• Tidak ada hasil yang ditemukan

I.7.2. Perbedaan Persepsi Tentang Hak Penguasaan Tanah di Sumatera Timur

I.7.2.1. Sengketa Pertanahan

Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie).

Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara. Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap, mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat dengan

hak ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak sewa dengan menerima konsensi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah. Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilisator dan penjaga hukum serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. kepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda yaitu menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap peluang untuk memperluas pengaruh politiknya di tanah melayu yang dianggap mengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menanbah pemasukan bagi devisa negara.

Keterlibatan Pemerintah Belanda dalam aktivitas yang dilakukan oleh para pengusaha perkebunan swasta memaksa kalangan petinggi Belanda baik di Den Haag maupun Batavia untuk memikirkan suatu hukum khusus yang mengatur persoalan agraria dan diberlakukan di seluruh hindia belanda. Setelah melalui perdebatan dan penelitian yang panjang, maka pada tahun 1870 dikeluarkannya UU Agraria atau Agrarische Wet

1870. Dengan bertumpu pada dasar hukum ini, pemerintah Belanda mempermudah

penerapan kebijakan dalam kaitannya dengan hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein).

Hukum dasar ini tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh pemerintah jajahan Belanda sampai akhir masa kekuasaannya, dan masih digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan tanpa mengalami banyak perubahan masa awal kemerdekaan tanpa mengalami banyak perubahan yang berarti. Sebagai akibatnya, berbagai bentuk sengketa tanah yang muncul di Sumatera Utara menunjukkan pola yang hampir sama meskipun dengan pelaku peran (occupant role) yang berbeda.

Bila di masa kolonial, sengketa muncul diantara pengusaha onderneming dengan rakyat saja, maka pada masa kekuasaan Repbulik Indonesia di awal kemerdekaannya persoalan diperparah lagi dengan munculnya partai-partai politik ini memanfaatkan konflik sengketa tanah di Sumatera Utara tersebut untuk mendapatkan dukungan dan pengaruh dari rakyat serta menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan nasional mereka.

Pemerintah Indonesia segera memberikan perhatian serius pada persoalan sengketa tanah yang selalu kembali muncul ini. Dengan mengadakan penelitian lewat sebuah tim khusus dibentuk untuk itu, pemerintah mulai menyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa menggantikan Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini, negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskan berbagai macam bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya sertifikat oleh lembaga hukum yang berwewenang.

UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertahanan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasai oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”36

Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakiki oleh seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak . Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA.

36

itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara.

Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilisator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat. Disamping itu penggusuran masyarakat diatas tanah sengketa baik oleh pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi. (tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada rakyat dinilai tidak layak). Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat. Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan tuntutan penanaman pangan mereka.

Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada perusahaan perkebunan. Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat. Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi menjadi hak erfacht. Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan, di perkebunan yang berakhir masa berlakunya

dimodifikasi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Dalam tiga periode tersebut sengketa pertahanan masih berlangsungnya diantara pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat penggarap. Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-perantara yang mejadi kaki tangan perusahaan perkebunan sejak zaman kolonial.

Dalam praktek, penyelesaian masalah pertanahan itu ada yang diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah membebaskan areal perkebunan yang telah dikuasai penggarap dengan mengeluarkannya dari Hak Guna Usaha atau terhadap Hak Guna Usaha yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian lahan tersebut dibagi-bagi oleh panitia kepada masyarakat bahkan sengketa tanah antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat ini.

Khusus di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan yang paling besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian derasnya, dimana-mana, diwilayah Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani.

Disamping itu juga, pengusaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alasan hak sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian, pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan potensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka mengganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun37

Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh kita ajukan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang

.

Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat.

37

peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957 tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dll.

Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-masing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia.

Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan. Di samping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan38

Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan diatas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu: di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakai tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu

.

38

jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.

Dokumen terkait