• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : OBJEK PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sejarah PT.Kereta Api Indonesia

Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen, Jumat 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet Van Den Beele. Pembangunan

diprakarsai oleh “Naamloze venootscahp Nederland Indische Spoorweg Maatschappij” (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen

menuju desa Tanggung (25 KM) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada hari Sabtu 10 Agustus 1867.

Kolonel Jhr. Van Der Wijk adalah seorang militer Belanda yang mana beliau adalah orang pertama yang menggagaskan pembangunan jaringan jalan kereta api pertama pada tanggal 15 Agustus 1840, tujuannya agar dapat mengangkut hasil bumi serta bermanfaat bagi kepentingan pertahanan pada waktu itu.

Selain di Jawa, pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera Selatan (1914), Sumatera Barat (1891), Sumatera Utara (1886), Aceh (1874), bahkan tahun 1922 di Sulawesi juga telah dibangun jalan kereta api sepanjang 47 km antara Makassar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujung pandang-Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan kereta api Pontianak-Sambas (220 km) sudah diselesaikan. Demikian juga pulau Bali dan Lombok juga

Keberhasilan swasta NV. NISM membangun jalan kerta api antara Kemijen-Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang-Surakarta (110 KM), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan kereta api di daerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang rel anatara 1864-1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada thun 1900 menjadi 3.338 km.

Karena pemerintah Belanda kemudian merasa pentingnya dibangun jaringan rel kereta api pada banyak tempat, sedangkan NISM setelah itu mengalami kesulitan keuangan yang sangat dahsyat, maka pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk mengambil alih pembangunan jaringan rel kereta api. Selanjutnya pemerintah Belanda membuka jalur antara Jakarta-Bandung, Sidoarjo-Madiun-Surakarta, Kertosono-Blitar, Madiun-Surakarta, serta Yogyakarta-Cilacap. Akhirnya hampir pada setiap daerah terutama di daerah dekat pantai di seluruh Jawa telah dapat memanfaatkan sarana transportasi berupa kereta api, bahkan sampai dataran Sumatera dan Sulawesi.

Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan kereta api di Indonesia mencapai 6.881 km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang lebih 901 km raib, yang diperkirakan karena di bongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan kereta api di sana.

Kesuksesan pembangunan dan pemanfaatan jaringan transportasi kereta api yang dirasakan pemerintah kolonial Belanda maupun pihak-pihak swasta terpaksa berakhir setelah Jepang masuk ke Indonesia. Setelah pemerintahan Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tahun 1942, sejak saat itulah sarana-sarana yang telah dibangun oleh pemerintah Belanda juga dikuasi oleh Jepang termasuk sarana dan jaringan rel kereta api.

Jenis rel kereta api di Indonesia dibedakan dengan lebar sepur 1.067 mm; 750 mm di Aceh dan 600 mm di beberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang di bongkar semasa pendudukan Jepang (1942-1943) sepanjang 437 km. Sedangkan jalan kereta api yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 km anatara Bayah-Cikara dan 220 km antara Muaro-Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunan selama 15 bulan yang memperkerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro-Pekanbaru.

Jepang mempekerjakan orang-orang pribumi pada dinas kereta api bahkan ada yang menduduki jabatan tingkat menengah. Selain mengadakan penerimaan pegawai secara besar-besaran pada tahun 1942-1943, pemerintah Jepang juga

menyelenggrakan semacam sekolah tinggi perkeretaapian dengan nama “Kyo Syu Syo” yang bertempat di Bandung.

Berkat sekolah perkeretaapian tersebut, orang-orang Indonesia kemudian banyak menguasasi berbagai hal yang berhubungan dengan kereta api. Bahkan, menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintah Jepan, pegawai kereta api yang

merupakan orang-orang Indonesia berjumlah kurang lebih 80.000 orang yang mayoritas sebagi pegawai rendah. Memasuki tahun 1945 barulah beberapa pegawai diangkat sebagai wakil jabatan tertentu mendampingi orang Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

1945, karyawan kereta api yang tergabung dalam “Angkatan Moeda Kereta Api”

(AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadipada tanggal 28 September 1945, pembacaan sikap oleh Ismangil dan sejumlah AMKA lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 Spetember 1928 kekuasaan perkerataapiaan berada ditangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi ikut campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi titetapkannya 28 Spetember

1945 sebagai hari Kereta Api Indonesia, serta dibentuknya “Djawatan Kereta Api Republik Indonesia” (DKARI).

Meskipun DKARI telah terbentuk, namun tidak semua perusahaan kereta api menyatu. Sedikitnya ada 11 perusahaan kereta apai swasta di Jawa dan satu swasta (Deli Spoorweg Maatschapij) di Sumatera Utara yang masih terpisah dengan DKARI. Lima tahun kemudian, berdasarkan Pengumuman Menteri Perhubungan, Tenaga, dan Pekerjaan Umum No. 2 Tanggal 6 Januari 1950,

ditetapkan bahwa 1 Januarai 1950 DKARI dan “Staat-spoor Wegen en Verenigde Spoorweg Bedrijf ” (SS/VS) digabung menjadi satu perusahaan kereta api yang

bernama “Djawatan Kereta Api” (DKA).

Dalam rangka pembenahan badan usaha, pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1960, yang menetapkan usaha BUMN. Atas dasar UU ini, dengan

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1963, tanggal 25 Mei 1963 di bentuk

“Perusahaan Negara Kereta Api” (PNKA), sehingga Djawatan Kereta Api di ebur

kedalamnya. Sejak itu, semua perusahaan kereta api di Indonesia terkena

“integrasi” ke dalam satu wadah PNKA, termasuk kereta apai di Sumatera Utara

yang sebelumnya dikelola oleh DSM.

Masih dalam rangka pembenahan BUMN, pemerintah mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1969 tanggal 1 Agustus 1969, yang menetapkan jenis BUMN menjadi tiga, yaitu Perseroan, Perusahaan Umum, dan Perusahaan Jawatan. Sejalan dengan UU yang dimaksud berdasarkan Peraturan Pemerintahan No. 61 Tahun 1971 tanggal 15 September 1971, bentuk perusahaan PNKA mengalami

perubahan menjadi “Perusahaan Jawatan Kereta Api”( PJKA).

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintahan No.57 Tahun 1990, pada tanggal 2 Januari 1991, PJKA menagalami perubahan menjadi Perusahaan Umum Kereta Api disingkat Perumka. Sejalan dengan perubahan status ini, kinerja perkeretaapian di Indonesia kian membaik. Kalau pada tahun 1990 PJKA rugi sebanyak Rp. 32,716 Milyar. Tahun kedua turun menjadi Rp. 2,536 Milyar, tahun ke tiga Rp. 1,098 Milyar dan untuk pertama kalinya dalam sejarah perkeretaapian Indonesia meraih laba sebesar Rp. 13 juta pada tahun 1993.

Berikutnya, dalam rangka “Loan Agreement” no. 4106-IND tanggal 15 Januari 1997 berupa bantuan proyek dari Bank Dunia, yang kemudian lebih

dikenal dengan Proyek Efisiensi perkeretaapian atau “Railway Efficiency Project

(REP), diarahkan pada peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan yang ditempuh melalui delapan kebijakan, yaitu :

a. Memperjelas peranan antara pemilik (owner), pengaturan (regulator), dan pengelola (operator);

b. Melakukan restrukturisasi Perumka, termasuk merubah status Perusahaan Umum menjadi Perseroan Terbatas;

c. Kebijakan pentarifan dengan pemberian kompensasi dari pemerintah kepada Perumka atas penyediaan Kereta Api non komersial, yaitu tarifnya ditetapkan oleh pemerintah;

d. Rencana jangka panjang dituangkan dalam Perencanaan Perusahaan (Corpoorate Planning), yang dijabarkan ke dalam rencana kerja anggaran perusahaan secara tahunan;

e. Penggunaan peraturan dan prosedur dalam setiap kegiatan; f. Pengingkatan peran serta sektor swasta;

g. Peningkatan SDM

Sejalan dengan maksud REP tersebut, dengan Peraturan Pemerintahan No.19 Tahun 1998, pada tanggal 3 Februari 1998, pemerintah menetapkan pengalihan bentuk Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Proses perubahan status perusahaan dari Perum menjadi

Persero secara “de-facto” dilakukan tanggal 1 Juli 1999, saat Menhub Giri .S.

Tabel 3.1

Kronologis Bentuk Perusahaan

PERIODE STATUS DASAR HUKUM

1864 Pembangunan jalan KA sepanjang 26 km antara Kemijen-Tanggung oleh Hindia-Belanda

1864 – 1945 Staatspoor Wegen (SS)

Verenigde Spoorwegbedrijf (VS) Deli Spoorweg Maatschapij (DSM)

Indonesisch Bedrijven Wet ( IBW )

1945 – 1950 1950 – 1963

Djawatan Kereta Api (DKA)

Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI)

1963 – 1971 Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) PP No. 9 Tahun 1969 1971 – 1991 Perusahaan Jawatan Kereta Api ( PJKA) PP No. 61 Tahun 1971 1991 – 1998 Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) PP No.57 Tahun 1990

1998 – sekarang PT. Kereta Api (Persero)

PP No. 19 Tahun 1998 Kepres 39 Tahun 1999 Akta Notaris Imas Fatimah No. 2 Tahun 1999

Dokumen terkait