• Tidak ada hasil yang ditemukan

11 - Sekelumit Kisah Jaka Bayu

Dalam dokumen Didit_S-SERULING SAKTI-Dewi KZ 1-123-up.pdf (Halaman 160-200)

Perlahan-lahan Jaka Bayu berjalan mendekati rumpunan bunga indah itu. Ia melangkahkan kaki dipinggir rumpunan bunga, "Astaga, lihay benar barisan ini, jika aku tidak tahu tentang ini, jangan harap bisa keluar dari tempat ini tanpa pertolongan orang yang paham. Hm, mungkin karena tempat ini adalah sebuah kota dan bukan wilayah yang patut dipasangi barisan selihay ini, maka Aki itu hanya menampilkan sebagian kecil kelihayannya."

Pemuda ini melangkah memasukinya. Dia bermaksud mengujinya,a apak benar barisan itu seperti yang di maksud. Ternyata sesuai dengan teori yang dia ketahui! Jaka menghela nafas prihatin, bahwa Ki Lukita bukan pendekar biasa, memang dia percaya penuh. Tapi dengan adanya formasi barisan itu, dia sadar, urusannya tak semudah yang dibayangkan.

Pemuda ini sengaja salah melangkah, tiba-tiba matanya seperti melihat gambar buram, dia seperti melihat beratus bayangan turun dari langit mengurung dirinya, padahal itu hanya formasi yang dibuat pada bunga setinggi lutut! Benar-benar hebat dan mengerikan. Menyadari hal itu dengan cepat Jaka melangkah tiga tindak kekanan dan dua langkah kedepan lalu dengan cepat ia juga meneruskan tujuh langkah kebelakang memutar teratur, setelah itu dengan gerakan bagai burung elang ia melenting kebelakang, gerakannya cepat sekali, jika ada orang yang melihat dari luar, pasti mengira pemuda itu cuma melompat kecil. Padahal refleknya, bukan saja gerakan penuh perhitungan, tapi merupakan jurus menghindar yang lihay.

“Luar biasa, sekalipun aku sudah mengetahui kelihayannya, tetapi apa yang disebutkan dalam kitab dengan kenyataan yang ada memang beda.” Batinnya, merasa kagum.

Dengan berdiri termangu, Jaka mengamati barisan itu dengan seksama. “Bukan main, kelihayan barisan kuno ini tak bisa sembarangan muncul begitu saja, kenapa bisa ada disini?” Jaka berpikir keras. Sesaat, dia menghela nafas panjang, agaknya sudah bisa memahami sesuatu. “Benar, mungkin mereka termasuk didalamnya.”

Didalamnya? Di dalam apa?

Pemuda ini kembali memperhatikan barisan bunga itu baik-baik, “Aneh, rasanya ini bukan seperti barisan yang kukenal." Kepalanya sedikit miring, pemuda ini makin seksama memperhatikan barisan rumpun bunga itu.

"Ah, tahulah aku! Lima Langit Menjaring Bumi dikombinasikan dengan formasi Teratai Mengurung si Cantik! Hebat sekali, benar-benar luar biasa cerdik. Sebuah formasi barisan biasa digabung dengan barisan hebat, menghasilkan kombinasi aneh, benar-benar pintar. Cerdik sekali, sejak semula aku yakin, Aki itu memang bukan orang biasa."

Pemuda ini masih saja berdiri termangu memperhatikan bunga-bunga itu, kalau dari luar halaman, orang mengira kalau pemuda ini hanya memperhatikan keindahan bunga itu, padahal tidak, Jaka sedang menyelami kelihayan dari dua barisan yang bergabung itu.

"Betapapun, barisan ini belum bisa menjaring orang yang punya peringan tubuh tinggi."

Pemuda ini tidak sadar kalau sejak ia melangkah memasuki rumpun bunga, sedikitnya ada dua pasang mata yang memperhatikannya. Pertama sepasang mata sang Aki dan yang kedua sepasang mata jeli milik seorang gadis.

Setelah sekian lama, barulah pemuda ini tertawa penuh kagum, "Aku memang salah lihat. Lihay sekali, pantas saja formasi Teratai Mengurung Si Cantik hanya dikembangkan separuh, ternyata warna-warni bunga inipun mempengaruhi daya pandang dan daya pikir orang. Jika barisan Lima Langit Mengurung Bumi dikembangkan separuh saja, kuyakin tiada orang yang mampu melepaskan diri dari kuruangan bunga ini.” Jaka menghal nafas dalam. “Benar juga kata Kakek baik hati, pada setiap keindahan terdapat hal misterius yang kadang kala lebih menakutkan, malah menyesatkan pikiran orang."

Dengan senyum ringan, Jaka kembali duduk, dan tak lama kemudian Aki Lukita keluar. Ia membawa sebuah buku cukup tebal.

"Apa yang pernah kuketahui sebagian terdapat di dalam catatan ini, mungkin bisa bermanfaat buatmu." Kata Aki Lukita begitu duduk langsung menyerahkan catatan tadi.

Jaka menerimanya dengan hati masih diliputi keheranan. Beberapa saat kemudian, Ki Lukita mengajak Jaka untuk pindah di beranda samping rumah, sehinga percakapan mereka lebih leluasa. Mereka duduk di bawah pohon rambutan, tak jauh dari situ ada kolam ikan cukup luas. Sungguh situasi yang asri dan melenakan.

Jaka mengikuti Aki itu dengan pikiran diliputi kebingungan, dia sama sekali tak menyangka si Aki bisa berbaik hati seperti itu.

"Ini-ini…” Jaka tergagap serba salah. “Kita baru berjumpa sekali, mengapa Aki begitu percaya pada saya? Bukankah catatan kitab ini merupakan sebuah catatan berharga?"

"Tentu saja berharga, karena itu kuputuskan untuk menyerahkannya padamu. Sebelumnya aku memang sudah percaya padamu apalagi setelah kau masuki barisan bunga milik cucuku, aku jadi tambah percaya kalau kau bukan pemuda kelana biasa, karena itu aku harap kau dapat mempergunakan sebaik mungkin. Nah, simpanlah, aku tidak butuh penolakan juga kata terima kasih atau basa-basi lainnya."

"Ah..." Jaka mendesah terkejut, ia tak menyangka kalau Aki itu begitu memperhatikan dirinya. Buru-buru ia meletakkan kitab itu di meja, dan mengangguk memberi hormat. "Mendapat kepercayaan dari seorang tetua seperti Aki sungguh sebuah kehormatan, saya tidak akan menyia-nyiakannya."

Jaka tidak mengucapkan terima kasih dan berbasa basi, hanya saja ia mengangguk memberi hormat dan mengucapkan janjinya, tentu saja itu bukan tergolong basa-basi.

Dari sini Aki itu dapat menilai sampai dimana pribadi anak muda tersebut, yakni; menuruti apa kata seorang tetua dan selalu mengindahkan orang yang lebih tua. Kakek ini tertawa lepas. "Aku sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, bisa

bertemu tunas secemerlang kau ini tak sia-sia hidupku, sungguh aku merasa beruntung."

Pemuda ini hanya bisa diam saja, ia tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Kemudian Aki Lukita melanjutkan perkataannya,

"Aku tahu benar kalau bukan orang yang mengetahui kelihayan dan seluk beluk barisan Lima Langit Menjaring Bumi, belum tentu kau bisa keluar, tapi nyatanya kau bahkan sangat paham sekali seluk beluk barisan itu. Bahkan kau tahu kalau barisan itu hanya dikerahkan sebagian kecil dari yang sesungguhnya, apalagi setelah kau mencoba untuk melakukan langkah salah, kau langsung mengetahui kalau barisan itu digabung dengan formasi biasa, Teratai Mengurung Si Cantik. Dewasa ini, orang yang mengetahui barisan Lima Langit Mengurung Bumi hanya ada satu-dua orang saja, itupun hanya dari angkatan tua. Tapi kau yang masih berusia begini muda malah mengetahui lebih mendalam. Jadi aku bisa berkesimpulan, kau memiliki bekal baik sekali, lebih dari cukup, untuk sekedar berkelana! "

Jaka mendesah. "Ah, Aki terlalu berlebihan, tentu saja saya manusia biasa, tentang barisan itu, saya ketahui juga karena kebetulan."

"Barisan selangka itu, kau ketahui hanya kebetulan, aku tak percaya.” Ujar Aki Lukita agak mangkel, dari tadi Jaka selalu menjawab serba kebetulan. “Bolehkah kutahu siapa gurumu?" tanyanya.

Mendengar pertanyaan Aki Lukita, Jaka jadi tertegun. Untuk sesaat lamanya pemuda ini tak tahu harus menjawab

apa. Sambil menghela nafas dalam Jaka berkata, "Kalau saya katakan mungkin Aki tidak percaya…"

"Katakan saja, apa yang kaukatakan sudah pasti benar dan aku pasti percaya sepenuhnya."

"Tidak seperti yang Aki bayangkan, saya tidak punya guru," jawab pemuda ini mantap.

Mendengar ucapan pemuda didepannya, Aki itu tertegun, tadinya ia menyangka kalau Jaka adalah murid salah satu tokoh termasyur yang tentu saja namanya pernah menggetarkan kolong langit.

Melihat Aki itu agak tertegun, pemuda ini tahu kalau Aki itu tidak percaya, maka ia lanjutkan ceritanya.

"Sejak usia empat-lima tahun, orang tua saya selalu menekankan pentingnya belajar sastra dan menghafal, karena itu hampir lima tahun lamanya saya hanya belajar ilmu sastra dan senantiasa dipaksa menghafal. Mungkin karena paksaan orang tua lama kelamaan saya dapat menyelami keindahan dari sastra dan saya sangat menyukainya. Tentu saja kalau yang Aki maksudkan sembarang guru, tentu saya punya. Beliaulah yang mengajari kesusastraan pada saya.”

“Maksudku dari mana kau mengetahui semua hal yang… kupikir aneh dan agak mustahil itu?”

“Formasi barisan tadi?” “Benar.”

Jaka terpekur sesaat, satu hal yang ia sukai adalah hidup dengan hati yang jujur, dan tentunya menjawab dengan jujur

pertanyaan orang, tetapi ada kalanya harus ada yang disembunyikan. Apalagi kalau sudah menyangkut rahasianya, sungguh terasa berat dilidah, tetapi iapun kini memutuskan untuk menjawab dengan jujur—seluruhnyakah? Entahlah!

“Saya menemukannya di perpustakaan keluarga. Jangan tanya saya dari mana datangnya kitab-kitab itu. Sebab tugas saya saat itu hanya mempelajarinya dan mendalaminya saja.”

“Tugas?”

“Oh, istilah tugas merupakan kewajiban yang saya buat untuk diri saya sendiri, supaya bersemangat belajar.”

Ki Lukita tidak menanggapi, dia hanya menggumam pendek.

“Dan ada satu hal aneh yang menjadi pertanyaan saya, hingga kini.”

“Apa itu?”

Jaka tercenung sampai beberapa lama, dan akhirnya ia mengatakan juga. “Awal mulanya terjadi saat usia saya menjelang dua belas tahun,” Jaka memutuskan menceritakan sekelumit persoalan yang mengganggu benaknya. “Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah kitab di perpustakan keluarga, karena saya pikir kitab itu merupakan kitab sastra kuno, maka dengan bersemangat saya pelajari. Dalam waktu satu bulan kitab itu sudah selesai saya hapal, namun belakangan saya tahu kalau kitab itu tidaklah lengkap karena bagian depannya sengaja disobek, karena penasaran saya mencari bagian pertama dari kitab itu. Singkatnya saya menemukan bagian depan kitab itu tanpa sengaja di gudang itu juga, dan ternyata baru saya sadari kalau kitab yang saya

baca merupakan kitab ilmu silat," tutur Jaka bercerita, tentu saja tak mungkin ia ceritakan semuanya, dan kebenarannya mungkin perlu diragukan? Entahlah, itupun hanya Jaka yang tahu.

"Apa nama kitab itu?' tanya Aki Lukita tertarik.

"Tidak jelas Ki, hanya saja di sampul kitab itu tertera kata Bola, dan beberapa huruf yang tidak jelas."

Mendengar penjelasan itu, wajah Aki ini berubah, "Apakah kitab itu memuat pelajaran bersemadi secara tergantung dan mengutamakan peringan tubuh?"

"Eh, bagaimana Aki tahu?"

Dari ucapan Jaka tentu saja Aki ini tahu kalau dugaannya memang benar. "Hanya sekedar tahu saja, dulu waktu aku masih muda ada seorang kenalan dari sobatku yang memiliki ilmu silat lihay sekali. Nanti saja kuceritakan, sekarang bagaimana kelanjutannya?"

"Karena tertarik, maka saya berniat mempelajari seluruhnya, dan dalam tempo satu tahun saya berhasil menguasainya, hanya saja dalam kitab itu dikatakan kalau ingin melatihnya tidak diperbolehkan untuk diketahui orang, maka apa yang saya pelajari banyak kelemahan disana sini.

“Kemudian tanpa sengaja, kembali saya menemukan dua kitab yang kelihatannya sudah kuno. Kitab pertama menuliskan berbagai macam pengetahuan mengenai barisan gaib,”

“Jadi kau menemukannya setelah menemukan kitab Bola itu?” potong Ki Lukita bertanya.

“Benar,” jawab Jaka.

Ia kembali melanjutkan, “...kalau tidak salah dalam kitab itu hanya memuat tujuh catatan barisan gaib saja, namun membuat banyak penjelasan tentang formasi barisan lain— dan Lima Langit Menjaring Bumi termasuk salah satunya. Karena dalam kitab itu menuliskan bahwa tujuh barisan itu adalah sebagian dari barisan yang pernah merajai formasi barisan, dan sangat ditakuti tiap insan persilatan. Dalam kitab itu menyebutkan bahwa; barisan kuno itu jarang diketahui orang, kecuali orang itu adalah para ahli formasi barisan, dan keturunan atau murid dari salah satu Tujuh Malaikat Gunung Api. Karena itu saya sangat terkejut melihat dalam rumpun bunga tertanam unsur barisan gaib, yang katanya mengejutkan orang persilatan…" Saat itu Jaka memandang wajah Aki Lukita dalam sekejap. Agaknya sang Aki tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.

"Lanjutkan ceritamu, setelah kau bercerita barulah gantian aku bercerita…" ujar Aki ini sambil tertawa.

"Maaf…" sahut Jaka tersipu karena maksud hatinya ketahuan, pemuda ini memang ingin tahu dari mana Aki itu bisa membuat barisan gaib Lima Langit Menjaring Bumi.

"Karena saya sangat tertarik, maka kitab itu saya pelajari sampai tuntas. Seluruh perubahan dan bagaimana kelihayannya, saya ketahui dengan jelas.” Jaka berhenti sesaat, dia memutuskan apakah akan menceritakannya atau tidak, akhirnya dia memutusakan untuk bercerita sekelumit saja. “Kemudian pada kitab kedua tercantum ilmu pengobatan, dalam sampulnya tertulis Selaksa Racun, Selaksa Dewa, Selaksa Malai¬kat, Selaksa Hidup Mati. Kitab pengobatan itu tebal sekali, mungkin sampai satu

jengkal. Saya menguasainya lebih lama dari yang lain, hampir satu setengah tahun.”

“Oh…” Ki Lukita terperanjat, sekalipun pemuda didepannya membual, tapi kabar berita adanya kitab pengobatan itu bukanlah suatu kabar yang beredar murahan. Hanya angkatan sesepuh saja yang masih ingat adanya kitab itu. Tapi bagaimana pemuda itu tahu? Seandaianya dia berkata benar, berarti dibalik semua itu masih ada latar belakang persoalan yang rumit. Jika Jaka berbohong, dari mana di tahu adanya kitab itu? Lalu apa motifasi pemuda ini menceritakan pada dirinya? Apa keuntungannya? Pikir punya piker, kakek ini merasa Jaka tidak memiliki keunutungan dengan menceritakannya. Ki Lukita menghela nafas panjang perlahan-lahan, sungguh tidak kecil kejutan yang dituturkan Jaka.

“Setelah selesai menguasainya, timbul keinginan saya untuk berkelana agar bisa memanfaatkan tiga kitab yang pernah saya pelajari. Tapi orang tua saya melarang. Saya malah dijodohkan dengan gadis yang konon tercantik di kota, karena saya jenuh dan bosan dengan kondisi yang selalu serba mudah dicapai tanpa tantangan—maksud saya— semuanya begitu lancar. Pendek kata tinggal kujentikkan jari, apapun bisa dipenuhi, hidup seperti itu tidak membuat hati nyaman. Maka saya memutuskan untuk menentukan jalan hidup saya sendiri. Setelah memutuskan pertunangan, saya pergi…"

"Bagus-bagus sekali," ujar Aki ini tertawa kering, maklum saja dia masih terkesima dengan kitab-kitab kuno, yang dituturkan Jaka.

"Dan begitulah… akhirnya saya merantau kesana kemari, saya berharap dapat menjumpai peristiwa-peristiwa hebat,

seperti yang ditulis dalam kitab syair, tentang pertarungan, tentang kisah roman, tentang semuanya…" sambungnya lagi—tentu saja itu tidak sepenuhnya benar.

Tapi diam-diam Jaka heran, kenapa ia mau bercerita begitu gambling, apalagi yang ia ceritakan termasuk rahasia besar dunia persilatan (kalau mau disebut begitu). Apa mungkin karena penampilan Ki Lukita bisa membuat orang mempercayakan ‘sesuatu’ padanya? Entahlah, yang jelas pemuda ini merasa tidak ada salahnya menceritakan sekelumit dirinya pada orang tua itu. Perkara apakah keputusannya salah, itu urusan nanti!

”Hm…" suara Ki Lukita membuatnya tersadar dari pikiran yang berbelit-belit. "Jadi kau sama sekali tidak memiliki guru?" tanya Aki itu menyimpulkan.

"Hakikatnya selain guru sastra, saya memang tidak memiliki guru lain."

"Apakah kau membekali senjata saat merantau?"

"Bisa dibilang ada bisa dibilang tidak, betapapun saya tidak suka berkelahi dan saya juga tidak suka melukai orang karena itu saya lebih suka tak bersenjata. Tapi beberapa waktu lalu saya lebih merubah kebiasaan, saya menggunakan tongkat sebagai senjata, ya… hitung-hitung tongkat tersebut bisa membantu kalau ada kejadian diluar dugaan."

Mendengar uraian pemuda itu wajah Aki ini terlihat riang. "Lalu dalam perantauanmu itu apa yang pernah kau perbuat?" tanya Aki ini lagi.

Mendengar pertanyaan Aki itu, pemuda ini ragu apakah perlu dia ceritakan kejadian sesungguhnya atau tidak sama sekali. Setelah menimbang beberapa saat dia memutuskan untuk tidak menceritakannya.

"Ah, saya hanya mondar-mandir kesana kemari, kadang kala menetap di sebuah kota untuk berapa lama lalu menerus¬kan perjalanan kembali."

Aki itu manggut-manggut. "Oh ya, mengenai ceritamu tadi, aku sangat tertarik dengan cerita tiga kitab yang kau temukan, apakah setelah kau pelajari seluruhnya lalu kau musnahkan?"

"Eh, Aki tahu hal itu?" pemuda ini malah balas bertanya, kelihatannya begitu polos.

"Hh…" Aki Lukita menghela nafas panjang. "Aih, benar-benar anak yang baru turun gunung," pikirnya sambil menggelang kepala. “Coba kalau orang lain yang dia temui, mustahil tidak akan kepincut mendengar tiga kitab yang menggemparkan insan persilatan itu.”

"Ada apa Ki?"

"Tahukah kau mengapa kau harus cepat-cepat memusnahkannya?"

"Saya tidak tahu, tapi pada tiga kitab itu selalu disinggung bahwa setelah saya dapat menguasai bab pertama atau selanjutnya, bab itu harus dibakar musnah. Menurut beberapa orang tua, bahwa mempelajari sesuatu itu, berarti; sesuatu itu adalah guru kita, karena kitab itu menganjurkan begitu maka sayapun tidak membantah, lagi pula saya pikir alasannya bisa dipahami."

"Jadi kau sama sekali tidak tahu alasan sebenarnya?" Ki Lukita bertanya dengan menekankan pada kata terakhir.

"Hm…" Jaka berpikir sejenak. "Saya pikir mungkin sebagai cambuk, sebab bagi orang yang mempelajari tidak dengan serius biarpun sudah hafal tentu akan lupa kembali. Karena disebutkan bahwa; tiap bab yang sudah dipelajari harus dibakar, maka mau tak mau bab tersebut sudah dihapal mati."

"Memang itu salah satu alasannya, apakah kau tahu alasan yang lain?"

"Tidak." sahut Jaka singkat.

"Sebab kitab itu merupakan mustika pusaka yang banyak diperebutkan orang,"

"Lho…" pemuda ini terperangah-begitu kelihatannya.

"Tahukah kau bahwa ilmu silat yang kau pelajari merupakan salah satu pusaka dunia persilatan?"

"Hah, masa?" Ujar pemuda, beberapa tahun berkelana, tahulah dirinya bahwa di dunia persilatan ada dimaklumkan sembilan ilmu sakti, yang katanya menjadi mustika tak terkalahkan—Jaka selalu mencibir bila mendengar kabar itu. Tapi selama itu dia tidak tahu apa nama sembilan mustika ilmu silat—atau mungkin Jaka memang enggan mencari tahu. Bahwa dia menguasai ilmu yang dia cibir, sungguh diluar dugaan.

"Kalau dari keteranganmu tadi, ilmu yang kau pelajari adalah Hawa Bola Sakti."

"Benar, ilmu itu termasuk dalam sembilan mustika ilmu silat dunia persilatan. Karena kau memperolehnya secara kebetulan, maka kuanjurkan padamu jangan sekali-kali memperlihatkan ilmu itu sembarangan. Sebab bila orang lain tahu, maka para sesepuh dan petugas yang menjaga sembilan mustika ilmu silat akan memburumu dan meminta kembali ilmu silat itu."

"Masa begitu serius?" ujar pemuda ini dengan wajah tercengang, ia tahu arti dari 'meminta kembali ilmu silat' tak lain adalah tidakan memunahkan kepandaiannya. Tentu saja tindakan itu kelewatan, tapi mau bagaimana lagi?

"Tentu saja serius, bahkan orang dari golongan hitam dan golongan putih selalu mengindahkan peraturan tersebut tanpa kecuali. Bahkan ada peraturan dari Dewan Penjaga Sembilan Mustika, bahwa bagi siapa saja yang mengetahui dan dapat menangkap seseorang yang bisa menggunakan sembilan ilmu mustika tanpa sepengetahuan Dewan Penjagaan Sembilan Ilmu Mustika, maka orang itu akan diberi imbalan sejurus ilmu sakti..."

"Wah, kalau begitu aku tidak boleh memakainya sembarangan." Gumam Jaka.

"Benar sekali,"

“Untung sekali selama ini saya tidak pernah menggunakannya walau sekali.” Tentu saja berkata seperti itu untuk membuat Ki Lukita tenang. Memang ia tak pernah mengeluarkannya… selain tiga kali, atau mungkin lebih? Entah juga, dia memang enggan menghitung. Sebab dihitung ataupun tidak, bagi Jaka tak ada bedanya.

"Syukurlah." Sambut Aki Lukita.

"Ki, apakah ilmu yang ada terdapat kata Sumsum dan Salju termasuk dalam sembilan ilmu mustika?" tanya Jaka lagi.

"Apa kau bilang?" seru Aki ini terlonjak kaget. "Kau menguasai Hawa Dingin Penghancur Sumsum dan Badai Gurun Salju?"

"Apa itu nama lengkap ilmu dengan potongan kata Salju dan Sumsum?"

Ki Lukita memandang wajah Jaka tak berkesip sambil mengangguk.

"Ya, saya memang menguasainya, keduanya termasuk sembilan ilmu mustika?"

Aki itu menggelang-geleng perlahan. “Anak macam apa dia ini? Kenapa ilmu yang begitu rumit dan belum tentu sempurna walau dipelajari dua puluh tahun bisa dia kuasai? Ada dia hanya membual?” pikir Ki Lukita.

"Syukur jika bukan…" gumam pemuda ini.

Ki Lukita menyeringai, antara rasa percaya dan tidak. "Dua ilmu itu justru merupakan bagian dari sembilan pusaka ilmu silat."

"Kenapa Aki tadi menggeleng?" tanya pemuda ini heran. "Aku menggelang karena tak habis pikir, cara bagaimana kau mempelajari tiga ilmu silat yang amat rumit itu."

Jaka hanya mengangkat bahunya. "Saya belajar sama seperti orang lain belajar itu saja.” Jawab Jaka. “Jadi bagaimana baiknya?" tanya pemuda ini merasa diluar dugaan.

"Tak usah takut, aku tak bakal melaporkanmu.” “Bukan begitu maksud saya…”

“Aku paham, terus terang saja kukatakan padamu, kalau aku adalah satu orang yang menguasai satu dari sembilan pusaka ilmu silat."

"Ah..." desah Jaka terkejut. "Aki mempelajari ilmu apa?"

Dalam dokumen Didit_S-SERULING SAKTI-Dewi KZ 1-123-up.pdf (Halaman 160-200)