• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

E. Penatalaksanaan Terapi

E. Penatalaksanaan Terapi 1. Tujuan Terapi

Selesma merupakan penyakit simptomatis yang dapat sembuh dengan sendirinya. Karena itu pengobatan yang dilakukan hanya bersifat paliatif atau meringankan gejala saja. Tetapi tidak semua gejala yang muncul harus diobati karena satu gejala yang muncul umumnya merupakan perluasan gejala sebelumnya. Selain itu, tidak semua gejala yang muncul dirasakan berat oleh penderita.

2. Sasaran Terapi

Sasaran terapi penyakit selesma adalah gejala yang dirasakan paling berat oleh penderita dan merupakan awal mata rantai gejala selesma, yaitu cairan nasal dan sumbatan nasal. Apabila kedua gejala ini dapat diringankan maka akan membatasi tekanan nasal yang menimbulkan sakit kepala dan perluasan iritasi yang merupakan penyebab munculnya rangkaian gejala berikutnya seperti sakit tenggorokan dan batuk. Oleh karena itu, sasaran terapi selesma yang utama adalah meringankan gejala cairan nasal dan sumbatan nasal. Dengan berkurangnya cairan dan sumbatan nasal, rentetan gejala berikutnya kemungkinan besar juga akan berkurang (Donatus, 1997).

3. Strategi Terapi

Gejala cairan dan sumbatan nasal pada selesma dapat dikurangi atau dihilangkan dengan dua macam terapi, yaitu terapi nir obat dan terapi obat.

a. Terapi Nir Obat

Terapi nir obat dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, memperbanyak asupan cairan, minum minuman yang hangat atau menghirup uap air panas (Tietze, 2004). Dengan cara tersebut dalam beberapa hari mekanisme pertahanan tubuh secara alami akan kembali ke keadaan normal.

b. Terapi Obat

Terapi obat biasanya digunakan kombinasi dari beberapa obat yang mempunyai efek terapi yang berbeda-beda namun saling melengkapi. Kombinasi obat selesma biasanya berupa dekongestan nasal, analgesik-antipiretik, antihistamin, antitusif dan ekspektoran.

Dekongestan dibagi menjadi dua, yaitu dekongestan oral dan topikal. Dekongestan adalah obat yang mempunyai efek mengurangi hidung tersumbat, melapangkan saluran pernafasan, mengeringkan hidung dan sinus. Dekongestan oral yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug Administration) adalah fenilefrin dan pseudoefedrin. Efek samping dekongestan antara lain gelisah, perut terasa tidak enak dan sukar tidur. Dekongestan dikontraindikasikan terhadap penderita dengan riwayat hipersensitif, penderita yang mendapat terapi obat MAO. Selain itu, beberapa dekongestan topikal dikontraindikasikan untuk anak dibawah usia 12 tahun. Dekongestan topikal biasanya berefek lebih lama daripada oral, dan tidak boleh menimbulkan efek sistemik maupun mengiritasi mukosa dan silia pada saluran pernafasan. Dekongestan topikal yang beredar di pasaran antara

16

lain efedrin, epinefrin, fenilefrin, nafazolin, tetrahidrazolin, oximetazolin dan xilometazolin (Tietze, 2004).

Analgesik antipiretik efektif digunakan untuk mengurangi sakit kepala dan demam yang kadang menyertai gejala selesma. Beberapa analgesik antipiretik yang digunakan dalam obat selesma tanpa resep untuk anak antara lain parasetamol dan ibuprofen (Tietze, 2004).

Antihistamin berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi gejala yang diakibatkan oleh sekresi kelenjar lendir yang berlebihan yang menyebabkan hidung tersumbat oleh cairan lendir dan mata terasa gatal. Antihistamin menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan macam-macam otot polos yang terlepas pada saat terjadi lisis sel semang. Antihistamin juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitif atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Antihistamin mempunyai efek mengantuk, dan dikontraindikasikan untuk bagi penderita glaukoma, asma dan wanita yang menyusui. Antihistamin yang sering digunakan antara lain klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, prometazin HCl, tripolidin dan lain-lain (Anonim, 1997).

Antitusif diindikasikan untuk mengurangi frekuensi batuk yang berlebihan pada batuk kering. Beberapa jenis antitusif misalnya kodein, dextromethorpan dan difenhidramin. Antitusif tidak boleh diberikan untuk batuk berdahak. Ekspektoran berfungsi untuk mengencerkan dahak sehingga lebih mudah dikeluarkan. Ekspektoran yang biasa digunakan adalah gliserilguaiakolat (guaifenesin). Untuk pengobatan selesma perlu juga dipilih obat yang mengandung antitusif atau ekpektoran tergantung dari jenis batuk yang menyertai.

F. Pengobatan Rasional

Pengobatan atau penggunaan obat yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat yang efektifitasnya terjamin aman dengan mempertimbangkan harga dan efek samping dari obat yang digunakan.

Menurut WHO, pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: sesuai dengan indikasi penyakit, tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, diberikan dengan dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu yang tepat, lama pemberian yang tepat, obat yang diberikan harus efektif dengan mutu yang terjamin dan aman (Anonim, 2000).

Untuk mencapai pengobatan yang rasional, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain: ketepatan diagnosis, ketepatan indikasi pemakaian obat, ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis, cara dan lama pemberian obat. Sedangkan aspek lain yang harus diperhatikan oleh dokter dan apoteker adalah ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien, ketepatan pemberian informasi dan ketepatan dalam tindak lanjut (Anonim, 2000).

Informasi yang umum tercantum pada brosur atau kemasan obat tanpa resep antara lain: komposisi yaitu obat atau zat aktif apa saja yang ada dalam obat beserta jumlah masing-masing zat aktif, indikasi yaitu kegunaan obat dalam pengobatan penyakit, efek samping yaitu efek yang tidak diinginkan yang dapat muncul akibat penggunaan obat, kontraindikasi yaitu siapa yang tidak boleh menggunakan obat berkaitan kondisi tubuh pengguna, aturan pemakaian yaitu berapa kali obat digunakan dalam sehari dan selama berapa lama, peringatan dan

18

perhatian yaitu hal-hal apa saja yang harus diperhatikan oleh pengguna, waktu kadaluarsa yaitu waktu yang menunjukkan batas akhir obat masih memenuhi persyaratan seperti semula sehingga sebaiknya obat digunakan sebelum batas waktu tersebut (Widodo, 2004).

Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan antara lain: 1. peresepan berlebih yaitu penggunaan obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu

tinggi atau pengobatan yang terlalu lama.

2. peresepan kurang yaitu tidak menggunakan obat yang sebetulnya diperlukan, dosis tidak mencukupi atau pengobatan yang terlalu singkat.

3. peresepan salah yaitu obat dipilih untuk indikasi yang tidak tepat.

4. peresepan mewah yaitu pemberian obat mahal padahal ada obat yang lebih murah.

5. polifarmasi yaitu penggunaan dua atau lebih obat padahal satu obat saja sudah mencukupi (Donatus, 1997).

Dalam penggunaan obat bebas, masalah yang dihadapi antara lain adalah sebagian besar obat yang dijual bebas mengandung campuran beberapa obat berkhasiat sehingga harga obat menjadi mahal, karena merupakan campuran beberapa obat berkhasiat, maka satu macam obat dinyatakan dapat digunakan untuk berbagai macam penyakit dan gejala penyakit. Karena penggunaan yang dapat bermacam-macam maka petunjuk penggunaannya menjadi tidak jelas, masyarakat menganggap bahwa pengobatan sendiri cukup aman sehingga pada

waktu memerlukan pertolongan dokter sudah dalam keadaan terlambat dan masyarakat percaya bahwa pemerintah tidak akan mengijinkan penjualan obat-obat yang berbahaya bagi kesehatan. Padahal obat-obat-obat-obat tertentu mempunyai efek samping yang dapat merugikan bagi pengguna sehubungan dengan penyakit yang diderita (Sartono,1993a).

Sehubungan dengan masalah yang dihadapi tersebut, maka hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pengguna obat-obat bebas sebelum menentukan pilihan antara lain memperhatikan dan mengenali penyakit atau gejala penyakit yang diderita, memilih obat yang paling sesuai untuk penyakitnya mengacu pada kondisi tubuh penderita, memilih obat yang mempunyai efek samping yang paling ringan, memilih bentuk sediaan yang paling nyaman dan sesuai, memilih obat yang harganya murah (Widodo,2004).

Setelah mendapatkan obat, yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan obat tersebut antara lain aturan pemakaian yang meliputi cara memakai, berapa jumlahnya, berapa kali sehari, dipakai sebelum atau sesudah makan atau sebelum tidur serta berapa lama pemakaiannya. Selain itu perlu diperhatikan pula indikasi, kontraindikasi (pada keadaan mana obat tidak dapat digunakan), efek samping, makanan atau minuman atau obat lain yang tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan obat serta penyimpanan obat berkaitan dengan obat disimpan dimana dan dapatkah sisa obat yang disimpan digunakan lagi (Anonim,2001).

20

G. Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan informasi obat sangat diperlukan menuju pengobatan yang rasional. Fungsi pelayanan apoteker di farmasi komunitas lebih ditekankan pada konsultasi dengan pasien serta pemberian informasi yang tepat guna berkaitan dengan khasiat, efek samping, peringatan dan cara pemakaian obat. Pemantauan dan penilaian terhadap hasil pengobatan juga termasuk dalam fungsi pelayanan apoteker. Hal ini perlu diterapkan pada farmasi komunitas di Indonesia (Donatus, 2000).

Salah satu sasaran tercapainya penggunaan obat yang rasional adalah diperolehnya informasi tentang obat yang berkualitas dan memadai bagi pasien, sehingga pasien dapat memutuskan tindakan apa yang terbaik bagi dirinya. Saat ini pasien menyadari bahwa mereka mempunyai hak untuk mengambil keputusan atas kesehatan dirinya sehingga diperlukan informasi yang tepat diberikan kepada pasien dalam mengambil keputusan (Setiadji, 1996).

Pada kenyataannya, kebanyakan masyarakat mendapatkan informasi tentang penggunaan obat bebas hanya dari keluarga, pelayan toko atau warung maupun dari iklan. Selain itu, masyarakat biasanya cenderung melakukan percobaan terhadap obat yang belum pernah dipakainya. Ditambah lagi banyak pasien yang tidak menghargai atau merasa tidak perlu mendapatkan bantuan dokter atau apoteker dalam memilih obat tanpa resep (Schwartz dan Isetts, 2000). Hal tersebut diatas menyebabkan terjadinya penggunasalahan obat yang berdampak negatif bagi pasien (Donatus, 1997).

Apoteker adalah profesi yang berada di garis depan dalam sistem pelayanan kesehatan yang diwajibkan untuk membantu pasien dalam memilih alternatif yang dibutuhkan untuk mengatasi kondisinya (Anonim, 1990). Apoteker dapat menyarankan salah satu dari tiga alternatif pilihan berikut ini kepada pasien untuk mengatasi penyakitnya berdasarkan kondisi pasien pada saat itu:

1. memberikan saran non-farmakoterapi pada pasien jika memang dinilai tidak membutuhkan obat.

2. menyarankan swamedikasi kepada pasien dengan penyakit ringan yang membutuhkan obat.

3. merujuk pasien pada profesional kesehatan lain seperti dokter atau petugas laboratorium jika memang pasien membutuhkannya (Schwartz dan Isetts, 2000).

Institusi penting dalam pelayanan pengaturan obat kepada masyarakat adalah apotek. Apotek merupakan tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat, pelayanan atas resep dokter, pelayanan informasi obat dan pengembangan obat (Widodo, 2004).

Apotek memberikan pelayanan khusus bagi konsumen, antara lain kesempatan berkonsultasi dengan apoteker untuk mendapatkan informasi perlu tidaknya seseorang memeriksakan penyakitnya ke dokter atau cukup hanya dengan menggunakan obat tanpa resep, obat wajib apotek atau bahkan tanpa obat.

22

Pelayanan informasi obat yang dibutuhkan oleh konsumen antara lain mengenai indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis dan aturan pakai, peringatan penggunaan obat, harga obat serta informasi mengenai pilihan obat yang tepat bagi konsumen. Apotek juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk berkonsultasi apabila ada keluhan atau efek yang timbul setelah pengggunaan obat tertentu (Widodo, 2004).

Dokumen terkait