Pada periode Rasulullah SAW belum dikenal istilah filsafat, semuanya berjalan sebagaimana adanya dan belum terpengaruh oleh pemikiran lain. Akan tetapi prinsip dan penetapan-penetapan hukum yang dilahirkan oleh Rasul dan sahabatnya ketika diteliti sudah memakai metode yang pada akhirnya dikenal dengan istilah filsafat. Misalnya ketika Rasul tidak menghukum tangan pencuri ketika perang, atau ketika Rasul membolehkan nikah mut’ah [walaupun kemudian dilarang kembali], atau ketika Umar bin Khatab tidak membagi rampasan perang sebagaimana yang selalu dilakukan Rasul, tidak memberi zakat kepada kelompok muallaf, dan mengalihkan miqat bagi jemaah haji dari Iraq ke dzatu Irqin, semua ini adalah atas dasar kemaslahatan dan menempuh metode berpikir yang cukup baik. Hal-hal inilah yang mengilhami para ahli hukum Islam selanjutnya tentang berpikir filosofis. Oleh karena itu walaupun secara keilmuan memang tidak terdapat tinjauan filsafat pada periode Nabi dan sahabat, akan tetapi secara faktual apa yang telah mereka lakukan merupakan contoh dan cikal bakal lahirnya filsafat hukum Islam.
Contoh lain, bagaimana para sahabat memahami perintah Rasul ketika terjadi pengepungan terhadap kaum Yahudi di Bani Quraizah pada tahun ke-5 H. Rasul SAW membagi pasukan ke dalam dua bagian, dan satu pasukan langsung dipimpin oleh Nabi. Pasukan pertama yang dipimpin oleh Nabi lebih dulu berangkat ke Bani Quraizah, dan Nabi berpesan kepada pasukan kedua agar tidak melaksanakan shalat ashar kecuali sudah sampai di Bani Quraizah nanti.
44
Setelah itu berangkatlah Rasulullah SAW bersama pasukan pertama, dan berselang setelah itu berangkat pula pasukan kedua. Malang bagi pasukan kedua, karena di tengah perjalanan mereka menghadapi badai padang pasir yang membuat gerak laju mereka terhambat, sehingga waktu ashar sudah masuk. Di sinilah terjadi perdebatan di kalangan sahabat dalam memahami perintah Rasul. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa mereka tidak perlu shalat ashar di perjalanan karena merasa bertentangan dengan perintah Nabi, sedangkan kelompok kedua bersikeras untuk shalat ashar di perjalanan karena khawatir habisnya waktu ashar kalau harus shalat di Bani Quraizah. Akhirnya mereka beramal sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Bagi kelompok pertama, perintah Nabi adalah segala-galanya. Jika Nabi melarang shalat di perjalanan, maka mereka tidak akan shalat, karena shalat mesti dilaksanakan setelah sampai di Bani Quraizah. Sedangkan bagi kelompok kedua, mereka mencoba memahami perintah Nabi dengan melihat tujuan esensi dari perintah itu. Mereka melihat bahwa perintah Nabi bertujuan untuk membuat mereka bersegera dan berjalan cepat, sehingga diperkirakan dengan perjalanan yang cepat masih akan mendapatkan waktu ashar ketika sampai di Bani Quraizah. Tetapi karena ada halangan di jalan, gerak mereka terhambat dan tidak bisa secepatnya sampai di tujuan. Mereka memahami bahwa Nabi tidak bermaksud melarang mereka shalat di perjalanan, tetapi bagaimana mereka tidak berlalai-lalai di jalan. Itulah sebabnya mereka melakukan shalat ashar di perjalanan.
45
Pasukan kedua itu ternyata sampai di Bani Quraizah ketika Nabi mau menunaikan shalat Isya, dan mereka langsung menyampaikan kepada Nabi peristiwa yang mereka hadapi di jalan dan hal-hal yang mereka perdebatkan. Rasul SAW tersenyum dan mengatakan bahwa bagi yang shalat ashar di perjalanan akan mendapatkan dua pahala, dan bagi yang shalat ashar terlambat akan mendapatkan satu pahala.
Dilihat dari contoh ini, sebenarnya rombongan yang shalat ashar di perjalanan pada hakikatnya sudah melaksanakan salah satu metode filsafat hukum Islam, yaitu memahami tujuan ditetapkannya sesuatu. Mereka tidak terfokus kepada teks sebuah nash, tetapi mencoba mempelajari lebih dalam alasan sebuah teks diturunkan. Inilah salah satu bentuk pengamalan filsafat hukum Islam yang terjadi pada zaman Nabi SAW.
Kecenderungan untuk membicarakan hukum Islam secara filosofis sepertinya baru dimulai sejak era Dinasti Abbassiyah. Hal ini karena pada saat dinasti Islam itulah baru ada persintuhan keilmuan Islam dengan keilmuan luar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa pada periode dinasti Abbassiyah merupakan puncak kemajuan Islam dari berbagai bidang. Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) terjadi penerjemahan buku-buku penting, yakni diterjemahkannya ringkasan Galen atas karya besar Plato (Dialogue) yang berjudul Timaeus. Di samping itu diterjemahkan pula karya Aristoteles, seperti De anima, Book of Animals, Analytica Priora, dan karya Apokrifal, Secret of the Secret (diduga milik Aristoteles). Penerjemahan pada masa al-Rasyid ini umumnya dikerjakan oleh Yahya bin al-Bithriq (w. 815). Sepeninggal al-Rasyid, karya penerjemahan dilanjutkan oleh putra keduanya bernama Ma’mun (813-833). Keseriusan
al-46
Ma’mun terhadap proyek penerjemahan ini ditunjukkan dengan adanya kebijakan resmi bagi aktivitas pengaraban karya-karya filsafat, sains dan kedokteran Yunani. Khalifah al-Makmun mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad pada tahun 830 M sebagai perpustakaan dan institut penerjemahan. Bait al-Hikmah yang dipimpin oleh Yuhanna ibn Ishâq (w.857) dan tak lama kemudian digantikan oleh muridnya, Hunain ibn Ishâq (w. 873) adalah Institut terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani.
Karya-karya Yunani yang diterjemahkan oleh tim yang terdiri dari Hunain, Hubaisy (sepupu Hunain), dan Isa bin Yahya, murid Hunain adalah Analytica Posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethics karya Galen, dan sejumlah ringkasan karya Plato, seperti Sophist, Pennenides, Politicus, Republic, dan Laws. Sedangkan karya-karya Aristoteles, seperti Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption, Nicomachean Ethics, dan beberapa bagian dari buku Physic diterjemahkan oleh Ishâq bin Hunain dari bahasa Suryani.
Dengan demikian proyek penerjemahan itu telah mengantarkan umat Islam untuk mengenal filsafat, dan untuk selanjutnya selain filsafat Islam, juga muncul kajian filsafat hukum Islam. Oleh karena itu jika dilihat dari kata “filsafat”, akar kata bahasa Arab tidak menemukan kata itu. Itulah sebabnya dalam mengkaji filsafat hukum Islam ini ulama mengistilahkan dengan hikmah al-tasyri’ atau asrar al-ahkam. Ternyata apa yang diistilahkan filsafat oleh orang-orang luar Islam juga sudah ada sejak awal Islam walaupun tidak merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri.
47
Berpikir filosofis dalam hukum Islam dapat dilihat dari hasil karya ulama yang mencantumkan kajian filosofis hukum dalam karyanya. Kajian filosofis dimaksud adalah penekanan kepada makna atau tujuan yang ingin dicapai oleh syari’ (pembuat hukum; Allah SWT dan Rasul-Nya), yang kemudian dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah.
Dari hasil penelitian terhadap karya ulama, sepertinya Imam al-Haramain al-Juwaini (guru al-Ghazali) merupakan ulama pertama yang memasukkan pembahasan maqashid al-syari’ah dalam karya ushul fiqhnya. Sebagaimana diketahui, maqashid al-syariah merupakan kajian inti dalam filsafat hukum Islam. Diakui bahwa al-Juwaini tidak menggunakan kata filsafat dalam karya-karyanya, akan tetapi dari ushul fiqh yang dikarangnya terdapat pembahasan khusus yang membahas maqashid al-syariah (walaupun belum sempurna). Menurutnya seseorang belum diakui kapabilitasnya dalam menetapkan hukum Islam (ahli hukum Islam) sebelum mampu mengetahui dan memahami tujuan Allah SWT dalam menetapkan perintah dan larangan-Nya. Dalam karyanya al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, al-Juwaini mengelompokkan masalah al-ashl ini kepada tiga kelompok, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan makramat (tahsiniyat). Pembahasan al-Juwaini inilah yang pada akhirnya melahirkan kajian khusus tentang maqashid al-syariah pada masa-masa sesudahnya, sebagaimana yang dikembangkan lebih lanjut oleh al-Ghazali, ulama Syafi’iyyah, dan seterusnya disempurnakan oleh al-Syathibi, ulama dari kalangan mazhab Maliki. Kajian ini jugalah yang pada umumnya mengisi lembaran-lembaran pembahasan filsafat hukum Islam.
48