• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5. Sejarah Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo

Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo merupakan seni tradisi rakyat yang sudah berakar secara turun temurun yang menjadi salah satu perwujudan budaya. Kesenian Dolalak merupakan bentuk perpaduan antara tari, musik, dan lagu vokal (koor) (Agus: 2012). Kesenian Dolalak adalah akulturasi budaya Eropa dengan budaya Jawa yang terjadi di Purworejo. Sejarah Kesenian Dolalak berawal dari adanya pemerintahan Belanda yang berkuasa di tanah Purworejo pasca perang Diponegoro. Kabupaten Purworejo merupakan wilayah yang memiliki banyak daerah perbukitan dan hutan. Hal yang demikian membuat daerah tersebut sering digunakan oleh pasukan Diponegoro untuk bergerilya melawan penjajahan Belanda. Pasukan Belanda pada saat itu berada dalam tangsi-tangsi yang dibangun oleh Belanda sebagai tempat tinggal pasukannya. Tangsi yang digunakan oleh pasukan Belanda berdekatan dengan perkampungan, sehingga suara nyanyian dan

musik yang mengalun membuat penasaran penduduk yang tinggal di sekitar tangsi.

Kemunculan Kesenian Dolalak di tengah masyarakat Kabupaten Purworejo terjadi pada tahun 1915. Pada masa itu, wilayah Purworejo dikenal sebagai tempat pelatihan serdadu yang berasal dari berbagai daerah militer Belanda. Banyak warga masyarakat Kabupaten Purworejo yang bekerja sebagai serdadu pada pemerintahan Belanda. Selama pelatihan mereka hidup di dalam barak/tangsi tentara. Kegiatan yang sering dilakukan pada masa pelatihan membuat adanya hubungan kedekatan antara serdadu Belanda dengan masyarakat Kabupaten Purworejo. Selama hidup di tangsi, dari pagi hingga sore hari mereka hanya bekerja dan berlatih, maka untuk membuang kebosanan pada malam hari mereka menghibur diri dengan menari dan menyanyi. Mereka melakukan gerak dansa, pencak silat dan bernyanyi. Perilaku yang menarik tersebut kemudian menginspirasi tiga orang pemuda dari dukuh Sejiwan, Desa Trirejo, Kecamatan Loano, yaitu Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimejo.

Dukuh Sejiwan dahulu menjadi salah satu wilayah pesantren di Kabupaten Purworejo. Semula tiga orang pemuda tersebut memiliki grup kesenian terbang, mereka berdakwah sambil mendendangkan syair-syair Islam. Kemudian setelah mereka melihat perilaku serdadu Belanda, lalu mereka mengimitasi apa yang mereka lihat menjadi sebuah kesenian tari. Kebetulan dalam grup kesenian terbang tersebut terdapat ahli musik, mencipta syair lagu, dan mencipta tari. Rono Dimejo memberikan unsur tari. Rejo Taruno memasukkan unsur berwujud instrumen musik berupa terbang, bedhug kecil, dan syair lagu berbahasa Arab

sedangkan, Duliyat memberikan sentuhan seni Jawa berupa instrumen kendhang dan syair-syair lagu berbahasa Jawa dan Indonesia (Moeljohadiwinoto: 1993).

Pada perkembangan selanjutnya mereka menyebut kesenian tersebut dengan sebutan Dolalak. Kesenian Dolalak memiliki beberapa keunikan karena dalam proses penciptaannya banyak mengimitasi dari tingkah laku para serdadu Belanda. Seperti yang dikatakan oleh Jazuli (2014), bahwa karya seni selalu memiliki keunikan yang berasal dari imajinasi seniman yang tidak terduga, tidak lazim, dan kemudian mampu menarik dan mempengaruhi lingkungan sekitar sebagai pengalaman baru. Masyarakat setempat sangat menerima dan mendukung munculnya Kesenian Dolalak tersebut. Masyarakat Kabupaten Purworejo sering menyebut Kesenian Dolalak dengan nama lain yaitu Bangilun, Jidhur, dan Angguk. (Agus: 2012). Terdapat dua versi dalam pengartian nama Bangilun ini, Prihartini (2007) mengartikan kata Bangilun sebagai bahasa Jawa “abang-abang karo ngilo” ,yang artinya pemerah bibir dan pipi sedang bercermin. Namun masyarakat Dukuh Sejiwan mengatakan bahwa Bangilun berasal dari bahasa Arab

fa’ilun”, yang berarti alat syiar agama Islam (Wawancara dengan Untariningsih pada tanggal 18 Februari 2016). Sedangkan nama Jidhur sendiri berasal dari instrumen yang digunakan dalam Kesenian Dolalak yaitu bedhug kecil, dan nama Angguk berasal dari gerakan kepala penari Dolalak yang mengangguk-anggukkan kepala saat sedang menari.

Keberagaman penyebutan nama kesenian tersebut membuat tokoh pemerintahan pada masa pemerintahan Bupati Sardiatmoko, beberapa tokoh kesenian, dan budayawan berkumpul dan saling menyatukan argumen. Mereka

mengadakan sarasehan yang kemudian membuat kesepakatan yang menyepakati

nama kesenian tersebut dengan “Dolalak”. Alasan dalam penamaan Dolalak

karena diambil dari nada lagu do-la-la yang dominan dinyanyikan serdadu Belanda untuk mengiringi pada saat mereka menyanyi dan menari (Wawancara dengan Ibu Untarinungsih pada tanggal 18 Februari 2016).

Manusia sebagai pelaku kesenian tidak berada pada dua tempat sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain (Poerwanto: 2000). Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Penyebaran Kesenian Dolalak di Dukuh Sejiwan dengan cepat mulai merembes ke daerah-daerah lain di Kabupaten Purworejo, hingga pada tahun 1920 terdapat 7 orang warga Desa Kaliharjo yang belajar Kesenian Dolalak di Dukuh Sejiwan. Tujuh orang tersebut adalah Cokro Sumarto, Suprapto, Amat Yusro, Marto Tiyono, Amat Karyo, Martoguno dan Parmin (Wawancara dengan bapak Paryono pada tanggal 20 April 2016). Mereka mempelajari gerak tari, iringan, dan syair-syair yang terdapat dalam Kesenian Dolalak.

Perkembangan Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo berkembang sangat pesat. Banyak warga masyarakat yang mau bergabung untuk menjadi penari maupun pengrawit. Pada masa itu Kesenian Dolalak sudah memiliki banyak permintaan untuk pentas dalam acara formal maupun tidak formal. Ketua Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo pada awal kemunculannya adalah Cokro Sumarto. Namun pada tahun 1944, beliau meninggal dunia dan kemudian grup Kesenian Dolalak dipercayakan kepada penarinya yang bernama Marto Guno.

Tahun 1948 grup Kesenian Dolalak di Kaliharjo mengalami penurunan karena tentara Belanda berhasil menduduki wilayah Kabupaten Purworejo. Terjadi pertempuran antara tentara Belanda dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Banyak putra putri yang tergabung dalam grup Kesenian Dolalak ikut berjuang menjadi Tentara Nasional Indonesia. Penyerangan yang dilakukan disegala wilayah membuat tentara Belanda tidak leluasa menduduki wilayah Purworejo. Mereka kemudian hanya mengusai pusat kota Purworejo saja. Untuk mengakhiri perang yang terjadi secara terus menerus, pada tahun 1949 Indonesia dan Belanda membuat kesepakatan dalam Konferensi Meja Budar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag. Berakhirnya perlawanan antara Indonesia dan Belanda membuat Kesenian Dolalak di Desa Kaliharjo kembali bangkit dan berkembang.

6. Bentuk Penyajian Kesenian Dolalak

Dokumen terkait