• Tidak ada hasil yang ditemukan

survive 1

University of California, Davis, CA 95616 tkbradshaw@ucdavis.edu, August 2005 )

Dari lima jenis kemiskinan yang ada dalam teori tersebut di atas terdapat temuan di dalam Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang, sebagai berikut:

Kemiskinan Budaya(Cultural Poverty)

Seorang aktor sebut saja namanya Om M argono. Beliau berasal dari daerah pinggiran Kali Semarang yang ditertibkan. Pria lanjut usia ini hidup sebatang kara. Penertiban kawasan bantaran Kali Semarang mengharuskan dirinya mencari tempat untuk bisa berteduh. Ia menumpang pada tempat tinggal M as Joko pekerja serabutan yang sering membantu merangkai bunga pada kios bunga milik tetangganya.

Om Gon hari itu jam 9 lebih baru bangun, dan segera menggelar dagangannya di kaki lima di depan kios bunga tetangganya. Nampak sekilas fakta itu membenarkan pernyataan bahwa ia miskin karena ia malas bekerja. Simpulan itu keliru bila kita hanya menggunakan”one shot time” untuk kasus ini. Trianggulasi sumber dilakukan dengan data yang dieroleh dari tetangganya.

“…Tadi malam, ketika saya nglilir sekitar setengah dua, saya

tengok di rumah itu,beliau masih kresak-kresek menyiapkan

barang dagangannya” (W awancara dengan M as Rudi, Februari 2011).

Hari itu adalah Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine's Day) atau disebut juga Hari Kasih Sayang, pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya. Lokasi berdagangnya tidak jauh dari sebuah SM P yang sebagian besar siswanya dari kalangan menengah ke atas.

Om Gon melakukan langkah Adaptive strategy, Adaptasi terhadap hakekat bio-sosial manusia. Sesungguhnya ia seorang pekerja keras, bukan pemalas. Ia tahu kebutuhan pasar. Untaian bunga di

tangan akan laris terjual hari itu. Anak sekolah akan istirahat, pada sekitar jam 09.15 akan mencari untaian bunga di tangan untuk saling diberikan kepada teman yang disayanginya pada hari valentine, hari kasih sayang itu.

Sumber: Data Primer Tahun 2011

Gambar 6.8

Pedagang Bunga di Kalisari M enata Barang Dagangannya

Kemiskinan Absolut(Absolut-poverty)

Pak Parto seorang pekerja serabutan tinggal di kawasan RT 10. Tanah dan sawah warisan di daerah asal di pinggiran Kabupaten Demak berbatasan dengan Kota Semarang panenannya tidak lagi mencukupi, selain karena luas lahan bagiannya turun-temurun sema-kin sempit. Daya dukung lahan (Carrying Capacity)-nya rendah. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, san-dang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan se-bagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Penghasilan Pak Parto sekitar Rp 10.000,- per hari, kurang dari satu dollar US per hari.

Pak Parto berada dalam Powerlessness traps. Kondisi tidak berdaya (powerlessness). Kondisi seperti itu adalah perangkap kemiskinan. M odal Komunitas yang rendah. Pada mulanya ia bertempat tinggal di sembarang tempat (gelandangan). W alaupun

menggelandang ia tidak meminta-minta (mengemis). Ia memulung plastik dan kertas karton bekas untuk dijual ke pengepul di pinggiran jalan Demak-Semarang. Akibat penertiban di daerah Taman Srigunting, ia menempati sela-sela patok kuburan, di M akam Gunung Brintik, yang tentunya membutuhkan ketabahan terhadap kemalangan atau kesengsaraan (adversity) yang dideritanya. Pekerjaan serabutan-nya saat itu antara lain membantu membersihkan makam. Ia termasuk orang yang tidak memperoleh BLT karena tidak punya KTP saat itu. Seperti diketahui bahwa KTP memiliki berbagai kegunaan untuk berbagai keperluan.

Untuk survive, kemampuan beradaptasi, kemampuan menyesuikan diri (Adaptive Capacity) dilakukan. Adaptasi terhadap hakekat bio-sosial manusia di M akam Gunung Brintik. Untuk memper-oleh KTP, Nama Pak Parto numpang pada daftar KK (Kartu Keluarga) penduduk yang telah terdaftar, sehingga bisa jadi tempat tinggal Pak Parto berada di wilayah RT 10, tetapi KTP-nya beralamat di RT 9.

Sumber : Data Primer 2010

Gambar 6.9

Adaptasi terhadap hakekat bio-sosial manusia di Makam Gunung Brintik

Kemiskinan struktural (Structural poverty)

Kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem

politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Sebut saja namanya Bu Narso. Suaminya seorang preman pekerja serabutan telah meninggal setahun yang lalu. Anak pupon-nya telah menikah. Ibunya seorang janda yang memiliki “lahan kapling pemakaman”, telah pensiun dari pekerjaan serabutannya (dapat dari Pemda Kota Semarang). Pekerjaan utama Bu Narso adalah bakul blanjan. Setiap hari selalu bangun saat subuh, lalu berangkat ke pasar kulakan berjalan kaki. Pulangnya naik becak membawa belanjan bila ada pesanan. Bila tidak ada pesanan cukup digendongnya berjalan kaki sambil sesekali berhenti bila ada pembeli. Sesampai di Gunung Brintik, Kampung W onosari belanjaan dagangan itu dimasukkan gerobag. Sepulang dari berjualan, bekerja sebagaimana biasanya, menyapu makam, membantu para pengunjung makam di sore hari. Pada hari tertentu seperti Selasa Pon atau Jumat Kliwon pekerjaan menemani membersihkan makam para tamu yang leluhurnya dimakam di kaplingnya menjadi sangat sibuk. Umumnya para pengunjung makam yang pulang memberikan “salam tempel”.

Kakak tertuanya, mas DP adalah seorang W akil Kepala Sekolah Swasta ternama di Kota Semarang. M as DP punya rumah di kawasan elite di daerah Candi. Semasa kecil, M as DP rajin belajar. Sepulang sekolah di sela-sela menyapu makam, dia sering membaca buku, atau mengerjakan PR. M as DP tamatan IKIP Semarang, dan pernah menjadi Dan M enwa di kampusnya. M as DP baru saja meninggal.

Adaptive strategy. Adaptasi terhadap lingkungan eksternal, fisik dan manusiawi telah dilakukan oleh Bu Narso bersaudara.

Sumber : Data Primer 2010

Gambar 6.10

Pekerja Serabutan

Petugas kebersihan berteduh di atas becak yang sedang diparkir di halaman sekolah YPL Semarang.

Siklus Kemiskinan (The Cycle Of Poverty)

Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah konsep pem-bangunan yang ingin menyelaraskan antara aktivitas ekonomi dan ke-tersediaan sumber daya alam (natural resources). Konsep pembangunan dikaitkan dengan pembangunan ekonomi (sustainable economic development) yang merujuk pada tingkat interaksi yang optimal antara sistem sosial dan ekosistem utamanya biologi, ekonomi dan sosial.

Pengalaman dewasa ini menunjukkan bahwa manusialah, dan bukan alam yang merupakan sumber daya utama. Semua faktor utama pembangunan lahir dari akal budi manusia. Tiba-tiba saja timbul gagasan yang berani, penemuan dan kegiatan membangun, bukan hanya dalam satu bidang saja tetapi di berbagai bidang sekaligus. Tak ada orang yang dapat mengatakan bagaimana asal semua ini, tetapi dapat kita lihat bagaimana akal budi itu dipelihara, bahkan dipertajam lewat berbagai jenis sekolah, atau dengan kata lain lewat pendidikan (Schumacher, E.F., 1987: 76).

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di dalam Komunitas

M akam Gunung Brintik Semarang. Seseorang berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, mengentaskan sendiri dirinya dari kemis-kinan yang dideritanya. Orang-orang miskin itu memiliki sejumlah keterbatasan. Orang miskin memiliki keterbatasan modal, keterbatasan pendapatan, dan keterbatasan ketrampilan.

Lingkaran kemiskinan dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber: M artinussen, John. 1997: 299

Gambar 6.11

Skema Poverty and Social Development

M ereka ini berada pada semacam sebuah lingkaran setan. Tidak berpendidikan, produktivitas rendah, akibatnya pendapatan rendah, miskin, kekuatan atau kemampuan daya beli kecil, kurang gizi, tempat tinggal di bawah standard kesehatan, lalu tidak sehat, akibatnya tidak sekolah dan tidak berpendidikan.

Sebuah kisah seorang putri bernama sebut saja M bak Yanti menikah di usia muda. Ia tamatan SD yang sejak kecil meminta-minta (pengemis anak-anak), kadang terlihat menjual koran. Orang tuanya bekerja serabutan. Orang miskin, melahirkan anak miskin. Dia tinggal di antara batu nisan bersama suaminya yang pengamen, atau kadang-kadang membantu berjualan di kios bunga, atau buruh seadanya istilahnya serabutan. Ia dapat bertahan hidup dengan melakukan adaptasi terhadap kondisi kehidupan kolektif di situ.

Sumber : Data Primer Tahun 2010

Gambar 6.12

Balita, Anak Sekolah, dan Ibu M uda

Tataran Disiplin I lmu: Sosiologi Lingkungan

Pada tataran disiplin ilmu, dapat dikemukakan sosiologi lingkungan merupakan akumulasi, perpaduan disiplin ilmu dalam uraian studi pembangunan dari sudut pandang paralel disiplin. Pada tataran teori dapat dikemukakan pasangan ecosystem – social system dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6.13

Dokumen terkait