• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: PENGALAMAN KARMEL AWALI DAN PENGALAMAN

A. KARMEL AWALI

4. Semangat Hidup

Dengan berpegang teguh pada tradisi dan semangat kenabian Elia, para karmelit awali memaknai hidup mereka sebagai panggilan untuk persatuan dengan Allah dan pelayanan bagi sesama baik secara individu maupun komunitas. Maka dari itu ada beberapa pokok yang perlu mendapat sorotan khusus dari para karmelit ini.

a. Ketaatan Kepada Pemimpin

Regula menekankan akan pentingnya ketaatan terhadap pemimpin, dan memandang pemimpin sebagai perwakilan Kristus di dunia “dan kamu saudara-saudara yang lainya, hormatilah Priormu dengan rendah hati dan lebih memikirkan Kristus yang mengangkat dia menjadi atasanmu daripada orang itu sendiri”. Pedoman mereka dalam hal ini adalah sabda Kristus sendiri “barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku” (Regula psl. 18). Ketaatan ini membantu mereka melepaskan diri dari kecendrungan manusiawi akan kehendak pribadi mereka yang cendrung egois. Dengan taat kepada pemimpin mereka terbebaskan dari kesombongan dan dosa-dosa yang lainnya.

b. Persaudaraan

Sebagai suatu persekutuan hidup para kamelit menjalani hidup mereka dalam suasana persaudaraan. Rasa persaudaraan mereka tunjukan dalam pola hidup bersama dengan seorang pemimpin yang mereka harus hormati dan taati sebagaimana mereka taat kepada Kristus yang memanggil mereka. Penghormatan dan ketaatan terhadap pemimpin ini menjadi kewajiban bagi semua anggota (Regula psl. 18). Selain itu dalam relasi kepada sesama mereka sungguh-sungguh berpedoman pada kehendak Kristus yaitu hidup dalam kasih persaudaraan yang tulus dan saling membangun sebagaimana tertuang dalam Regula yang mengatakan “...hendaknya diperbaiki dengan penuh kasih sayang pelanggaran dan kesalahan para saudara...” (psl 11). Lebih dari itu mereka juga memandang bahwa segala sesuatu yang dipunyainya adalah milik bersama (Regula psl 1, 9). Dengan adanya kesadaran bahwa tidak ada hak milik pribadi, mereka dihindarkan dari kebanggaan jasmaniah berkaitan dengan barang-barang dan iri hati yang merusak hidup komunitas mereka. Selain itu mereka juga senasib sepenanggungan dalam kekurangan dan kelebihan. Mereka meneladani hidup Kristus yang sederhana dan miskin, Kristus yang tidak mempunyai tempat untuk meletakan kepalaNya, Kristus yang solider dengan orang-orang miskin dan sederhana. Inilah persaudaraan yang ditunjukkan oleh komunitas pertapa di Gunung Karmel.

c. Keheningan

Keheningan menjadi keharusan yang mutlak bagi para pertapa di gunung karmel. Baik keheningan fisik dengan mengurangi kecenderungan bicara, maupun

keheningan batin dengan melepaskan diri dari segala macam kekuatiran akan perkara duniawi. Keheningan bagi mereka merupakan jalan menuju persatuan dengan Allah. Dalam keheningan mereka dapat merasakan kehadiran Allah, mendengarkan bisikan-Nya yang halus dan lembut sebagaimana yang dialami oleh sang Nabi yang menjadi panutan mereka. Allah hadir dalam kelembutan dan keheningan bukan dalam pengalaman yang menggetarkan, yang dasyat. Nabi Elia mengalami kehadiran Allah dalam angin sepoi-sepoi basah, bukan dalam pengalaman yang spektakuler seperti gempa bumi yang dasyat, guntur dan kilat yang menyambar-nyambar, bukan pula dalam api yang menyalah-nyala ( 1 Raj 19:11-13). Untuk sampai pada pengalaman akan Allah yang hidup yang dialami dalam keheningan maka aturan hidup sangat penting untuk dihayati. Dari selesai ibadat sore sampai sesudah ibadat pagi keesokan harinya, mereka harus tinggal dalam keheningan. Bukan hanya itu, pada waktu lain juga dianjurkan untuk tidak banyak bicara (Regula psl. 16).

Para pertapa ini hidup “mengikuti teladan Elia”, sebagimana dikatakan dalam aturan hidup mereka “hendaknya ia menjaga baik-baik jalannya kebersamaan dengan sang nabi” (Regula psl. 16). Elia merupakan sosok orang suci dan pencinta kesunyian (Phang, 2012: 31) yang harus mereka teladani. Dalam suasana keheningan tersebut mereka berjuang dengan sekuat tenaga untuk menaklukkan diri mereka sendiri dari berbagai keinginan hawa nafsu duniawi yang dapat mengacaukan cita-cita luhur mereka yaitu persatuan dengan Allah.

Oleh karenanya mereka melewati keheningan tersebut dalam situasi batin yang tetap terjaga dalam doa. Siang dan malam mereka tengelam dalam doa dan kontemplasi serta merenungkan setiap firman Tuhan. Dalam hening tersebutlah

mereka dapat merasakan kehadiran Allah yang sungguh indah. Dalam keheningan, para karmel awali terbebas dari segala gangguan yang dapat mengganggu doa dan kontemplasi mereka. Dalam keheningan dan kesunyian itulah mereka boleh mengalami kehadiran yang mengatasi segala pengertian, yang memenuhi hati mereka dengan damai dan sukacita serta kebahagiaan yang mendalam. Dalam kehenigan itu pulalah mereka boleh mendengarkan bisikan-bisikan Roh yang tidak dapat diungkapkan dalam bahasa manusia” (Team P.Karm dan CSE, 2000: 7). Keheningan adalah guru yang mengajar untuk mendengarkan Firman Allah karena dalam keheningan suara-suara yang bukan dari Allah terhalau (Phang, 2012: 45). Keheningan menjadi kunci orang dapat mengalami pengalaman akan Allah. Dalam keheningan Allah mengajarkan kepada orang-orang yang dikasihi-Nya segala kebijaksanaan yang belum pernah terpikirkan oleh manusia, membimbing umat-Nya mendalami misteri cinta-Nya yang melampaui segala pengetahuan.

d. Kitab Suci dan Ekaristi

Kitab suci mejadi pedoman utama mereka. Setiap hari mereka lewati dengan bertekun merenungkan firman Tuhan. Dalam kitab suci mereka menemukan apa yang dikehendaki Allah bagi mereka, mengerti rencana-rencana Allah bagi hidup manusia, dan menyelami misteri cinta Allah yang tidak terhingga. Kita suci menjadi santapan rohani mereka setiap hari. Begitu pentingnya Kitab Suci, sehingga pada saat makan pun sambil mendengarkan bacaan Kitab suci (Regula psl. 4). Mereka melewati hari hari dengan tekun mengusahakan persatuan dengan Allah sumber dan keselamatan mereka dengan

cara merenungkan hukum-Nya dan berkanjang dalam doa siang dan malam. Sebagaimana ditegaskan dalam pedoman hidup mereka “...hendaknya masing -masing anggota tinggal di biliknya atau di dekatnya sambil merenungkan hukum tuhan siang dan malam serta berjaga-jaga dalam doa...” (Regula psl. 7). Firman Allah bagi mereka bukan hanya pedoman hidup yang utama, melainkan juga merupakan senjata yang ampuh untuk melawan serangan dan godaan setan. Penghayatan hidup yang berlandaskan sepenuhnya pada sabda Tuhan menjadi tuntunan sekaligus tuntutan bagi mereka “hendaknya pedang Roh yaitu firman Allah tinggal secara berlimpah dalam mulut dan hatimu serta segala sesuatu yang harus dilakukan, lakukanlah itu dalam sabda Tuhan” (Regula psl. 14).

Dokumen terkait