sekitarnya. Korban meninggal dunia ada 16 orang yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan para perusuh. Korban yang luka-luka mencapai ratusan orang-orang yaitu kaum perusuh yang diserang polisi. Ada 3 mayat orang Tionghoa yang bertumpuk di kamar mandi, ada mayat yang sudah menjadi arang dan tertimbun puing-puing rumah yang habis terbakar. Ada 40 rumah/toko yang habis dijarah dan dibakar dan sebuah klenteng dirusak. Selain itu sejumlah pabrik rokok dan batik habis dijarah dan dirusak, sebagaimana hal tersebut dimuat dalam

Masal Yang Terjadi Di Indonesia”. Masyarakat Tionghoa Kudus merasa kesal karena pihak keamanan Belanda tidak segera menghentikan kerusuhan itu dan setelah jatuh banyak korban baru meminta bantuan polisi dari Semarang. Ratusan perusuh yang ditangkap, namun hanya 69 orang saja yang diajukan ke pengadilan. Pada 25 Pebruari 1919 dibacakan vonis hakim yang menjatuhkan hukuman terberat 15 tahun dan teringan 9 bulan, beberapa orang dinyatakan bebas karena terbukti tidak bersalah (Twang, 1998:70) .

Sejak huru-hara yang sengit pada tahun 1918, hubungan di antara oran-orang Cina dengan pribumi di Kudus menjadi lebih baik, organisasi para pengusaha pabrik mencakup kedua ras tersebut. Perselisihan di antara produsen-produsen besar dengan produsen-produsen-produsen-produsen kecil lebih menonjol daripada perselisihan di antara kedua golongan sukubangsa itu. Namun, di dalam kerukunan secara luar ini masih tersembunyi kebencian yang mendalam pihak usahawan-usahawan Islam atau orang-orang pribumi, karena pihak pribumi masih mempunyai dendam karena dulu bisnis rokok dan batik mereka tersendat akibat kalah bersaing dengan pengusaha Tionghoa. Bahkan banyak pekerja pribumi yang pindah ke pengusaha Tionghoa yang mau memberi gaji yang lebih besar (Lance, 1982 : 145).

Pada tahun 1932 dan 1933 terjadi krisis yang berkepanjangan, hal tersebut tidak lain sebagai akibat berbagai macam keadaan yang timbul dari jaman “malaise”. Pada tahun 1932 pemerintah Belanda memutuskan pemungutan pajak tembakau, sehingga bermacam-macam pengusaha pabrik rokok di Kudus memutuskan menganggur sementara waktu. Mereka mau melihat-lihat dahulu

keadaan sebelum bertindak jauh, di samping itu mereka, masih terdapat banyak pihak lain yang juga mengalami penyusutan pendapatan dari perdagangan atau pekerjaan mereka, karena pengaruh malaise. Oleh karenanya, mereka juga mencoba mencari jalan keluar, agar bisa memperoleh pendapat tambahan, dengan memilih mendirikan pabrik rokok kecil. Jadi selama krisis malaise yang berkepanjangan, justru banyak pabrik rokok kretek kecil telah bermunculan (Amen, 1987 : 137).

3. Industri Rokok Kretek Pada Masa Penjajahan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang kondisi perusahaan-perusahaan industri rokok kretek sangat buruk dan mengalamai kemunduran. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan akan tembakau yang saat itu sangat sulit untuk didapat, karena pemerintah bala tentara Jepang di Jawa membatasi penanaman tembakau. Banyak lahan yang dulunya ditanamai tembakau beralih menjadi kebun yang ditanami tanaman jarak, khususnya di daerah Temanggung. Tanaman jarak ini banyak diusahakan, oleh karena diperlukan sebagai bahan membuat minyak pelumas berbagai macam mesin, termasuk mesin pesawat terbang (Amen, 1987 : 175) .

Pada waktu itu tidak hanya tanaman tembakau yang sulit didapat, tanaman cengkeh pun sulit untuk diperoleh. Saat itu kebutuhan bahan baku cengkeh banyak diimpor dari Zanzibar tetapi setelah kedatangan Jepang impor tersebut pun dihentikan. Saat itu yang mengurusi masalah impor dan persediaan cengkeh perusahaan-perusahaan rokok di Kudus adalah PPRK (Wawancara dengan pegawai PPRK pada tanggal 19 November 2012). Walaupun impor cengkeh

dihentikan sebagian pengusaha pabrik rokok masih beruntung karena masih mempunyai banyak stok. Karena keadaan persediaan cengkeh yang semakin lama makin terbatas, tidak ada pilihan lain, kecuali memakai cengkeh dalam negeri. Persediaan cengkeh dalam negeri lama kelamaan pun semakin sulit didapat karena pemakaian yang jumlahnya tidak sedikit, jadi sebagian pengusaha terpaksa menggantinya dengan tangkai daun cengkeh ataupun bahan campuran lainnya.

Keadaan yang buruk karena kesulitan bahan baku, banyak pengusaha telah menutup perusahaan rokok mereka, bahkan sebagian perusahaan rokok mereka telah dirampas oleh Jepang. Salah satunya adalah perusahaan dari Nitisemito, “Bal Tiga” yang hampir semua harta kekayaannya dirampas, mulai dari cengkeh, tembakau dan kertas. Demikian juga halnya armada angkutan yang dimilikinya, semuanya dirampas, yang digunakan untuk kepentingan bala tentara Jepang. Sedangkan bangunan pabrik rokoknya di desa Jati telah dijadikan asrama tentara Jepang (Amen,1987 :176). Kerugian yang diderita oleh pabrik rokok Bal Tiga Nitisemito akibat dirampas oleh Jepang hampir mencapai milyaran rupiah, mengingat jumlah tersebut sangat banyak pada waktu itu. Hal ini dapat dimaklumi untuk perusahaan raksasa sebesar perusahaan rokok Bal Tiga Nitisemito. Sebagaimana kita ketahui bahwa perusahaan rokok Bal Tiga Nitisemito merupakan perusahaan rokok terbesar di seluruh Indonesia sebelum Perang Dunia II (Alex,1980 :107).

4. Industri Rokok Kretek Pada Masa Kemerdekaan Indonesia

Industri rokok kretek di daerah-daerah Republik mengalami banyak kesulitan yaitu sulitnya mendapatkan bahan-bahan baku. Sebaliknya, keadaan di daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda harus diakui lebih baik. Bahkan, pada tahun 1947 dan 1948 para pengusaha usaha rokok kretek Tionghoa di Semarang, Malang dan Surabaya telah mendapatkan untung berlimpah oleh karena diijinkan mengimpor cengkeh secara besar-besaran. Akibatnya, mereka sanggup menghasilkan rokok kretek dengan mutu yang tinggi.

Hal tersebut baru dinikmati para pengusaha di Kudus setelah kota mereka diduduki Belanda pada akhir 1948. Perlu diketahui bahwa kota Kudus diduduki Belanda pada tahun-tahun mendekati pengakuan kedaulatan. Hal ini juga menyebabkan perusahaan rokok Bal Tiga Nitisemito mengalami kemunduran, walaupun setelah pengakuan kedaulatan tahun 1950, perusahaan pernah mengalami kenaikan tetapi masih jauh dibandingkan dengan masa kejayaannya (Alex,1980 :107).

Meskipun perusahaan rokok di Kudus diijinkan mengimpor cengkeh, posisi keuangan mereka pada tahun 1949 sebenarnya lebih lemah dibandingkan dengan para saiangan mereka di Semarang, Malang dan Surabaya, yang justru mendapatkan keuntungan melimpah pada tahun 1948 berkat impor cengkeh dari Zanzibar secara besar-besaran. Tetapi setelah munculnya serangan hama yang menyebabkan kegagalan panen di Zanzibar dan meletusnya perang Korea pada tahun 1950, harga cengkeh impor menjadi naik. Akibatnya, peranan pengusaha pribumi di Kudus dalam pasar rokok krtek menjadi berkurang dan digeser oleh

pengusaha Tionghoa, seperti pabrik rokok Nojorono milik Kho Djie Siong di kota Kudus tetap menduduki posisi yang kuat seperti sebelum Perang Dunia II (Amen,1987 :177).

Dokumen terkait