• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KEBERAGAMAAN UMAT TRI DHARMA

C. Sejarah Perkembangan Tri Dharma di Indonesia

3. Sejarah Perkembangan Buddhisme

Berdasarkan beberapa penemuan arkeologi di beberapa tempat yang terpisah, masa perkembangan agama Buddha di Indonesia dimulai sekitar abad ke-5 M. Dilaporkan bahwa pada masa itu agama Buddha sudah berkembang luas di Jawa dan Sumatra, meskipun dikatakan pula penuh dengan penyelewengan.

Catatan agak lengkap mengenai keadaan agama Buddha pada waktu itu dibuat oleh I’tsing, yang pada tahun 672 menetap selama 6 bulan di Sriwijaya guna mempelajari bahasa Sansekerta sebelum belajar agama di Nalanda India. Ia bahkan kembali lagi ke Sriwijaya setelah belajar selama lebih kurang 10 tahun di Nalanda untuk menerjemahkan naskah-naskah Budhis ke dalam bahasa Cina. Dari catatan I’tsing ini pula dapat diketahui bahwa Sriwijaya pada waktu itu sudah merupakan pengajaran agama Buddha yang terkenal di Asia dan mempunyai hubungan yang luas dengan pusat-pusat pengajaran agama Buddha di India. Siswa-siswa yang belajar di Sriwijaya bukan saja berasal dari wilayah Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Tibet. Menurut I’tsing penduduk seluruh daerah “Laut Selatan”, maksudnya Jawa dan Sumatra, memeluk agama Buddha Theravada dan hanya penduduk melayu saja yang memeluk agama Buddha Mahayana.

Pada waktu hampir yang bersamaan dengan kemajuan kerajaan Sriwijaya, agama Buddha Mahayana berkembang di Jawa Tengah dibawah kekuasaan Mataram kuno yang diperintah oleh Wangsa Syailendra. Di sini kehidupan agama lebih kompleks karena dua agama ditemukan hidup

berdampingan, yaitu Hindu dan Buddha. Dalam masalah agama, Jawa Tengah tidak berperan sebagaimana halnya Sriwijaya, antara lain karena Jawa Tengah terletak di luar jalur yang dilewati agama Buddha dalam penyebaran dan perkembangan internasionalnya. Sumber-sumber tentang agama Buddha Jawa Tengah ini terutama didasarkan pada beberapa peninggalan berupa tempat-tempat peribadatan agama Buddha dan prasasti-prasasti yang jumlahnya terbatas. Dari yang pertama disebutkan misalnya Candi Sewu, Kalasan, Plaosan, Mendut, dan Borobudur. Selain itu data filologis yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab seperti Sang Kamahayangnikan, Sang Hyang Nagabayu Sutra dan Kalpa Buddha, juga merupakan sumber tentang agama Buddha di Jawa Tengah.

Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, baik di Jawa maupun Sumatra, dapat diketahui bahwa corak keagamaan yang dianut waktu itu adalah sinkretisme; antara Hindu dan Buddha yang mengambil bentuk Siwa-Buddha.29

Baik agama Buddha maupun siwa selalu berusaha menyebarkan keyakinannya pada masyarakat. Namun agama penduduk dan kepercayaan umum selalu merujuk pada golongan elite agama. Oleh karena itu, pola pikir keteladanan dalam masyarakat Jawa diarahkan untuk klasifikasi dan penyatuan aliran. Hal itu tampak pada abad ke-3 dalam bentuk pemujaan Siwa Buddha. Yang masih tetap ada di Bali hingga saat ini. Dalam ke-14, kerajaan Majapahit mengakui Tripitaka atau Tridhamma : peleburan dari Buddha, Siwa dan Brahmana, khususnya dalam upacara-upacara ritual keagamaan.

Ketika kerajaan Islam mengambil kekuasaan pada abad ke-15, agama-agama dari India itu hampir lenyap dan menghilang. Candi-candi dijarah dan dibiarkan membusuk. Patung-patung yang dianggap sebagai simbol musrik (penyembahan terhadap berhala) dipenggal kepalanya. Keadaan menjadi kacau. Masyarakat Jawa akhirnya terbagi, yang memeluk agama Islam berimigrasi ke Bali dengan membawa buk suci 29 Romdhon dkk., op.cit, hal 144-146

agama, yang kemudian ditemukan kembali dalam zaman modern ini. Agama Buddha pun lenyap selama 5 abad.

Kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia dimulai dengan tanpa diduga dan tanpa hubungan dengan masa lalu. Bagaimanapun juga kejayaan masa lalu telah ditemukan kembali. Dalam lima abad terakhir, banyak orang Cina berimigrasi ke Indonesia. Saat ini jumlah mereka diperkirakan sekitar 3 juta jiwa. Mereka memeluk sedikitnya tiga agama ynag sebetulnya tidak betul-betul berbeda, bahkan saling tumpang tindih. Agama-agama itu ialah Hud Kau (Buddha), Khong Kauw

(Confusianisme), dan To Kauw (Taoisme). Ditempat ibadah dan altar, patung-patung Buddha, Kuan yin, Confusius, dan Lao Tze berdiri berdampingan dengan tepekong, naga, ular dan para leluhur, dalam terang cahaya lilin dan asap dupa, khususnya hioswa, kayu yang dibakar menjadi semacam tanda bukti kesetiaan pada para leluhur. Karena masalah bahasa, nysris tak ada pengaruh di luar etnis China. Dalam pandangan masyarakat luar, yang mereka lakukan itu lebih tampak sebagai masalah rasial dari pada praktik keagamaan.30

Ketetapan yang cukup penting dalam usaha menciptakan kerukunan intern umat Buddha Indonesia adalah pengukuhan keputusan Loka Karya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan kepribadian Indonesia, yaitu:

a. Tuhan Yang Maha Esa

1) Semua sekte agama Buddha Indonesia berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2) Semua sekte di Indonesia menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda tetapi pada hakikatnya adalah satu dan sama.

30 Mudji Sutrisno (ed), Buddhisme: Pengaruhnya Dalam Abad Modern), Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 104-105.

3) Semua sekte agama Buddha di Indonesia, bersikap menghormati sebutan yang dipergunakan oleh masing-masing sekte agama Buddha di Indonesia yang lain.

b. Guru Agung/ Pembabar/ Nabi

Semua sekte agama Buddha di Indonesia mengakui Buddha Gautama/ Buddha Sakyamuni sebagai guru agung/ pembabar agung agama Buddha.

c. Kitab Suci

Semua sekte agama Buddha di Indonesia mempunyai umat yang berada di seluruh pelosok tanah air Indonesia.

d. Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Semua sekte agama Buddha di Indonesia bertekad untuk melaksanakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Panca Karsa).

Konggres umat Buddha di Yogyakarta tersebut dipandang telah berhasil memecahkan permasalahan intern umat Buddha, menghilangkan sikap saling menyalahkan dengan menumbuhkan sikap saling menghormati pada keyakinan agamanya. Dalam masalah eksternal, konggres telah berhasil menuntaskan persoalan umat Buddha dalam hubungannya dengan pemerintah, terutama yang menyangkut penghayatan dan pengamalan Pancasila.

Dengan berhasilnya umat Buddha memecahkan masalah-masalah dasar tersebut, maka perkembangan agama Buddha di Indonesia semakin semarak, baik dalam pendalaman maupun penyebaran agama ke luar. Dengan pemerintah, hubungan terjalin semakin baik, yang kemudian membuahkan berdirinya satu direktorat khusus agama Buddha pada tanggal 16 Agustus 1980 dan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 yang menetapkan Hari Raya Nyepi dan Hari Waisak sebagai hari libur nasional.31

Dokumen terkait