Ini adalah prinsip Ehipassiko yang diturunkan dari teladan Bodhisatta (Bakal Buddha) dalam memenuhi Parami (prinsip kesempurnaan) sampai menjadi Buddha. Prinsip ini juga merupakan cara hidup umat Buddha sejati di dalam mengarungi samudra Sangsara (siklus kehidupan dan kematian) yang
58 mahalama ini.
Semoga aku menjadi obat bagi yang sakit.
Semoga aku menjadi makanan bagi yang kelaparan. Semoga aku menjadi pelindung bagi yang takut. Semoga aku menjadi suaka bagi yang dalam bahaya. Semoga aku menjadi penyejuk bagi yang murka. Semoga aku menjadi pemandu bagi yang tersesat. Semoga aku menjadi bahtera bagi yang menyeberang. Semoga aku menjadi pelita bagi yang dalam gulita. Semoga sepanjang masa,
saat ini dan selamanya,
aku melayani, untuk menjadi sempurna, aku menjadi sempurna, untuk melayani. DHARMA UNIVERSAL
"Dharma itu hanya satu, bukan banyak. Pembedaan muncul karena
kepentingan orang-orang yang tidak tahu." (Seng-Ts'an, Sesepuh Zen Ketiga) Ehipassiko adalah lembaga non-sektarian yang menghormati keragaman tradisi dan budaya Buddhis, bahkan non-Buddhis sekalipun. Ehipassiko mengacu pada prinsip-prinsip Dharma (baca: Kebenaran Universal) yang bukan milik eksklusif individu atau kelompok tertentu. Kebenaran tidaklah diskriminatif; kebenaran adalah "bagai sang surya menyinari dunia", tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih.
"Perbedaan" itu "beda" dengan "pembedaan"
"Perbedaan" seyogianya tidak dipandang sebagai alasan "pembedaan". Perbedaan atau keragaman adalah suatu sifat alamiah dari jagad raya ini, yang telah ada, masih ada, dan akan selalu ada. Pelangi akan selalu berwarna-warni. Bukankah di situlah indahnya pelangi?
Lain halnya dengan "pembedaan". Pembedaan timbul karena pikiran yang diskriminatif, yang dualistik, yang melekat pada konsep baik–buruk, menang– kalah, untung–rugi, suka–tidak suka. Sikap pembedaan dan kemelekatan ini berakar dari ketidaktahuan (moha), dan dengan cepat akan terpupuk menjadi dualisme ketamakan (lobha) dan kebencian (dosa).
Betapapun tampak baiknya atau terasa nikmatnya, sayangnya, "pembedaan" ini tidak akan membawa kita pada kedamaian dan kebahagiaan sejati. Dalam tingkat ekstrem, pikiran yang diskriminatif dan melekat ini justru akan
mendatangkan penderitaan, entah itu disadari atau tidak, diakui atau tidak. Inilah salah satu contoh Kebenaran Universal: "Kemelekatan membawa derita." Believe it or not? Ehipassiko!
Bhinneka Tunggal Ika
Masihkah kita ingat semboyan negara yang pernah kita hafalkan sejak SD ini? Semoga kita tidak hanya menganggapnya sebagai sekadar hiasan dinding di bawah gambar burung. Bukan main-main, ini adalah semboyan
59 negeri tercinta ini! Semboyan ini dikutip dari sebuah puisi Jawa Kuno dari Kitab Sutasoma karya Mpu Prapanca yang hidup pada abad ke-14 di Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu, puisi ini dibuat untuk menggambarkan toleransi antara pemeluk ajaran Buddha dan Hindu. Kutipan lengkapnya adalah:
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
(Arti harfiah: "mereka memang berbeda, namun mereka adalah sama, karena Kebenaran adalah satu".)
Secara singkat, Bhinneka Tunggal Ika ini berarti ”biarpun berbeda tetapi tetap satu Dharma”. Keragaman adalah suatu/satu kebenaran, biarpun kita semua berbeda, tetapi pada hakikatnya kita adalah satu. Semangat ini pulalah yang menjadi dasar toleransi (dasar menyikapi perbedaan) dalam segenap aspek kehidupan. Perbedaan adalah hakikat kehidupan sepanjang masa. Masihkah pikiran kita akan "membeda-bedakan" atau mempertanyakan lagi kenapa kita "berbeda"? Segala sesuatu memang berbeda, tetapi justru itulah
"kesamaannya", itulah "kesatuannya". Inilah contoh lain Kebenaran Universal: "We are One," demikian kata Simba dalam Lion King 2.
We are one: semua ingin berbahagia
Ada satu kesamaan di antara kita semua, semua makhluk hidup di jagad raya ini, besar atau kecil, tampak atau tak tampak, manusia atau hewan, tanpa terkecuali. Semua tidak ingin menderita. Semua ingin berbahagia! Lagi-lagi contoh Kebenaran Universal: "Semua ingin berbahagia." Kalau kita renungkan baik-baik, layakkah kita membenci, menganiaya, merugikan, bahkan membunuh makhluk lain?
Keinginan untuk berbahagia, tidak diragukan lagi telah menjadi tenaga
penggerak utama (kalau bukan satu-satunya) seluruh roda kehidupan. Namun sayang, dalam memenuhi naluri dasar ini—lagi-lagi karena ketidaktahuan— kita tersilaukan, terjebak, dan tersesat. Kita berbuat ini dan itu dengan alasan demi kebahagiaan, namun alih-alih mendapatkan kebahagiaan sejati, kita malah ikut menuai rasa cemas dan menderita.
Dalai Lama mengatakan, "Penderitaan adalah faktor paling dasar yang sama-sama kita alami dengan makhluk lain. Inilah faktor yang mempersatukan kita dengan semua makhluk hidup." Inilah semangat yang seharusnya
mempersatukan kita semua: semua ingin berbahagia! Prinsip Pelayanan Dharma Universal
Di dalam mewujudkan visi dan misinya, Ehipassiko berpegang pada prinsip sebagai berikut:
1. Keragaman sudut pandang dipahami sebagai kebenaran relatif atau kebenaran mutlak secara kontekstual.
2. Konsep/teori filosofis hanya dianggap sebagai gambaran pengalaman, bukan pengalaman itu sendiri. Pengalaman kebenaran mutlak adalah sesuatu yang tak terkatakan.
60 3. Pikiran yang tidak melekat adalah esensi pemersatu berbagai
pengalaman kebebasan.
4. "Be Good, Be Happy, Be Mindful" adalah esensi dari praktik Dharma Universal.
Dharma Universal merupakan "esensi" dari segala ajaran. Namun, dengan adanya begitu banyak pandangan dan tradisi, bagaimana kita bisa
menemukan esensi yang dimaksud? Berikut adalah pendekatan yang disarankan:
1. Ciptakan dasar pemahaman yang mendalam akan suatu pandangan. 2. Bersikap terbuka dan mau mempelajari pandangan lain.
3. Menerima perbedaan dan mencari kesamaan hakiki yang ada dalam setiap pandangan.
KETIDAKMELEKATAN
Di dalam ajaran Buddha, ada satu benang merah yang mempersatukan berbagai tradisi dan pengalaman kebebasan. Benang merah pemersatu tersebut adalah ketidakmelekatan (anupadana).
Semua tradisi Buddhis mengakui bahwa kemelekatan adalah sumber penderitaan; kemelekatan adalah hambatan bagi kebebasan sejati dan kebahagiaan mutlak. Tiga jenis kemelekatan mendasar adalah kemelekatan terhadap kesenangan indrawi (kama), pandangan (ditthi), dan konsep diri (atta).
Buddha berkata: "O para Bhikkhu, bahkan pandangan ini, yang demikian murni dan demikian jelas, jika engkau terikat padanya secara berlebihan, jika engkau terlalu membanggakannya, jika engkau terlalu menghargainya, jika engkau melekat padanya, engkau tidak mengerti bahwa ajaran itu serupa dengan sebuah rakit—yang dipakai untuk menyeberang, bukannya untuk dilekati erat-erat." (M.I. 260; Miln. 316)
Ketidakmelekatan adalah gerbang menuju Dharma Universal, menuju Nibbana!
Semoga semua makhluk… be good, be happy, be mindful.
HIKMAHBUDHI
61 Nama : Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia
(HIKMAHBUDHI)
Kantor pusat : Jl. Percetakan Negara V (Lima) B No.17 Jakarta 10570 Indonesia
Telp. +6221 70566755 Situs : www.hikmahbudhi.or.id
Bidang pengabdian : Kemanusiaan, pendidikan, dan kebudayaan
Profil :
Visi
HIKMAHBUDHI adalah sebuah organisasi mahasiswa Buddhis luar sekolah, yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam usaha membawa perdamaian dan kebebasan dari penderitaan.
Misi
HIKMAHBUDHI dalam misinya membawa serta mandat yang telah dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia.
Orientasi
HIKMAHBUDHI adalah organisasi mahasiswa ektra sekolah yang aktif dalam masalah-masalah sosial dan nasional berlandasan pada semangat moral, etis dan spiritual Buddhis yang non-kekerasan.
HIKMAHBUDHI adalah sebuah organisasi nasional bagi para mahasiswa Buddha, yang didirikan pada tahun 1988, tetapi selama tahun itu
eksistensinya tidak pernah berarti. Pada pertengahan tahun 1990an, beberapa orang aktivis mahasiswa Buddhis mencoba untuk menghidupkan kembali organisasi ini sebagai medium perjuangan untuk membangun kepekaan bagi permasalahan masyarakat Indonesia. Sebagai tambahan, HIKMAHBUDHI juga telah mengisi kekurangan elemen-elemen mahasiswa Buddhis dalam gerakan reformasi bersama-sama dengan organisasi mahasiswa lainnya.
Kebangkitan kembali HIKMAHBUDHI secara resmi dinyatakan oleh peneguhan Komisi Dewan Pusat, yang diketuai oleh Agus Tjandra, dalam kongres Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ) yang diadakan pada tahun 1998. Kongres ini juga menyatakan penggabungan KMBJ ke dalam HIKMAHBUDHI dan sejak itu KMBJ menjadi HIKMAHBUDHI cabang Jakarta. Pertumbuhan HIKMAHBUDHI terus berlanjut dengan pendirian beberapa dewan daerah lainnya seperti Semarang (Oktober 2000), Malang (Maret 2001(, Surabaya (April 2001(, Lampung (September 2001(, dan Mataram
62 (Desember 2001), dan pertumbuhannya terus berlanjut di beberapa daerah di Indonesia.
Hal ini tidak terlepas dari sumbangsih dan dukungan dari banyak aktivis mahasiswa Buddha dalam bidang-bidang yang berbeda-beda yang menyatukan hati dan visi mereka dalam Konferensi Mahasiswa Buddhis Indonesia (KMBI) yang diadakan di Jakarta pada tahun 2000. konferensi itu menghasilkan nilai-nilai yang berharga bagi sejarah kelahiran kembali HIKMAHBUDHI. Tanpa kontribusi mereka melalui KMBI, HIKMAHBUDHI mungkin hanya menjadi sebatas angan-angan saja. Usaha untuk
menghidupkan kembali HIKMAHBUDHI bukannya tanpa tantangan. Lagipula, dengan orientasi pergerakan yang cenderung memusatkan diri pada
masyarakat. Sikap sinis, curiga, dan ragu-ragu menyembur dari semua penjuru, bahkan dari para pemimpin Buddhis sendiri, rekan-rekan aktivis lainnya, termasuk sebuah kelompok anggota KMBJ dan organisasi
mahasiswa Buddhis lainnya. Di sisi lain, dukungan dan dorongan semangat datang dari masyarakat intelektual Buddhis yang moderat, meskipun dalam jumlah kecil saja. Ironisnya, dukungan terbesar justru datang dari
non-Buddhis dan aktivis non-Buddhis internasional, baik secara tertulis maupun dalam bentuk dukungan konkrit lainnya.
Manyadari tumbuhnya sikap sinisme, HIKMAHBUDHI mengambil sebuah tindakan untuk konsisten pada jalan pergerakan mereka, dengan tetap memberikan perhatian untuk memberi masukan dan kritik demi
pertumbuhannya. HIKMAHBUDHI menyadari bahwa tanpa dukungan yang luas, perjuangannya mustahil untuk dimenangi. Konsistensi ini tidaklah berlandasan pada keangkuhan tetapi lebih kepada kehendak untuk
membentuk sebuah medium untuk memperjuangakan eksistensi komunitas Buddhis masa depan yang peduli pada masalah-masalah sosial, dan nilai-nilai Buddhis universal.
Rangkaian Aktivitas:
- Program Keterampilan Hidup bagi para pemuda desa - Pelantikan dewan pengurus
- Kampanye “Selamatkan Borobudur demi Peradaban” - Jambore Mahasiswa dan Buddhist Inside
- Pekan Orientasi Nasional - Kongres
63 Nama : Palang Merah Indonesia (PMI)
Kantor pusat : Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 96, Jakarta Selatan (ada yang bilang alamat ini salah. Bisa di cross check? Situs : www.palangmerah.org
Bidang pengabdian : Kemanusiaan dan kesehatan
Sejarah :
Berdirinya Palang Merah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak masa sebelum Perang Dunia Ke-II. Saat itu, tepatnya pada tanggal 21 Oktober 1873 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai), yang kemudian dibubarkan pada saat pendudukan Jepang.
Perjuangan untuk mendirikan Palang Merah Indonesia sendiri diawali sekitar tahun 1932. Kegiatan tersebut dipelopori oleh Dr. RCL Senduk dan Dr Bahder Djohan. Rencana tersebut mendapat dukungan luas terutama dari kalangan terpelajar Indonesia. Mereka berusaha keras membawa rancangan tersebut ke dalam sidang Konferensi Nerkai pada tahun 1940 walaupun akhirnya ditolak mentah-mentah. Terpaksa rancangan itu disimpan untuk menunggu kesempatan yang tepat. Seperti tak kenal menyerah, saat pendudukan Jepang, mereka kembali mencoba untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional, namun sekali lagi upaya itu mendapat halangan dari Pemerintah Tentara Jepang sehingga untuk kedua kalinya rancangan itu harus kembali disimpan.
Tujuh belas hari setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 3 September 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah untuk membentuk suatu badan Palang Merah Nasional. Atas perintah
Presiden, maka Dr. Buntaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet I, pada tanggal 5 September 1945 membentuk Panitia 5 yang terdiri dari: dr R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis), dan dr Djuhana; dr Marzuki; dr. Sitanala (anggota). Akhirnya Perhimpunan Palang Merah Indonesia berhasil dibentuk pada 17 September 1945 dan merintis kegiatannya melalui bantuan korban perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia dan pengembalian tawanan perang sekutu maupun Jepang. Oleh karena kinerja tersebut, PMI mendapat
pengakuan secara Internasional pada tahun 1950 dengan menjadi anggota Palang Merah Internasional dan disahkan keberadaannya secara nasional melalui Keppres No.25 tahun 1959 dan kemudian diperkuat dengan Keppres No.246 tahun 1963.
Kini jaringan kerja PMI tersebar di 30 Daerah Propinsi / Tk.I dan 323 cabang di daerah Tk.II serta dukungan operasional 165 unit Transfusi Darah di seluruh Indonesia.
PERAN DAN TUGAS PMI
Peran PMI adalah membantu pemerintah di bidang sosial kemanusiaan, terutama tugas kepalangmerahan sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 yang telah diratifikasi oleh
64 pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1958 melalui UU No 59.
Tugas Pokok PMI :
+ Kesiapsiagaan bantuan dan penanggulangan bencana
+ Pelatihan pertolongan pertama untuk sukarelawan
+ Pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
+ Pelayanan transfusi darah ( sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 18 tahun 1980)
Dalam melaksanakan tugasnya PMI berlandaskan pada 7 (tujuh) prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, yaitu Kemanusiaan, Kesukarelaan, Kenetralan, Kesamaan, Kemandirian, Kesatuan dan Kesemestaan.
SEKILAS KINERJA PMI DARI MASA KE MASA