• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKADAR BERTAHAN? (Yeremia 25:3)

Dalam dokumen publikasi e-rh (Halaman 69-73)

Ketika bernostalgia di depot soto langganan semasa kuliah, ternyata yang meracik soto masih bapak yang melayani di sana dua puluh tahun lalu. "Kok betah, Pak, kerja di sini?" tanya saya dengan kagum. Jawabannya terdengar sedih, "Yah, bagaimana lagi, Mas, saya tidak punya ketrampilan lain." Ah, rasa kagum saya berganti menjadi kasihan. Rupanya bapak ini sekadar bertahan dalam pekerjaan yang tidak disukainya.

Tidak demikian dengan nabi Yeremia. Ia mengalami kesulitan selama dua puluh tiga tahun dalam pelayanan, namun ia tidak bersikap sekadar bertahan. Kata "terus-menerus" (ay. 3) menunjukkan kegigihannya. Kata Ibraninya mengandung arti bangun pagi. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang yang akan berjalan jauh dan pagi-pagi benar menata perbekalan ke punggung unta atau memanggulnya sendiri. Pembaca Yahudi waktu itu akan mudah mengerti arti konotatif kata ini dan memahami rahasia kekuatan sang nabi: tiap pagi ia bangun untuk menjumpai Allah dan mendengarkan FirmanNya, sesudah itu barulah ia

melakukan pelayanan, termasuk menghadapi penolakan orang banyak (ay. 4). Hasilnya? Lima puluh empat tahun masa pelayanan yang sukar ia jalani dengan tekun!

Sebagian orang kehilangan gairah hidup dan didera kebosanan baik karena kenyamanan maupun karena penderitaan. Mereka tetap beraktivitas, tapi sebenarnya sekadar bertahan hidup.

Mengatasinya? Gunakan resep sang nabi. Nikmati persekutuan dengan Allah yang akan

menyegarkan jiwa dan membangkitkan ketekunan kita. -- Iwan Catur Wibowo /Renungan Harian TANPA TUHAN, KITA KEHILANGAN ARAH HIDUP, DAN SEKADAR BERTAHAN.

70

Rabu, 26 Februari 2014

Bacaan : Amsal 11:3-8

Setahun : Bilangan 30-31

Nats : Orang yang jujur dilepaskan oleh kebenarannya, tetapi pengkhianat tertangkap oleh hawa nafsunya. (Amsal 11:6)

(26-2-2014)

JUJUR 6 SEN

(Amsal 11:6)

Honest Abe -- alias Abe yang jujur -- nyatanya bukan julukan kosong bagi Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat. Sejak kecil ia konsisten bersikap jujur. Ibu tirinya berkomentar, "Ia tidak pernah berdusta pada saya seumur hidupnya, tidak pernah berdalih... atau mengelak untuk menghindari hukuman atau tanggung jawab lain..." Ia bersikap jujur dalam perkara kecil sekalipun, seperti ditunjukkannya ketika menjadi penjaga toko di New Salem, Illinois. Suatu petang, saat mencatat neraca keuangan, Lincoln mendapatkan bahwa ia telah memungut bayaran sekitar 6 sen lebih banyak dari seorang pelanggan. Malam itu juga, ia berjalan kaki beberapa mil ke rumah pelanggan itu untuk mengembalikan uang tersebut.

Salomo menguntai beberapa amsal tentang berkat dari kejujuran. Berjalan dalam kejujuran mendatangkan rasa aman yang kudus. Kejujuran itu seperti jalan yang, sekalipun tidak gampang untuk ditempuh, tidak akan menyesatkan. Kejujuran, dengan demikian, membebaskan dan melindungi kita. Ia membebaskan kita dari daya pikat dosa dan sistem dunia yang penuh jebakan serta melindungi kita dari ancaman kerusakan dan kebinasaan yang menyertainya.

Di negeri kita belakangan ini, kejujuran terasa begitu sulit untuk ditemukan. Sebaliknya, korupsi merajalela. Keadaan memprihatinkan ini sejatinya merupakan kesempatan bagi orang benar untuk bersinar. Di tengah kegelapan korupsi, biarlah kita menjalankan pekerjaan, termasuk pekerjaan yang tampak remeh sekalipun, dengan penuh kejujuran. -- Arie Saptaji /Renungan Harian

KETIKA KITA HIDUP DALAM KEJUJURAN,

71

Kamis, 27 Februari 2014

Bacaan : Lukas 23:33-43

Setahun : Bilangan 32-33

Nats : [Yesus berkata, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."] Lalu mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya. (Lukas 23:34)

(27-2-2014)

DISALAHPAHAMI

(Lukas 23:34)

Istri saya menderita skizofrenia. Ia berhalunasi bahwa saya melakukan banyak dosa yang menyakiti hatinya, dan ia menceritakannya kepada banyak orang. Saya tidak melakukan perbuatan yang ia tuduhkan, namun orang yang mendengar ceritanya memercayainya. Sorot mata mereka mendakwa saya selaku orang yang bersalah. Itu terjadi sebelum penyakit istri saya terdeteksi.

Kristus juga disalahpahami. Orang banyak mendakwaNya dengan berbagai tuduhan, padahal Dia sama sekali tidak bersalah. Orang pun menangkap dan menyalibkanNya di Bukit Golgota, tempat eksekusi para penjahat kelas kakap. Kristus disejajarkan dengan penjahat besar karena kesalahpahaman. Kristus memahaminya sehingga Dia berkata, "Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Kristus tidak menuntut mereka agar sadar, lalu meminta maaf kepadaNya. Sebaliknya, Kristus berlapang hati untuk mengampuni mereka. Meskipun demikian,

kesalahpahaman itu tidak berakhir, malah makin parah. Mereka menantang dan mengolok-olok Kristus untuk menyelamatkan diriNya.

Setelah orang tahu istri saya sakit, tidak ada yang datang meminta maaf pada saya. Saya belajar kepada Kristus, dan berdoa, "Tuhan, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Setelah berdoa demikian, hati saya teduh. Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Istri saya tidak bersalah karena ia sakit; mereka yang salah paham juga tidak bersalah karena tidak menyadarinya. Saya justru bersyukur karena dapat belajar untuk mengampuni ketika disalahpahami. -- Jap Sutedja /Renungan Harian

KITA MENGAMPUNI KESALAHPAHAMAN ORANG LAIN

72

Jumat, 28 Februari 2014

Bacaan : Yohanes 10:7-18

Setahun : Bilangan 34-36

Nats : Akulah pintu; siapa saja yang masuk melalui Aku, ia akan diselamatkan dan ia akan masuk dan keluar serta menemukan padang rumput. (Yohanes 10:9)

(28-2-2014)

PINTU

(Yohanes 10:9)

George Adam Smith, seorang guru Alkitab, suatu kali berkunjung ke Israel dan bercakap-cakap dengan seorang gembala. George ingin tahu apa yang dilakukan para gembala Israel terhadap domba-domba yang mereka gembalakan. Menjelang malam, ia melihat gembala menggiring domba ke sebuah gua kecil. "Apakah aman? Bukankah tidak ada pintu penutupnya?" tanya George. "Sayalah pintunya, " kata gembala itu. Dalam budaya di Timur Tengah, gembala akan berbaring di depan lubang gua sehingga tidak ada serigala atau binatang buas yang dapat masuk tanpa melalui tubuhnya.

Gembala yang baik menyerahkan nyawa bagi dombanya. Ia sendiri yang menjadi pintu agar dombanya aman dan terlindung dari serangan binatang buas. Yesus adalah guru, penginjil, dan pembuat mukjizat, namun Dia memperkenalkan diri-Nya sebagai Gembala yang baik. Dia tidak saja memberikan nyawa-Nya, tetapi Dia juga yang menjaga dan memelihara hidup kita. Apabila Yesus sendiri yang menjadi perlindungan kita, apa yang perlu kita takutkan? Apabila si jahat hendak menyentuh kita, para domba-Nya, apakah ia sanggup melewati Sang Gembala? Rasa aman sejati bukan terdapat di dalam deposito, properti, atau harta yang kita miliki. Itu semua tidak dapat memberikan keamanan yang sesungguhnya. Kiranya kita tenang di dalam naunganNya. Badai hidup boleh menerjang, masalah dan tantangan dapat menerpa, namun kita tetap tinggal tenang dalam lindunganNya. Ingat, Gembala kita adalah Pintu. Kita aman bersama-Nya. -- Hendro Saputro /Renungan Harian

YESUS ADALAH PINTU YANG SEJATI,

73

Sabtu, 1 Maret 2014

Bacaan : Filipi 4:1-9

Setahun : Ulangan 1-2

Nats : Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah. (Filipi 4:4)

(1-3-2014)

TETAP BERSUKACITA

Dalam dokumen publikasi e-rh (Halaman 69-73)

Dokumen terkait