• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN IV : TEKS CERITA HIKAYAT KETAPEL AWANG BUNGSU

HIKAYAT KETAPEL AWANG BUNGSU 1.MERANTAU

2. SENJATA KETAPEL BERMATA

Hari masih pagi. Sang surya bersinar terang cahayanya. Dari kejauhan kelihatan kemerah-merahan di balik dedaunan sepanjang tepian sungai Batang Serapuh. Awang Bungsu yang menginap di pondok Kolok sedang asyik mandi pagi di sungai. Ia bersama teman-temannya di kampung sering mandi-mandi bersama- sama. Mereka berenang-renang bergembira, sambil berkecipak air yang jernih dan sejuk. Tatkala mereka sedang asyik mandi, bermunculan orang-orang kampung hendak turun ke sungai. Ada ibu-ibu yang hendak mencuci, tetapi ada juga yang sekedar ingin berenang-renang mandi pagi.

“Hai ...., ada buaya!:”, seru Atan salah seorang anak laki-laki di antara mereka.

“Mana sahabat, buayanya!” sahut Awang Bungsu sambil mendekati temannya itu.

“Buayanya sudah kucampakkan ke hilir”, ucap Atan anak yang suka membuat lelucon itu. Sering

membuat teman-temannya geli.

“Oh, Atan. Pandai benar engkau menggoda kawann. Semua orang terkejut mendengar katamu itu”,

demikian sela diantara mereka.

Atan adalah di antara anak dusun kecil tepian sungai itu. Ia paling suka berbuat lucu. Sehingga teman-temannya menjuluki si Badut. Karena seringnya membuat teman-temannya geli karena tingkahnya.

Sementara ibu-ibu meneruskan pekerjaan masing-masing. Mereka ada yang terus mencuci. Tetapi ada juga yang menjunjung air dalam peryan untuk dibawa pulang. Air itu digunakan untuk persediaan air menum atau menanak nasi. Awang Bungsu naik ke darat berganti pakaian. Lalu melangkah pulang ke rumah Kolok.

“Aduh...., airnya sejuk sekali, paman!”, ucap Awang Bungsu pada Kolok.

“Memang demikian adanya, duduklah, kita makan pagi!. Pagi ini di Balai Bandar Serapuh ada acara

pemilihan pengawal baru. Datuk Syahperi hendak memilih pengawal-pengawal baru yang lebih tangguh. Sebab menurut kabar, di Balairung akhir-akhir ini sering terjadi kerusuhan. Ada beberapa orang pengawal

“Ya, paman!. Awang juga mendengar dari mulut ke mulut tatkala hamba sedang mandi di sungai

tadi. Di antara orang-orang di tepian sana ada yang membicarakan acara itu. Konon kabarnya di Balai sedan

dilanda kerusuhan yang perlu diselesaikan”, sahut Awang Bungsu sambil duduk bersila di tikar bambu.

Sementara istri Kolok membawa makanan dari dapur. Lalu diletakkan di atas tikar yang disediakan.

“Makan apa adanya, nak Awang. Beginilah kami tinggal di kampung. Segalanya sederhana”, kata

istri Kolok sambil mempersilahkan mereka sarapan.

“Sudah cukup lezat, makcik!. Tidak ada kekurangan sesuatu apa”, jawab Awang Bungsu sambil menyuap nasi.

“Kalau berkenan, mari nanti sama-sama turut melihat acara pemilihan pengawal itu, nak Awang”,

ajak Kolok kepada Awang Bungsu yang sedang makan pagi dengan lahapnya.

“Baiklah paman, kalau keadaan mengizinkan. Selainnya lagi Awang memang belum pernah

menyaksikan acara di Balairung yang megah semacam itu”, sahut Awang Bungsu menanggapi ajakan Kolok. “Benar, memang sangat meriah dan mendebarkan hati. Nak Awang Bungsu bolhe mengikuti kalau menghendaki”, kata Kolok menjelaskan.

“Paman, malulah rasanya!. Hamba ini apalah, hanya seorang perantau. Mana mungkin

diperkenankan oleh Datuk. Lagipula hamba anak miskin, bahkan yatim piatu”. Ucap Awang Bungsu

menanggapi ajakan pamannya.

“Jangan begitu nak Awang!. Kemenangan bukan memandang kaya atau miskin, besar atau kecil dan

lati tua atau anak-anak. Tetapi nasib dan keberuntungan yang menentukan”, sahut Kolok bersemangat.

“Kalau paman mengizinkan hamba hendak mencobanya. Tetapi kalau tidak mendapatkan

kemenangan jangan ditertawakan. Hamba bukanlah anak kampung setempat. Lagi pula hamba masih anak- anak. Sedang lawannya orang-orang dewasa bertubuh gempal pula”, kata Awang merendah diri.

“Belum tentu nak Awang!. Kemenangan bukan terletak pada tubuh semata-mata. Tetapi kearifan merupakan kunci keberhasilan seseorang”, ucap Kolok seolah-olah membesarkan hati Awang Bungsu.

Usai makan pagi Kolok dan Awang Bungsu meninggalkan rumah. Mereka berjalan kaki menuju ke arah istana Bandar Serapuh. Di sana orang-orang sudah ramai. Berdatanganlah orang-orang kampung di sekitar istana itu. Mereka baik laki-laki maupun perempuan, semuanya ingin menyaksikan calon pengawal pilihan.

Semua peserta sudah berkumpul termasuk Awang Bungsu. Ia peserta yang paling muda usianya. Bahkan terlihat masih anak-anak. Tetapi semua orang belum tahu rahasia kemampuannya. Karena Awang Bungsu memiliki ketapel sakti. Setiap dibawa ke medan laga tidak pernah ,engecewakan. Sebab konon ketapelnya memiliki mata yang bisa membedakan mana yang musuh dan kawan. Ketapel yang di masa dulu digunakan oleh kakeknya di kala pergi ke laut. Senjata ketapel bermata itulah yang membuat bajak laut takut kena sasaran.

Waktu yang dinanti-nanti tiba. Seluruh peserta diharpakan masuk ke Balai. Ternyata keadaan di Balai terlihat porak poranda. Seluruh dayang-dayang merasa ketakutan. Mereka menggigil cemas kalau-kalau mendapat serangan dari Bauduri dan kawan-kawannya. Ia dan komplotannya sering membuat kerusuhan dan onar di Balairung. Sehingga sering membuat porak-poranda dalam Balai yang indah itu.

Tatkala peserta mulai masuk ruangan khusus, Datuk Syahperi kelihatan berusaha melarikan diri. Ia dikejar anak buah Baiduri yang sedang mabuk-mabuk karena terlalu banyak minum alkohol. Bahkan penjahat-penjahat juga berusaha menarik tangan Datuk. Melihat keadaan yang membahayakan itu semua peserta siap siaga. Mereka hendak menangkap penjahat-penjahat yang keterlaluan itu.

Dengan gerakan cepat, Awang Bungsu melompat ke atas bubungan Balai. Sedang peserta lainnya tidak sempat menghindar dari amukan para pemabuk itu. Bahkan diantaranya ada yang kena tinju Bauduri. Mereka lantas pergi meninggalkan Balai.

Dari puncak bubungan Awang Bungsu memperingatkan kepada Bauduri dan komplotannya. Mereka sedang mengejar Datuk Syahperi.

“Hai ...., Bauduri!. Dengarkan kataku. Jangan gangu Datuk!. Hentikan tindakanmu yang jahat itu. Kalian terlalu gegabah dan cerohoh. Pemimpin yang berbudi kalian perlakukan kasar. Ayo, hentikan tindakanmu yang kurang pantas itu. Bila kalian tidak mau mendengarkan cakapku akan ku ketapel

kepalamu”, kata awang Bungsu dari atas bubungan.

“Jangan berteriak anak ingusan!. Turunlah nanti kulemparkan kau ke sungai sana. Hai ..., pengikut- pengikutku!. Kita tidak perlu takut pada anak sebesar kelingking jari itu. Senjatanya Cuma ketapel. Sedang kelompok kita lebih banyak. Kalau kita kalah memang malu benar. Apalagi lawan kita cuma anak kecil”, seru Bauduri kepada anak buahnya.

Sementara itu Bauduri dan pengikutnya kelihatan semakin beringas. Seolah-olah akan bertindak lebih ganas lagi.

“Hai ..., anak kecil!. Jangan hanya menggerantang di puncak bubungan saja. Ayo turun kita

bertanding di bawah. Aku dan pengikutku tidak takut senjatamu yang hanya ketapel itu”, demikian suara

langtang Bauduri. Giginya menyeringai seolah-olah hendak menggigit Awang.

“Tahukah kalian. Aku bukan mencari musuh. Tetapi akupun bukan mencari imbang”, sahut Awang

Bungsu dari bubungan.

Mendengar kata-kata Awang Bungsu yang demikian Bauduri dan pengikut-pengikutnya mulai menyerang. Mereka kelihatan bertindak lebih kasar lagi. Apa saja yang kelihatan di dalam Balai ditendangi dan disepak-sepak. Gemuruhlah suara dalam Balai. Di sana-sini terjadi perkelahian yang dahsyat.

Pengikut-pengikut Bauduri serentak menyerang seperti badai menyerbu. Tetapi serangan itu tidak menjadikan Awang Bungsu mundur selangkah. Ia selalu memperhatikan gerak-gerik penjahat-penjahat itu. Lalu datanglah serangan kedua, ketiga dan menjadikan Balairung Bandar Serapuh yang semula tertib itu menjadi kacau balau. Semua dayang-dayang ketakutan. Sedang Datuk Syahperi bersama isterinya berhasil menyembunyikan diri.

Melihat keadaan yang semakin membahayakan, Awang Bungsu lalu merogoh sakunya. Ia mengambil beberapa biji batu kecil sebagai anak ketapelnya. Ia terpaksa mulai bereaksi.

“Cis ..., cis.., cisss...!" suara anak ketapel melenting bagaikan kilat menyambar. Satu per satu batuu- batu anak ketapel itu mngenai kepala penjahat. Bahkan Bauduri sendiri menronta kesakitan. Kepalanya berdarah karena terluka kena anak ketapel. Ia lalu lari terbirit-birit ke luar Balai. Ia menghilang entah kemana. Mungkin saja Bauduri lari menyembunyikan diri ke dalam rimba. Sedang pengikut-pengikutnya

tidak mampu menahan sakit. Merkea satu per satu menyerah kalah. Mereka tidak sanggup lagi bertahan. Semua akhirnya tunduk dan berjanji tiak berlaku jaht lagi. Semua penjahat itu sudah mengakui kekalahannya dan mengakui pula ketangguhan Awang Bungsu. Mereka akhirnya takluk dan akan ke jalan yang benar.

Dengan kekalahan Bauduri dan pengikut-pengikutnya, kadaan di Balairung Bandar Serapuh mulai aman. Datuk syahperi berharap agar Awang Bungsu bersedia tinggal di kediamannya.

“Oi..., Awang Bungsu!. Berkat pertolonganmu Balai kini menjadi aman kembali. Untuk imbalan

terima kasihku engkau hendaknya tinggal di Balai bersama pengawal yang lain. Aku sangat membutuhkan tenagamu Tenaga dan akan yang bisa memadamkan segala kerusuhan. Sebab sudah berulanbg kali aku mencari orang-orng yang bisal mengalahkan penjahat-penjahat itu. Tetapi tidak satupun yang bisa mengalahkannya. Baru engaulah yang bisa mengalahkan, walaupun engkau masih anak-anak”, kata Datuk Syahperi kepada Awang Bungsu.

“Ampun Datuk, mohon ampun!, hamba tidak terbiasa tinggal di Balairung seperti ini. Hamba selama

ini hanya anak dusun dari keluarga miskin. Karena itu hamba ingin tinggal bersama paman Kolok di dusun saja. Di sana bisa membantu paman Kolok ke sawah atau ke ladang. Bahkan sekali-sekali pergi ke laut mencari ikan. Di dusun hamba bisa leluasa bergaul dan bergotong-royong dengan penduduk di sana. Bukankah hamba masih anak-anak. Masih ada tugas belajar menuntut ilmu. Dan berusaha mengejar cita-cita

untuk menyongsong hari esok”, demikian sahut Awang Bungsu.

“Oh ..., begitu cita-citamu anak manis!. Bagus, bagus engkau benar-benar anak berbudi. Cita-citamu tinggi dan mulia. Baiklah aku mendukungmu. Kalau engkau ingin menuntut ilmu lebih dahulu di desa, baiklah. Itu keinginan yang sangat bagus. Semua biaya pendidikanmu aku tanggung. Engkau kujadikan anak asuh. Karena itu belajarlah dengan sungguh-sungguh. Hanya dengan belajarlah semua dapat dimiliki. Ilmu itulah yang kelak dapat engkau buktikan kepada nusa dan bangsa. Hanya saja aku pinta, karena tenagamu aku manfaatkan. Sewaktu-waktu aku memerlukan tenagamu, engkau akan kupanggil ke kota. Bantulah demi kedamaian negeri kita. Selamat belajar anak manis. Semoga engkau kelak berhasil”, kata Datuk Syahperi memberi nasehat.

Semua oang tercengang. Kiranya awang Bungsu bukan anak sembarangan. Kiranya Ia anak yang rendah hati. Ia lebih senang belajar lebih dahulu tetimbang secepatnya menerima tawaran pangkat tinggi. Tuanku Sayhperi selaku penguasa menyadari keadaan itu. Sudah sepantasnya harus belajar lebih dahulu. Terutama belajar membaca sangatlah penting. Dengan gemar membaca seseorang akan lebih cerdas dan mampu berbuat.

“Biarlah dia belajar dulu secara leluasa. Siapa tahu kelak dapat dipetik hasilnya. Belajar adalah penting bagi anak-anak”, demikian pendapat Datuk Syahperi selaku pempinan yang bijaksana.

Di rumah Kolok Awang Bungsu tidak segan-segan turut pergi ke sawah atau ladang. Ia turut bekerja di bawah terik matahari dengan cucuran keringat. Mereka berusaha memtik jerih payahnya sendiri. Kehidupan di desa belajar dan bekerja merupakan pengalaman yang sangat berharga.

Dokumen terkait