BAB I. PENDAHULUAN
II.2. Sejarah Singkat Partai Persatuan Pembangunan
Ketika dideklarasikan, warna Islam yang menjadi unsur dominan pembentukan partai ini tetap dipelihara. Untuk menjaga kelestarian ukuwah dan perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi pada tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asas PPP. Bahkan, untuk memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam lalu diusung menjadi lambang partai.
Partai Persatuan Pembangunan sendiri adalah partai jelmaan dari empat partai politik Islam peserta pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Jika ditelusuri, pengalaman politik keempat partai ini sudah dirintis sejak lama. Nahdlatul Ulama, secara formal didirian pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi keagamaan dengan faham
Ahlussunah Wal Jamaah. Kendati sebagai organisasi keagamaan peran politik NU
terutama dalam membangkitkan semangat perlawanan kepada Belanda sangat berpengaruh. Orientasi politik NU baru muncul secara terbuka ketika organisasi bentukan KH Hasyim Asy’ari ini bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1939. MIAI ini sendiri adalah organisasi yag bertujuan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).41
Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang isinya antara lain pemerintah mengizinkan rakyat untuk mendirikan partai politik dalam menyalurkan segala paham dalam
41
masyarakat. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta itu, tanggal 8 November 1945 tokoh-tokoh umat Islam langsung memproklamirkan berdirinya Partai Masyumi, dimana partai ini berbeda dan terlepas sama sekali dengan nama organsasi yang sama pada zaman Jepang. Karena partai Masyumi adalah satu-satunya partai politik umat Islam, aspirasi dan peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk NU.
Sebagai organsasi konfederasi kedudukan kelompok-kelompok Islam dalam partai Masyumi memang rawan konflik. Pembagian peran dalam struktur organisasi yang menempatkan tokoh-tokoh NU pada posisi yang kurang bergengsi cenderung membuat usulan-usulan mereka kurang diindahkan. Hal ini membuat NU kecewa lalu menyatakan diri keluar dari Masyumi. Selanjutnya para tokoh NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama pada 15 April 1952. Perpecahan ini lalu berlanjut dengan persaingan antara keduanya pada Pemilu 1955. Masyumi pada pemilu tersebut menempati posisi kedua setelah PNI, sedangkan NU di tempat ketiga di atas PKI. Peran politik NU terus berkembang hingga terbentuknya rezim Orde Baru. Bahkan, dalam tekanan rezim yang represif dan sarat rekayasa politik, NU masih bisa tampil memukau dengan meraup 10.214.795 suara (18,68 %) dari 54.651.770 pemilih dalam Pemilu 1971. Posisi ini persis dibawah Golkar, partai binaan pemerintah saat itu.
Partai Syarikat Islam Indonesia sebenarnya merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam (SI) yang dibentuk HOS Tjokroaminoto pada 1912. Sarekat Islam sendiri merupakan kelanjutan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk H. Samanhudi tahun 1911. Perubahan nama dari SDI menjadi SI memberi perubahan
orientasi perjuangan partai ini dari persoalan-persoalan politik SI bergerak secara terang-terangan di lapangan politik dalam rangka mengorganisir pedagang Islam untuk melawan tekanan Belanda dan pedagang Cina.
Ketika Masyumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia, suara dan peran SI tidak terdengar sama sekali. Tahun 1947 baru suara SI mulai terdengar ketika para tokohnya yang ada di Masyumi keluar dan mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Para tokoh SI ini tidak banyak berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di Masyumi. Bahkan, ketika kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dalam pemerintahan, Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI. Nama PSII ini kemudian menjadi populer di masyarakat ketimbang induk semangnya, SI dan SDI. Pada pemilu 1955 partai ini bisa meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 pemilih. Perolehan ini sekaligus menempatkan partai tersebut di posisi nomor lima setelah PKI.
Partai Islam Perti sebetulnya cikal bakal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang didirikan pada 30 Mei 1930 di Bukit Tinggi, Sumatera Tengah. Awalnya organisasi ini merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan dan agama. Perti sendiri merupakan benteng pertahanan golongan Islam tradisional terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam modern. Pilihan Perti mengubah dirinya menjadi partai politik karena hubungan yang kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi (MIT), sebuah partai Islam di Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Pada elite Perti beranggapan dengan mengubah dirinya menjadi partai politik, paham keagamaan mereka lebih mudah dipertahankan. Pada Pemilu 1955 partai ini berada di posisi kesepuluh
dengan perolehan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti merupakan salah satu dari 9 partai politik yang diizinkan hidup oleh Soekarno. Selain Perti, ada PNI; NU; PKI; Partai Katolik; Partai Murba; PSII; IPKI dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) secara formal didirikan tahun 1968 yag diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi. Partai Masyumi sendiri telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap terlibat dalam beberapa pemberontakan yang terjadi di daerah. Kendati baru, reputasi tokoh-tokoh Masyumi yang ada dibalik Parmusi membuat partai ini tampil memikat di kalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga setelah Golkar dan NU.
Ketika Soeharto baru berkuasa, hubungan pemerintah dan partai politik saat itu masih berlangsung dengan baik. Pemerintah lalu mengadakan Pemilu tahun 1971 dengan mengakomodasi semua partai yang ada saat itu. Hubungan baik tersebut tidak berlanjut dengan baik karena dua tahun setelah Pemilu, Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik seperti yang dilakukan Soekarno tahun 1960. Hasilnya adalah pengelompokan partai politik berdasarkan garis agama (baca: Islam), yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta garis nasionalis dan Kristen, yaitu : Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kendati penyederhanaan partai ini penuh dengan nuansa pakasaan, secara internal hubungan antarunsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan empat partai Islam tersebut tetap menunjukkan suasana persaudaraan yang solid.
Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh KH Idham Khalid (NU), HMS Mintaredja (Parmusi), Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti) dan KH Masykur (NU) dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui perjuangan partai politik.
Dengan meleburkan diri ke dalam PPP itu berarti segala aktifitas politik dikonsentrasikan untuk PPP. Sementara segala kegiatan yang bukan kegiatan politik tetap dikerjakan organisasi masing-masing sebagaimana sediakala. Partai NU lalu berganti baju menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi Muslimin Indonesia (MI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menjadi Syarikat Islam (SI), dan Partai Islam Perti menjadi Perti.
Sebagai wadah baru dari kekuatan-kekuatan politik yang sudah lama berkiprah dalam politik reputasi PPP pada masa-masa awal berdirinya sangat dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi tersebut. Sebut saja peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah tahun 1973. Dari semua anggota DPR hanya PPP yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut karena bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan yang diikuti dengan aksi walkout itu berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasannya dalam RUU tersebut.
Selain itu, sebagai wadah dari partai-partai yang sudah memiliki basis massa yang sudah jelas di masa lalu, kekuatan PPP untuk menghadapi Pemilu
1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. Jika dihitung perolehan kursi berdasarkan pemilu 1971, Partai NU memperoleh 58 kursi, Parmusi 26, PSII 10, dan Perti 2 kursi. Itu artinya ketika akan menghadapi Pemilu 1977 partai yang dipimpin oleh H. MS. Mintaredja ini sudah dimodali 96 kursi.
Pada Pemilu 1977 partai yang membawa panji Islam ini berhasil meraup 18.745.592 (29,29 %) suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Dengan demikian, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil merebut 99 kursi untuk mendudukkan wakilnya di DPR. Penambahan tiga kursi ini bertolak belakang dengan rivalnya Golkar yang kehilangan empat kursi, dan PDI satu kursi. Sukses PPP kali ini tidak lepas dari sokongan NU sebanyak 56 kursi, Parmusi 25, PSII 14, dan Perti 4 kursi.
Sikap kritis PPP terhadap pemerintah kembali terlihat ketika muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978. Perlawanan PPP yang populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman itu membuat citra PPP semakin baik di mata masyarakat, terutama kalangan mahasiswa. Perlawanan lain yang dilakukan juga oleh PPP adalah rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan, dan Pedoman Pengahayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ke dalam TAP MPR.
Kekompakan dalam PPP mulai terganggu ketika pemerintah menyampaikan RUU penyempurnaan UU Pemilu yang akan digunakan untuk Pemilu 1982. Pergesekan terjadi ketika kelompok NU yang merupakan mayoritas dalam Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) DPR menolak hadir dalam sidang pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU
No.2/1980. Ketidakhadiran NU tersebut berkaitan dengan persoalan keanggotaan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Untuk diketahui tanggal 21 Februari 1980, FPP DPR memasukkan materi duduknya parpol dan Golkar dalam KPPS sebagai wakil ketua untuk menjamin terselanggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber). Usulan tersebut ditolak oleh Soeharto, presiden saat itu. Akhirnya DPP PPP memutuskan menerima kedudukan parpol dan Golkar dalam KPPS hanya sebagai pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto.
Keputusan ini kemudian membuahkan perselisihan antara kelompok NU di DPR (yang mendapat dukungan dari PBNU) dengan Ketua Umum DPP PPP Dr. J. Naro, SH maupun pimpinan lain dari NU yang mengikuti kebijakannya. Perselisihan ini ternyata berbuntut pada pengurangan jatah kursi NU dalam penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk Pemilu berlarut-larut yang akhirnya bermuara pada konflik antara kubu NU dan kubu non-NU.
Konflik tersebut membawa benih-benih perpecahan di dalam tubuh PPP. Pada Pemilu 1982, perolehan suara PPP hanya 94 kursi. Hilangnya lima kursi tersebut mengisyaratkan bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari mayoritas umat Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan. Pangkal kerapuhan itu sendiri berakar pada kekecewaan NU.
Untuk mengakhiri konflik tersebut, dalam Muktamarnya yang ke 27 di Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan untuk kembali ke Khiitah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan tidak lagi mempunyai hubungan organisatoris dengan PPP. Keputusan yang dibuat pada akhir tahun 1984 itu lalu membuat NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya itu.
Secara operasional, keputusan kembali ke Khittah 1926 oleh para kiai lokal diartikan sebagai tindakan “balas dendam” kepada PPP dengan cara menarik dukungan mereka dari partai yang menjadi satu-satunya saluran aspirasi politik mereka selama ini. Para kiai di Jawa malah mengkampanyekan kepada para pengikut mereka agar memilih Golkar atau PDI.
Aksi penggembosan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU lokal ini merupakan pukulan telak buat PPP. Perolehan suara partai pimpinan J. Naro ini pada Pemilu 1987 langsung anjlok dari 94 menjadi 61 (15,25 %) kursi. Kendati posisinya masih di atas PDI, secara politis kekuasaan PPP saat itu sudah benar- benar keropos. Reputasinya sebagai partai Islam pun memudar. Maklum, warga NU yang menjadi basis massa terbesar ijo royo-royo ini banyak yang hengkang ke Golkar dan PDI mengikuti preferensi politik para kiai mereka.
Selain aksi penggembosan, runtuhnya kekuasaan PPP juga disebabkan oleh tindakan pemerintahan Orde Baru yang memberlakukan UU No.3/1985 tentang Perubahan atas UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golonga Karya yang mewajibkan perubahan lambang partai dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas kekuatan sosial politik. Tahun itu juga PPP langsung mengganti lambangnya dari Ka’bah menjadi bintang, sekaligus menanggalkan Islam sebagai asasnya. Sejak saat itu PPP dibiarkan sebagai partai yang tergantung-gantung tanpa akar.
Di bawah pimpinan Ismail Hasan Metareum, PPP tampil dengan pembawaan yang lebih kalem. Pribadi Buya – panggilan akrab Ketua Umum PPP – yang tenang turut membentuk karakter PPP menjadi partai yang sejuk. Bercermin kepada pengalaman kepemimpinan J.Naro yang cenderung memancing
gejolak di dalam PPP, tampaknya Buya berusaha untuk mengakhiri situasi seperti itu dan segera menciptakan ketenangan dan kesejukan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan demokratisasi di lingkungan partai dan melanjutkan konsolidasi dalam rangka menyatukan kembali seluruh umat PPP.
Konsolidasi yang dibangun oleh Buya ini secara internal berhasil meredam munculnya gejolak di dalam partai bintang. Namun, secara eksternal langkah yang ditempuh Buya itu belum mengubah citra PPP sebagai satu partai yang sarat konflik. Kendati demikian, dalam Pemilu 1992 PPP bisa tampil lebih “kompak” dibanding Pemilu 1987 dan 1982. Dari 107.565.697 pemilih yang terdaftar pada Pemilu 1992, PPP bisa meraih 17,07 persen suara, atau sebanyak 62 kursi di DPR (15,5 %). Perolehan kursi tersebut menunjukkan PPP hanya berhasil menambah satu kursi dibanding perolehannya pada Pemilu 1987. Perolehan tersebut terpaut jauh di bawah Golkar yang berhasil meraup 67,98 % suara pemilih, atau 282 kursi DPR (70,5 %).
Tidak terangkatnya suara pemilih PPP dalam pemilu kali ini secara politis melengkapi kekalahan PPP pada dua pemilu sebelumnya. Kekalahan dalam tiga pemilu secara berturut-turut agaknya membuat para petinggi partai pemegang nomor urut satu ini menjadi gamang untuk menghadapi Pemilu 1997. Kegamangan ini bisa dimaklumi mengingat ketidakberdayaan mereka menghadapi rekayasa politik eksternal – terutama dari penguasa, baik dalam bentuk keberpihakan aparat pemerintah terhadap salah satu organisasi peserta pemilu (OPP) atau propaganda untuk memutuskan hubungan antara 42
.
Bagi PPP, keberpihakan aparat pemerintah terhadap Golkar telah membuat peraturan dan konstelasi politik di Indonesia saat itu menjadi tidak sehat. Sikap pemerintah yang cenderung memenangkan Golkar membuat partai politik selalu dipojokkan. Kondisi ini lalu diungkapkan Buya Ismail dalam acara Pembukaan Musyawarah Wilayah (Muswil) III DPW PPP Bali, Jumat, 8 September 1995, yang dengan tegas menyatakan, peran dan posisi partai politik dipinggirkan dari kehidupan demokrasi di Indonesia. Pergaulan dalam politik sangat diplomatis, penuh kepura-puraan. Di daerah-daerah partai politik bagaikan kekuatan haram yang harus dijauhkan, dikucilkan, dan digencet.
Ungkapan yang sempat menyentil ketenangan Yogie S.M Menteri Dalam Negeri merangkap Pembina Politik Dalam Negeri saat itu memang dimaksudkan untuk memprotes sikap pemerintah yang dinilai tidak fair terhadap semua OPP. Kecenderungan pemerintah memihak kepada Golkar telah membuat warga partai politik, khususnya PPP, banyak yang mengalami perlakuan diskriminatif dari pemerintah daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, agar bisa menjadi lurah – dan PNS lainnya – warga masyarakat harus memiliki Nomor Pokok Anggota Golkar (NPAG). Ketentuan NPAG ini dirasa sangat merugikan partai karena masyarakat yang mau menjadi PNS atau membuka usaha lainnya boleh jadi akan berpikir dua atau tiga kali untuk memilih PPP.
Banyak kalangan menilai protes PPP tersebut merefleksikan puncak kekecewaan PPP terhadap peraturan dan sistem politik yang ada saat itu. Ada keyakinan bahwa kejadian itu merupakan manuver dari partai yang mendasari perjuangannya pada prinsip akhlaqul karimah ini untuk bangkit dan mengubah penampilannya dari partai yang lembek menjadi “keras”. Perubahan penampilan
ini bisa dimaklumi mengingat selama ini PPP selalu mencoba tepa selira, kritik dengan halus agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Sayangnya, karena gaya kritik seperti itu, suaraya malah tidak dihiraukan.
Secara eksternal perubahan gaya PPP ini juga dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran massa bekas partai Islam ini akan “lari” hanya karena merasa simpati sebesar-besarnya dari umat Islam. Orientasi kepada umat Islam ini didasarkan pada motivasi partai untuk menegakkan ajaran Islam di segala bidang kehidupan, dan keyakinan bahwa di dalam PPP selama ini telah dialiri roh Islam. Selain untuk menaikkan kembali pamor PPP, sikap tersebut juga didasari oleh komitmen PPP sebagai wadah perjuangan aspirasi politik umat Islam yang solid dan telah lama berkiprah dalam politik. Karena itulah, partai ini selalu terdorong untuk mendekati umat Islam, baik yang masih bersimpati kepadanya atau yang telah menyalurkan aspirasi politik mereka kepada organisasi sosial politik (orsospol) yang lain.
Sayangnya, bersamaan dengan upaya-upaya PPP untuk menaikkan kembali kepercayaan umat, muncul juga upaya-upaya lain untuk membuat umat Islam berpaling dari PPP. Terhadap kondisi ini Buya Ismail juga pernah mensinyalir bahwa di saat kepercayaan masyarakat kepada PPP sedang tinggi, muncul insinuasi-insinuasi bahwa PPP tidak bisa mengklaim dirinya sebagai partainya umat Islam. Kampanye-kampanye tersebut dinilai ampuh untuk mengucilkan PPP dari umat Islam. Akibatnya, jarak antara PPP dengan umat Islam, ulama dan tokoh-tokoh Islam yang selama ini sudah renggang menjadi tambah jauh.
Berangkat dari dua kondisi yang kurang menguntungkan tersebut PPP mencoba bangkit untuk melawan bentuk-bentuk kezaliman yang telah ditimpakan kepada dirinya selama ini. Tampaknya PPP telah memperhitungkan untuk meraih simpati dari masyarakat, kesan sejuk yang selama ini melekat pada partai ini harus dihilangkan terlebih dahulu, lalu membangun citra baru yang lebih dinamis. Semenjak 1995 PPP tampil lebih “keras” terutama dalam memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penataan politik nasional. Tahun 1997, pada perayaan hari lahirnya yang ke 24 PPP telah merumuskan sepuluh masalah mendasar dan krusial yang tengah dihadapi bangsa ini.
Pertama, merosotnya moral bangsa yang semakin terasa di semua strata
kehidupan. Indikasinya adalah berkembangnya kejahatan secara berani, perkosaan, kebringasan, korupsi dan kolusi, kesewenang-wenangan, pungli, dan suap. Kedua, keadilan da kepastian hukum yang ditandai dengan materi hukum yang kurang menyelami spirit kerakyatan, dan penegakan hukum yang terkesan belum mencerminkan rasa keadilan, kepastian, dan ketentraman. Ketiga¸ persamaan, kebersamaan dan kekeluargaan yang semakin populer diucapkan, tetapi pelaksanaannya makin tidak populer di mata rakyat. Keempat, kesenjangan sosial, kelima, politik dan demokratisasi yang semakin mengarah pada upaya memupuk kekuatan untuk kelompok yang berkuasa atau kelompok kepentingan.
Keenam, semakin sulitnya membentuk pemerintahan yang bersih dan berwibawa
karena praktik korupsi dan kolusi serta pamer kemewahan telah menjalar ke dalam nadi kehidupan bangsa. Ketujuh, mandeknya fungsi DPR karena intervensi suprastruktur lewat kebijakan-kebijakan sepihak yang tidak adil. Kedelapan, rendahnya kualitas pendidikan karena merosotnya wibawa guru, dan semakin
mahalnya biaya pendidikan. Kesepuluh, pemasungan terhadap ruang gerak dan kreativitas generasi muda terutama dalam politik.
Kendati tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan kesepuluh tuntutan di atas, PPP tetap konsisten untuk memperjuangkannya baik melalui pernyataan-pernyataan politik maupun aksi nyata wakil-wakilnya di DPR. Karena bagi PPP perbaikan terhadap sepuluh kondisi di atas merupakan amanah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Sebagai kelanjutan dari perjuangan amar ma’ruf nahi munkar tersebut, dalam kampanye menjelang Pemilu 1997 PPP banyak mengangkat tema yang berkaitan perbaikan terhadap kesepuluh kondisi di atas. Masalah kesenjangan sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan dalam pembangunan politik dan ekonomi merupakan tema utama dan keprihatinan PPP. Pasalnya, persoalan-persoalan tersebut sangat mudah membuat masyarakat frustasi yang mengarah kepada kekalapan sosial.
Dukungan massa terhadap kehadiran PPP dalam kampanye pemilu 1997 terbilang besar. Apalagi pada kampanye kali ini terjadi fenomena “Mega Bintang”, dimana massa PDI pro Megawati Soekarnoputri yang tidak puas dengan campur tangan pemerintah dalam pengambilalihan kantor DPP PDI pada Juli 1996 bergabung dengan massa PPP.
Kekompakan seluruh DPW dalam menghadapi pemilu membuat penampilan PPP pada pemilu kali ini tampaknya lebih percaya diri. Kekompakan ini sendiri tercipta karena Buya Ismail pada periode kepemimpinannya kali ini
relatif berhasil meredam gejolak yang muncul di beberapa DPW. Fenomena ini lalu membuat para petinggi PPP berani menargetkan 96 kursi pada pemilu 1997.43
Dari 124.740.987 pemilih yang terdaftar dalam pemilu 1997 hanya 112.991.160 (90,58 %) yang datang ke TPS. Dari jumlah tersebut yang memilih PPP 25.340.028 suara (22,43 %). Dengan demikian, dari 425 kursi di DPR, PPP berhasil meraup 89 kursi. Perolehan ini jauh lebih baik dibanding pada pemilu 1987 dan 1992. Sementara Golkar mampu meraih 325 kursi dan PDI turun drastis hingga 11 kursi.
Di balik perolehan kursi yang diraih oleh masing-masing OPP, Ketua Panitia Pelaksanaan Pemilu Pusat (Panwaslakpus) Singgih SH mencatat ada 2.956 kasus pelanggaran selama pemilu 1997. Dari jumlah tersebut, laporan dari PPP sebanyak 984 kasus, Golkar 1.572 dan PDI 370 kasus. Untuk PPP sendiri jauh- jauh dari sudah mengumumkan adanya pelanggaran dalam bentuk dokumen “Operasi Fajar” yang berisi rencana operasi pemenangan Golkar di desa/kelurahan dengan memberikan santunan/bekal kepada pemilih sebelum menuju ke tempat pemungutan suara (TPS).
Bahkan, PPP juga pernah mempermasalahkan surat Sekjen Departemen Penerangan dengan nomor 44/SJ/K/III/1997 tanggal 20 Maret 1997 yang ditujukan kepada Inspektur Jenderal, Dirjen Penerangan Umum, Dirjen RTF, Dirjen PPG dan Kepala Badan Litbang Penerangan, yang isinya antara lain mengatakan, “...sebagai upaya memenangkan Gokar di DKI Jakarta sesuai konsensus Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat, bahwa untuk