• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Serangga Penyerbuk dalam Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan (Halaman 41-50)

Pembentukan Kapsul

Intensitas pembungaan di dataran rendah Subang lebih rendah daripada di dataran tinggi Lembang. Tanaman yang berbunga rata-rata berkisar 60 - 70 % pada setiap plot perlakuan dan rata-rata jumlah umbel per tanaman adalah 1.06 umbel, sedangkan rata-rata jumlah bunga per umbel yaitu 87.79 bunga/umbel. Seperti di dataran tinggi, perbedaan jenis serangga penyerbuk menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel (Tabel 23).

Tabel 23. Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Jumlah bunga per

umbel

Jumlah kapsul bernas per umbel

Pembentukan kapsul per umbel (%) Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilla sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata 86.4 a 88.4 a 87.7 a 88.9 a 87.6 a 87.8 37.3 abc 59.1 a 12.8 c 23.3 bc 37.7 ab 43.83 ab 66.77 a 14.30 b 26.40 b 37.54 ab KK (%) 7.22 17.26 17.53*

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%;*transformasi √(x+1)

A. cerana menghasilkan jumlah kapsul bernas per umbel tertinggi, disusul

per umbel, sebanyak 59.1 bunga (66.77%) berkembang menjadi kapsul bernas oleh bantuan A.cerana (Tabel 23). Apis mellifera menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang tidak berbeda nyata dengan penyerbukan terbuka. Lalat hijau Lucilia sp. ternyata menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang rendah (26.40%) diikuti oleh Trigona sp. (14.3%).

Serangga yang membantu penyerbukan secara terbuka adalah lebah besar berwarna hitam sebagaimana ditemukan di dataran tinggi dan merupakan serangga yang aktif mengunjungi bunga bawang dengan perilaku berkelibang menyerupai A. cerana. Selain lebah besar, yang datang mengunjungi bunga bawang di dataran rendah adalah lalat kecil bukan lalat hijau. Populasi kedua serangga tersebut sangat terbatas, tidak sebanyak di dataran tinggi. Suhu udara yang lebih tinggi diduga mempengaruhi perilaku berkelibang serangga penyerbuk di dataran rendah.

Produksi TSS

A. cerana menghasilkan jumlah TSS per umbel dan bobot TSS per umbel yang paling tinggi diantara serangga penyerbuk yang lain, berturut-turut sebesar 124.7 butir/umbel dan 0.453g/umbel. Persentase TSS bernas per umbel tidak berbeda antara serangga penyerbuk, berkisar antara 72.64-87.04 %, sehingga produksi TSS lebih ditentukan oleh persentase pembentukan kapsul dan jumlah TSS per umbel. (Tabel 24).

Efektivitas A. cerana diikuti oleh A. mellifera yang menghasilkan benih bernas sebanyak 85.4 butir/umbel dengan bobot 0.303 g, yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan penyerbukan terbuka dengan hasil benih bernas sebanyak 90.3 butir/umbel seberat 0.303 g (Tabel 24). Lalat hijau Lucilia sp menghasilkan jumlah dan bobot TSS per umbel yang rendah, yaitu 40.3 butir/umbel dengan bobot 0.143 g. Hasil tersebut cenderung tidak berbeda nyata dengan Trigona sp. yang mempunyai jumlah dan bobot TSS sangat rendah yaitu 20.3 butir/umbel dengan bobot 0.077 g yang menunjukkan bahwa Trigona sp tidak efektif dalam penyerbukan bunga bawang merah.

Tabel 24. Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang

Perlakuan Jumlah TSS per umbel

Persentase TSS bernas per umbel

(%) Bobot TSS per umbel (g) Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata 85.4 ab 124.7 a 20.3 c 40.3 bc 90.3 ab 81.54 a 87.04 a 72.64 a 77.93 a 80.84 a 80.00 0.303 ab 0.453 a 0.077 c 0.143 bc 0.303 ab KK (%) 19.13 8.93 29.16

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%

Jumlah umbel yang dipanen tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 25), namun ada kecenderungan jumlah umbel yang dipanen pada A. cerana, Lucilia

sp. dan penyerbukan terbuka lebih tinggi daripada A.mellifera dan Trigona sp.

Banyaknya jumlah umbel yang dipanen dapat mempengaruhi bobot TSS per plot. Bobot TSS total per plot tertinggi dihasilkan dari perlakuan A. cerana dan dapat meningkatkan produksi TSS per tanaman sebesar 61.3% daripada penyerbukan terbuka (Tabel 25 dan Gambar 14). Bobot TSS per plot dari perlakuan penyerbukan terbuka lebih tinggi daripada A.mellifera maupun Lucilia sp. dan

Trigona sp. menghasilkan bobot TSS per plot terendah, sebesar 0.957g.

Tingginya bobot benih yang dihasilkan dari penyerbukan terbuka diduga karena peran lebah besar yang efektif dalam membantu penyerbukan walaupun populasinya rendah. Kondisi yang serupa dilaporkan Parker (1982) bahwa umbel bawang bombay yang dikunjungi oleh lebah soliter seperti Halictus farinosus menghasilkan benih yang lebih banyak daripada lebah madu terutama ketika penyerbuk tersebut banyak, karena benih yang gugur pada umbel yang diserbuki lebah tersebut lebih sedikit. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan populasi lebah besar yang soliter tersebut diduga dapat meningkatkan produksi TSS.

Tabel 25. Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Bobot TSS per

tanaman (g)

Bobot TSS per plot (g/60 tanaman)

Jumlah umbel dipanen per plot

Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata 0.323 b 0.503 a 0.077 d 0.143 cd 0.313 bc 4.020 b 9.560 a 0.957 c 3.813 b 5.063 ab 18.3 a 26.1 a 17.4 a 26.6 a 26.7 a 23.0 KK (%) 23.46 14.29 12.56

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%

Gambar 14. Produksi TSS per plot (60 tanaman pada perlakuan A. mellifera (A),

A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan

terbuka (E) di dataran rendah Subang

Lalat hijau Lucilia sp menghasilkan produksi benih yang rendah. Dari hasil pengamatan di lapangan lalat hijau kurang aktif mengunjungi bunga bawang, lebih banyak hinggap pada umpan udang busuk sebagai makanannya dan bahkan banyak yang tidak dapat bertahan hidup selama penelitian berlangsung. Kondisi

lingkungan yang panas dengan rata-rata suhu 25 – 280 C diduga sebagai salah satu penyebabnya. Oleh karena itu pemanfaatan lalat hijau untuk meningkatkan produksi TSS tidak sesuai untuk dataran rendah. Menurut Munawar et al. (2011), lalat memang tidak efektif sebagai serangga penyerbuk untuk memproduksi benih pada kondisi lingkungan bersuhu tinggi karena suhu tinggi tidak cocok untuk kehidupan lalat. Berbeda dengan lebah madu yang dapat bertahan pada suhu hingga 40 0C.

Mutu TSS

Hasil uji Tukey menunjukkan adanya perbedaan pengaruh perlakuan serangga penyerbuk terhadap bobot benih 100 butir (Tabel 26). A. mellifera menghasilkan bobot 100 butir yang lebih rendah (0.350 g) daripada penyerbuk lainnya. Meskipun Trigona sp. menghasilkan bobot TSS per umbel rendah (Tabel 24) tetapi bobot 100 butir cukup tinggi, 0.360 g. Hal ini diduga karena benih bernas yang berkembang dalam satu umbel lebih sedikit, maka ketersediaan asimilat untuk perkembangan masing-masing benih lebih tinggi sehingga menghasilkan benih yang lebih bernas.

Tabel 26. Bobot TSS 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang

Perlakuan Bobot 100 butir (g) Daya berkecambah (%) Potensi tumbuh maksimum (%) Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata 0.350 b 0.397 a 0.360 ab 0.367 ab 0.397 a 79.60 a 83.20 a 77.20 a 80.80 a 82.00 a 80.56 84.80 a 85.20 a 84.80 a 86.40 a 84.40 a 85.12 KK (%) 4.47 8.09 6.83

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%

Bobot 100 butir yang dihasilkan A.cerana tidak berbeda dengan hasil perlakuan penyerbukan terbuka sebesar 0.397 g, lebih tinggi daripada perlakuan penyerbuk lainnya (Tabel 26). Bobot TSS bernas diduga berkaitan dengan banyaknya serbuk sari viabel yang menempel pada stigma sebagai akibat dari aktivitas A. cerana dan lebah besar pada perlakuan penyerbukan terbuka. Daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak menunjukkan perbedaan diantara perlakuan. Semua perlakuan penyerbuk menghasilkan benih dengan daya berkecambah diatas 75%. Potensi tumbuh maksimum dari benih yang dihasilkan umumnya juga menunjukkan viabilitas yang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian ini memproduksi TSS di dataran tinggi dan dataran rendah dapat ditingkatkan dengan bantuan Apis cerana dengan harapan peningkatan produksi TSS sebesar 56.8 – 61.3 %.

Produksi Umbi Bawang Merah

Di dataran rendah Subang, umbi yang dihasilkan dari tanaman bawang merah yang memproduksi TSS tidak berbeda nyata antar perlakuan serangga penyerbuk. Rata-rata jumlah umbi dan bobot umbi per tanaman yang dihasilkan berturut-turut 2.8 umbi dan 16.667 g/tanaman, tetapi ukuran umbi yang dihasilkan

Tabel 27. Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan ukuran umbi bawang merah pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang

Perlakuan Jumlah umbi per tanaman

Bobot umbi per tanaman (g) Ukuran umbi (g) Apis mellifera (Lebah madu) 2.9 a 18.000 a 6.197 a Apis cerana (Lebah madu) 2.3 a 15.333 a 6.490 a Trigona sp. (Lebah hutan) 2.2 a 15.333 a 4.723 a Lucilia sp. (Lalat Hijau) 3.7 a 20.667 a 5.693 a Penyerbukan terbuka rerata 3.0 a 2.8 14.000 a 16.667 4.643 a 5.549 KK (%) 18.03 29.29 19.99

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%

rata-rata 5.549 g atau umbinya berukuran besar (Tabel 27 dan Gambar 13). Jumlah maupun bobot umbi yang dapat dipanen tersebut lebih rendah daripada umbi yang dipanen di dataran tinggi Lembang. Waktu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang lebih singkat di dataran rendah menyebabkan akumulasi asimilat pada organ reproduktif juga rendah (Rasul et al. 2011), dalam hal ini organ reproduktif adalah umbi.

Peran A. cerana dalam Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi

Hasil uji t menunjukkan bahwa produksi TSS, sebagaimana ditunjukkan oleh bobot TSS per plot, yang dihasilkan A. cerana di dataran tinggi tujuh kali lebih tinggi daripada di dataran rendah (Gambar 15A) yang disebabkan oleh tingkat pembungaan yang lebih tinggi dengan persentase tanaman berbunga 100%, 3-4 umbel per tanaman dan 170 bunga per umbel.

Gambar 15. Bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah (C) di dataran tinggi dan dataran rendah yang dibantu A. cerana. Bobot 100 butir benih dari dataran tinggi tidak berbeda dengan dataran rendah, namun ada indikasi secara fisik mutu benih di dataran rendah lebih baik (Gambar 15B). Begitu pula dengan viabilitas TSS yang tercermin dari daya berkecambah (DB) yang dihasilkan A. cerana pada musim tanam yang sama di dataran rendah lebih baik daripada di dataran tinggi (Gambar 15C). Di dataran rendah A. cerana dapat menghasilkan daya berkecambah hingga 83%, namun daya berkecambah dari perlakuan A. cerana di dataran tinggi juga menunjukkan hasil yang dapat memenuhi mutu yang baik. Percobaan ini memberikan gambaran

bahwa serangga penyerbuk dapat meningkatkan produksi benih botani bawang yang bermutu. Serangga penyerbuk berperan penting terhadap perbaikan mutu benih tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Chandel et al. (2004).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi TSS tidak hanya dapat dilakukan di dataran tinggi, tetapi juga dapat dilakukan di dataran rendah. Kendala yang masih harus dihadapi dalam produksi TSS di dataran tinggi adalah meningkatkan persentase pembentukan biji dan meningkatkan mutu TSS yang dihasilkan, karena teknik budidaya untuk meningkatkan pembungaan telah diperoleh. Sementara itu tantangan yang masih harus dihadapi dalam produksi TSS di dataran rendah adalah meningkatkan pembungaan dan persentase pembentukan biji, karena teknik budidaya yang diamati dalam hasil penelitian ini belum memadai. Kondisi lingkungan di dataran rendah cukup optimum untuk perkembangan dan pemasakan biji sehingga mutu TSS yang dihasilkan memenuhi kriteria benih bermutu.

Teknologi produksi TSS yang dihasilkan pada varietas Bima merupakan terobosan yang potensial untuk dikembangkan mengingat varietas tersebut merupakan varietas lokal yang paling disukai oleh petani maupuan konsumen dibanding varietas-varietas lain termasuk varietas impor seperti Bangkok, Philipine, dan Tandayung (Basuki, 2009b). Penyediaan benih bawang merah bermutu varietas Bima melalui TSS diharapkan dapat mengatasi masalah kekurangan benih bawang merah di Indonesia sehingga dapat mengurangi impor bawang merah. Selain varietas Bima, varietas bawang merah lokal yang berpotensi menjadi tanaman induk TSS dan dapat dikembangkan dengan teknologi produksi TSS yang telah dihasilkan ini yaitu varietas Kuning dan Cipanas. Pengembangan teknologi produksi TSS untuk varietas-varietas lokal diharapkan dapat menghasilkan umbi bibit yang lebih sehat dengan produktivitas tinggi untuk kebutuhan benih bawang merah yang spesifik lokasi. Untuk varietas-varietas lokal lainnya seperti Maja, yang masih memiliki potensi menjadi tanaman induk TSS, teknologi produksi TSS ini perlu diverifikasi lebih lanjut sehingga secara teknis layak untuk dikembangkan di lokasi yang banyak membudidayakan varietas tersebut.

Hasil percobaan teknologi produksi TSS yang dihasilkan masih memerlukan tahapan penelitian di lapangan dalam skala yang cukup luas sebelum dapat diaplikasikan ke pengguna (penangkar benih dan petani). Upaya mengatasi kendala alih teknologi ke petani juga perlu dilakukan untuk mempercepat teknologi produksi TSS dapat diadopsi pengguna melalui sosialisasi teknologi dan pelatihan yang dilakukan secara integrasi antara peneliti, pengguna dan instansi terkait.

TSS yang dihasilkan dapat digunakan sebagai sumber benih untuk produksi umbi konsumsi atau umbi mini. Pengembangan TSS untuk menghasilkan umbi mini/umbi bibit dapat dilakukan di dataran tinggi yang dikelola oleh para penangkar benih. Pengembangan TSS untuk menghasilkan umbi mini/umbi bibit didasarkan pada hasil penelitian Sumarni dan Rosliani (2002) dan Sumarni et al. (2005) yang menunjukkan bahwa produksi umbi yang dihasilkan asal TSS di atas 70% berupa umbi berukuran besar (> 7-8 g) dan sisanya umbi berukuran kecil (2.5-5 g). Namun banyaknya anakan yang dihasilkan dari benih asal TSS hanya 1-2 umbi (Putrasamedja 1995a), padahal jumlah anakan per tanaman asal umbi tradisional mencapai 7-12 umbi (Lampiran 1). Ukuran umbi yang besar dengan jumlah yang sedikit tidak efisien jika digunakan sebagai umbi bibit/benih sehingga perlu mencari teknologi budidaya yang menghasilkan umbi berukuran kecil sebagai turunan kedua dari TSS atau sebagai benih penjenis. Pengembangan umbi mini ataupun umbi bibit asal TSS lebih layak sebagai sumber benih bermutu yang lebih efisien yang dapat dikembangkan oleh para penangkar benih. Selanjutnya umbi mini dapat dikembangkan menjadi umbi bibit yang dapat dilipatgandakan produksinya sampai dua kali penanaman sebelum menjadi benih sebar yang akan digunakan oleh petani. Penangkar benih dapat menyediakan umbi mini (1-2.5 g) atau umbi bibit (3-4 g) yang dapat memenuhi kebutuhan benih (umbi bibit) bawang merah bermutu dengan daya hasil tinggi. Penggunaan umbi mini atau umbi bibit sebagai benih sebar dapat lebih efisien dan lebih praktis dari segi penanganan benih maupun pengangkutan antar lokasi terutama antar pulau.

Penggunaan TSS langsung untuk umbi konsumsi dapat dilakukan di dataran rendah jika teknologi produksi TSS telah tersedia. Hal ini dilakukan

dengan pertimbangan bahwa produksi TSS dan umbi dilakukan pada ekosistem yang sama sehingga diharapkan lebih ekonomis dan tidak terjadi penurunan daya hasil umbi. Petani sebagai pengguna dapat memproduksi TSS sekaligus langsung memproduksi umbi konsumsi asal TSS. Umur panen umbi asal TSS 19-26 hari lebih lama dibanding panen umbi asal umbi bibit, tetapi produksi umbi bawang merah yang dihasilkan asal TSS lebih tinggi dua kali lipat dengan ukuran umbi lebih besar (Basuki 2009a). Waktu yang lebih lama pada budidaya bawang merah asal TSS disebabkan adanya tambahan kegiatan untuk persemaian. Produksi umbi yang tinggi pada budidaya bawang merah dengan TSS disebabkan populasi tanaman yang lebih banyak.

Dalam memproduksi umbi konsumsi dari TSS petani dapat menempuh dua cara, yaitu produksi langsunbg dari TSS atau melalui persemaian TSS untuk memproduksi umbi mini lebih dahulu. Budidaya produksi umbi konsumsi asal umbi mini akan lebih mudah diadopsi petani daripada budidaya langsung dari TSS. Hal ini disebabkan teknik budidaya dengan umbi mini tidak banyak perubahan dengan kebiasaan petani dalam memproduksi umbi konsumsi asal umbi tradisional. Namun secara teknis, budidaya umbi mini masih sulit diperoleh (Sumarni dan Rosliani 2002, Sumarni et al. 2005) dengan produksi umbi mini yang dapat dicapai masih di bawah 30% (Rosliani et al. 2002). Oleh karena itu yang menjadi tantangan agar TSS dapat berkembang untuk memenuhi kebutuhan benih bermutu bawang merah adalah penyiapan teknologi budidaya umbi mini asal TSS dan teknologi budidaya umbi konsumsi asal umbi mini yang efisien. Teknologi budidaya umbi konsumsi asal umbi tradisional akan berbeda dengan teknologi budidaya umbi konsumsi asal umbi mini terkait perbedaan jarak tanam, kebutuhan pupuk maupun pengelolaan hama dan penyakit.

Dalam dokumen HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan (Halaman 41-50)

Dokumen terkait