• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR 2011

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L) telah dikenal sejak 4000 SM (Heywood et al. 2007). Bijinya sangat beracun dan telah dimanfaatkan dalam dunia herbal (Challoner 1990; Foster & Duke 1990) seperti tercatat dalam papyrus pada 1500 SM di Mesir (Chevallier 2001). Tanaman ini menjadi tanaman penghasil minyak yang penting (Atsmon 1989; Heywood et al. 2007) karena dapat memenuhi keperluan dunia akan asam lemak hidroksi (Atsmon 1989), yaitu untuk produksi lubrikan, cat, sabun, dan industri farmasi (Heyne 1987; Foster & Duke 1990; Heywood et al. 2007).

Saat ini, banyak industri besar yang memproduksi produk turunan dari minyak jarak kepyar sehingga permintaan terhadap produk ini tinggi. Jenis-jenis industri tersebut yaitu industri pelumas dan lemak, coating, bahan perawatan personal dan detergen, surfaktan, dan oleokimia. Kawasan Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Thailand selama periode 2006-2007 tercatat oleh Oilworld (2010) memiliki permintaan terhadap minyak jarak kepyar terbesar di dunia, yaitu masing-masing berturut-turut sebesar 125, 38, 15, dan 14 (dalam 1000 ton), serta 9.5 ton oleh negara lainnya.

Di Indonesia, biji dan minyak jarak kepyar hanya diekspor tanpa pengolahan lebih lanjut. Berdasarkan data dari BPS (2007) dalam laporan Statistik Perkebunan Indonesia, kegiatan ekspor dan impor dilakukan pada minyak jarak kepyar dan minyak olahan jarak kepyar. Jepang, Malaysia, dan Belanda adalah negara tujuan ekspor minyak jarak kepyar, sedangkan Jepang, Taiwan, dan Amerika Serikat adalah tujuan ekspor jenis minyak olahan jarak kepyar. Menurut data yang sama Indonesia mengimpor minyak jarak kepyar dan jenis minyak olahan jarak kepyar dari Inggris, Thailand, Jepang, Singapura, dan India. Didasari aspek-aspek tersebut, industri minyak jarak kepyar merupakan industri yang berprospek dan perlu dikembangkan di Indonesia.

Berkaitan dengan hal ini, agro-industri tanaman jarak kepyar di Indonesia sudah mulai dikembangkan. Tetapi, hingga saat ini tanaman jarak kepyar yang berpotensi tinggi sebagai penghasil minyak jarak kepyar belum banyak

dibudidayakan secara komersial karena keterbatasan varietas yang dilepas oleh pemerintah. Kegiatan pemuliaan tanaman diperlukan untuk mendapatkan varietas unggul baru. Arah pemuliaan komoditas jarak kepyar di Indonesia adalah untuk meningkatkan produksi biji, kadar minyak, ketahanan terhadap hama, dan ketahanan terhadap kekeringan dan curah hujan tinggi (Mardjono 2000).

Produksi jarak kepyar di Indonesia saat ini masih rendah. Pada tahun 2008 produksi biji komoditas ini adalah 1000 ton, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil produksi India sebagai negara pengekspor hasil jarak kepyar tertinggi di dunia yaitu 1.123.000 ton (FAO 2010). Menurut Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), produksi biji jarak kepyar di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.442 ton dari luasan lahan tanam 6938 ha. Kandungan minyak jarak kepyar standar ekspor adalah lebih dari 47% sementara kandungan minyak kultivar yang telah dibudidayakan antara 42 – 58% (Tamin 1986). Kerugian hasil jarak kepyar disebabkan oleh hama utama jenis ulat Achaea janata L yang mencapai 40 – 50%. Pada tanaman yang masih kecil, hama ini menyebabkan kematian. Tanaman ini memerlukan 3 bulan basah, sementara pengembangan penanaman ditujukan ke daerah iklim kering dengan hujan terbatas (erratic). Selain itu pengembangan varietas ini akan dilakukan di daerah-daerah basah (Mardjono 2000).

Selain varietas unggul yang telah dilepas pemerintah, selama ini jarak kepyar masih berupa landrace-landrace yang belum jelas karakteristik dan mutunya. Jarak kepyar banyak dijumpai dengan fenotipe yang berbeda. Hal ini menandakan pentingnya informasi tentang keanekaragaman genetik jarak kepyar yang sebenarnya.

Karakterisasi kultivar jarak kepyar yang dilakukan berdasarkan deskripsi morfologi memungkinkan terjadi kesalahan karena deskripsi tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dan kesalahan manusia. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk estimasi variabilitas genetik adalah dengan menggunakan metode baru berdasarkan analisis molekuler (marka molekuler). Penggunaan marka DNA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) merupakan teknik yang cepat dan mudah dilakukan. Hasil reaksi PCR berupa potongan DNA yang dengan mudah

dapat dipisahkan melalui teknik elektroforesis dan dapat dilihat dalam bentuk berbagai ukuran pita DNA (Henry 1997).

Dalam kegiatan ini selain karakterisasi kemiripan fenotipe dan molekuler, juga dikumpulkan informasi dasar tentang fenologi pembungaan jarak kepyar. Informasi dasar ini diharapkan akan dimanfaatkan untuk merencanakan program pemuliaan dan perbaikan potensi genetik tanaman jarak kepyar.

Tujuan

Secara umum kegiatan penelitian ini bertujuan menyediakan informasi dasar yang diperlukan bagi pengembangan varietas jarak kepyar Indonesia melalui tujuan khusus sebagai berikut:

a. Mempelajari fenologi pembungaan jarak kepyar di Bogor,

b.Mengetahui keragaman genetik dan hubungan kemiripan antar genotipe jarak kepyar yang diamati berdasarkan marka morfologi,

c. Mengetahui hubungan kemiripan antar genotipe jarak kepyar yang diamati berdasarkan marka molekuler.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jarak Kepyar

Jarak kepyar (Ricinus communis L.) adalah tumbuhan semak tahunan (Soenardi 2000; Qiu & Gilbert 2008). Dalam bahasa Latin tanaman jarak kepyar disebut Ricinus yang artinya serangga, karena bentuk bijinya berbintik-bintik menyerupai serangga. Jarak kepyar berasal dari Afrika (Ethiopia), masuk ke Indonesia pada abad ke 16 bersamaan dengan masuknya bangsa Portugis.

Menurut Heyne (1987) tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L.) diklasifikasikan ke dalam famili Euphorbiaceae dan genus Ricinus. Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini diantaranya dikenal dengan nama dulang (Toba), jarak kaliki, kaliki (Sunda), jarak (Jawa), dan damar jarak (Timor).

Tanaman jarak kepyar merupakan salah satu jenis tanaman yang relatif toleran terhadap kekeringan (Soenardi 2000). Jarak kepyar sangat cepat tumbuh dan memperbanyak diri melalui bijinya. Tanaman ini banyak ditanam di ladang yang kurang subur (Rumphius dalam Heyne 1987).

Daun jarak kepyar berukuran lebar dan berbentuk menjari dengan 5-11 jumlah lekukan daun (Mardjono 2000; Foster & Duke 1990) dengan lekukan dangkal hingga dalam, warna hijau muda sampai hijau tua, juga berwarna kemerahan (Gambar 1). Batangnya berongga (Qiu & Gilbert 2008) dan beruas- ruas dengan variasi panjang hingga 20 cm, dapat memiliki lapisan lilin atau tidak, dan memiliki warna yang bervariasi juga dari hijau muda hingga hijau tua atau merah muda hingga merah kecoklatan (Mardjono 2000). Bunga terbentuk dalam tandan bunga, dengan tandan bunga terdapat di ujung batang ataupun cabang, dan kepala putik berwarna merah (Weiss 1971). Buah berbentuk bulat seperti kapsul, dapat berambut ataupun tidak (Mardjono 2000), dan akan pecah saat masak (Weiss 1971). Biji berbintik seperti serangga dan bentuknya variatif (Mardjono 2000). Kandungan minyak dalam biji jarak kepyar cukup tinggi, yaitu 45-55%, yang terdiri atas gliserida asam ricinoleat, ricin (protein), dan lektin (Chevallier 2001). Ricin menyebabkan biji jarak kepyar berbahaya jika dimakan karena dapat menyebabkan kematian (Challoner 1990; Foster & Duke 1990; Chevallier 2001).

Gambar 1. Fenotipe jarak kepyar. (a) susunan cabang dan tandan buah; (b) daun; (c) buah; dan (d) biji (Mardjono, 2000)

Jarak kepyar tersebar pada areal bercurah hujan rendah antara 300-700 mm/tahun. Jenis tanah tidak menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman ini. Tanaman ini lebih sesuai ditanam di tanah bertekstur ringan, yaitu lempung berpasir dan tanah yang beraerasi baik. Tanaman ini ramah lingkungan dan dapat memperbaiki mikroklimat setempat (Soenardi 2000).

Keanekaragaman Genetik dan Pemuliaan Tanaman Jarak Kepyar

Tanaman jarak kepyar berasal dari benua Afrika (Weiss 1971; Heyne 1987), yaitu di sekitar wilayah Afrika Timur (Chevallier 2001), kemungkinan dari Ethiopia (Weiss 1971). Daerah penyebaran jarak kepyar terletak antara 40° LU dan 40°LS, meskipun ada pula beberapa varietas hasil seleksi di Rusia yang dapat tumbuh dan berproduksi sampai 52°LU (Weiss 1971).

Jumlah kromosom somatik jarak kepyar 20 (Shifriss 1956; Sharma dalam

Goldbatt 1981; Vachova dalam Goldbatt 1981; Queiros dalam Goldbatt 1981) dengan set 2x (Richharia dalam Zimmerman 1958) dan 4x (Nemec dalam

Zimmerman1958). Jumlah kromosom gonosom n=5 (Nemec dalam Zimmerman 1958; Mehra dalam Goldbatt 1981; Koul et al. dalam Goldbatt 1981), dan n=10

(Richharia dalam Zimmerman 1958) sehingga tanaman ini dapat berupa tetraploid ataupun diploid.

Kumpulan bunga jarak kepyar membentuk malai yang disebut racemes

(Shifriss 1956; Bell & Bryan 2008). Tipe malai bunga racemes, memiliki satu sumbu monopodial, bunga yang memiliki pedikel (tangkai bunga) tumbuh pada sumbu tersebut(Bell & Bryan 2008). Malai jarak kepyar menunjukkan empat tipe diferensiasi seks yang berbeda, yaitu seluruh bunga betina di bagian distal (gradient monoecism) dan jantan di bagian proksimal, seluruhnya betina tanpa jantan, terselingi bunga jantan di wilayah bunga betina distal, dan jantan betina selang-seling (Shifriss dalam William et al. 1967) (Gambar 2).

Gambar 2. Empat tipe malai tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L.). Secara berturut-turut persegi dan lingkaran menunjukkan bunga betina dan bunga jantan (Shifriss dalam William 1967). Distribusi apical dari bunga betina (a), seluruhnya betina (b), terselingi bunga jantan di wilayah bunga betina apical (c), dan jantan betina selang-seling (d)

Adanya heterogenitas tanaman dalam suatu populasi ataupun antar populasi merupakan bahan dasar untuk pemuliaan tanaman jarak kepyar. Tingkat keragaman pada jarak kepyar tinggi karena tanaman ini merupakan tanaman menyerbuk silang (Mardjono 2000).

Pemuliaan tanaman jarak kepyar yang dilakukan oleh Balittas (Mardjono 2000) dilaksanakan dengan metode seleksi massa dan hibridisasi. Prinsip metode seleksi massa adalah tidak memilih tanaman yang tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan (menyimpang). Dengan pengawasan dan seleksi yang ketat, dua sampai tiga generasi telah cukup dan dapat digunakan sebagai sumber biji. Sementara itu metode hibridisasi digunakan untuk pengembangan galur murni dan pengembangan hibrida. Galur murni diperoleh dengan mengisolasi tanaman terpilih agar tidak terjadi perkawinan silang. Pengembangan hibrida dilakukan dengan teknik persilangan tunggal, persilangan ganda, dan hibrida persilangan ganda dengan karakter khusus (Mardjono 2000).

Hasil penelitian Balittas (1994) tentang karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah jarak kepyar dari berbagai daerah, terlihat ada keragaman fenotipe pada tanaman ini yang meliputi warna batang maupun tangkai daunnya, lapisan lilin pada batang (tangkai daun maupun daunnya), buah mudah pecah atau sulit pecah, umur berbunga atau berbuah (genjah, sedang, atau dalam), dan ketahanan terhadap hama (terutama terhadap A. janata L).

Di Indonesia, pada saat ini sudah ada 3 varietas jarak kepyar yang sudah dilepas yaitu Asembagus 22 (Asb 22), Asembagus 60 (Asb 60), dan Asembagus 81 (Asb 81) (Mardjono et al. 1996), dengan deskripsi terlampir (Tabel Lampiran 1). Asembagus 22 diperoleh dari seleksi massa negatif dari populasi asal Dompu, Nusa Tenggara Timur. Asembagus 60 dan Asembagus 81 adalah hasil seleksi massa negatif dari populasi asal Desa Muneng, Probolinggo, Jawa Timur. Ketiga varietas ini dilepas oleh Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas), Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan di Malang (Mardjono 2000).

Di dunia, perkembangan penelitian pemuliaan jarak kepyar sudah pesat. Pemuliaan nonkonvensional telah banyak dilakukan terhadap komoditas ini, diantaranya studi transformasi genetik dengan menggunakan Agrobacterium

tumefaciens (Sujatha 2005), particle gun (Sailaja 2008), dan transformasi gen

cry1EC (Sujatha et. al 2009). Kegiatan bioteknologi pendukung pemuliaan nonkonvensional juga telah dilakukan, misalnya isolasi full-length cDNA yang mengkode enolase sitosol (Blakeley 1994), cloning dan karakterisasi gen calreticulin (Coughlan 1997), dan mempelajari ekspresi gen albumin (Chen 2004).

Marka Morfologi dan Molekuler

Beberapa marka (penanda) dapat digunakan untuk mengetahui tingkatan dan pola keanekaragaman genetik, seperti penanda morfologi (Talhinhas et al.

2006) dan molekuler (Alvarez et al. 2006). Penanda morfologi didasarkan pada pengamatan secara langsung fenotipe tanaman (Tanksley 1983), sedangkan penanda molekuler langsung berintegrasi dengan genetik dan menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya (Powel et al. 1996).

Penanda morfologi telah banyak digunakan dalam program dasar genetika maupun kegiatan pemuliaan tanaman. Meski demikian, terdapat beberapa kelemahan yang dimiliki penanda ini, yaitu dapat dipengaruhi lingkungan, memperlihatkan karakter menurun dominan/resesif, dan memiliki tingkat keanekaragaman (polimorfisme) rendah (Tanksley 1983). Kegiatan pemuliaan tanaman tidak cukup menggunakan penanda morfologi, diperlukan juga penanda molekuler. Penanda molekuler merupakan suatu penanda yang mampu membedakan setiap spesies tanaman atau genotipe tanaman tanpa dipengaruhi oleh lingkungan. Penggunaan penanda molekuler sangat bermanfaat untuk membandingkan berbagai klasifikasi baik berdasarkan analisis RAPD (Random Amplified Polimorphic DNA) maupun dengan analisis berdasarkan pada penanda lainnya seperti RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), dan SSR (Simple Sequence Repeat) sehingga hasil klasifikasi akan lebih akurat (Weising et al. 1995). Sebagai contoh, penelitian molekuler dengan single nucleotide polymorphism (SNPs) untuk mengkaji keragaman genetik jarak kepyar telah dilakukan (Foster 2010).

RAPD

RAPD merupakan suatu cara untuk menganalisis keragaman genetik melalui amplifikasi DNA genom suatu tanaman dengan menggunakan primer acak tunggal. Keragaman genetik tanaman dilihat berdasarkan polimorfisme pita DNA yang berhasil diamplifikasi (Tingey et al. 1992). Penanda ini bersifat dominan, yaitu tidak bisa membedakan individu homosigot dan heterosigot karena memberikan hasil pita DNA yang sama (Ronning et al. 1995).

Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis RAPD yaitu oligonukleotida (primer), larutan buffer, Taq DNA polymerase, deoksiribonuklease triphosphate (dNTP) dan DNA cetakan. Templat DNA didenaturasi (denaturation) hingga ikatan

doublehelix DNA terpisah melalui pemanasan pada 94˚C, setelah itu primer dapat memulai reaksi PCR. Primer menempel pada salah satu untai DNA (annealing) pada suhu 37 - 55˚C dan memulai reaksi pemanjangan untai DNA (extention) dengan bahan-bahan dNTP sebagai sumber utama nukleotida dalam reaksi pada suhu 72˚C. Siklus diulang beberapa kali dan setiap siklus menggandakan jumlah produk DNA yang diinginkan (Sambrook et al. 1989). Produk PCR akan diperoleh berupa fragment atau pita DNA (Williams et al.1991).

Aplikasi RAPD telah dilakukan pada banyak jenis tanaman. Pada tanaman hortikultura, analisis RAPD dilakukan pada pepaya (Satori et al. 2002), pisang (Surahman et al. 2005; Sukartini 2008), bawang putih (Hardiyanto et al. 2008), kelapa (Matondang, 2000), dan Phalaenopsis (Dwiatmini et al. 2003), pada tanaman kehutanan diantaranya pada bakau (Shorea laevis) (Siregar et al. 1998). Pada tanaman sefamili dengan jarak kepyar, RAPD telah dilakukan pada jarak pagar (Gupta et. al. 2008; Surahman et al. 2009; Susantidiana et al. 2009, Nisya 2010).

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2010 - Juni 2011. Studi fenologi pembungaan dilakukan selama periode September 2010 - Juni 2011 di kebun pembibitan Kebun Raya Bogor, karakterisasi morfologi dilakukan selama periode Februari 2010 - Desember 2010 di kebun percobaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. di Citeureup, Bogor dan analisis RAPD dilakukan di Laboratorium RGCI (Research Group on Crop Improvement), Institut Pertanian Bogor (IPB) selama periode Oktober 2010 - Februari 2011.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan untuk penelitian ini adalah plasma nutfah jarak kepyar (Ricinus communis L.) koleksi IPB. Jumlah genotipe yang digunakan adalah 14 (Tabel 1).

Tabel 1. Daftar genotipe jarak kepyar yang digunakan (14) No No. Genotipe Nama Genotipe Asal Genotipe

1 9 PLAM-1 Plampang-Sumbawa, NTB

2 11 LAB-1 Labuan-Sumbawa Besar, NTB

3 12 BAG-1 Warasaba-Lombok Timur, NTB

4 24 TAN-1 Labuan Haji-Lombok Timur, NTB 5 30 CIB-1 Cibadak-Sukabumi, Jawa Barat 6 74 PON-2 Babatan, Ponorogo, Jawa Timur

7 76 GRE Gresik, Jawa Timur

8 78 PRO Probolinggo, Jawa Timur

9 84 SUR Surabaya, Jawa Timur

10 15 PHIL-2 Filipina

11 56 PHIL-4 Filipina

12 57 PHIL-5 Filipina

13 65 PHIL-13 Filipina

14 13 THAI-101 Thailand

Bahan analisis RAPD yang digunakan adalah daun pertama dari kecambah jarak kepyar. Delapan primer digunakan dalam penelitian ini (Tabel 2). Tujuh primer diantaranya adalah primer yang digunakan dalam penelitian Nisya (2010) yang dilakukan pada tanaman jarak pagar (Jatrophacurcas L). Jarak pagar adalah tanaman yang sefamili dengan jarak kepyar. Selain itu, bahan yang digunakan

antara lain SIGMA-AldrichTM Extraction and dellution kit, aquabidestilata, campuran Chloroform dan Isoamilalkohol (CIA) 24:1, Etanol Absolut, PCR amplification reagents dari Vivantis, DNA ladder, gel agarose, buffer TAE (Tris Acetic acid EDTA) 1x, Loading die, dan Ethidium Bromide.

Peralatan pertanaman yang digunakan adalah alat budidaya secara umum, sedangkan peralatan yang digunakan untuk pengamatan adalah meteran, penggaris, kaca pembesar, jangka sorong, dan timbangan digital. Peralatan yang digunakan dalam analisis RAPD adalah gunting, oven, water bath, microtube 2 ml, pelampung microtube, mikro pipet 1000 μl, mikro pipet 10 μl, mikro pipet 100 μl, rak tip dan microtube, centrifuge, desicator vacum pump, timbangan analitik, hot plate, labu erlemeyer, elektroforesis chamber, sisir gel, mesin PCR, mesin elektroforesis, dan UV transiluminator.

Tabel 2. Primer dan sekuen basa yang digunakan dalam analisis RAPD jarak kepyar

No. Primer Sekuen (5’-3’) Suhu melting (TM) Suhu annealing (TA=TM-4) 1. OPE-3 CCAGATGCAC 29.2 25.2 2. OPE-19 ACGGCGTATG 36.2 32.2 3. OPE-20 AACGGTGACC 28.7 24.7 4 OPH-13 GACGCCACAC 34.6 30.6 5. OPH-14 AGGGTCGTTC 28.9 24.9 6. OPM-2 ACAACGCCTC 29.7 25.7 7. OPM-5 GGGAACGTGT 28.7 24.7 8. OPM-8 TCTGTTCCCC 28.7 24.7 Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga kegiatan, yaitu: 1. Studi fenologi pembungaan

Studi fenologi pembungaan dilakukan pada genotipe PRO (nomor 78). Sampel tanaman yang diamati adalah tanaman yang memiliki bakal tunas yang akan berkembang lebih lanjut menjadi bunga. Bahan yang digunakan adalah kompos, sekam, pupuk urea (20 g), polibag, pestisida, herbisida dan fungisida. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

thermohygrometer, jangka sorong, mikroskop, dan kamera digital.

Pengamatan dilakukan setiap hari secara visual selama masa pembungaan terhadap malai dan individu bunga pada malai. Ulangan terdiri atas tiga

tanaman. Dari tiap tanaman, masing-masing diamati lima bunga betina dan bunga jantan. Variabel pengamatan pada studi fenologi pembungaan meliputi:

a. Panjang malai

Panjang malai diukur untuk mengetahui pertumbuhan malai saat pembentukan bunga berlangsung. Variabel ini diukur dari titik pertumbuhan hingga ke ujung malai yang dinyatakan dalam satuan sentimeter (cm).

b. Lama individu bunga mekar

Lama individu bunga mekar diketahui berdasarkan selisih waktu antara waktu bunga mulai mekar hingga bunga layu.

c. Waktu bunga betina reseptif dan waktu antera bunga jantan pecah (anthesis)

Waktu bunga betina reseptif diketahui dari ciri-ciri bunga betina reseptif, diantaranya dilihat dari warna bagian bunga yang menarik, memiliki eksudat di kepala putik, atau memiliki aroma khas pada bunganya. Sementara itu, waktu antera bunga jantan pecah adalah jika kantong sari sudah pecah, dan serbuk sari keluar dari antera.

d. Lama malai mekar

Lama malai mekar diketahui berdasarkan selisih waktu antara waktu individu bunga pertama mekar hingga semua individu bunga mekar dalam satu malai.

e. Lama perkembangan buah

Lama perkembangan buah diperoleh dari waktu mulai bunga terserbuki hingga buah matang.

f. Panjang dan diameter buah (cm)

Panjang adalah sisi yang membujur, sedangkan diameter adalah sisi yang melintang. Pengukuran panjang dan diameter buah dilakukan untuk mengetahui perkembangan buah setelah peristiwa pembuahan.

Data lingkungan yang mendukung adalah suhu udara dan kelembaban udara yang diukur setiap hari selama masa pembungaan berlangsung. Suhu udara dan kelembaban udara yang diukur pada pagi hari, siang hari, dan malam hari dirata-ratakan dan dijadikan data lingkungan harian.

2. Analisis hubungan kemiripan dan keragaman genetik berdasarkan marka morfologi

Penelitian analisis hubungan kemiripan berdasarkan karakter morfologi di lapangan disusun dalam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) satu faktor. Faktor yang digunakan yaitu genotipe jarak kepyar yang terdiri atas 14 genotipe. Percobaan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 42 satuan percobaan. Model rancangan yang digunakan adalah:

Yij = μ + i + j + εij, i: 1,2,3,...13 j: 1,2,3

Dengan: Yij = respon pengamatan dari genotipe ke-i pada ulangan ke-j μ = nilai tengah populasi

i = pengaruh genotipe ke-I; j = pengaruh ulangan ke-j

εij = pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i pada ulangan ke-j Pengamatan morfologi tanaman dilakukan setelah tanaman di dipindahtanam ke lapang, yaitu di kebun penelitian di Citeureup. Pengamatan marka morfologi dilakukan terhadap karakter kualitatif dan kuantitatif. Penentuan karakter kualitatif dan kuantitatif disesuaikan dengan yang dilakukan di Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas), Malang. Pengamatan di lapang terhadap karakter vegetatif dilakukan secara serentak pada saat tanaman berumur 6 bulan setelah dipindahtanam, sedangkan pengamatan terhadap karakter generatif dilakukan saat tanaman berumur 1 tahun.

Karakter kualitatif yang diamati terdiri atas:

a. Warna tangkai daun tua dan tangkai daun muda b. Warna batang tua dan batang muda

c. Lapisan lilin d. Bulu daun

e. Warna daun muda dan daun tua f. Tekstur daun

g. Bentuk ujung daun

h. Warna bunga betina dan bunga jantan i. Warna bakal buah

j. Warna rambut buah dan buah masak k. Bentuk biji dan warna biji

Setiap karakter kualitatif diamati secara visual, terutama warna. Sementara itu, karakter lain yang berkaitan dengan bentuk fisik diamati dengan visual dan juga indera peraba. Daun tua yang dipilih untuk diamati dalam penelitian ini adalah daun yang muncul pada tiga ruas batang pertama dari permukaan tanah, sementara daun muda adalah daun yang muncul pada tiga ruas batang dari atas pada tanaman yang sama tiap genotipe. Batang tua yang diamati dipilih dari tiga ruas batang pertama dari permukaan tanah, sedangkan batang muda adalah tiga ruas dari bawah.

Karakter kuantitatif yang diamati terdiri atas: a. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur dari permukan tanah hingga titik tumbuh. b. Diameter batang (cm)

Diameter batang diukur pada batang dengan ketinggian satu pertiga tinggi batang dari permukaan tanah.

c. Panjang ruas batang tua dan batang muda (cm)

Panjang ruas batang tua dan batang muda masing-masing diukur dari ruas pada batang tua dan batang muda yang dipilih secara acak.

d. Panjang tangkai daun (cm)

Panjang tangkai daun diukur dari daun tua. e. Panjang dan lebar daun (cm)

Panjang dan lebar daun diukur dari daun tua. f. Jumlah jari daun (buah)

Jumlah jari daun dihitung dari daun tua. g. Jumlah buah per pohon (buah)

Jumlah buah per pohon diperoleh dari satu kali pengamatan dalam satu tahun. Buah yang masih hijau ataupun yang sudah menghitam dihitung jumlahnya secara serentak dari tiap tanaman per genotipe baik tanaman yang memiliki cabang ataupun tidak.

h. Lebar, panjang, dan tebal biji (cm)

Biji jarak kepyar berbetuk agak lonjong memanjang, namun sisi diameternya tidak bulat sempurna. Dimensi pengukuran yang dapat menggambarkan bentuk bijinya adalah lebar, panjang, dan tebal biji.

Lebar biji adalah sisi melintang terpanjang biji, sedangkan panjang biji adalah sisi yang membujur. Tebal biji menggambarkan sisi melintang terpanjang. Alat pengukur yang digunakan adalah jangka sorong.

i. Bobot 100 butir biji (g)

Biji yang ditimbang adalah yang dipanen secara bulk dari tiga tanaman per genotipe. Bobot 100 butir biji diperoleh dengan mengkonversikan bobot 10 butir biji, dengan rumus:

Bobot 100 butir biji = bobot 10 butir biji x 10

3. Analisis hubungan kemiripan berdasarkan marka molekuler

Analisis hubungan kemiripan genetik berdasarkan marka molekuler dilakukan terhadap plasma nutfah yang dikoleksi menggunakan RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Pelaksanaan analisis RAPD tersebut meliputi beberapa tahapan yaitu isolasi DNA, amplifikasi DNA dengan PCR, dan elektroforesis.

a. Isolasi DNA (ekstraksi DNA)

Bahan yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah daun pertama yang muncul dari kecambah jarak kepyar. Bahan digunting kecil sebesar kurang lebih 2 x 2 cm lalu dicacah, kemudian dimasukkan ke dalam mikrotube 2 ml yang telah berisi cairan ekstrak dari kit SIGMA sebanyak 100 µL. Mikrotube dipanaskan pada suhu 95ºC selama 5 menit dalam waterbath. Setelah itu, ditambahkan larutan dilusi dari kit

Dokumen terkait