• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semantik

Dalam dokumen Oleh : Khilda Nahri Hayati NIM (Halaman 46-51)

BAB II KAJIAN TEORI

5. Semantik

a. Hakikat Semantik

Semantik berasal dari bahasa Yunani „semainein‟, yang artinya bermakna atau

berarti. Kata bendanya adalah „sema‟, yang berarti tanda atau lambang. Sedangkan kata

kerjanya adalah „semaino‟, yang berarti menandai atau memaknai. Para pakar linguistik mendefinisikan kata semantik berbeda-beda, namun pada dasarnya inti uraiannya tersebut adalah sama. Verhaar (2001 : 13) mengartikan semantik sebagai cabang linguistik yang membahas arti atau makna. Aminuddin (2001 : 15) mengatakan bahwa semantik mengandung pengertian studi tentang makna. Lalu Parera (2004 : 42) mendefinisikannya sebagai studi dan analisis tentang makna-makna linguistik. Darmojuwono (2005 : 114) mengatakan bahwa semantik bagian dari bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Makna tanda bahasa adalah kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya. Sejalan dengan ini, Drosdowski via Sunarto (1983 : 1149) mendefinisikan bahwa “Semantik ist Teilgebiet der Linguistik, das sich

den Bedeutungen sprachlicher Zeichen und Zeichenfolgen befaßt”. Ini berarti bahwa

semantik merupakan cabang linguistik yang mengurus makna tanda dan petunjuk tanda suatu bahasa. Dan Götz dkk (1997 : 877) mengatakan bahwa “semantik ist die Lehre

von der Bedeutung der Wörter und Sätze”. Artinya bahwa semantik adalah ilmu makna

kata-kata dan kalimat-kalimat.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan cabang linguistik yang mempelajari makna kata, kalimat, tanda dan petunjuk tanda suatu bahasa.

b. Makna dan Jenisnya

Makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Jika tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata/ leksem, maka makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Jika tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem baik morfem dasar maupun afiks. Berikut beberapa jenis makna yang dikemukakan Chaer (2012 : 289-292) :

1) Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem, meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal „sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai‟; pensil bermakna leksikal „sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang‟ dan air bermakna leksikal ´sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari´. Dengan contoh itu dapat dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna sebenarnya.

Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Contohnya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal

´mengenakan atau memakai baju´; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ´mengendarai kuda´; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal ´melakukan rekreasi´.

Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Misalnya dalam kalimat berikut:

(87) Tiga kali empat berapa?

Apabila kalimat (87) dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu pelajaran matematika berlangsung, tentu akan dijawab dua belas. Kalau dijawab lain, maka jawaban itu pasti salah. Namun, apabila pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang foto di tokonya atau di tempat kerjanya, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab dua ribu, atau mungkin juga jawaban lain. Pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran tiga kali empat centimeter.

2) Makna Referensial dan Non Refensial

Sebuah kata atau leksem bermakna referensial, kalau ada referensnya atau acuannya. Kata-kata kuda, merah dan gambar adalah kata-kata yang bermakna referensial, karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan,

atau dan karena adalah kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu

tidak mempunyai referens. Misalnya kata saya dan dengan pada kalimat berikut : (88) Tadi pagi saya bertemu dengan Pak Ahmad, kata Ani kepada Ali.

Pada kalimat (88) di atas, kata saya mengacu kepada Ani, sedangkan kata dengan tidak ada acuannya dalam dunia nyata.

3) Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Misalnya, kata babi bermakna denotatif „sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya‟.

Sedangkan makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif, yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata babi dari contoh di atas, pada orang yang beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai konotasi negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu.

4) Makna Konseptual dan Asosiatif

Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Misalnya, kata kuda memiliki makna konseptual „sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai‟ dan kata rumah memiliki makna konseptual ´bangunan tempat tinggal manusia´. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.

Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa, misalnya kata merah berasosiasi dengan ´berani´ atau juga ´paham komunis´ dan kata buaya berasosiasi dengan ´jahat´ atau juga ´kejahatan´. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri

yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Jadi, kata merah yang bermakna konseptual sejenis warna terang menyolok digunakan untuk perlambang ´keberanian´ atau di dunia politik untuk melambangkan ´paham atau golongan komunis´. Dan kata

buaya yang bermakna konseptual ´sejenis binatang reptil buas yang memakan binatang

apa saja termasuk bangkai´ digunakan untuk melambangkan ´kejahatan´ atau ´penjahat´. 5) Makna Kata dan Istilah

Setiap kata memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, denotatif, atau konseptual. Namun, dalam penggunaannya, makna kata baru menjadi jelas, kalau kata itu berada di dalam konteks kalimatnya atau situasinya. Misalnya dalam kalimat berikut:

(89) Tangannya luka kena pecahan kaca. (90) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Dalam kalimat (89) dan (90) kata lengan dan tangan sebagai kata, makna lazim dianggap sama atau bersinonim. Berbeda dengan kata, maka yang di sebut „istilah‟ mempunyai makna jelas, walau tanpa konteks kalimat. Sebuah „istilah‟ hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Misalnya seperti kalimat (89) dan (90), kata tangan dan lengan, kedua kata tersebut sebagai istilah dalam bidang kedokteran tidak bersinonim karena mempunyai makna berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan samapai ke pangkal bahu. Dalam bahasa umum, dua kata tersebut bersinonim.

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ´diramalkan´ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Misalnya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ´yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya´, tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ´tertawa keras-keras´. Jadi, makna yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal.

Peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri dari makna unsur-unsurnya, karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa, misalnya peribahasa Tong kosong bunyinya nyaring, yang bermakna ´orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu´, makna ini memiliki „asosiasi‟, bahwa tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras, yang nyaring.

Dalam dokumen Oleh : Khilda Nahri Hayati NIM (Halaman 46-51)

Dokumen terkait