• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lapangan

Tanaman bawang merah dari awal penanaman sampai pembungaan dan pembentukan kapsul selama 15 minggu menunjukkan pertumbuhan yang baik. Serangan hama pada tanaman bawang merah relatif rendah. Hama yang menyerang yaitu ulat bawang (Spodoptera exigua) dan kutu daun (Toxoptera spp). Hama ulat merupakan hama utama yang dapat menyebabkan kerusakan

pada daun dan umbel, sedangkan kutu daun bukan merupakan hama penting dan menyerang jika media agak kering. Serangan hama ulat dapat diatasi dengan pengendalian mekanis yaitu dengan membuang daun yang terserang, dan penyemprotan insektisida selektif yang berbahan aktif spinosad dan abamectin sesuai anjuran. Pada umur 2-3 minggu setelah tanam (MST) ada gangguan embun pada ujung-ujung daun di pagi hari yang dapat menimbulkan penyakit bercak ungu (Alternaria porri), antraknose (Colletrotichum sp.) dan embun bulu

(Peronospora destructor). Penyakit tersebut juga menyerang tangkai bunga, dan

menyebar dengan cepat apabila kelembaban udara tinggi, dengan gejala ujung daun berwarna kuning dan berkembang ke pangkal daun. Tangkai bunga berwarna kuning kecoklatan berbentuk silindris dan akhirnya menghitam. Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan air dan fungisida selektif yang berbahan aktif difenoconazol pada ujung-ujung daun tersebut sesuai anjuran.

Selama periode pembungaan di dataran tinggi baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan berbagai serangga yang banyak mengunjungi bunga bawang yaitu tabu-tabuan, lebah, lalat, capung, semut dan kupu-kupu. Lebah yang ditemukan yaitu lebah besar berwarna hitam, lebah kecil seperti Apis cerana

sedangkan lalat yang ditemukan yaitu lalat hijau dengan tubuh bulat, lalat besar dengan sayap lebar dan lalat kecil. Serangga yang dominan mengunjungi bunga adalah kupu-kupu dan capung (> 50%) pada musim kemarau dan lebah soliter berwarna hitam pada musim hujan. Pada musim kemarau sekitar 80% serangga yang mengunujungi bunga bawang merah didominasi oleh kupu-kupu. Puncak kunjungan terjadi pada pukul 09.00 – 12.00, karena pada waktu tersebut cuaca cerah dan suhu di sekitar pertanaman tidak terlalu panas (22-230 C). Pada waktu cuaca mendung atau hujan, lalat lebih banyak mengunjungi bunga bawang. Di

(2)

dataran rendah, serangga yang dominan adalah lebah berwarna hitam dan lalat kecil.

Perkembangan Bunga dan Kapsul

Lama fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi berbeda dengan di dataran rendah (Tabel 1). Di dataran tinggi, fase pembungaan lebih lama sekitar 47-48 hari dari sejak muncul tunas umbel pertama sampai > 75% bunga mekar dalam satu umbel, sedangkan di dataran rendah hanya 30-31 hari. Periode pembungaan yang lebih pendek di dataran rendah diduga disebabkan oleh suhu udara yang lebih tinggi (Lampiran 6) sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih cepat (Rasul et al.

2011).

Fase perkembangan bunga dapat dibagi menjadi enam tahap. Pada tahap pertama di dataran tinggi tunas umbel muncul pada 14-19 hari setelah tanam (HST) (Gambar 1-1). Pada tahap kedua tunas umbel berkembang mencapai maksimum dan terbungkus oleh selaput umbel berwarna hijau muda (Gambar 1-2A) sampai 44-51 HST (30-32 hari dari tahap 1 atau setelah umbel muncul) ketika selaput umbel mulai pecah (Gambar 1-2B). Pada tahap ketiga 5-10% bunga mulai mekar (Gambar 1-3) yang terjadi pada sekitar 55-59 HST (40-41 hari setelah umbel muncul). Tahap empat tercapai saat > 75% bunga dalam satu umbel mekar (Gambar 1-4) yang terjadi sekitar 62-67 HST (47-48 hari setelah umbel muncul). Pembentukan kapsul terjadi + 14 hari setelah bunga mekar penuh dalam satu umbel (> 75%). Bunga yang terserbuki dicirikan dengan kubah yang berwarna putih berkembang menjadi kapsul, baik bernas atau hampa. Bunga yang tidak terserbuki akan luruh. Kapsul bernas dengan tiga lokul yang berkembang berwarna hijau, dan lokul yang berisi biji bernas akan membengkak. Pada kapsul hampa, kubah tidak berkembang, berwarna coklat tapi tidak luruh. Kapsul mulai terbentuk (5-10%) pada 70-75 HST (61-62 hari setelah umbel muncul) (Gambar 1-5). Proses pematangan kapsul berlangsung selama 32-37 hari, pada saat kapsul yang terbentuk dalam satu umbel sudah maksimum (Gambar 1-6A) dan kemudian kapsul mulai mengering dan keriput (Gambar 1-6B). Ciri kapsul yang siap dipanen yaitu dalam satu umbel 1-3 kapsul ada yang pecah atau sebagian besar kapsul berwarna kekuningan (Gambar 1-6C). Pemanenan kapsul dilakukan secara

(3)

Tabel 1. Fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang dan dataran rendah Subang

Fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul

Dataran tinggi* Dataran rendah**

1. Umbel muncul 14 – 19 HST 30 – 33 HST

2. Selaput umbel pecah 44 – 51 HST

(30 – 32 hari dari tahap 1)

57 – 60 HST (27 hari dari tahap 1)

3. Awal bunga mekar 55 – 59 HST

(40 – 41hari dari tahap 1)

59 – 62 HST (29 hari dari tahap 1)

4. > 75% bunga mekar 62 – 66 HST

(47 – 48 hari dari tahap 1 )

61 – 63 HST

(30 – 31 hari dari tahap 1)

5. Kapsul terbentuk + 5-10% 70 – 75 HST

(61 – 62 hari dari tahap 1)

68 – 69 HST

(36 – 38 hari dari tahap 1) 6. Panen

107 HST

(88 – 93 hari dari tahap 1 )

86 HST

(56 hari dari tahap 1) Keterangan : HST = hari setelah tanam; *lima kali panen dengan interval lima hari

sekali; **satu kali panen.

Gambar 1. Fase pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah

1 2A 2B

3 4 5

(4)

bertahap. Panen pertama dilakukan pada 107 HST (88-93 hari setelah umbel muncul), panen kedua 5 hari setelah panen pertama. Begitu juga dengan panen ketiga sampai kelima dilakukan 5 hari sekali dan panen kelima (terakhir) dilakukan pada 127 HST (107-112 hari setelah umbel muncul).

Di dataran rendah, fase perkembangan bunga berlangsung lebih cepat. Munculnya tunas umbel lebih lama terjadi dibandingkan di dataran tinggi, yaitu 30-33 HST, akan tetapi fase perkembangan selanjutnya terjadi lebih singkat. Selaput umbel pecah 27 hari setelah umbel muncul,dan bunga mulai mekar dua hari setelah selaput umbel pecah (59-62 HST). Bunga dalam satu umbel mekar penuh (> 75%) 3-5 hari setelah selaput umbel pecah (61-63 HST), dalam 1-2 hari bunga mekar secara serempak. Proses pembentukan kapsul berlangsung serempak sekitar satu minggu (68-69 HST) sebagian besar bunga (60-70%) telah menjadi kapsul. Panen kapsul hanya satu kali pada umur 86 HST (56 hari setelah umbel muncul) karena pembungaan di dataran rendah sedikit. Pematangan kapsul dalam satu umbel lebih serempak, >90% warna kapsul kekuningan dengan tangkai masih hijau segar sehingga pengeringan lebih mudah dan lebih cepat.

Percobaan 1. Pengaruh BAP dan Boron terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi serta Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Tinggi Lembang

Pembungaan

Hasil uji F menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah. Pemberian BAP mempengaruhi persentase tanaman berbunga, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel, tetapi tidak berpengaruh terhadap waktu berbunga, jumlah umbel per tanaman dan persentase pembentukan kapsul (Tabel 2 dan 3).

Waktu pembungaan tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Rata-rata tunas umbel muncul sekitar 20 hari setelah tanam, yang menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi cukup efektif dalam menginduksi pembungaan (Satjadipura 1990). Selain itu diduga karena kondisi lingkungan yang cukup mendukung sehingga tanaman cepat berbunga. Di dataran tinggi Lembang suhu udara minimum pada awal penanaman bawang merah yaitu 130C dengan suhu rata-rata bulanan

(5)

(Agustus) 190C (Lampiran 3), yang merupakan suhu optimum untuk perkembangan umbel (Rabinowitch 1990). Pada kondisi yang optimum tersebut perlakuan BAP tidak dapat mempercepat waktu muncul bunga.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel bawang merah di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Waktu muncul

umbel 50% (HST) Persentase tanaman berbunga (%) Jumlah bunga per umbel Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 20.1 a 19.9 a 20.0 a 19.8 a 19.6 a 19.9 91.11 bc 97.22 a 95.56 ab 93.89 ab 89.44 c 108.1 c 113.8 ab 116.5 a 113.0 abc 108.9 bc Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 rerata 20.0 a 19.9 a 18.9 a 20.3 a 20.3 a 19.9 93.89 a 92.78 a 92.78 a 93.89 a 93.89 a 93.44 103.9 b 114.4 a 113.5 a 115.5 a 113.0 a BAP x boron tn tn tn KK (%) 15.34 7.61 5.85

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

HST= hari setelah tanam; tn= tidak nyata

Pemberian BAP pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan persentase tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel. Perlakuan BAP 50 ppm meningkatkan persentase tanaman berbunga (97.22%) dan jumlah bunga per umbel (113.8) lebih tinggi dibanding kontrol (berturut-turut 91.11% dan 108.1) (Tabel 2). Werner et al. (2001) menyatakan bahwa sitokinin mempunyai peranan

penting dalam morfogenesis meristem Nicotiana tabacum yang meningkatkan

ukuran meristem sehingga kemungkinan berkembangnya meristem bunga lebih besar. Dalam penelitian ini vernalisasi umbi dapat digunakan untuk menginisiasi primordia bunga, sedangkan pemberian BAP dapat meningkatkan ukuran meristem sehingga produksi bunga per umbel meningkat. Pengaruh BAP seperti

(6)

ini juga diperoleh Prat et al. (2008) dalam penelitian mereka yang menunjukkan

perluasan zona meristematik axilar pada tanaman jojoba akibat pengaruh benzyladenin atau benzylaminopurine. Pada konsentrasi yang lebih tinggi peningkatan jumlah tanaman berbunga menurun dan pada konsentrasi 200 ppm BAP menghambat pembungaan bawang merah (Tabel 2), yang menghasilkan tanaman berbunga sebesar 89.44% atau turun sekitar 1.67% dari kontrol. Data ini menunjukkan bahwa BAP 50 ppm merupakan konsentrasi optimum untuk mendorong pembungaan bawang merah di dataran tinggi.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah umbel per tanaman, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Jumlah umbel per tanaman Jumlah kapsul per umbel Pembentukan kapsul (%) Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 3.4 a 3.1 a 3.4 a 3.3 a 3.6 a 3.4 62.3 ab 55.9 b 66.6 a 64.7 a 54.9 b 57.05 a 48.95 a 57.15 a 55.89 a 50.24 a 53.86 Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 rerata 2.9 b 3.4 a 3.6 a 3.4 a 3.5 a 52.4 b 59.8 a 64.9 a 64.1 a 63.1 a 47.55 a 53.78 a 57.76 a 55.60 a 54.61 a 53.86 BAP x boron tn tn tn KK (%) 16.47 16.71 22.21 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

tn= tidak nyata

Pemberian BAP konsentrasi 50 dan 100 ppm meningkatkan jumlah bunga per umbel (Tabel 2), tetapi tidak dapat meningkatkan persentase pembentukan kapsul dengan rata-rata 53.86% (Tabel 3), yang memberi indikasi bahwa proporsi bunga yang berkembang menjadi kapsul konstan. Fenomena seperti ini umumnya terjadi pada tanaman tahunan yang menghasilkan buah basah seperti sweet cherry

(7)

(Roversi et al. 1984) atau Prunus mahaleb (Guitian 1994), yang diduga

dikendalikan oleh tanaman induknya untuk menghasilkan benih yang viabel. Meskipun persentase pembentukan kapsul tidak berbeda nyata antar perlakuan konsentrasi BAP, akan tetapi jika jumlah bunga per umbel meningkat maka jumlah kapsul per umbel akan meningkat pula. Persentase pembentukan kapsul yang konstan dalam penelitian ini perlu diverifikasi lebih lanjut dalam upaya meningkatkan produktivitas benih (TSS).

Pemberian boron meningkatkan jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap waktu berbunga, persentase tanaman berbunga dan proporsi bunga yang menjadi kapsul atau pembentukan kapsul (Tabel 2 dan 3). Seperti halnya pada BAP, aplikasi boron tidak mempengaruhi waktu berbunga. Hal ini menegaskan bahwa waktu berbunga umbi yang sudah diberi perlakuan vernalisasi lebih ditentukan oleh kondisi lingkungan. Boron dengan dosis 1 - 4 kg/ha dapat meningkatkan jumlah umbel yang dihasilkan dengan kisaran 3.4 – 3.6 umbel per tanaman, lebih banyak dibandingkan umbel yang dihasilkan tanaman kontrol sebanyak 2.9 umbel per tanaman. Menurut Marschner (1995), boron menyebabkan terjadinya keseimbangan auksin dan sitokinin yang mendorong pembelahan sel pada bagian bunga. Peningkatan tersebut diikuti oleh peningkatan jumlah bunga per umbel (sekitar 114 bunga/umbel) dan jumlah kapsul per umbel (sekitar 63 kapsul/umbel) lebih tinggi daripada kontrol (masing-masing 103.9 bunga/umbel dan 52.4 kapsul/umbel). Sebagaimana pada pemberian BAP, pemberian boron juga tidak mempengaruhi persentase bunga menjadi buah. Data ini memperkuat indikasi bahwa proporsi bunga menjadi kapsul dikendalikan oleh tanaman induk.

Viabilitas dan Jumlah Serbuk Sari

Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh fase perkembangan bunga, yaitu pada saat bunga mekar penuh (antesis) dan satu hari setelah antesis (Gambar 2). Viabilitas serbuk sari pada saat bunga mekar (1.48%) lebih rendah daripada satu hari setelah bunga mekar (5.83%). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa antera pecah 22 – 26 jam setelah bunga mekar. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa serbuk sari masih belum masak pada saat bunga mekar

(8)

(antesis). Pengamatan terhadap masa reseptif stigma akan memberikan informasi apakah dikogami menjadi kendala pembentukan biji. Secara umum viabilitas serbuk sari bawang merah tergolong rendah sebagaimana dikemukakan Ockendon dan Gates (1976) yang meneliti tanaman bawang bombay var. Rijnsburger. Mereka menemukan inviabilitas serbuk sari yang sangat tinggi. Serbuk sari yang tidak viabel mencapai 67.46% sedangkan serbuk sari dengan viabilitas antara 1-20% mencapai 20.8% walaupun tanaman fertil jantan secara normal.

Gambar 2. Viabilitas serbuk sari pada fase perkembangan bunga

Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah. Akan tetapi pemberian BAP meningkatkan viabilitas serbuk sari yang dipanen satu hari setelah antesis (Tabel 4). Semakin tinggi konsentrasi BAP semakin tinggi pula viabilitas serbuk sari. BAP pada konsentrasi 50 ppm meningkatkan viabilitas serbuk sari empat kali lipat dibandingkan kontrol dan pada konsentrasi 200 ppm viabilitas meningkat sepuluh kali lipat (Tabel 4). Namun demikian peningkatan viabilitas serbuk sari ini tidak meningkatkan jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Dengan demikian viabilitas serbuk sari bukan merupakan faktor pembatas pembentukan kapsul bawang merah.

Jumlah serbuk sari hanya meningkat pada konsentrasi BAP 200 ppm, mencapai 925.8 butir/antera. Penggunaan BAP pada konsentrasi yang lebih tinggi dari 200 ppm perlu dikaji untuk mempelajari pengaruhnya terhadap peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari yang dihasilkan. Salah satu peran BAP yang penting adalah pembelahan dan pembesaran sel (Davies 2004). Pemberian BAP

(9)

diduga meningkatkan pembelahan sel-sel induk mikrospora maupun sel tapetum di dalam mikrosporangium sebelum meiosis sehingga menghasilkan serbuk sari yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih tinggi (Xiaoqi & Dickinson 2010). Boron memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari (Gambar 3 dan Tabel 4). Aplikasi boron dengan konsentrasi 4 kg/ha meningkatkan viabilitas dan jumlah serbuk sari. Aplikasi boron dalam penelitian ini diduga meningkatkan ketersediaannya untuk tanaman, karena kandungan boron dalam tanah hanya 0.08 ppm. Boron mempunyai peranan dalam siklus reproduksi tanaman antara lain dalam produksi serbuk sari dan perkecambahannya (Keefe 1998). Garg et al. (1979) menyatakan bahwa

perbaikan viabilitas serbuk sari pada tanaman padi merupakan efek stimulasi boron dalam meningkatkan ketersediaan gula, aktivitas enzimatik dan respirasi

Tabel 4. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah satu hari setelah antesis di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Viabilitas serbuk sari (%)

Jumlah serbuk sari per antera Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 1.2 c 5.1 b 4.4 b 6.2 b 12.3 a 841.1 b 792.3 b 866.1 ab 812.5 b 925.8 a Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 2.9 c 3.5 bc 3.8 bc 6.1 b 12.8 a 809.4 b 815.3 ab 833.5 ab 881.2 ab 898.4 a BAP x Boron tn tn KK (%) 5.85 18.39

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

tn= tidak nyata

yang diperlukan untuk perbaikan pertumbuhan serbuk sari. Namun konsentrasi boron yang tinggi menimbulkan efek menghambat yang disebabkan karena fisiologis dan kerusakan pada protoplasma. Kerusakan protoplasma ini diduga

(10)

adalah bagian membran plasma yang rusak yang menyebabkan aktivitas H+ -ATPase terhambat. Orbemeyer dan Blatt (1995) dalam Wang et al. (2003)

melaporkan bahwa boron mempengaruhi aktivitas H+-ATPase untuk menginisiasi perkecambahan dan pertumbuhan tabung serbuk sari.

Gambar 3. Serbuk sari yang berkecambah dari tanaman yang diberi perlakuan Boron (A), serbuk sari yang tidak berkecambah dari tanaman kontrol (B) di dataran tinggi Lembang

Produksi TSS

Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron dalam mempengaruhi produksi TSS. Aplikasi BAP berpengaruh terhadap bobot TSS per tanaman dan persentase TSS bernas (Tabel 5) serta bobot TSS per plot (Gambar 4). Ada indikasi konsentrasi BAP yang semakin tinggi berpotensi menurunkan bobot TSS baik per tanaman maupun bobot per plot. Meskipun jumlah tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel (Tabel 2) serta viabilitas serbuk sari (Tabel 4) meningkat dengan aplikasi BAP sampai konsentrasi tertentu akan tetapi secara umum benih yang dihasilkan tidak berbeda nyata (Tabel 5) dengan kontrol bahkan pada konsentrasi 200 ppm bobot TSS per tanaman dan per plot lebih rendah. Dalam hal ini peningkatan produksi bunga yang dihasilkan dengan aplikasi BAP tidak cukup tinggi sehingga dengan persentase pembentukan kapsul yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan menghasilkan jumlah dan bobot TSS per umbel yang tidak berbeda pula. Hasil serupa juga terjadi pada tanaman jojoba (Simmondsia chinensis (Link) Schneider) yang diberi BAP (Prat

B

 

(11)

et al. 2008), yang dalam hal ini diduga karena adanya kompetisi absorbsi asimilat

antar kapsul dalam satu umbel. Ketika intensitas pembungaan lebih tinggi, kompetisi yang terjadi untuk memperoleh metabolit juga lebih tinggi sehingga translokasi ke masing-masing bunga untuk berkembang menjadi kapsul lebih rendah.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Jumlah TSS per umbel Persentase TSS bernas (%) Bobot TSS per umbel (g) Bobot TSS per tanaman (g) Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 156.7 a 161.8 a 174.1a 157.4 a 134.3 a 152.6 78.30 b 83.26 a 81.68 ab 82.17 ab 86.12 a 0.435 a 0.420 a 0.476 a 0.424 a 0.373 a 0.426 0.967 ab 0.784 bc 1.023 a 0.894 abc 0.758 c Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 rerata 121.5 b 155.8 a 158.5 a 182.8 a 165.7 a 81.44 a 81.81 a 83.16 a 83.49 a 81.62 a 82.30 0.325 b 0.418 a 0.467 a 0.477 a 0.441 a 0.567 b 0.882 a 0.938 a 1.054 a 0.984 a BAP x boron tn tn tn tn KK (%) 28.23 6.82 25.22 26.94 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

tn= tidak nyata

Respon bobot benih atau TSS per plot dipengaruhi oleh BAP (R2=0.483) dengan pola pengaruh bersifat kuadratik dimana konsentrasi BAP yang optimum adalah 37.5 ppm untuk menghasilkan bobot TSS sebesar 10.672 g/12 tanaman (Y = -0.00008x2 + 0.006x + 10.56) (Gambar 4A). BAP pada konsentrasi 200 ppm justru menghambat produksi TSS dengan penurunan bobot TSS total per plot sebanyak 27.82%. Pemberian BAP hanya berpengaruh positif terhadap persentase TSS bernas (Tabel 5), dengan peningkatan persentase TSS bernas pada tanaman yang mendapat perlakuan BAP 4 - 5% lebih tinggi dibanding kontrol.

(12)

A

B

Gambar 4. Kurva respon bobot TSS terhadap konsentrasi BAP (A) dan terhadap

dosis boron (B) di dataran tinggi Lembang

Gambar 5. Produksi TSS per plot dari perlakuan dosis Boron 3 kg/ha (A) dan dari perlakuan kontrol (B) di dataran tinggi Lembang

Aplikasi boron meningkatkan jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman (Tabel 5), serta bobot TSS per plot (Gambar 4B), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase benih bernas. Semakin tinggi dosis boron semakin tinggi bobot TSS per plot sampai taraf tertentu. Seperti halnya pada perlakuan BAP, Gambar 4B menunjukkan bahwa pola pengaruh boron juga bersifat kuadratik, akan tetapi pengaruh boron terhadap peningkatan bobot TSS per plot sangat kuat (R2 = 0.979), dengan dosis boron optimum adalah 2.9 kg/ha untuk menghasilkan bobot TSS sebesar 11.78 g/12 tanaman (Gambar 5) atau setara dengan 206.15 kg/ha (populasi 210 000 tanaman /ha). Peningkatan hasil yang dicapai pada dosis tersebut sekitar 107.16% dari kontrol. Peningkatan bobot TSS ini disebabkan oleh peningkatan jumlah bunga per umbel, jumlah umbel per tanaman dan jumlah kapsul per umbel (Tabel 2 dan B A

(13)

3) yang nyata, yang didukung oleh adanya peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari (Tabel 4). Menurut Misra dan Patil (1987), boron dapat meningkatkan bobot benih dengan merangsang proses-proses fisologis, terutama proses perkecambahan serbuk sari dan pemanjangan tabung serbuk sari, selama fase reproduksi. Amanullah et al. (2010) menyatakan boron juga terlibat dalam sistem

translokasi karbohidrat dalam tanaman termasuk pengisian biji. Pada percobaan di dataran tinggi Lembang, tampak bahwa tanaman bawang merah sangat responsif terhadap pemberian boron. Hal ini disebabkan kandungan boron yang tersedia di dalam tanah andisol Lembang sangat rendah yaitu 0.08 ppm (Laboratorium Pengujian Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2011). Kandungan boron tanah yang tersedia untuk tanaman yaitu 0.4-5 ppm (Marschner 1995; Kelling 1999). Jenis tanah dengan karakteristik kandungan bahan organik rendah, tekstur tanah berpasir dan kelembaban tanah tinggi umumnya mempunyai ketersediaan boron tanah rendah (Kelling 1999), seperti tanah andisol Lembang. Penambahan boron 1-4 kg/ha pada tanah andisol meningkatkan boron tersedia dalam tanah yaitu rata-rata menjadi 2.06 ppm (Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2012) yang menunjukkan bahwa penambahan boron sampai dosis 4 kg/ha tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap tanaman bawang merah. Menurut Kelling (1999), umumnya tanaman dapat mengalami keracunan di atas 5 ppm. Menurut Marschner (1995), aplikasi boron pada tanah yang kekurangan boron dapat mendorong peningkatan konsentrasi boron di daerah perakaran sehingga menekan auksin akar yang tinggi dan terjadi keseimbangan dengan sitokinin yang mendorong pembelahan sel dalam organ reproduktif. Selain itu menurut Meena (2010), boron yang diserap dalam bentuk BO3- dalam tanah terlibat dalam metabolisme protein, mensintesis kembali adenosin triphosphat (ATP) dan translokasi gula pada tahap perkembangan bunga, biji dan buah.

Mutu TSS

Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap mutu TSS. Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap mutu TSS sebagaimana ditunjukkan oleh bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi

(14)

tumbuh maksimum (Tabel 6). Hal ini diduga karena aplikasi BAP yang berkaitan dengan pembelahan sel pada jaringan meristematik tunas apikal tanaman bawang merah. Mutu benih yang dihasilkan lebih ditentukan oleh pertumbuhan tanaman induk yang cukup baik karena kondisi lingkungan yang optimum. Daya berkecambah TSS yang dihasilkan dari perlakuan BAP 50 – 100 ppm di atas standar sertifikasi mutu benih (75%) yang ditentukan oleh Direktorat Bina Perbenihan (2007), yaitu mencapai 77.87 – 78.13%. Data ini menunjukkan bahwa walaupun konsentrasi BAP tidak berpengaruh terhadap daya berkecambah benih yang dihasilkan, namun BAP 50-100 ppm menghasilkan benih yang memenuhi syarat untuk dipasarkan.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot TSS 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Bobot 100 butir (g) Daya berkecambah (%) Potensi tumbuh maksimum (%) Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 0.360 a 0.365 a 0.372 a 0.369 a 0.367 a 0.367 69.54 a 77.87 a 78.13 a 73.30 a 72.80 a 74.49 79.73 a 83.47 a 84.79 a 82.66 a 79.47 a 82.02 Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 0.357 c 0.367 abc 0.372 ab 0.376 a 0.361 bc 62.67 b 74.13 a 78.93 a 78.04 a 77.87 a 76.00 b 81.32 ab 83.99 a 84.27 a 84.53 a BAP x boron tn tn tn KK (%) 4.88 15.37 10.69

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% ;

tn= tidak nyata

Aplikasi boron sebanyak 1 – 4 kg/ha meningkatkan bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum (Tabel 6). Boron merupakan unsur mikro esensial yang memiliki peran dasar dalam proses-proses fiologis tanaman seperti meningkatkan peran Ca dalam menjaga integritas struktur dinding sel dan

(15)

membran plasma, peningkatan pembelahan sel, diferensiasi jaringan dan metabolisme asam nukleat, karbohidrat, protein, fenol dan auksin sehingga dapat meningkatkan viabilitas benih dan persentase seedling normal (Marschner 1995). Dosis boron 3 kg/ha merupakan dosis optimum untuk meningkatkan bobot 100 butir. Pemberian boron 2 – 4 kg/ha meningkatkan daya berkecambah mencapai diatas 77% dan potensi tumbuh maksimum diatas 83%. Hasil ini telah memenuhi persyaratan untuk sertifikasi benih sehingga dapat dipasarkan. Mutu benih yang dicapai dari hasil penelitian ini juga menunjukkan perbaikan yang sangat signifikan dibandingkan hasil penelitian sebelumnya terhadap mutu TSS varietas Bima Brebes dengan daya berkecambah sekitar 14.33-16.33% (Sumarni et al.

2010).

Masing-masing perlakuan menghasilkan kecambah yang normal namun kecambah normal yang dihasilkan dari perlakuan BAP maupun boron mempunyai ukuran yang lebih besar daripada kecambah normal pada kontrol (tanpa BAP dan tanpa boron) (Gambar 6). Pada kurun waktu pengecambahan yang sama (satu bulan setelah panen) kecambah normal dari perlakuan BAP atau boron membentuk hipokotil dan akar yang lebih panjang daripada kecambah normal dari kontrol.

Gambar 6. Ukuran kecambah normal pada satu bulan setelah panen dari perlakuan tanpa BAP/tanpa boron (A), pada perlakuan boron (B) dan pada perlakuan BAP (C) di dataran tinggi Lembang

Dari hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi BAP mampu meningkatkan pembungaan, viabilitas dan jumlah serbuk sari serta

(16)

produksi TSS pada konsentrasi yang berbeda-beda. Mutu benih yang tercermin dari bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Konsentrasi BAP yang optimum untuk produksi TSS per plot di dataran tinggi Lembang yaitu 37.5 ppm. Aplikasi boron dapat meningkatkan pembentukan bunga dan kapsul, viabilitas dan jumlah serbuk sari, maupun produksi dan mutu TSS. Dosis boron yang optimum untuk produksi TSS di dataran tinggi Lembang yaitu 2.9 kg/ha. Aplikasi BAP 37.5 ppm dan boron 2.9 kg/ha digunakan sebagai perlakuan dasar untuk semua perlakuan pada percobaan 2 dan 3 di dataran tinggi Lembang.

 

Percobaan 1. Pengaruh BAP dan Boron terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi serta Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang

Pembungaan

Seperti di dataran tinggi, hasil uji F di dataran rendah juga menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron baik terhadap pembentukan bunga dan kapsul maupun terhadap viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS).

Aplikasi BAP memperlambat pembungaan, sehingga memperpanjang waktu muncul umbel 50% (berkisar antara antara 29.6 – 34.8 HST) dibandingkan kontrol (rata-rata 20.5 HST) (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman meningkat dengan aplikasi BAP dan muncul secara bertahap, sehingga walaupun umbel pertama dari tanaman yang diberi perlakuan BAP dan kontrol muncul bersamaan, akan tetapi 50% tanaman berbunga dicapai pada waktu yang berbeda.

Pemberian BAP pada berbagai konsentrasi juga berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman berbunga. Pada perlakuan kontrol tanaman yang berbunga hanya 11.67%, sedangkan pada perlakuan BAP 50-200 ppm berkisar antara 28.89 - 39.44% (Tabel 7), meningkat sebesar 147.55 - 237.96%, walaupun diantara perlakuan BAP pada berbagai konsentrasi tidak ada perbedaan yang nyata terhadap persentase tanaman berbunga. Data ini memberi indikasi bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan semakin tinggi persentase

(17)

tanaman yang berbunga. Begitu pula dengan peubah jumlah umbel per tanaman yang meningkat dengan aplikasi BAP tetapi tidak ada perbedaan diantara konsentrasi BAP yang diberikan. Rata-rata diperoleh 0.9 umbel/tanaman dari tanaman kontrol dan 1.2 – 1.5 umbel/tanaman dari tanaman yang diberi perlakuan BAP (Tabel 7). Brewster dan Salter (1980) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembungaan bawang bombay (Allium sp) antara lain suhu rendah,

Tabel 7. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang merah di dataran rendah Subang

Perlakuan Waktu muncul

umbel 50% (HST) Persentase tanaman berbunga (%) Jumlah umbel per tanaman Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 20.5 b 29.6 a 32.3 a 34.3 a 34.8 a 11.67 b 28.89 a 34.44 a 35.00 a 39.44 a 0.9 b 1.3 a 1.3 a 1.2 a 1.5 a Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 Rerata 31.5 a 27.9 a 29.7 a 33.1 a 29.3 a 30.3 31.67 a 33.33 a 29.45 a 27.78 a 27.22 a 29.89 1.2 a 1.3 a 1.2 a 1.3 a 1.2 a 1.2 BAP x boron tn tn tn KK (%) 28.82 12.83 10.48

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

tn= tidak nyata

panjang hari, intensitas cahaya, nutrisi, hormon dan vitamin. Rabinowitch (1990) menyatakan bahwa bawang genus Allium membutuhkan suhu 7-12 0C untuk

terjadinya bolting dan 17-19 0C untuk perkembangan umbel dan mekar bunga.

Dalam penelitian ini vernalisasi pada suhu 100 C selama 4 minggu menghasilkan 11.67 % tanaman berbunga di dataran rendah Subang, lebih rendah daripada di dataran tinggi yang mencapai 91.11% (Tabel 2). Pada suhu lingkungan yang tinggi di dataran rendah Subang (rata-rata suhu 25.84-28.81 0C) (Lampiran 6), meristem apikal yang telah terinduksi sebagian diduga mengalami devernalisasi

(18)

sehingga tidak semua tanaman berbunga (Khokhar 2009 dan Badawi et al. 2010).

Menurut Amanullah et al. (2010), 6-Benzyladenin (6-Benzyl amino purine)

merupakan sitokinin sintetik yang paling aktif pada berbagai proses fisiologis tanaman seperti pembelahan sel, pembesaran sel, diferensiasi jaringan dan perkembangan fase pembungaan. Pemberian BAP dalam penelitian ini diduga mampu mengurangi laju devernalisasi, sehingga tanaman menghasilkan tunas umbel yang lebih banyak.

Aplikasi BAP juga berpengaruh terhadap perkembangan jumlah bunga per umbel, namun tidak ada perbedaan diantara berbagai konsentrasi yang dicobakan. Jumlah bunga per umbel pada perlakuan kontrol adalah 59.6 bunga, sedangkan pada perlakuan BAP 50-100 ppm lebih tinggi daripada kontrol yaitu sekitar 89.9-105.0 bunga per umbel (Tabel 8). Aplikasi BAP hanya berpengaruh terhadap pembungaan bawang merah, tetapi tidak terhadap pembentukan kapsul sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Hasil ini serupa dengan hasil di dataran tinggi (Tabel 3), yang menunjukkan persentase pembentukan kapsul per umbel konstan, sehingga diduga dikendalikan oleh tanaman induk. Suhu lingkungan yang tinggi diduga mengurangi respon tanaman terhadap aktivitas BAP sehingga persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang lebih rendah daripada di dataran tinggi Lembang.

Boron tidak berpengaruh terhadap pembentukan bunga maupun kapsul, seperti terlihat pada kecepatan muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel maupun jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul (Tabel 7 dan 8). Hal ini diduga karena ketersediaan boron di dalam tanah telah mencukupi kebutuhan tanaman. Hasil pengujian kandungan boron tanah yang dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa menunjukkan bahwa tanah latosol Subang mengandung 0.43 ppm boron. Menurut Marschner (1995) kandungan boron di dalam tanah sebanyak 0.4 – 5 ppm memenuhi kriteria tersedia untuk tanaman.

(19)

Tabel 8. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran rendah Subang

Perlakuan Jumlah bunga

per umbel Jumlah kapsul per umbel Pembentukan kapsul (%) Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 59.6 b 105.0 a 90.7 a 100.0 a 89.9 a 25.9 a 35.3 a 30.3 a 37.2 a 35.2 a 32.8 31.67 a 38.62 a 40.09 a 36.01 a 41.79 a 37.62 Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 rerata 85.8 a 88.1 a 85.1 a 94.2 a 92.0 a 89.2 31.5 a 29.9 a 28.4 a 35.7 a 38.4 a 32.8 36.97 a 35.57 a 32.79 a 41.70 a 41.16 a 37.62 BAP x boron tn tn tn KK (%) 28.64 33.81 15.96 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

tn= tidak nyata

Viabilitas dan Jumlah Serbuk Sari

Pengamatan serbuk sari dilakukan enam jam setelah bunga mekar dengan ciri antera sudah berwarna hijau tua sebelum menjadi berwarna hitam dan pecah. Suhu lingkungan yang tinggi di dataran rendah Subang mempercepat perkembangan bunga sehingga kematangan antera lebih cepat (sekitar 6 jam setelah antesis) dibandingkan dengan di dataran tinggi Lembang (22-26 jam setelah antesis).

Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh aplikasi BAP pada konsentrasi tinggi (200 ppm) (Tabel 9). Peningkatan viabilitas serbuk sari terjadi pada BAP konsentrasi 200 ppm, sebesar 2.33%, dibandingkan perlakuan kontrol sebesar 1.57%. BAP tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah serbuk sari per antera. Rata-rata jumlah serbuk sari pada setiap perlakuan adalah 817.1 serbuk sari per antera.

Seperti pada BAP, boron hanya berpengaruh nyata terhadap viabilitas serbuk sari tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah serbuk sari per antera (Tabel

(20)

9). Pemberian boron meningkatkan viabilitas serbuk sari. Pada perlakuan tanpa boron viabilitas serbuk sari sekitar 1.40%, dan meningkat dengan aplikasi boron 1- 4 kg/ha. Pada dosis boron yang tinggi (4 kg/ha), peningkatan viabilitas serbuk sari mencapai 73.57%. Viabilitas serbuk sari yang rendah di dataran rendah Subang diduga menjadi salah satu faktor pembatas persentase pembentukan kapsul per umbel, yang lebih rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi Lembang (Tabel 3). Menurut Shivanna dan Sawhney (1997) selain viabilitas serbuk sari, jumlah serbuk sari per antera dapat berpengaruh terhadap pembentukan kapsul dan biji. Pada percobaan ini, jumlah serbuk sari per antera tidak dipengaruhi oleh aplikasi boron. Rata-rata jumlah serbuk sari dari semua perlakuan adalah 817.1 serbuk sari per antera.

Tabel 9. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah di dataran rendah Subang

Perlakuan Viabilitas serbuk sari

(%)

Jumlah serbuk sari per antera Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 1.57 b 1.77 b 2.00 ab 1.90 ab 2.33 a 813.1 a 830.1 a 829.4 a 824.8 a 788.3 a 817.1 Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 rerata 1.40 c 1.77 bc 2.17 ab 1.80 bc 2.43 a 779.2 a 799.1 a 832.7 a 829.9 a 852.0 a 817.1 BAP x Boron tn tn KK (%) 14.94 15.33

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% ;

tn= tidak nyata Produksi TSS

Aplikasi BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah TSS botani bawang (TSS) per umbel dan persentase TSS bernas (Tabel 10). Peningkatan konsentrasi

(21)

Tabel 10. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah benih per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot di dataran rendah Subang

Perlakuan Jumlah TSS per umbel Persentase TSS bernas (%) Bobot TSS per umbel (g) Bobot TSS per tanaman (g) Bobot TSS per plot (g/12 tanaman) Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 69.7 abc 100.1 a 69.6 abc 52.2 c 85.7 ab 54.15 b 81.75 a 79.47 a 52.04 b 77.58 a 0.337 a 0.410 a 0.300 a 0.267 a 0.299 a 0.323 0.481 a 0.525 a 0.383 a 0.319 a 0.451 a 0.432 0.994 a 1.131 a 1.053 a 1.240 a 1.271 a 1.138 Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 rerata 79.9 a 79.9 a 61.1 a 77.6 a 78.7 a 75.5 68.12 a 78.28 a 61.27 a 66.85 a 70.47 a 68.99 0.331 a 0.311 a 0.323 a 0.299 a 0.340 a 0.323 0.394 a 0.441 a 0.443 a 0.431 a 0.449 a 0.432 1.309 a 1.049 a 0.940 a 1.052 a 1.340 a 1.138 BAP x boron tn tn tn tn tn KK (%) 21.07 29.95* 8.29 10.19 18.34

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

tn= tidak nyata;*transformasi√x+1

BAP terhadap jumlah TSS bernas per umbel yang dihasilkan tidak konsisten. BAP pada konsentrasi 50 dan 200 ppm BAP meningkatkan jumlah TSS bernas, sedangkan pada konsentrasi 150 ppm cenderung menurunkan jumlah TSS bernas per umbel. Hasil serupa juga terjadi pada persentase benih TSS per umbel. Aplikasi BAP umumnya meningkatkan persentase jumlah TSS bernas per umbel kecuali BAP konsentrasi 150 ppm. Peningkatan jumlah TSS bernas pada perlakuan BAP 50, 100 dan 200 ppm adalah sekitar 23.43 – 27.6% dari kontrol tetapi peningkatan tersebut tidak meningkatkan bobot TSS bernas per umbel, per tanaman maupun per plot. Rata-rata bobot TSS per umbel pada setiap perlakuan adalah 0.323 g, sedangkan rata-rata bobot TSS per tanaman sekitar 0.432 g. Jumlah umbel per tanaman yang hanya sekitar 1.2 umbel menyebabkan bobot TSS per umbel hampir sama dengan bobot benih per tanaman. Jumlah umbel yang dipanen per plot juga sangat rendah yaitu rata-rata 3.5 umbel per plot. Hal ini juga yang menyebabkan bobot TSS per plot sangat rendah. Selain tingkat

(22)

pembungaannya rendah, juga umbel yang berkembang sebagian terkena penyakit bercak ungu yang disebabkan oleh cendawan Alternaria porri, yang dipicu oleh

suhu udara dan kelembaban tinggi. Tangkai umbel yang terserang penyakit bercak ungu berwarna coklat-hitam sehingga bunga tidak dapat berkembang menjadi kapsul karena aliran nutrisi terhambat.

Aplikasi boron tidak berpengaruh nyata terhadap produksi TSS (Tabel 10) di dataran rendah Subang dengan jenis tanah latosol. Hal ini disebabkan karena boron tanah dapat memenuhi kebutuhan tanaman sehingga penambahan boron tidak mampu memperbaiki produksi benih TSS. Namun penambahan boron sampai dosis 4 kg/ha juga tidak sampai menjadi racun bagi tanaman, seperti yang tercermin dari produksi TSS sampai dosis 4 kg boron/ha yang memberikan hasil yang tidak menurun dari kontrol meskipun kandungan boron tanah setelah diberi pupuk boron meningkat hingga rata-rata 2,81 ppm (Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2012).

Mutu TSS

Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap bobot benih 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Rata-rata bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum pada semua perlakuan berturut-turut adalah 0.395 g, 75.44% dan 80.32%. Rata-rata daya berkecambah pada semua perlakuan diatas 75%, yang merupakan standar sertifikasi mutu benih bawang merah berdasarkan Direktorat Bina Perbenihan (2007). Aplikasi boron juga tidak berpengaruh nyata terhadap bobot benih 100 butir, daya berkecambah maupun potensi tumbuh maksimum.

Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pemberian BAP dan boron pada tanaman bawang merah di dataran rendah Subang tidak mampu meningkatkan produksi dan mutu benih TSS. Aplikasi BAP hanya mampu meningkatkan pembungaan dan viabilitas serbuk sari bawang merah. Aplikasi BAP konsentrasi 50 ppm cukup memadai untuk meningkatkan pembungaan bawang merah di dataran rendah Subang, yang selanjutnya menjadi perlakuan dasar untuk Percobaan 2 dan 3 di lokasi yang sama. Sementara boron tidak dapat dijadikan perlakuan dasar untuk percobaan selanjutnya karena tidak mampu

(23)

memperbaiki tingkat pembungaan maupun produksi dan mutu benih TSS. Boron hanya mampu memperbaiki viabilitas serbuk sari bawang merah saja.

Tabel 11. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot TSS 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran rendah Subang

Perlakuan Bobot 100 butir (g) Daya berkecambah (%) Potensi tumbuh maksimum (%) Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata 0.402 a 0.405 a 0.384 a 0.395 a 0.391 a 0.395 79.40 a 74.40 a 71.00 a 77.00 a 75.40 a 75.44 83.00 a 79.20 a 76.80 a 82.20 a 80.40 a 80.32 Dosis Boron (kg/ha)

0 1 2 3 4 rerata 0.391 a 0.404 a 0.395 a 0.395 a 0.392 a 0.395 76.60 a 73.80 a 78.40 a 73.20 a 75.20 a 75.44 80.60 a 78.40 a 81.80 a 79.40 a 81.40 a 80.32 BAP x boron tn tn tn KK (%) 7.03 11.93 10.18

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%;

tn= tidak nyata

Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi

Produksi TSS sangat dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat. Ketinggian tempat berkaitan dengan kondisi cuaca yang mendukung untuk inisiasi pembungaan dan perkembangan umbel. Dataran tinggi merupakan daerah agroekosistem yang mempunyai suhu rendah yang cocok untuk mendukung terjadinya pembungaan tanaman. Menurut Rabinowitch (1990) bawang merah memerlukan suhu rendah 7-120 C untuk inisiasi pembungaannya dan suhu 17-190 C untuk perkembangan umbel dan mekar bunga. Inisiasi pembungaan (bolting)

pada bawang sangat penting untuk produksi biji. Di Indonesia, kondisi lingkungan dengan rata-rata suhu udara yang tinggi (> 180 C) menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pembungaan bawang merah. Pembungaan yang

(24)

Gambar 7. Pembungaan bawang merah di dataran tinggi (A) dan dataran rendah (B)

tinggi menyebabkan peluang tanaman untuk menghasilkan benih menjadi lebih tinggi (Gambar 7). Umumnya hasil penelitian pada percobaan ini menunjukkan bahwa produksi TSS di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) dengan suhu 13-260 C lebih tinggi dibanding di dataran rendah Subang (100 m dpl) dengan suhu 21-300 C sebagaimana ditunjukkan oleh bobot TSS per plot pada Percobaan 1 (Gambar 8A).

Produksi TSS di dataran tinggi rata-rata per plot mencapai 8.12 g/12 tanaman, sedangkan di dataran rendah hanya mencapai 1.02 g/12 tanaman atau produksi benih di dataran tinggi 8 kali lipat produksi di dataran rendah. Hasil ini setara 142.10 kg/ha (populasi 210 000 tanaman/ha) di dataran tinggi Lembang, dan 19.47 kg/ha di dataran rendah Subang (populasi 210 000 tanaman/ha). Hal ini disebabkan karena tingkat pembungaan yang tinggi di dataran tinggi (Tabel 2 dan 3) jauh di atas pembungaan di dataran rendah (Tabel 7 dan 8), sebagaimana tercermin dari peubah jumlah tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman dan jumlah bunga per umbel. Tanaman bawang merah yang berbunga di dataran tinggi rata-rata mencapai 93.44% jauh di atas jumlah tanaman yang berbunga di dataran rendah yang hanya 29.89%. Jumlah umbel per tanaman di dataran tinggi yang mencapai 3.36 umbel juga berkontribusi terhadap produksi TSS yang tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah yang hanya menghasilkan 1.3 umbel per tanaman. Produksi bunga per umbel di dataran tinggi (Tabel 2) yaitu 40% lebih tinggi daripada di dataran rendah (Tabel 8) sehingga peluang bunga menjadi kapsul yang berisi benih menjadi lebih tinggi. Namun demikian dari hasil

(25)

percobaan ini ada indikasi bahwa di dataran rendah terbuka peluang untuk peningkatan pembungaan tanaman bawang merah yang dapat meningkatkan produksi TSS. Hasil percobaan di dataran tinggi ini juga menghasilkan tingkat pembungaan dan produksi TSS yang jauh lebih tinggi daripada hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil-hasil penelitian tentang pembungaan dan produksi TSS di dataran tinggi yang dilaporkan oleh Satjadipura (1990), Sumarni dan Soetiarso (1998), Sumarni dan Sumiati (2001), Rosliani et al. (2005), Sumarni et al. (2009), Sumarni et al. (2010), dan Sumarni et al. (2011) menunjukkan bahwa

rata-rata tingkat pembungaan yang lebih rendah < 50% dengan rata-rata jumlah umbel < 1.5 per tanaman yang menghasilkan TSS setara +30 kg/ha.

Gambar 8. Perbandingan bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah TSS (C) di dataran tinggi dan dataran rendah

Pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot benih 100 butir menunjukkan bahwa bobot benih 100 butir di dataran rendah (0.398 g) lebih tinggi daripada di dataran tinggi (0.368 g) (Gambar 8B). Artinya bahwa benih yang diproduksi di dataran rendah lebih bernas atau secara fisik lebih baik daripada yang diproduksi di dataran tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sumarni et al. (2009), bahwa ada indikasi dataran rendah dengan

suhu yang tinggi cocok untuk pembentukan kapsul dan biji. Rabinowitch (1990b) melaporkan bahwa untuk pembentukan kapsul dan biji bawang-bawangan genus

Allium suhu yang dibutuhkan adalah 350 C sedangkan Putrasamedja (1995b)

melaporkan bahwa untuk pengisian biji bawang merah lebih cocok di daerah yang bersuhu sekitar 250 C, yang berada di ketinggian tempat kurang dari 700 m dpl. Namun benih TSS asal dataran tinggi mempunyai daya berkecambah yang lebih

(26)

tinggi daripada TSS asal dataran rendah (Gambar 8C). Daya berkecambah yang lebih tinggi di dataran tinggi disebabkan penanaman di dataran tinggi dilakukan pada musim kemarau, sedangkan di dataran rendah dilakukan pada musim hujan yang dilakukan untuk mengatasi kerontokan bunga akibat cuaca yang sangat panas. Pembentukan kapsul dan benih yang terjadi pada kondisi kering tidak banyak hujan menyebabkan benih yang dipanen memiliki viabilitas benih yang baik.

Percobaan 2. Sistem Perkawinan Bawang Merah terhadap Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Tinggi Lembang

Pada percobaan ini perlakuan penyerbukan sendiri dan silang dilakukan pada tanaman yang sama, dan dari hasil seleksi diperoleh tanaman yang cukup seragam. Dari 46 umbel untuk penyerbukan sendiri hanya 22 umbel (47.83 %) yang membentuk kapsul, sedangkan pada penyerbukan silang 32 umbel (69.57%) mampu membentuk kapsul. Pada umbel yang tidak berkembang menjadi kapsul umumnya seluruh bunga menjadi layu diduga karena tidak terjadi fertilisasi.

Tabel 12. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Jumlah bunga

per umbel Jumlah kapsul per umbel Pembentukan kapsul (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 134.8 a 136.8 a 6.4 b 20.6 a 6.7 b 14.8 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%

Pada perlakuan penyerbukan sendiri, rata-rata persentase pembentukan kapsul per umbel hanya 6.7% atau dari 134.8 bunga per umbel terdapat 6.4 bunga yang menjadi kapsul (Tabel 12). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa pembentukan kapsul bawang merah melalui penyerbukan sendiri masih terjadi, meskipun dengan persentase yang sangat rendah. Menurut Williams dan Free (1993) tanaman bawang bombay adalah self-compatible, sehingga penyerbukan

sendiri dapat menghasilkan biji. Namun Chandel et al. (2004) melaporkan bahwa

(27)

grup Agregatum dan menghasilkan pembentukan biji yang lebih tinggi. Penyerbukan silang terjadi jika serbuk sari diperoleh dari umbel lain dari tanaman yang sama atau tanaman berbeda (Zdzislaw et al. 2004). Jumlah kapsul per umbel

dan persentase pembentukan kapsul dari penyerbukan silang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri. Namun demikian, penyerbukan silang dengan tangan (hand crossed-pollination) menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang cukup

rendah. Dari rata-rata 136.8 bunga per umbel, hanya 14.8 % atau sekitar 20.6 bunga yang berkembang membentuk kapsul. Rendahnya pembentukan kapsul dari penyerbukan silang tanaman bawang merah diduga disebabkan emaskulasi antera menimbulkan pelukaan pada bunga sehingga menurunkan vigor bunga dan mempengaruhi proses fertilisasi, yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan kapsul.

Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah TSS bernas per umbel hanya 9.5 benih dengan bobot 0.029 g dari penyerbukan sendiri. Dari total jumlah TSS yang terbentuk hanya 29.45% yang merupakan benih bernas. Data ini menunjukkan bahwa produksi TSS dari penyerbukan sendiri sangat rendah. Produksi TSS dari penyerbukan silang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri. Penyerbukan silang menghasilkan jumlah TSS bernas per umbel rata-rata 33.1 biji dengan bobot 0.08 g dan dengan persentase benih bernas per umbel sebesar 41.93%. Produksi TSS yang diperoleh dari hasil penyerbukan silang dengan bantuan tangan pada percobaan ini sangat rendah, seperti yang diperoleh Rao dan Suryanaraya (1989) dan Chandel et al. (2004) yang meneliti bawang bombay.

Namun Oz et al. (2009) melaporkan sebaliknya bahwa penyerbukan silang

dengan bantuan tangan menghasilkan produksi benih yang lebih tinggi (226%) dibandingkan dengan penyerbukan terbuka maupun dengan bantuan serangga penyerbuk. Bobot TSS per umbel yang sangat rendah (0.08 g) dari percobaan ini diduga disebabkan oleh waktu pengambilan serbuk sari untuk penyerbukan yang kurang tepat. Berdasarkan pengamatan di lapangan diduga serbuk sari masak atau antera pecah pukul 09.00 – 12.00 pada saat cuaca cerah. Viabilitas serbuk sari cepat menurun pada suhu tinggi sehingga ada kemungkinan sewaktu digunakan untuk penyerbukan viabilitasnya sudah menurun. Kelembaban udara yang tinggi menyebabkan banyak bunga yang terkena embun bulu oleh cendawan

(28)

Peronospora destructor akibat adanya pelukaan pada stamen karena emaskulasi

antera. Penyerbukan silang dengan tangan dilakukan pada bulan April dan Mei dengan curah hujan berkisar 201.5-297.5 mm/bulan dan RH 86.75-87.35% yang optimum untuk pertumbuhan cendawan Peronospora destructor, menyebabkan

bunga yang diserbuk silang berwarna hitam. Keadaan ini berbeda dengan umbel yang diserbuk sendiri tanpa emaskulasi sehingga umbel tidak terserang cendawan

Peronospora destructor, akan tetapi sebagian besar bunga layu dan kecoklatan

karena tidak terjadi fertilisasi.

Penyakit lain yang banyak menyerang tanaman bawang merah pada kondisi cuaca tersebut adalahpenyakit bercak ungu (trotol) yang disebabkan oleh cendawan Alternaria porri dan penyakit antraknosa oleh cendawan Colletrotichum sp. Serangan penyakit cepat menyebar terutama jika ada pelukaan

pada bagian tanaman. Penyakit embun bulu menyerang pada umbel, sedangkan tangkai umbelnya banyak terserang penyakit bercak ungu dan antraknose, terutama pada perlakuan penyerbukan silang yang disebabkan karena penyebaran penyakit melalui tangan dari satu tangkai ke tangkai umbel lainnya.

Tabel 13. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran tinggi Lembang

Perlakuan/ Jumlah TSS per

umbel Persentase TSS bernas Bobot TSS per umbel (g) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 9.5 b 33.1 a 29.45 b 41.93 a 0.029 b 0.080 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%

Hasil uji t menunjukkan bahwa mutu TSS yang ditunjukkan oleh bobot benih 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak berbeda nyata antara perlakuan penyerbukan sendiri dengan penyerbukan silang (Tabel 14). Namun ada indikasi bahwa benih dari penyerbukan silang mempunyai daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum lebih tinggi dibandingkan dengan benih dari penyerbukan sendiri.

(29)

Tabel 14. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Bobot 100 butir (g) Daya berkecambah (%) Potensi tumbuh maksimum (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 0.240 a 0.250 a 49.71 a 60.00 a 53.43 a 65.71 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%

Percobaan 2. Sistem Perkawinan Bawang Merah terhadap Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang

Percobaan 2 di dataran rendah Subang menghasilkan tingkat pembungaan bawang merah yang rendah sehingga pengambilan sampel sangat terbatas. Dari 150 tanaman hanya 10 tanaman dapat dijadikan sampel yang mempunyai jumlah umbel memadai untuk penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang dalam satu tanaman. Meskipun demikian rata-rata jumlah bunga per umbel untuk penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada yang digunakan untuk penyerbukan silang (Tabel 15). Hasil uji t menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri menghasilkan jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul yang sama dengan penyerbukan silang, meskipun jumlah bunga per umbel yang digunakan dalam penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada penyerbukan silang.

Tabel 15. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang Perlakuan Jumlah bunga per

umbel Jumlah kapsul per umbel Pembentukan kapsul (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 97.1 a 79.6 b 10.9 a 12.4 a 11.55 a 16.19 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%

Antara penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri juga tidak ada perbedaan yang nyata terhadap jumlah TSS, bobot TSS maupun persentase TSS bernas per umbel (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang tidak berpengaruh terhadap produksi TSS. Keberhasilan

(30)

penyerbukan silang salah satunya dipengaruhi oleh ketepatan tingkat kematangan serbuk sari yang akan diserbukkan ke stigma yang reseptif. Pembentukan kapsul dan biji yang rendah dapat disebabkan oleh waktu penyerbukan yang tidak tepat antara serbuk sari yang matang dengan stigma reseptif, yang akan berpengaruh terhadap mutu TSS (Tabel 17). Hal ini terlihat pada daya berkecambah dari penyerbukan silang yang lebih rendah daripada penyerbukan sendiri. Daya berkecambah pada penyerbukan sendiri memenuhi persyaratan benih bermutu >75%), sedangkan dari penyerbukan silang diperoleh TSS dengan daya berkecambah 66.67%, yang tidak memenuhi persyaratan benih bermutu. Bobot benih 100 butir dan potensi tumbuh maksimum antara kedua sistem perkawinan juga tidak berbeda nyata.

Tabel 16. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran rendah Subang

Perlakuan Jumlah TSS per umbel Persentase TSS bernas Bobot TSS per umbel (g) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 14.2 a 18.8 a 75.94 a 79.66 a 0.060 a 0.070 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%

Tabel 17. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran rendah Subang

Perlakuan Bobot 100 butir

(g) Daya berkecambah (%) Potensi tumbuh maksimum (%) Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang 0.350 a 0.310 a 76.67 a 66.67 b 80.00 a 74.00 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%

Dari hasil percobaan di atas diketahui bahwa di dataran tinggi Lembang penyerbukan silang menghasilkan produksi TSS yang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri, walaupun mutu TSS yang dihasilkan tidak berbeda nyata (Tabel 13 dan 14). Sementara di dataran rendah Subang penyerbukan sendiri dan silang menghasilkan produksi TSS yang tidak berbeda nyata (Tabel 16 dan 17),

(31)

akan tetapi daya berkecambah TSS dari penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada penyerbukan silang. Data ini menegaskan hasil percobaan sebelumnya bahwa kondisi lingkungan dataran rendah cukup optimum untuk pemasakan kapsul. Selain itu hasil ini juga memberikan indikasi pentingnya peran polinator dalam meningkatkan produksi TSS terutama di dataran tinggi, sementara di dataran rendah upaya peningkatan pembungaan bawang merah masih diperlukan.

Percobaan 3. Peran Serangga Penyerbuk dalam Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) dengan di Dataran Tinggi Lembang

Pembentukan Kapsul

Pengamatan jumlah bunga per umbel dilakukan sebelum pelepasan serangga penyerbuk ke dalam kerodong kain kasa. Rerata jumlah bunga per umbel adalah 172.7 bunga (Tabel 18). Serangga penyerbuk yang digunakan ada empat jenis yaitu lebah madu introduksi Apis mellifera, lebah madu lokal Apis cerana,

lebah hutan Trigona sp. dan lalat hijau Lucilia sp dan penyerbukan terbuka

sebagai control.

Hasil pengamatan pada penyerbukan terbuka diketahui bahwa serangga penyerbuk yang mengunjungi bunga bawang merah antara lain tabu-tabuan, lebah besar, lalat hijau, lalat kecil, semut dan kupu-kupu (Gambar 9). Umumnya serangga tersebut mengunjungi bunga bawang pada cuaca cerah antara pukul 09.00 - 12.00, tetapi pada saat cuaca mendung atau hujan hanya lalat yang masih mengunjungi bunga bawang merah.

Serangga penyerbuk berperan nyata dalam pembentukan kapsul per umbel (Gambar 10 dan Tabel 18). Lebah madu A. cerana merupakan penyerbuk yang

paling efektif diantara penyerbuk lainnya dalam menghasilkan kapsul bawang merah. Jumlah kapsul bernas per umbel yang terbentuk dengan bantuan A. cerana

tidak berbeda nyata dengan A. mellifera dan penyerbukan terbuka, berkisar antara

56.6-66.5 buah/umbel, dan proporsi bunga menjadi kapsul (persentase pembentukan kapsul bernas per umbel) berkisar antara 33.45-38.74%. Persentase kapsul bernas per umbel yang dihasilkan pada perlakuan A. cerana lebih tinggi

(32)

Gambar 9. Berbagai jenis serangga penyerbuk pada perlakuan penyerbukan terbuka: lebah, kupu-kupu, semut, lalat, dan tabu-tabuan, di dataran tinggi Lembang

Kapsul yang terbentuk dalam satu umbel baik pada perlakuan serangga penyerbuk maupun pada perlakuan penyerbukan terbuka terdiri atas kapsul bernas dan kapsul hampa. Kapsul bernas berwarna hijau (Gambar 10) mempunyai ukuran yang besar dengan tiga lokul yang membengkak yang berisi biji (bernas atau hampa), sedangkan kapsul yang hampa berwarna coklat dengan ukuran lebih kecil dan tidak beruang (tidak berbiji). Persentase pembentukan kapsul bernas per umbel dari Trigona sp. dan Lucilia sp. rendah yaitu masing-masing 14.15% dan

23.40% (Tabel 18). Hasil penelitian Rao dan Suryanaraya (1989) melaporkan bahwa tanpa bantuan serangga penyerbuk atau ketidaktersediaan penyerbuk efektif selama periode pembungaan, penyerbukan silang pada bawang bombay hanya menghasilkan pembentukan kapsul bernas sebesar 17%.

(33)

Tabel 18. Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Jumlah bunga

per umbel

Jumlah kapsul bernas per umbel

Pembentukan kapsul bernas per umbel (%)

Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata 170.0 a 176.1 a 179.0 a 168.6 a 169.9 a 172.7 56.6 a 66.5 a 25.3 c 39.7 b 57.7 a 33.45 ab 38.74 a 14.15 c 23.40 bc 34.53 ab KK (%) 10.11 14.88 21.90

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%;

transformasi √(x+1)

Gambar 10. Kapsul bawang merah yang terbentuk dari penyerbukan dengan bantuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp.

(D), penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang .

Perilaku A. cerana dalam menyerbuki bunga bawang merah berbeda

dengan penyerbuk lainnya, termasuk A. mellifera yang sama-sama lebah madu. A. cerana umumnya lebih lama mengunjungi bunga dan aktif bergerak mengitari

(34)

ekor pada satu umbel dari pukul 9.00 – 13.00 pada saat cuaca cerah. Apis mellifera cenderung hinggap sebentar saja pada satu umbel tetapi

berpindah-pindah antar umbel dan tidak bergerombol. Pada penyerbukan terbuka, serangga yang berperan dalam produksi kapsul diduga lebah besar berwarna hitam yang mempunyai perilaku seperti A. cerana tetapi populasi di alam terbatas,

dipengaruhi tanaman lain yang sedang berbunga di sekitar pertanaman bawang merah. Pada percobaan ini di sekitar pertanaman bawang merah ditanami tagetes yang berbunga kuning untuk menarik serangga pengunjung lainnya. Perilaku

Lucilia sp. atau lalat hijau hampir seperti lebah besar yang soliter. Trigona sp

hanya sesekali hinggap di bunga bawang dengan frekuensi yang rendah dan waktu yang singkat, umumnya hanya terbang di atas tanaman dan hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya. Perbedaan perilaku serangga tersebut menunjukkan efektivitasnya dalam membantu penyerbukan dan produksi kapsul bawang merah. Menurut Yucel dan Duman (2005) perilaku berkelibang serangga digunakan untuk menentukan penyerbuk yang efektif dalam kaitannya dengan peningkatan penyerbukan silang. Perpindahannya antar bunga dalam satu umbel atau antar umbel dalam satu tanaman atau antar tanaman mempengaruhi keberhasilan penyerbukan dan fertilisasi terutama pada tanaman yang menyerbuk silang. Berdasarkan jumah kapsul per umbel, Trigona sp. merupakan penyerbuk yang

tidak efektif untuk tanaman bawang merah sebagaimana dilaporkan oleh Heard (1999) bahwa meskipun menjadi pengunjung utama tanaman bawang bombay tetapi Trigona sp. hanya kadang-kadang menyerbuki bunganya.

Produksi TSS

Sejalan dengan pembentukan kapsulnya, A. cerana menghasilkan jumlah

dan bobot TSS (benih bernas) per umbel paling tinggi (Tabel 19). Banyaknya benih bernas dari satu umbel yang dihasilkan oleh A. cerana yaitu 155.5 butir

dengan bobot 0.494 g memberikan indikasi tingginya penyerbukan oleh A. cerana. Persentase TSS bernas per umbel pada perlakuan A. cerana yang

mencapai 93.12% dari total TSS per umbel menunjukkan bahwa hampir semua benih yang dihasilkan merupakan benih bernas yang viabel. Hasil uji Tukey

(35)

berbeda nyata dengan perlakuan penyerbuk lainnya. Perlakuan A. mellifera, lalat

hijau dan penyerbukan terbuka menghasilkan jumlah dan bobot TSS bernas per umbel yang tidak berbeda nyata (Tabel 19). Trigona sp. merupakan penyerbuk

yang menghasilkan produksi benih bernas yang paling rendah (0.164 g/umbel), yang ditunjukkan juga dalam persentase pembentukan kapsul per umbel yang rendah (Tabel 18). Perilaku Trigona sp. yang kurang aktif berkelibang pada

bunga diduga menyebabkan serangga ini tidak banyak membantu transfer serbuk sari dari antera ke permukaan stigma, sehingga kurang efektif membantu penyerbukan. Selain banyaknya bunga yang terserbuki, pembentukan benih per umbel terkait dengan banyaknya serbuk sari viabel yang dapat menempel pada stigma. Diduga dengan semakin aktif serangga penyerbuk semakin banyak serbuk sari viabel yang menempel pada stigma.

Tabel 19. Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Jumlah TSS per umbel Persentase TSS bernas per umbel (%) Bobot TSS per umbel (g) Apis mellifera (Lebah madu) 105.2 b 86.45 a 0.318 b Apis cerana (Lebah madu) 155.5 a 93.12 a 0.494 a Trigona sp. (Lebah hutan) 46.9 c 88.76 a 0.164 c Lucilia sp. (Lalat Hijau) 92.2 b 91.39 a 0.322 b Penyerbukan terbuka rerata 115.7 b 84.65 a 88.87 0.316 b KK (%) 23.04 6.13 23.29

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%

Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa bobot TSS bernas per tanaman

berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 20). Hasil tertinggi dicapai oleh perlakuan

A. cerana (1.328 g/tanaman), namun hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan

perlakuan Lucilia sp. (0.898 g/tanaman) dan A. mellifera (0.888 g/tanaman).

Berdasarkan bobot benih per umbel dan per tanaman tampaknya lalat hijau

(36)

dataran tinggi setelah A. cerana. Sajjad et al. (2008) juga melaporkan penyerbuk

tersebut merupakan penyerbuk efektif kedua setelah lebah madu dan penyerbuk paling baik diantara golongan Diptera pada bawang bombay. Kelemahan lalat hijau sebagai penyerbuk adalah karena lalat meninggalkan kotoran pada bunga yang menyebabkan bunga membusuk sehingga justru mengganggu pembentukan kapsul dan benih. Kendala ini yang mengurangi produksi TSS oleh lalat hijau. Dari penyerbukan terbuka bobot TSS bernas per tanaman yang dihasilkan cenderung lebih rendah daripada A. mellifera dan lalat hijau. Bobot TSS bernas

per tanaman pada Trigona sp. paling rendah, hanya 0.464 g (Tabel 20). Bobot

TSS per tanaman ini setara dengan hasil bobot TSS per umbel pada perlakuan A. cerana (Tabel 19).

Tabel 20. Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang

Perlakuan Bobot TSS per

tanaman (g)

Bobot TSS per plot (g/60 tanaman)

Jumlah umbel dipanen per plot

Apis mellifera (Lebah madu) 0.888 ab 21.94 bc 167.4 b Apis cerana (Lebah madu) 1.382 a 62.15 a 161.6 b Trigona sp. (Lebah hutan) 0.464 c 8.82 c 162.6 b Lucilia sp. (Lalat Hijau) 0.898 ab 38.77 ab 167.2 b Penyerbukan terbuka 0.884 bc 42.18 ab 222.2 a KK (%) 8.99* 7.75* 12.12

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada

masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%;

*transformasi √(x+1)

Jumlah umbel yang dipanen pada setiap plot perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan penyerbukan terbuka dengan perlakuan serangga penyerbuk (Tabel 20). Pada plot perlakuan penyerbukan terbuka umbel yang dipanen sebanyak 222.2 umbel. Semua plot perlakuan serangga penyerbuk menghasilkan jumlah umbel dipanen yang tidak berbeda nyata, berkisar 161-167 umbel. Rendahnya umbel yang dapat dipanen pada plot serangga penyerbuk disebabkan karena kondisi iklim mikro di dalam kerodong kain kasa sangat

(37)

mendukung untuk perkembangan penyakit bercak ungu (cendawan Alternaria porri), antraknose (cendawan Colletrotichum sp.) dan embun bulu (cendawan Peronospora destructor) yang menyerang daun dan tangkai bunga bawang merah

(Gambar 11). Suhu di dalam kerodong kain kasa berkisar 23 – 240 C dengan kelembaban antara 70 – 75% (Lampiran 5), sedangkan suhu di luar kerodong kain kasa antara 19 – 200 C dengan kelembaban antara 82 – 87% (Lampiran 4). Kurangnya sirkulasi udara di dalam kerodong kain kasa menyebabkan penyakit cepat menyebar ke tangkai bunga yang berdekatan. Serangan penyakit pada stadia kapsul telah terbentuk masih memungkinkan panen kapsul. Namun serangan yang terjadi pada stadia bunga menyebabkan tangkai umbel yang terkena penyakit menghitam sehingga umbel tidak dapat berkembang menjadi kapsul karena tidak ada pasokan nutrisi ke umbel untuk perkembangan kapsul dan biji. Beberapa umbel tetap segar sampai panen walaupun bunga tidak berkembang menjadi kapsul.

Gambar 11. Tiga penyakit utama bawang merah yang menyerang tangkai umbel (A) dan daun (B): bercak ungu, antraknose dan embun bulu di dataran tinggi Lembang

Bobot TSS per plot dari perlakuan A. mellifera dan Lucilia sp. lebih

rendah daripada penyerbukan terbuka (Tabel 20 dan Gambar 12), meskipun bobot TSS bernas per umbel dan per tanaman lebih tinggi. Bobot TSS per plot dari perlakuan A. cerana paling tinggi (62.15 g/60 tanaman) diantara perlakuan

lainnya meskipun jumlah umbel yang dipanen lebih rendah daripada perlakuan penyerbukan terbuka, karena bobot TSS per umbel dan per tanaman lebih tinggi

A

Gambar

Tabel 1.  Fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di  dataran tinggi Lembang dan dataran rendah Subang
Tabel 3. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah umbel per tanaman,  jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang  merah di dataran tinggi Lembang
Tabel 5. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel,  persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per  tanaman di dataran tinggi Lembang
Gambar 5.  Produksi TSS per plot dari perlakuan dosis Boron 3 kg/ha (A) dan dari  perlakuan kontrol (B) di dataran tinggi Lembang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alat yang digunakan memanfaatkan Mikrokontroler Arduino Uno sebagai pusat Kontrol, sensor arus ACS712-20A untuk mendeteksi besarnya arus yang masuk pada peralatan, keypad

Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan 4 variabel independen dalam pengaruhnya terhadap struktur modal menunjukkan bahwa 2 variabel memiliki pengaruh signifikan terhadap

ide tentang cara menemukan jawaban melaui eksperimen yang akhirnya siswa mampu mengembangkan ide, serta mampu menghubungkan hasil eksperimen dan aplikasinya. Dengan

Apabila kita lihat dari pendapat di atas mengenai tujuan dari pendekatan pembelajaran Inquiry yakni diharapkan setelah siswa mengikuti proses pembelajaran dengan

baik berdasarkan validasi ahli media, sehingga layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran; (3) ada perbedaan untuk masing-masing kepercayaan diri dan hasil

Hal ini terbukti; (1) Ada perbedaan antara model pembelajaran pratikum melalui pendekatan discovery berbasis inkuiri dengan model pembelajaran pratikum tanpa melalui pendekatan

Model pembelajaran Cooperative Learning tipe Two Stay Two Stray (TSTS) adalah suatu model pembelajaran sebagai solusi pada permasalahan tersebut yang tujuannya

Selanjutnya, hasil pengolahan juga memperlihatkan bahwa dengan pendekatan output oriented , diketahui bahwa jika pada tahun 2019 seluruh sampel usahatani jagung di