• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sepenggal Kisah Bersama Ibaruri Aidit Oleh: Budi Kurniawan

Dalam dokumen KUMPULAN KISAH-KISAH TOKOH G30SPKI (Halaman 56-83)

"Bung datang ya. Ada pertemuan keluarga. Ibaruri datang dari Prancis." Begitulah sebuah undangan Ilham Aidit kepada saya, beberapa pekan silam. Agak kaget juga menerima undangan semacam itu. Betapa tidak, di antara sekian banyak anggota keluarga besar Dipa Nusantara (DN) Aidit yang selamat dan berhasil mempertahankan hidup pascatragedi 30 September 1965, saya menduga hanya saya orang luar yang diundang dalam pertemuan itu.

Minggu siang yang benderang di sebuah pinggiran situ di kawasan Ciputat, Tangerang, Propinsi Banten, dugaan itu terbukti. Begitu tiba, Ilham Aidit, putra DN Aidit langsung

menyambangi dan menjabat erat tangan yang saya ulurkan. Duduk lesehan saya melihat ada Murad Aidit (adik DN Aidit) bersama beberapa anak dan cucunya, beberapa sepupu dan ponakan Ilham pun hadir. Ada sekitar 50 orang yang hadir ketika itu. Beberapa saudara jauh DN Aidit yang datang dari Pulau Belitung pun terlihat hadir.

Setelah dikenalkan pada beberapa orang yang belum pernah saya temui, Ilham membimbing saya menemui seorang perempuan berkulit bersih, berambut pendek, mengenakan kemeja putih, berwajah bundar dan bertubuh tak terlalu tinggi. "Ibaruri," begitu ia mengenalkan dirinya.

Baru beberapa hari Iba, begitu ia biasa disapa, tiba di Jakarta. Sudah berpuluh-puluh tahun Iba tinggal di Prancis bersama suami dan keluarganya. Di Prancis pula Sobron Aidit, pamannya dan puluhan kaum eksil lainnya tinggal setelah mereka pergi dari Cina yang sebelumnya sempat menampung mereka.

Kedatangan Iba ke Jakarta ini rupanya dimanfaatkan keluarga besar Aidit untuk berkumpul, bercengkrama dan saling bercerita. Saya menyaksikan pertemuan itu berlangsung hangat dan

57

bersahaja. Mereka tak banyak bicara politik. Kalau pun ada, hanya sekelebat. Murad misalnya, bercerita ia sedang menulis buku berjudul DN Aidit Pemimpin PKI Legendaris dan sedang sibuk bersama teman-temannya eks Tahanan Politik (Tapol) dan kaum kiri lainnya yang diganyang Orde Baru (Orba) melakukan gugatan kepada lima presiden di sebuah pengadilan di Jakarta Pusat. Seorang kerabat DN Aidit dari Belitung menceritakan pengalaman saudaranya yang kesulitan pulang kampung, karena tak ada angkutan dan karena bantuan DN Aidit ia bisa mendapatkan angkutan kapal gratis.

Keluarga besar Aidit itu juga menyantap beberapa makanan yang dihidangkan dalam

pertemuan. Mereka juga berfoto bersama. Kala sore menjelang, pertemuan keluarga besar Aidit itu pun usai.

***

Bagi banyak orang, pertemuan keluarga seperti yang dilakukan keluarga besar Aidit itu bukan hal yang istimewa. Semua orang bisa berkumpul, di mana dan kapan saja, tanpa tembok penghalang apa pun. Namun tak demikian halnya dengan keluarga Aidit. Stigma dan tudingan Orba yang berlangsung berpuluh-puluh tahun membuat mereka menjadi keluarga yang

dianggap paling ‗berbahaya‘.

Posisi DN Aidit sebagai ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (PKI) lah yang menjadi penyebab utamanya. Maka ketika Tragedi 30 September 1965 pecah, DN Aidit dan semua yang berhubungan dengannya menjadi sasaran paling utama yang diincar penguasa baru. Seperti yang ditulis dalam teks sejarah versi Orba, DN Aidit dikabarkan tewas ditembak tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Hingga kini jenazah dan kuburan ayah lima anak yang ketika di tanah kelahirannya, Belitung, dikenal sebagai anak yang taat beribadah dan khatam Alquran berkali-kali itu tak pernah diketahui rimbanya.

Anggota keluarga DN Aidit sebagian ditangkap rezim Orba dan dijebloskan bersama tahanan lainnya ke Pulau Buru. Namun sebagian lainnya yang kebetulan berada di luar negeri, selamat. Melalui proses panjang dan berliku, mereka berhasil bertahan hidup di negeri orang hingga kini. Dua putri DN Aidit, Iba dan Ilya, kini bermukim di Prancis. Satu putranya, Iwan Hignasto

Legowo, kini bermukim di Kanada. Dua adik DN Aidit, Sobron dan Asahan Aidit (kini mengganti namanya menjadi Asahan Alham -kependekan dari lafal Alhamdulillah) kini tinggal di Belanda dan Prancis.

58

Bersama mereka juga ada ratusan orang Indonesia dengan latar belakang profesi yang

beragam --ada dokter, sastrawan, insinyur dan mahasiswa yang dikirim rezim Soekarno belajar ke luar negeri-- tertahan di luar negeri dan tak bisa lagi pulang ke Indonesia. Mereka kehilangan seluruh haknya, termasuk status kewarganegaraan. Dengan terpaksa mereka kemudian

menjadi warga negara di tempat pelarian.

Keadaan yang muram itu berlangsung berpuluh-puluh tahun, hingga pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, tiba sebuah titik terang. Gus Dur mengembangkan wacana

pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang keberadaan Marxisme- Leninisme. Gus Dur yang sejak lama dikenal sebagai sosok yang humanis dan bisa diterima di berbagai kalangan itu, mengutus Menteri Hukum dan Perundang-undagan (Menkumdang) Yusril Ihza Mahendra ke luar negeri menemui orang-orang Indonesia yang telah kehilangan hak dan kewarganegaraannya itu.

Dalam sebuah pertemuan di Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, Belanda, ratusan orang Indonesia yang tidak bisa lagi pulang ke Indonesia berdatangan dari seluruh Eropa bertemu Yusril. Beberapa orang terharu dan menangis dalam pertemuan itu.

Tapi pertemuan itu akhirnya tak menghasilkan apa-apa. Yusril yang kemudian berselisih dengan Gus Dur, mengundurkan diri dari jabatan menteri. Pemerintahan Gus Dur dijatuhkan parlemen melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 21 Juli 2001. Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjadi wakil presiden, menggantikan Gus Dur sebagai presiden. Dalam rentang kekuasaannya, Mega tak banyak berbuat untuk kaum eksil ini. Lalu nasib kaum eksil ini pun tak berubah hingga kini. Mereka tetap tak bisa pulang dan menjadi WNI seperti yang diidamkan. "Kami memang bisa datang, tapi tak bisa pulang," kata Sobron Aidit kepada saya beberapa waktu silam.

***

Presiden datang dan pergi silih berganti. Tapi tak ada yang merespon dan mengambil kebijakan konstruktif untuk menyelesaikan nasib korban politik di masa silam. Langkah DPR dan

pemerintah yang melahirkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan masalah politik di masa silam pun, tak banyak bergaung. Korban politik pun tak berani berharap banyak dengan kehadiran KKR ini. Mereka juga relatif kecewa dengan hakikat rekonsiliasi yang

59 diinginkan pemerintah.

Dalam sebuah pertemuan dengan Ilham Aidit, saya menangkap kekecewaan itu. Dalam benak korban politik itu, yang dimaksud rekonsiliasi adalah hadirnya sebuah permintaan maaf dari mereka yang bersalah dan kemudian ada ganjaran hukuman. Karena sesungguhnya pelaku dalam tindakan politik itu jelas sosoknya. Yang tak jelas adalah hukumannya. Nah, persepsi soal itulah yang hingga kini sepertinya masih belum selaras.

Namun demikian pada lapisan atas, antara anak-anak korban dan anak-anak pelaku dan orang- orang yang berseberangan lainnya, rekonsiliasi terlihat tak jadi masalah. Paling tidak secara fisik. "Yang jadi soal adalah pada lapisan bawah," kata Ilham kepada saya.

Ilham sempat berharap besar pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dalam sebuah pertemuan dengan SBY sebelum menjadi presiden, Ilham sempat berbicara banyak soal rekonsiliasi itu. Sayangnya setelah menjabat presiden, SBY masih juga belum mengambil langkah konstruktif untuk menyembuhkan luka sejarah dan politik yang berlangsung lebih dari 34 tahun itu.

Sudah lama sebenarnya nama Ibaruri ada dalam ingatan saya. Melalui pamannya, Sobron Aidit, saya mengenal sedikit sosoknya. Iba adalah anak pertama pasangan DN Aidit-dr Tanti. Jauh sebelum Tragedi 30 September 1965 terjadi, Iba dan Ilya disekolahkan DN Aidit ke luar negeri (Moskow, Rusia). Ketika itu ada semacam naluri politik dalam diri DN Aidit untuk

menyekolahkan anak-anak perempuannya ke luar negeri sehingga jika ada gejolak politik yang membahayakan, mereka bisa menyelamatkan diri. Sementara yang laki-laki seluruhnya

bersekolah dan berada di Indonesia.

Iba dan Ilya sebenarnya sukses meraih gelar sarjana di Eropa Timur. Tapi gelar itu menjadi tak bermakna apa-apa ketika mereka kemudian ‗pindah‘ dan terpaksa berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu negeri ke negeri yang lain. Di Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya, gelar itu tak diakui.

Namun seperti kebanyakan korban politik lainnya, Iba tetap tegar. Berbekal berbagai bahasa yang ia kuasai, hingga kini Iba --juga keluarga Aidit lainnya-- mampu bertahan hidup. Iba

60

memang agak menyesal juga karena tak bisa menjadi WNI. Tapi semua itu rupanya tak menghilangkan kecintaannya pada negeri ini. Ia juga tak menghiba-hiba untuk mendapatkan status kewarganegaraan itu.

Tak seperti pamannya Sobron Aidit, Iba termasuk jarang datang ke Indonesia. Namun kala datang, ia benar-benar memanfaatkan waktunya. Pada April dan Mei ini ia, misalnya, menemui keluarganya yang lain di Bandung, Jakarta dan Pulau Belitung, tanah kelahiran sang ayah, DN Aidit.

Dalam pertemuan dengan saya, Iba tak banyak bicara. Menurut Ilham, kakaknya itu masih menyangsikan situasi politik di Indonesia, sehingga ia lebih banyak memilih diam. Kediaman, yang saya kira, hanya bisa disembuhkan dengan langkah pemerintah yang lebih konstruktif untuk menyelesaikan dan menyembuhkan luka sejarah dan luka politik masa silam dan memberikan kepastian hukum di masa kini dan masa datang.

61

Van Der Plas Connection

Drama berdarah 1 Oktober G30S, Konspirasi: Van der Plas Connection (CIA-MI 6), Dr.Soebandrio - Sam Kamaruszaman - Aidit - Soeharto

Pengantar: Van der Plas Connection adalah jaringan riil yang canggih, hanya anggota-anggota inti tertentu yang sadar akan keberadaannya sebagai anggota jaringan, lainnya adalah oknum- oknum oportunis tanpa sadar, sekedar sebagai alat saja.

(1). Penculikan Dan Pembunuhan

Pada tanggal 1 Oktober 1965, terjadi gerakan militer yg menamakan diri G30S, menculik dan membunuh 7 orang Jendral dan seorang lolos Jend. Nasution karena keliru dengan Let.

Tendean. Para jendral tersebut adalah anggauta Tim Pengusut MBAD yang ditugasi mengusut - kriminalitas terorganisasi -yang terjadi di Jawa Tengah dalam penggal kedua tahun 50-an .Mereka adalah Mayjen.Soeprapto ketua Tim dan anggauta Mayjen S.Parman, Majen.Harjono MT., Brigjen.Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen Pandjaitan dan yang diluar Tim, Letjen A.Yani Menpangad.

Drama berdarah subuh tgl. 1 Oktober 1965 yang traumatik, membuka jaringan mega konspirasi yang menelan korban rakyat besar sekali, komunis maupun non komunis dalam abad ini di Indonesia karena adanya interaksi konflik internal dengan kekuatan-kekuatan besar eksternal.

(2). Dewan Revolusi

Disusul kemudian dengan pembentukan Dewan Revolusi yang diketuai oleh Letkol Untung, dengan anggauta baik sipil maupun militer, a.l. tokoh yang menonjol ialah Dr.Soebandrio, Waperdam I (Wakil Perdana Menteri), orang kedua sesudah Bung Karno, Mayjen Amir Mahmud, Pang Kodam Jaya, Brigjen Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Kalimantan Barat.

Apabila diikuti dengan cermat peristiwanya , ternyata yang mengeluarkan pernyataan

mendukung Dewan Revolusi secara spontan dan vokal waktu itu, hanyalah Utomo Ramelan, Walikota Solo, sedangkan dari CDB (Comite Daerah Besar) PKI tidak ada yang mengeluarkan pernyataan seperti itu. Ini bukan peristiwa yang kebetulan, tetapi jelas ada merekayasa dibalik

62 semua itu.

(3). Para Pelaku Utama

Para pelaku utama G 30 S adalah :

1. Letkol Untung, Komandan Batalion Pasukan Kawal Presiden Cakra Birawa. 2. Kol.Latief, Komandan Brigade Infantri Kodam Jaya

3. Brigjen Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Kalbar dalam rangka Ganyang Malaysia 4. Sam Kamaruszaman, Kepala Biro Khusus CC PKI.

Keempat pelaku utama tersebut berorientasi dan ada hubungan jaringan dengan PKI, sebagai suatu hasil binaan dan infiltrasi komunis kedalam AD.

(4). Hubungan Dekat Dengan Jend. Soeharto

Dengan Jendral Suharto keempat pelaku utama tsb. juga mempunyai hubungan erat sejak dulu :.

1. Letkol Untung - adalah mantan anak buah, sebagai komandan kompinya di Solo. Dia

dikawinkan oleh Suharto, dan merasa berhutang budi serta memandangnya sebagai orang tua sendiri yang dihormati dan dipatuhi, hubunganya baik dan erat.

2. Kol.Latief adalah mantan anak buah di Yogya yang sefaham dan sehaluan, berpangkat mayor. pada tanggal 30 September 1965, tengah malam sekitar jam 23.00, dia datang menemui Suharto di R.S. Gatot Subroto, setelah gagal menemuinya di rumah.

Pertemuan ini oleh Soeharto dinyatakan seolah-olah Latief akan membunuh diri Soeharto, padahal Latief datang ke Rumah Sakit itu, untuk menyampaikan berita penting tentang rencana pelaksanaan, G30S yang akan dimulai jam 04.00 tanggal 1 Oktober 1965, besok paginya.

Sebenarnya rencana gerakan militer tersebut, telah dibicarakan pada tanggal 28 September 1965 dirumah Soeharto, di Menteng, Jakarta hanya hari dan jam gerakan belum dibicarakan, masih perlu dikoordinasikan pada waktu itu dengan kesatuan lainya.

63

Latief bersama istri dan seorang perwira lain dari Solo bersama istri berkunjung kerumah kediaman Soeharto untuk menyamarkan maksud pertemuan yang sebenarnya, yaitu untuk membicarakan penyingkiran para jendral anggauta Tim Pengusut MBAD. Dengan hadirnya para istri justru kelihatan jelas betapa eratnya hubunngan mereka itu, sekaligus membantah pernyataan Soeharto, bahwa Latief datang ke Rumah Sakit itu akan membunuh diri Soeharto.

3. Brigjen Soepardjo - Panglima Komando Tempur II Kalimantan Barat, mantan ajudan jendral Roekman (komunis) Soepardjo adalah akrab dan sehaluan dengan Soeharto.

4. Sam Kamaruszaman,adalah kader PARTAI SOSIALIS di Pathuk Yogya, sewaktu PKI Murba dan PSI masih berada dalam satu wadah.partai tersebut. Sedangkan Soeharto juga menjadi salah seorang kader juga, keduanya adalah dari satu kandang, jadi bukan orang lain satu dengan yang lain.

Ditilik dari kapasitas dan otoritasnya,urut-urutan nama anggauta Dewan Revolusi tersebut. seharusnya dibalik, salah satu tanda jelas adanya konspirasi dan rekayasa gerakan tersebut.

(5). Kriminalitas terorganisasi

Dalam penggal kedua tahun 50-an, di Jawa Tengah berpusat di Semarang, terjadi - kejahatan terorganisasi - (organize crime) berupa penyelundupan besar-besaran,penggelapan barang- barang milik perusahaan negara, manipulasi dump kendaraan bermotor milik Divisi Diponegoro dan pungutan liar atas barang-barang kebutuhan rakyat. (Pungli terkenal tahun 70-an di Jawa Tengah sudah berjalan 20 tahun lebih dulu).

Para pelakunya terdiri dari oknum-oknum militer dan sipil,terorganisasi baik seperti galibnya organisasi GANGSTER. Pelaksana utamanya a.l. adalah Liem Siu Liong, Thee Kian Seng (Bob Hasan), Tik Liong (Sutikno - pedagang besi tua). Baru-baru ini bahkan Bob Hasan dengan bangga berceritera di depan wartawan.tentang hal tersebut .Sedangkan b i a n g dari kejahatan terorganisasi tersebut tidak lain adalah Kol.Soeharto, Panglima Divisi Diponegoro waktu itu..

64

Adanya kriminalitas terorganisasi tersebut akhirnya sampai ditangan Jendral Nasution Menteri Pertahanan / Ketua PARAN (Badan Pemberantasan Korupsi dan Kejahatan Aparat Negara). Atas laporan dari Kepala Staf Divisi Diponegoro Kol.Pranoto Reksosamodra dan Letkol. Soenarjo, komandan CPM Jawa Tengah yang mendeteksi dan mengamati kejahatan tersebut. (Letkol Sunaryo kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung Muda).

Jendral Nasution memerintahkan agar kejahataan tersebut diusut, yang dilakukan oleh Tim Pengusut MBAD, terdiri dari Majen Soeprapto deputi Pangad sebagai ketua, dengan anggauta Majen.S.Parman, Majen Harjono MT, Brigjen Soetojo dan Brigjen Panjaitan. Dengan teliti dan kerja keras, dengan didukung bukti-bukti yang sah akhirnya Tim berkesimpulan, bahwa

terhadap para pelaku, harus diambil tindakan. Pertama Kol.Soeharto yang menjadi b i a n g nya harus dipecat dari kedudukanya selaku Panglima Divisi Diponegoro, dan kedua mereka yang terlibat diajukan ke depan Pengadilan.

Keputusan yang diambil atasan adalah, memecat Kol.Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro, tetapi tidak diajukan kedepan pengadilan.Kol.Soeharto kemudian dipindah ke Jakarta tanpa jabatan. Sedang Tik Liong diusut oleh Kejaksaan Negri Semarang atas printah Jaksa Tinggi Jawa Tengah Mr.Imam Bardjo yang kemudian ternyata meninggal secara misterius.

(7). Sumpah Kolonel. Soeharto

Dengan pemecatan dirinya sebagai Panglima Divisi Diponegoro tersebut, Kolonel. Soeharto sangat marah dan dendam, bersumpah untuk membuat perhitungan dan akan menghabisi, mereka-mereka yang membuat dirinya celaka. Mereka itu tidak lain adalah para perwira anggauta Tim Pengusut MBAD, dan penanda tangan Surat Keputusan Pemecatan Panglima Divisi Diponegoro yang tidak lain adalah Panglima Tertinggi / Presiden Soekarno .

(8). Pembantaian Anggauta Tim Pengusut MBAD

Dengan terjadinya drama berdarah subuh 1 Oktober 1965, ternyata seluruh anggauta Tim Pengusut MBAD yaitu, Jendral-jendral Soeprapto, S.Parman, Harjono MT, Soetojo dan Panjaitan, dibantai habis, dengan tambahan Men Pangad Letnan Jendral A.Yani. Peristiwa

65

tersebut menggocangkan Indonesia.dengan hebat, suatu kondisi awal yang diperlukan untuk mengantar penggulingan Presiden Soekarno melalui G30S oleh Van der Plas connection.

(9). Supersemar

Drama berdarah 1 Oktober tersebut beberapa bulan kemudian disusul dengan pengepungan istana oleh pasukan gelap (tg. 11 Maret 1966-berdasar pengakuan sendiri yang disiarkan dipimpin oleh seorang perwira tinggi Kostrad), Presiden Soekarno waktu itu sedang memimpin Sidang Kabinet, mendapat laporan bahwa istana dikepung pasukan gelap, segera pimpinan sidang dialihkan kepada Waperdam III Dr.Leimena dan Presiden Soekarno kemudian segera meninggalkan istana dan terbang ke Bogor, diikuti oleh Soebandrio Sikap Bung Karno ini berbeda dengan tatkala menghadapi peristiwa 17 Oktober 1952 (waktu istana ditodong meriam yang beliau langsung menghadapinya sendiri).

Jendral Soeharto, mengetahui bahwa Presiden Soekarno ke Bogor, segera mengirim tiga orang perwira, yaitu Jendral Basuki Rachmat, Yusuf dan Amir Machmud untuk menusul ke Bogor dengan dibekali pesan untuk Presiden Soekarno. Pesannya adalah - apabila ingin terjamin keselamatan pribadi dan keluarganya serta jalannya pemerintahan, agar Presiden Soekarno memberikan mandat kepada jendral Soeharto untuk dapat mengambil tindakan yang perlu guna menyelenggarakan jaminan ketertiban dan keamanan tersebut .Jika tidak diberi mandat

tersebut, Jendral Soeharto tidak sanggup dan tidak bertanggung jawab jika terjadi kekalutan. dan kekacauan yang lebih besar-, meskipun sudah diangkat menjadi MenPangad.

Presiden Soekarno dihadapkan pada tuntutan demikian itu tidak dapat melihat celah lagi untuk menghindar dan sudah terperangkap, sehingga tidak ada jalan lain selain memberikan

Supersemar yang terkenal itu. Secara de facto Presiden Soekarno telah dilucuti kekuasaanya Memang jendral Soeharto berinterpretasi seperti itu, maka dengan Supersemar tersebut pada tanggal 12 Maret 1966 PKI dibubarkan. Adapun pertanggungan jawab Presiden Soekarno dengan Nawaksara di MPRS hanyalah peristiwa seremonial belaka.

Dengan dibantainya para jendral anggauta Tim Pengusut MBAD yang terdiri dari Majen Soeprapto, Majen Sparman, Majen Harjono MT, Brigjen Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen Panjaitan dan masih ditambah dengan Letjen AYani serta dilucutinya kekuasaan Presiden Soekarno, telah lengkap dan tuntas terlaksana, sumpah Kol.Soeharto yang diucapkan tahun

66 1957 .

Demikian pula dengan pembubaran PKI tanggal 12 Maret 1966, tugas pokok terakhir kolonel Soeharto yang dibebankan padanya oleh induk jaringanya (Van der Plas connection) yang merekrut dia telah dilaksanakanya dengan tuntas.

(10). Pemberontakan PRRI-Permesta

Amerika bersama sekutunya pada tahun 1958 meluncurkan sebuah projek pemberontakan, dengan tujuan menggulingkan Presiden Soekarno dan memecah Indonesia untuk dijadikan beberapa negara dan menghapuskan PKI. Mereka menarik pengalaman dari Cina, yang secara utuh sesudah jatuhnya Chiang Kai Sek, seluruh daratan Cina jatuh ditangan komunis kecuali Taiwan karena terhalang lautan dan kemudian disekat oleh Armada keVII Amerika dengan dalih pakta dengan Cina (Chiang Kai Sek).

Di Indonesia Sekutu mempunyai kepentingan langsung yaitu sumber minyak di Sumatra dan Kalimantan yang merupakan miliknya. Mereka meluncurkan projek pemberontakan tersebut secara gegabah dan arogan, karena merasa telah menjadi pemenang dalam Perang Dunia ke II

Dengan dibantu koordinasi yang dilakukan oleh agen utamanya (master agent) Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Sekutu menyalurkan dana dan senjata lewat Singapura untuk PRRI dan Permesta. Amerika dengan garang menodong Jakarta dengan Armada ke VII, minta jaminan keselamatan warganya dan perusahaan-perusahaan miliknya. Jika Republik Indonesia tidak sanggup maka mereka akan menggerakkan Armada ke VII yang sudah siap di laut Jawa.

(11). Kolonel A.Yani Juru Selamat

Dengan terjadinya pemberontakan PRRI-Permasta, proyek Amerika Inggris tersebut, Bung Karno sebagai pemimpin kenamaan dunia, sempat jatuh citra dan martabatnya sampai dititik terendah dimata dunia. Kemudian tampil Kolonel A.Yani dengan Operasi 17 Agustus untuk menumpas pemberontakan tersebut, dibawah ancaman Armada ke VII Amerika yang menang perang melawan Jepang di Pasifik. Bintang terang berada di fihak Yani. Dalam tiga hari berhasil direbut ibukota PRRI - Padang dan dalam waktu sekitar satu minggu seluruh PRRI berhasil

67 digulung.

Permesta juga mengalami nasib sama, dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat diselesaikan pula. Di Sulawesi malahan terjadi seorang penerbang berkebangsaan Amerika, Allen Pope, ditembak jatuh oleh My.Ud. Dewanto, ditawan dan diadili serta mendapatkan vonnis hukuman mati, karena dia telah mengebomi wilayah Republik Indonesia dan juga beberapa kapal Indonesia, sehingga menimbulkan kerusakan dan tewasnya rakyat yang tidak berdosa. Dia mengaku bahwa operasinya dilakukan dengan terbang dari Pangkalan Angkatan Udara Amerika di Clark Field, Fillipina

Dengan ditumpasnya pemberontakan projek Amerika - Inggris tersebut dalam waktu yang mengejutkan singkatnya, muka mereka tercoreng dimata dunia internasional dan terbuka kedoknya menyerang kedaulatan negara lain semaunya sendiri. Disamping itu Amerika terpaksa harus menjadi pengemis untuk memohon ampunan keselamatan jiwa Allen Pope, yang oleh Bung Karno dengan jiwa besar diluluskan.

Jika penumpasan berjalan agak lama dan pemerintahan-pemerintahan tandingan tersebut sempat membuat perjanjian dengan Amerika, maka Amerika dapat menggerakkan Armada keVII untuk mendarat di wilayah Indonesia. Sikap yang garang dan arogan Sekutu tersebut

Dalam dokumen KUMPULAN KISAH-KISAH TOKOH G30SPKI (Halaman 56-83)