• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh tingkat ketuaan daun beluntas yang paling potensial sebagai sumber antioksidan alami dan ketepatan pelarut yang digunakan. Seleksi didasarkan pada tingkat ketuaan daun beluntas (kelompok daun 1-3, 4-6 dan >6) dan jenis pelarut untuk mengekstrak daun beluntas yang meliputi metanol, etil asetat, air, dan n-butanol. Hasil menunjukkan bahwa senyawaan fitokimia, terutama fenolik lebih terkonsentrasi pada daun yang lebih muda. Total fenol dan total flavonoid kelompok daun 1-3 > kelompok daun 4-6 > kelompok daun > 6. Daun beluntas mengandung grup senyawa flavonoid, tanin, sterol, dan fenol hidrokuinon. Daun beluntas 1-6 dipilih sebagai sumber antioksidan berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH. Hasil seleksi berdasarkan perbedaan pelarut menunjukkan bahwa grup senyawa tanin, flavonoid, dan fenol hidrokuinon ditemukan pada ekstrak metanolik daun beluntas (EMB), fraksi etil asetat (FEA), fraksi air (FA), dan fraksi n-butanol (FNB), sedangkan grup senyawa sterol tidak ditemukan pada FA. Senyawa fenolik penyusun EMB sebagian besar bersifat semipolar, yang ditunjukkan oleh total fenol dan total flavonoid terbesar dimiliki oleh FEA. Fraksi FEA lebih berpotensi sebagai penangkap radikal bebas DPPH, dengan nilai IC50 dan AE (efisiensi antiradikal) masing-masing sebesar 3.3 mg/L dan 0.00115.

Kata Kunci : beluntas (Pluchea indica Less), ketuaan daun, ekstrak metanolik, fraksi etil asetat, fraksi air, fraksi n-butanol, dan DPPH.

Abstract

This study was conducted to refer the age level of Pluchea leaves which giving the most potential natural antioxidant source as well as the proper solvents being utilized. The selection was based on the difference of the age level of the leaves (1–3, 4–6, and >6 leaves groups) and the different type of solvents included methanol, ethyl acetate, water, and n-butanol. The results showed that phytochemical compounds, especially phenolic were more concentrated on the younger leaves. Total phenol and total flavonoid of leaves were rank as 1-3 > 4-6 > >6 group, respectively. Pluchea leaves contained flavonoid, tannin, sterol, and phenol hydroquinone compound groups. 1-6 age level leaves were chosen as a source of natural antioxidants based on DPPH free radical scavenging activity. Tannin, flavonoid, and phenol hydroquinone compound groups were found in

Pluchea leaves methanolic extract (EMB), ethyl acetate fraction (FEA), water fraction (FA), and n-butanol fraction (FNB), while sterol compound group was not found in the FA. FEA had the highest total phenol and flavonoid, which showed that the major phenolic compounds of EMB were semi polar. This fraction was potential as DPPH free radical scavenging, hence it IC50 and AE (radical efficiency) value were 3.3 mg/L and 0.00115, respectively.

Keywords: Pluchea indica Less, leaf age, methanolic extract, ethyl acetate fraction, water fraction, n-butanol fraction, and DPPH.

Pendahuluan

Beluntas (Pluchea indica Less) merupakan tanaman herba famili

Asteraceae yang telah dimanfaatkan sebagai pangan dan sediaan obat bahan alam (Ardiansyah et al. 2003). Kandungan senyawaan fitokimia pada daun beluntas mempunyai beberapa aktivitas biologis, salah satunya sebagai antioksidan.

Senyawaan fitokimia pada tanaman terdistribusi dengan kadar yang berbeda pada setiap bagian. Perbedaan kadar senyawaan fitokimia pada daun dan buah sangat dipengaruhi oleh tingkat ketuaan daun atau kematangan buah (Navarro et al. 2006), kondisi tanah, pemberian pupuk serta stress lingkungan baik secara fisik, biologi maupun kimiawi (Chludil et al. 2008). Kandungan dan kadar senyawaan fitokimia yang berbeda akan mempengaruhi aktivitas antioksidannya (Tachakittirungrod et al. 2007). Kubola & Siriamornpun (2008) menyatakan bahwa bagian yang berbeda dari tanaman Thai bitter gourd

(Momordica charantia L) mempunyai aktivitas menangkap radikal bebas DPPH berbeda, secara berturutan aktivitas antioksidan bagian daun > buah hijau > batang > buah matang.

Senyawaan fitokimia pada tanaman dapat diekstrak dengan pelarut yang sesuai. Tingkat kepolaran pelarut menentukan komponen senyawaan fitokimia yang terekstrak. Metanol secara efektif dapat mengekstrak senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida (Houghton & Raman 1998), fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang (Yu Lin et al. 2009), flavonoid aglikon (Dehkharghanian et al. 2010), antosianin, terpenoid, saponin, tanin, santosilin, totarol, kuasinoid, lakton, flavon, fenon, dan polifenol (Cowan 1999).

Air dapat mengekstrak senyawa sangat polar, seperti glikosida, asam amino, dan gula (Houghton & Raman 1998), aglikon (Liu et al. 2011), antosianin, pati, tanin, saponin, terpenoid, polipeptida, lektin (Cowan 1999). n-Butanol dapat mengekstrak senyawa polar, seperti glikosida, aglikon, dan gula (Liu et al. 2011). Sedangkan etil asetat dilaporkan dapat mengekstrak senyawa alkaloid, aglikon, dan glikosida (Houghton & Raman, 1998), sterol, terpenoid, dan flavonoid (Cowan 1999).

Potensi ekstrak tanaman sebagai sumber antioksidan dapat ditentukan berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH. Pengujian DPPH merupakan metode yang paling cepat dan sederhana untuk menentukan

kemampuan senyawa antioksidan mendonorkan atom hidrogen. Ekstrak yang berpotensi menangkap radikal DPPH berfungsi sebagai antioksidan primer (Pokorny et al. 2001; Qian & Nihorimbere 2004; Singh et al. 2007).

Perbedaan distribusi senyawa fitokimia pada tanaman dan perbedaan kelarutan dalam berbagai pelarut yang mendasari dilakukannya seleksi daun beluntas sebagai sumber antioksidan. Seleksi tersebut dilakukan berdasarkan perbedaan tingkat ketuaan daun (kelompok daun 1-3, 4-6 dan >6) dan perbedaan jenis pelarut (metanol, etil asetat, air, dan n-butanol). Seleksi ini diharapkan diperoleh daun beluntas yang dapat menjadi sumber antioksidan alami untuk mencegah WOF daging itik. Dengan demikian senyawa antioksidan daun beluntas dapat menggantikan penggunaan antioksidan sintesis yang masih diragukan tingkat keamanannya terhadap kesehatan (Chludil et al. 2008).

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Juni–Agustus 2009 di Laboratorium Kimia SEAFAST IPB, Laboratorium Penyakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Program studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Kimia, NUS, Singapura.

Bahan Penelitian

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah daun beluntas diperoleh dari daerah Dramaga, Bogor. Teh hijau diperoleh dari Tea Factory di Singapura (Lim Lam Thye PTE, LTD). Rosemari kering dibeli dari cold storage di Singapura.

Bahan kimia untuk analisis, terdiri dari petroleum eter, metanol, n-butanol, akuades, etil asetat, pereaksi Dragendoft, Mayer dan Wagner, kloroform, amoniak, asam sulfat, natrium hidroksida, eter, asam asetat anhidrat, logam magnesium, etanol, asam klorida, amil alkohol, besi triklorida, pereaksi Folin Ciocalteu Fenol, natrium karbonat, asam gallat, katekin, natrium nitrit, aluminium klorida, BHT, dan DPPH.

Metode Penelitian

Pada tahap pertama penelitian ini dilakukan seleksi daun beluntas sebagai sumber antioksidan berdasarkan perbedaan tingkat ketuaan daun dan perbedaan jenis pelarut. Pada tahap seleksi tingkat ketuaan daun dilakukan pengelompokan daun beluntas menjadi 3 didasarkan perbedaan warna dan tekstur daun dengan urutan dari pucuk (Gambar 13 & Gambar 14), yaitu daun 1-3, 4-6, dan > 6.

Gambar 13. Pengelompokan daun beluntas berdasarkan perbedaan tingkat ketuaan daun

Selanjutnya masing-masing kelompok daun diekstraksi dengan metanol menggunakan metode ekstraksi soxhlet. Daun yang berpotensi sebagai sumber antioksidan diekstraksi kembali dengan cara yang sama dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan beberapa pelarut yang berbeda tingkat kepolaran, meliputi etil asetat (semi polar), n-butanol (polar), dan air (sangat polar) (Dorman & Hiltunen 2004) (Gambar 15). Daun beluntas dan ekstrak atau fraksinya daun beluntas yang dipilih sebagai sumber antioksidan didasarkan pada kemampuannya dalam menangkap radikal bebas DPPH.

Gambar 14. Kenampakan ketiga kelompok daun beluntas

Kelompok daun 1-3

Kelompok daun 4-6

Kelompok daun > 6

4-6 >6

Gambar 15. Diagram alir proses ekstraksi dan pengujian aktivitas ekstrak metanolik daun beluntas dan fraksinya (Modifikasi Dorman & Hiltunen 2004).

Diuji rendemen, total fenol, total flavonoid, senyawaan fitokimia, dan DPPH Residu daun

Dimaserasi (suhu kamar, 24 jam) dengan 400 mL petroleum eter

Filtrat

Diuapkan pelarutnya dan dikeringkan pada suhu kamar

Diekstraksi soxhlet dengan 150 mL metanol pada suhu 65 oC selama 3 jam

Diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator

Ekstrak Metanolik

Dipartisi dengan H2O/Etil asetat (1:1 v/v) Pelarut diuapkan dengan Rotary evaporator

Fraksi etil asetat Fase air

Dipartisi dengan n-butanol (1:1 v/v)

Fraksi n-butanol Fraksi air

Ditepungkan dengan ukuran 40 mesh

Tepung daun beluntas 100 g Uji kadar air

Disaring

10 g Residu daun kering

Pelarut diuapkan dengan

Rotary evaporator

Pelarut diuapkan dengan

Rotary evaporator

Ekstrak atau fraksi yang mempunyai aktivitas antioksidan terbesar dilakukan analisis sbb: Kemampuan menangkap hidrogen peroksida, radikal superoksida dan hidroksil Kemampuan mereduksi ion besi

Kemampuan mengkelat ion besi

Kemampuan menghambat oksidasi asam linoleat- -karoten Kemampuan mencegah WOF daging itik

Ketiga kelompok daun beluntas yang telah dikeringkan pada suhu kamar selama 7 hari ditepungkan dengan ukuran 40 mesh, lalu dianalisis kadar airnya (Lampiran 1). Tepung daun setiap kelompok sebanyak 100 g dimaserasi dengan petroleum eter pada suhu kamar selama 24 jam. Residu yang telah dikeringkan sebanyak 10 g diekstrak dengan 150 mL metanol menggunakan metode ekstraksi soxhlet pada suhu 65 oC selama 3 jam. Ekstrak diperoleh setelah pelarut metanol diuapkan dengan rotary evaporator. Ekstrak dari masing-masing kelompok disimpan pada suhu 4 oC dalam botol gelap sampai analisis selanjutnya.

Tepung daun beluntas kering sebanyak 1 kg dari setiap kelompok daun yang mempunyai aktivitas tertinggi diekstraksi dengan cara yang sama. Ekstrak metanol yang diperoleh dilarutkan dalam akuades dan selanjutnya dipartisi dengan pelarut etil asetat 1:1 (v/v). Fase air yang diperoleh dipartisi dengan n-butanol dengan perbandingan 1:1 (v/v). Selanjutnya fraksi etil asetat, n-butanol, dan air diuapkan dengan rotary evaporator, untuk mendapatkan fraksi yang pekat. Ekstrak daun beluntas dan fraksinya disimpan pada suhu 4 oC dan gelap sampai analisis berikutnya, meliputi rendemen (Lampiran 3), total fenol (Lampiran 5), total flavonoid (Lampiran 7), kemampuan menangkap radikal bebas DPPH (Lampiran 9), dan senyawaan fitokimia (Lampiran 59).

Analisis Data

Data penelitian dinyatakan sebagai rata-rata ± SD dari dua ulangan. Semua data dianalisis dengan prosedur sidik ragam (ANOVA) dengan bantuan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17. Apabila hasil analisis sidik ragam menunjukkan ada perbedaan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan New Multiple Range Test /DMRT) pada taraf 5%.

Hasil dan Pembahasan

Seleksi Daun Beluntas sebagai Sumber Antioksidan Berdasarkan Perbedaan Tingkat Ketuaan Daun

Senyawaan Fitokimia pada Ketiga Kelompok Daun Beluntas

Senyawaan fitokimia ketiga kelompok daun beluntas dianalisis setelah tepung daun beluntas kering suhu kamar dihilangkan kandungan lipidanya (defatted) dengan petroleum eter dan diekstraksi dengan metanol guna menghilangkan minyak atsiri yang terkandung dalam daun beluntas sehingga dapat meminimalkan aroma yang ditimbulkan. Pokorny et al. (2001) menyatakan bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi suatu bahan dapat berfungsi sumber antioksidan yang ideal adalah tidak mempengaruhi warna dan aroma bahan yang ditambahkan. Petroleum eter digunakan didasarkan pada laporan Houghton & Raman (1998) bahwa pelarut non polar ini dapat melarutkan wax, lemak, minyak atsiri, dan klorofil.

Seperti telah dilaporkan oleh Traithip (2005) telah melaporkan bahwa daun beluntas mengandung sejumlah senyawa volatil kelompok terpena, seperti boehmeril asetat, HOP-17-(21)-en-3 -asetat, linaloil glukosida, linaloil apiosil glukosida, linaloil hidroksi glukosida, pluseosida C, kuauhtermona, 3-(β’-γ’ -diasetoksi-β’-metil-butiril), pluseol A, pluseol B, pluseosida A, pluseosida B, pluseosida E, dan pterokarptriol. Senyawa volatil ini merupakan penyusun minyak atsiri yang memberikan aroma tertentu pada daun beluntas.

Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia ketiga kelompok daun beluntas ditunjukkan pada Tabel 4. Senyawaan fitokimia yang teridentifikasi pada ekstrak metanolik daun beluntas meliputi grup senyawa tanin, sterol, flavonoid, dan fenol hidrokuinon. Pengujian secara kualitatif menunjukkan keberadaan grup senyawa tanin, sterol, flavonoid, dan fenol hidrokuinon pada ekstrak metanolik daun beluntas masing-masing ditunjukkan oleh terbentuknya warna biru tua atau hijau kehitaman, hijau, merah, dan merah, seperti yang diperoleh pada penelitian Harbone (1996).

Data menunjukkan bahwa intensitas senyawaan fitokimia yang ditemukan pada ketiga kelompok daun berbeda, perbedaan ini dapat memberikan gambaran tentang perbedaan kadar senyawaan fitokimia yang ada. Grup senyawa tanin,

sterol, dan flavonoid ditemukan pada ketiga kelompok daun, tetapi intensitasnya semakin berkurang dengan meningkatnya ketuaan daun. Penentuan intensitas warna didasarkan pada perbandingan kepekatan warna yang diamati secara visual dari semua senyawa fitokimia yang teruji (Gambar 16).

a b c d

Gambar 16. Penentuan intensitas warna pada pengujian grup senyawa sterol (a = ++++, b = +++, c = ++ dan d = +)

Tabel 4. Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia pada ketiga kelompok daun beluntas

Kelompok daun

Intensitas warna senyawaan fitokimia

Tanin Sterol Flavonoid Fenol hidrokuinon

1-3 ++++ ++++ +++ +

4-6 +++ +++ ++ -

> 6 ++ ++ + -

Keterangan : ∑+ = menunjukkan intensitas warna, ∑+ = didasarkan pada perbandingan intensitas warna secara visual, + = positif lemah, ++ = positif, +++ = positif kuat, ++++ = positif sangat kuat, - = negatif.

Berdasarkan hasil pengujian kualitatif atas warna yang dihasilkan menunjukkan bahwa grup senyawa fenol hidrokuinon hanya ditemukan pada daun 1-3. Fenol hidrokuinon lebih terkonsentrasi pada daun yang masih muda karena menurut Harbone (1996), senyawa ini mempunyai struktur molekul paling sederhana (C6) diduga sebagai senyawa dasar pembentuk senyawa fenolik jenis lain.

Kubola & Sariamornpun (2008) menyatakan bahwa tidak semua senyawa fenolik tertentu (asam p-kaumarat, asam gallat, asam ferulat, asam tanat, asam bensoat, asam kafeat, dan (+)-katekin) ditemukan pada daun, batang, buah muda, dan buah matang dari Thai bitter gourd (Momordica charantia L.). Asam gallat banyak ditemukan pada seluruh bagian tanaman tersebut, asam kafeat banyak ditemukan di daun, asam p-kaumarat banyak ditemukan di batang, asam ferulat hanya ditemukan di batang dan buah muda sedangkan asam bensoat tidak

ditemukan di daun dan batang. Navarro et al. (2006) juga menginformasikan bahwa perbedaan kadar senyawaan fitokimia pada daun dan buah sangat dipengaruhi oleh tingkat ketuaan atau kematangan.

Kadar Air dan Rendemen pada Ketiga Kelompok Daun Beluntas

Kadar air dan rendemen ketiga kelompok daun beluntas ditunjukkan pada Tabel 5. Kadar air ketiga kelompok daun beluntas berbeda signifikan, hal ini terlihat bahwa perbedaan ketuaan daun mempengaruhi kadar air. Berdasarkan kadar air tersebut diperoleh kadar rendemen basis kering berbeda secara nyata antara ketiga kelompok daun. Kelompok daun yang lebih muda mempunyai rendemen lebih tinggi dibandingkan kelompok daun yang lebih tua. Kondisi ini seiring dengan hasil uji total fenol (TP) dan total flavonoid (TF), dimana komponen terbesar yang terekstrak oleh metanol adalah senyawa fenol.

Tabel 5. Kadar air dan rendemen pada ketiga kelompok daun beluntas

Kelompok daun Rendemen (% b/b)1 Kadar air (% b/b)2

1-3 22.37c

± 0.78 14.57b ± 0.13 4-6 19.08b ± 0.00 14.01a ± 0.14 > 6 16.44a ± 0.46 15.38c ± 0.01

Keterangan : 1 = satuan berat per berat basis kering, 2 = satuan berat per berat, a-c = huruf superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5%.

Total Fenol dan Total Flavonoid pada Ketiga Kelompok Daun Beluntas

Hasil pengujian total fenol (TP) dan total flavonoid (TF) pada ketiga kelompok daun ditunjukkan pada Tabel 6. Kadar TP dan TF pada ketiga kelompok daun beluntas berbeda secara signifikan. Daun 1-3 mempunyai kadar TP dan TF paling tinggi, diikuti oleh daun 4-6 dan kadar terendah dimiliki oleh daun > 6. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa fenolik dan flavonoid lebih terkonsentrasi pada daun yang lebih muda. Kondisi ini didukung oleh hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia pada ketiga kelompok daun yang ditunjukkan pada Tabel 4.

Tingginya kadar TP dan TF serta intensitas senyawaan fitokimia pada daun yang lebih muda terkait dengan fungsi senyawa tersebut dalam tanaman yaitu melindungi diri dari serangan herbivora dan penyakit (Hagerman et al.

keberlangsungannya, maka daun yang lebih muda mengandung TP dan TF lebih tinggi.

Tabel 6. Kadar total fenol, total flavonoid, dan IC50 pada ketiga kelompok daun beluntas

Kelompok daun Total fenol (mg GAE/100 g bk) Total flavonoid (mg CE/100 g bk) IC50 (mg/L) 1-3 415.11c ± 4.06 287.38c ± 0.04 3.71a ± 0.19 4-6 146.33b ± 3.42 118.65b ± 1.52 6.85a ± 0.18 > 6 38.27a ± 1.02 32.22a ± 1.70 41.76b ± 3.01

Keterangan : IC50 = konsentrasi penghambatan 50%, GAE = ekuivalen asam gallat, CE = ekuivalen katekin, a-c = huruf superskrip pada kolom yang sama

menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5%.

Kemampuan Menangkap Radikal Bebas DPPH pada Ketiga Kelompok Daun Beluntas

Kadar TP dan TF ketiga kelompok daun beluntas (Tabel 6) nampaknya berkorelasi dengan kapasitasnya menangkap radikal bebas DPPH (Gambar 17). Penambahan ekstrak metanolik daun beluntas 1-3 pada konsentrasi 5 ppm telah menunjukkan kemampuan penghambatan terhadap radikal bebas DPPH. Pada konsentrasi yang sama, penambahan ekstrak metanolik kelompok daun 4-6 dan > 6 belum menunjukkan kemampuan penghambatan terhadap DPPH mencapai maksimum.

Korelasi positif antara TP dengan kemampuan menangkap radikal DPPH dari ekstrak bagian yang berbeda juga ditemukan pada tanaman Thai bitter guord

(Momordica charantia L) (Kubola & Siriamornpun 2008). Selain itu Fu et al.

(2009) menyatakan bahwa buah raspberry yang berwarna hijau mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi dari buah berwarna merah muda, hal ini disebabkan kadar prosianidin pada buah yang hijau lebih tinggi.

Berdasarkan hasil perhitungan IC50 (kemampuan antioksidan yang ditunjukkan dari konsentrasi antioksidan yang diperlukan untuk menangkap 50% radikal bebas DPPH), menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan kelompok daun 1-3 tidak berbeda signifikan dengan kelompok daun 4-6, tetapi keduanya lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kelompok daun >6 (Tabel 6).

Selain keberadaan senyawa flavonoid yang mampu mendonorkan atom hidrogen pada radikal DPPH, keberadaan senyawa tanin (tanin terhidrolisa dan tanin terkondensasi) pada ekstrak daun beluntas 1-6 juga dapat mendonorkan

elektron pada radikal bebas DPPH, seperti yang dijelaskan oleh Hagerman et al.

(1998). Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia menunjukkan bahwa intensitas grup senyawa tanin pada ekstrak kelompok daun 1-6 cukup tinggi dibandingkan daun > 6 (Tabel 4).

Gambar 17. Kemampuan menangkap radikal bebas DPPH dari ketiga kelompok daun beluntas.

Adanya grup senyawa sterol pada ekstrak kelompok daun beluntas 1-6 juga dapat memberikan kontribusi kemampuannya menangkap radikal bebas DPPH. Nystrom et al. (2007) dan Li et al.(2007) menyatakan bahwa grup senyawa sterol, seperti (γ ,ββE)-stigmasta-5,22-dien-3-ol (stigmasterol) dan (γ ) -stigmast-5-en-3-ol ( -sitosterol) mampu mencegah oksidasi lemak dengan memutus rantai oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH maka senyawa antioksidan yang terkandung dalam ekstrak metanolik daun beluntas berfungsi sebagai antioksidan primer, seperti yang dijelaskan oleh Pokorny et al. (2001); Qian & Nihorimbere (2004) dan Singh et al. (2007).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 2 4 6 8 10 12

Konsentrasi Ekstrak Metanolik Daun Beluntas (ppm)

P engh am ba ta n t er ha da p D P P H ( % ) c

Seleksi Daun Beluntas sebagai Sumber Antioksidan Berdasarkan Perbedaan Jenis Pelarut

Daun beluntas dengan tingkat ketuaan terpilih (1-6) selanjutnya diuji dengan beberapa jenis pelarut dengan tingkat kepolaran berbeda guna memperoleh ekstrak yang potensial untuk diuji lebih lanjut. Pelarut yang digunakan meliputi metanol, etil asetat, air, dan n-butanol.

Kadar Air dan Rendemen pada Ekstrak Metanolik Daun Beluntas dan Fraksinya

Daun beluntas 1-6 yang sudah dikeringkan pada suhu kamar mempunyai kadar air sebesar 10.38%, setelah dihilangkan lipidanya diekstraksi dengan metanol diperoleh rendemen sebesar 15.22% bk (Tabel 7). Metanol digunakan untuk mengekstrak komponen aktif dalam daun beluntas karena hasil beberapa penelitian sebelumnya telah menginformasikan bahwa metanol efektif mengekstrak senyawa fenolik dari jaringan tanaman segar (daun spesies

Etlingera), sehingga dihasilkan rendemen dan aktivitas antioksidan yang tinggi (Chan et al. 2007a) serta menghambat polifenol oksidase yang dapat mempengaruhi aktivitas antioksidan (Yao et al. 2004). Hasil uji rendemen ekstrak metanolik daun beluntas segar sebesar 4.70% bb. Widyawati (2004) telah melaporkan bahwa rendemen yang diperoleh dari ekstraksi daun beluntas segar dengan etanol sebesar 1.40% bb.

Metanol juga menunjukkan efisiensi ekstraksi yang tinggi pada daun dan bunga spesies Alphinia (Wong 2006a), daun muda dari Camelia sinensis (Chan et al. 2007b). Rendemen ekstrak daun mulberry yang diperoleh dari pelarut metanol (2.26%) > aseton (1.78%) > etil asetat (0.80%) > n-heksana (0.48%) (Yen et al.

1996). Chyau et al. (2002) menginformasikan bahwa ekstraksi daun Terminalia catappa muda oleh metanol mempunyai rendemen (6.08%) > etil asetat (4.25%) > n-pentana (3.97%) > diklorometana (2.36%). Kemampuan metanol dalam mengekstrak jaringan tanaman disebabkan pelarut ini secara efektif dapat melarutkan senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida (Houghton & Raman 1998), fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang (Yu Lin et al. 2009), flavonoid aglikon (Dehkharghanian et al. 2010), antosianin, terpenoid, saponin, tanin, santosilin, totarol, kuasinoid, lakton, flavon, fenon, dan polifenol (Cowan 1999).

Fraksinasi ekstrak metanolik daun beluntas (EMB) dengan berbagai pelarut yang berbeda kepolaran (etil asetat, n-butanol, dan air) menunjukkan bahwa komponen penyusun EMB ada yang bersifat semipolar, polar, dan sangat polar. Komponen yang bersifat sangat polar merupakan penyusun terbesar EMB, yang ditunjukkan oleh kadar rendemen fraksi air (FA) lebih tinggi dibandingkan fraksi lainnya.

Komponen sangat polar penyusun rendemen FA terdiri atas senyawa glikosida, asam amino, dan gula (Houghton & Raman 1998) serta senyawa aglikon (Liu et al. 2011; Dehkharghanian et al. 2010), vitamin C (Dalimarta 2003). Rukmiasih (2011) melaporkan bahwa daun beluntas mengandung protein sebesar 17.78-19.02%, vitamin C sebesar 98.25 mg/100 g, dan -karoten sebesar 2.55 g/100 g. Dalimarta (2003) menginformasikan jenis asam amino penyusun daun beluntas, meliputi leusin, isoleusin, triptofan, dan treonin.

Tabel 7. Kadar rendemen, total fenol, dan total flavonoid pada ekstrak metanolik daun beluntas dan fraksinya

Sampel Rendemen (%) Total fenol (mg GAE /100 g bk) Total flavonoid (mg CE /100 g bk) EMB 15.22* 314.01c 16.14 118.38c 0.20 FEA 30.48** 126.97b 1.61 58.69b 1.10 FA 44.54** 42.58a 1.08 41.54a 5.45 FNB 14.87** 55.63a 0.41 38.78a 0.35 Keterangan : EMB = ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi etil asetat, FA = fraksi air,

FNB = fraksi n-butanol, * = satuan % b/b daun beluntas bk, ** = satuan % b/b ekstrak metanolik daun beluntas, a-c = huruf superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5%.

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar komponen semipolar dan polar dalam EMB lebih rendah dari komponen sangat polar. Hal ini ditunjukkan oleh rendemen fraksi etil asetat (FEA) lebih rendah dari FA. Senyawa semipolar yang dilaporkan dapat terekstrak oleh etil asetat, meliputi senyawa alkaloid, aglikon, dan glikosida (Houghton & Raman 1998), sterol, terpenoid, dan flavonoid (Cowan 1999). Senyawa yang bersifat polar merupakan komponen penyusun EMB terendah yang dapat terekstrak oleh n-butanol (FNB), diduga terdiri dari glikosida, aglikon, dan gula (Liu et al. 2011).

Senyawaan Fitokimia, Total Fenol, dan Total Flavonoid pada Ekstrak Metanolik Daun Beluntas dan Fraksinya

Komponen aktif yang terekstrak oleh masing-masing pelarut yang berbeda tingkat kepolaran selanjutnya dilakukan uji senyawaan fitokimia, total fenol, dan total flavonoid. Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia yang terdeteksi pada daun beluntas 1-6 menunjukkan bahwa semua senyawaan fitokimia yang teridentifikasi pada EMB ada pada FEA dan FNB, hanya pada FA tidak ditemukan adanya grup senyawa sterol, yang ditunjukkan pada Tabel 8.

Perbedaan tingkat kepolaran air dan sterol diduga sebagai penyebab fenomena tersebut. Grup senyawa sterol bersifat non polar (Nystrom et al. 2007) dengan tingkat kepolaran mendekati pelarut heksana (Li et al. 2007) dan konstanta dielektrik sebesar 1.88, sedangkan air bersifat sangat polar dengan konstanta dielektrik sebesar 80 (Carey & Sundberg 2007). Houghton & Raman (1998) menyatakan bahwa senyawa yang mempunyai polaritas sama akan saling melarutkan (like dissolve like). Dehkharghanian et al. (2010) juga menginformasikan bahwa perbedaan tingkat kepolaran pelarut menentukan perbedaan jenis dan komposisi senyawaan fitokimia serta mempengaruhi aktivitas antioksidannya.

Tabel 8. Senyawaan Fitokimia yang terdeteksi pada ekstrak metanolik daun