• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEORANG LELAK

Dalam dokumen ASTANA KASTAWA Antologi Karya Leluhur Sa (Halaman 62-68)

sedikit berhemat akan tidak terasa benar kekurangan uang be- lanja untuk bulan depan. Kemudian aku gamit tangannya dengan hati-hati: “Mari kita makan sama-sama,” kataku.

“Makan?” ia ragu sebentar. Tetapi terus saja kugeret tangan- nya sehingga ia terpaksa mengikut.

“Kita makan sama-sama. Aku punya langganan makan yang murah,” kataku lagi.

Kemudian kami berjalan ke selatan menyusur jalan termegah dirinya dalam rangka untuk menyambut peringatan kemerde- kaan. Kulihat lelaki di sampingku ini sempat juga memperhatikan kesibukan-kesibukan yang terjadi di jalanan. Ia berjalan dengan menunduk, seolah sedang berpikir masalah yang rumit. “Kenapa kau?” tanyaku.

“Aku tidak tahu Tuan,” katanya. “Kota ini telah jadi mono- ton. Semua terlalu patuh pada atasan. Pagar-pagar semua dicat putih, pohon-pohon asem yang rindang telah ditebang. Seolah itulah cara kita untuk menghargai kemerdekaan.”

“Soalnya kita sekarang lebih denang jadi kambing penurut daripada mempunyai kreasi sendiri.”

“Itulah kesalahan kita,” katanya pasti.

Kemudian kami berdiam diri hingga masuk ke warung lang- gananku. Aku pesan dua porsi sate dan segelas susu. Lelaki ka- wanku memesan segelas es teh yang dingin. “Tuan baik sekali,” katanya dengan lembut.

“Sebetulnya saya tidak usah terlalu sengsara macam begini Tuan. Soalnya ini adalah masalah kehormatan. Jika saja saya mau kawin dengan gadis itu, tidak usah saya tadi minta uang lima perak untuk membeli ketela. Tetapi kehormatanlah yang memaksa saya untuk menolak ajakannya buat kawin. Tuan tahu, jika seorang lelaki minta hidup pada pihak wanita saya kira pribadi saya akan bersalah karena telah merendahkan derajat kelaki-lakian saya sendiri. Tidak begitu murah harga seorang lelaki. Bukankah demikian Tuan? Atau mungkin tuan justru akan

.

berpikir sebaliknya?” lelaki itu kemudian diam. Saya juga diam memperhatikan omongannya. Beberapa aku tidak setuju, tapi kukira bukankah hal yang bijaksana jika harus memperdebatkan kesakinan masing-masing selagi waktu akan kita jelang? “Saya mahasiswa Sosial Politik, Tuan. Beberapa waktu yang lalu ayah seorang yang paling kaya di Lampung. Beberapa unit penggi- lingan beras mengangkat ayah ke derajat yang paling tinggi di daerah Lampung. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang?”

Ketika makanan yang kami pesan telah diantarkan, kugamit tangannya. Aku makan dan lelaki itu makan dengan tergesa seolah kelaparan yang baru saja diderita akan dilenyapkan dalam sekejap.

“Sobat—”

Ia menoleh. Sendoknya pelan-pelan diletakkan di piring dan ia memandangku dengan mata tanya. “Mungkin sebuah kehor- matan bagiku jika Anda mau menceritakan perempuan itu.”

“Perempuan?”

“Perempuan yang minta kawin dengan Anda,” kataku lagi. “Oh, aku khawatir Tuan akan jatuh cinta kepadanya,” kemu- dian ia tertawa lirih dan aku tersenyum. “Soalnya ia terlalu can- tik. Baiklah. Apa yang harus disembunyikan bagi seorang saha- bat seperti Tuan. Bukankah demikian? Ia seorang gadis yang cantik sekali. Pada pandanganku tidak ada gadis lain secantik dia. Cantik dan kaya. Itulah sebabnya banyak kawan-kawanku yang iri. Kau beruntung; kata kawanku. Beruntung; jawabku waktu itu. Nah, Tuan bisa membayangkan, aku anak seorang kaya pula. Tetapi setelah ayahku terlibat dalam sebuah pembe- rontakan komunis maka ayah dibunuh dan harta kami habis dirampok mereka. Dan kami menjadi teramat miskin sekarang. Dan aku merasa amat tersinggung ketika ayah gadisku menyuruh kawin dan akan terus membiayai studiku. Nah, bagaimana me- nurut Tuan? Mungkin sisa kesombonganku sebagai anak seorang kaya masih bersarang dalam hati, sehingga hal itu sangat me- nyinggung kehirmatan diriku. Bagaimana?”

Aku terdiam. Kemudian pelan-pelan melanjutkan makannya. Agak pelan sekarang. Kemudian dahinya berkerut, sebuah pi- kiran yang rumit mungkin sedang meliput otaknya. Ia diam amat tenang. Dan aku memesan makanan untuknya kembali. “Sebe- tulnya sudah terlalu cukup Tuan,” katanya.

“Aku baru punya uang. Kita pesta kecil sekarang.” Kataku gembira. Ia tersenyum dan aku tertawa. “Menarik sekali kisah- mu,” kataku lagi.

“Ya. Mungkin menarik bagi Tuan, tetapi sangat rawan ba- giku.”

“Aku juga bisa merasakan penderitaanmu. Sebagai sesama mahasiswa toh kita harus saling ikut merasakan kepedihan yang dirasakan oleh yang lain,” kataku merentet. Aku tidak senang sebetulnya jika dikira terlalu egois dalam menghayati kehidupan. Itulah sebabnya simpatiku betul-betul mulai tercurah padanya. Makin pelan-pelan aku menghabiskan makan sate. Dan lelaki kawanku terus terangan sejak mula-mula tadilah yang menye- babkan aku harus jatuh hati padanya.

“Itulah sebabnya aku berkata Tuan terlalu baik.”

“Tuan benar. Hidup ini memang penuh dengan basa-basi.” “Tuan lihat sendiri negara ini juga dalam rangka basa-basi saja menyambut tahun kemerdekaannya. Bagaimana kita akan menjadikan kemerdekaan dengan tulus jika kemerdekaan itu sendiri membawa ketidakbebasan yang baru. Tuan lihat orang- orang itu mengeluh ketika mereka harus mengecat pagar-pagar rumahnya, sementara anaknya sendiri masih menangis kela- paran. Demi kemerdekaan kita yang agung, kata mereka. Kukira menjaga prestise mereka.”

“Mungkin ada benarnya,” kataku.

“Tentu saja. Tuan seorang mahasiswa, jadi harus kritis.” “Ya. Kita sama-sama mahasiswa. Aku di ekonomi, Anda sospol.”

.

“Sebuah basa-basi yang tepat,” jawabku tertawa.

“Benar. Tuan mahasiswa lantas saya mogok,” katanya lagi. “Tuan tingkat berapa sekarang?”

“B satu.”

“Saya doktoral satu.”

“Kenapa tidak Tuan lanjutkan?”

“Faktor biaya yang seret,” jawabnya kecut. “Kawin saja sama itu tadi,” kataku. Ia tertawa.

“Masalah kehormatan dan harga diri mahasiswa, Tuan.” “Kukira terlalu berlebihan.”

“Kurasa tidak.”

Kemudian dengan pelan kukecup bibir gelas susu yang masih utuh. Lelaki doktoral itu juga diam menghabiskan porsinya yang kedua. Selanjutnya dengan teramat sopan ia meraih gelas es tehnya dan meminumnya sedikit.

“Aku ingat masa lalu. Beginilah jika aku harus minum di hadapan seorang kekasih. Tentu saja tidak di sini Tuan. Paling tidak di restoran ujung jalan itu.”

“Dengan perempuan itu?”

Ia mengangguk, “Itu dulu ketika ayah masih jaya.”

“Juga tua,” sambungku menebak. Ia memandang wajahku lurus-lurus, kemudian pelan-pelan lelaki itu menunduk. Sedikit terasa ada percakapan yang tidak mengenakkan hatinya. Tiba- tiba aku menjadi merasa menyesal mengucapkan kata-kata yang terlanjur tadi itu. Kulihat lelaki itu tunduk sambil menghirup esnya. “Maaf,” kataku pelan. Ia mengangkat wajahnya dan dengan nada keseriusan yang tidak meragukan ia mencoba meyakinkan aku. “Percayalah Tuan, selama di sini saya tidak senang dengan segala macam urusan partai. Itulah sebabnya saya selamat sampai sekarang meski hidupku seperti yang telah Tuan lihat,” ia menunduk.

Dengan hati-hati kuperhatikan gelas di depannya yang ham- pir habis, kemudian gelasku sendiri yang hampir kosong.

“Percayalah aku tidak sengaja menyakitkan hati anda.” “Aku tahu itu, Tuan terlalu baik,” katanya murung.

“Jangan sedih. Kita telah bersahabat, Anda sahabatku dan aku sahabat Anda. Namaku Indra,” kujabat tangannya hati-hati. Ia bangkit dan menjabat tanganku. “Terima kasih atas kebaikan Tuan, aku Nadar. Maaf saya harus pergi.”

Aku terlonjak. “Begitu cepat?”

“Cari makan buat nanti sore. Sampai jumpa Tuan!”

Dan cepat ia keluar dari warung dan sebentar telah hilang di tikungan jalan. Aku bangkit membayar rekening.

“Kawan Tuan?” tanya pemilik warung itu dengan kerut dahinya. Aku mengangguk tersenyum. “Kasihan dia, mahasiswa yang sengsara. Tolong menolong adalah sifat yang baik,” kataku senang. Kemudian aku tertawa kecil ketika penjual itu lebih mengerutkan keningnya. “Mahasiswa? Kemarin ia telah berani membawa dua pelacur untuk pesta di warung ini. Baru dua minggu sejak ia diusir dari sini karena tingkahnya. Mungkin sekarang ia sedang di gedung bioskop itu untuk menyusun kem- bali anakbuahnya yang baru saja disergap polisi. Memang raja copet sungguhan dia.” Dengan geram pemilik warung itu membersihkan sisa-sisa makanan kami.

Aku tersenyum. Dengan pelan kuteliti isi saku bajuku. Masih utuh.

Yogyakarta, Agustus 1970.

Lahir dengan nama Catur Nugroho di Ngampilan, Yogya- karta 1969, lantas hijrah dan tinggal menetap di Condong Catur, Sleman, DIY. Ia menyukai kegiatan menulis sejak memiliki buku harian di tahun 1982 meski buku harian itu kemudian hilang entah ke mana.

Catur Stanis, penulis dan dramawan Yogyakarta ini selain dikenal gemar berteater juga menulis puisi, cerpen, esai budaya, dan naskah drama. Karya-karyanya pernah dimuat di sejumlah media cetak, seperti, Minggu Pagi, Koran Merapi, Solo Pos, sejumlah jurnal, dan blog pribadi serta komunitas di internet. Beberapa karya puisinya termuat dalam antologi bersama penyair lain seperti Membaca Sastra Mengolah Rasa (Tembi Rumah Budaya, Maret 2012), Suara-Suara yang Terpinggirkan (Kelompok Studi Sastra Bianglala, Mei 2012), Satu Kata Istimewa (Penerbit Ombak, September 2012), Di Pangkuan Yogya (Ernawati Literary Foundations, Februari 2013). Kumpulan cerpen miliknya berjudul

Masdab (2014). Catur Stanis meninggal pada 9 April 2015.

Dalam dokumen ASTANA KASTAWA Antologi Karya Leluhur Sa (Halaman 62-68)

Dokumen terkait