• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN

2.6. Defenisi Novel dan Setting “The Demon in The Tea House”

2.6.2. Setting dalam Novel “The Demon in The Tea House” karya

Setting atau latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan ( Abrams dalam Nugiyantoro, 1995 : 216 ).

Unsur – unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu: 1. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat – tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Dalam novel “The Demon in The Tea House” mengambil latar tempat di kawasan yang dikenal dengan dunia terapung tepatnya di kota Yoshiwara.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubunggkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan Thomas Hoobler

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

mereka mengambil setting pada masa kekuasaan rezim tokugawa tepatnya pada abad -18.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal – hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun non fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat – istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

Demikian juga dalam novel “The Demon in The Tea House” terdapat ruang lingkup, tempat, dan waktu sebagai waana para tokoh – tokohnya mengalami berbagai pengalaman kehidupannya. Peristiwa – peristiwa yang terdapat dalam novel “The Demon in The Tea House” terutama terjadi di dua tempat, yakni di Edo, dan Yoshiwara.

Sekitar tiga abad yang lalu, kota terbesar di dunia adalah Edo, ibu kota militer Jepang. disana, dalam kastil batu raksasa, hidup Shogun Yoshimune, keluarga Tokugawa kedelapan yang memerintah Jepang. Shogun pertama dari Tokugawa, Ieyasu, menempati puncak kekuasaan setelah mengalahkan musuh – musuhnya dalam peperangan. Para penerus Ieyasu menyadari ancaaman pada kekuasaan mereka jika membiarkan saingan – saingan menjadi terlalu kuat. untuk itu Yoshiwara dibina di dalam bandar Edo, Alasan utama dibuatnya bandar-bandar tanpa malam ini ialah percobaan oleh keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin kaya-raya ch nin (orang bandar) agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat. terletak berdekatan dengan apa yang dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi,

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang. Pada tahun 1656, disebabkan keperluan terhadap ruang kerana perkembangan bandar itu, pemerintahan mengambil keputusan untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan perancangan-perancangan dibuat untuk memindahkan daerah tersebut ke lokasinya sekarang di utara Asakusa di pinggir bandar tersebut.

Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh Jepang pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun. Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur kelas atasan yang berpangkat tinggi. Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi- bahagikan secara ketat di Yoshiwara. Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang cukup layak dilayani setaraf dengan samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan untuk memasuki kawasan Yoshiwara.

Orang Edo sangat takut pada api, melebihi ketakutan pada sepasukan samurai. Karena api datang tanpa peringatan, sering kali ketika kota sedang terlelap, dan menyebar lebih cepat dari pada kesatria berkuda. Edo sangat padat, dan banyak rumah dibangun dengan terburu – buru. Rumah – rumah mereka sangat rapuh, terbuat dari kayu tipis dengan jendela kertas. Sekali api berkobar tidak terkendali, ia bisa melahap satu baris rumah dalam sekejap. Hal ini berlaku di seluruh Jepang sehingga kawasan Yoshiwara ini pun tak luput dari kebakaran.

Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran Meireki (1657) ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

(Yoshiwara baru), lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara (Yoshiwara asal) akhirnya perkataan "shin" dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai Yoshiwara. Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923. Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran Jepang pada tahun 1958 setelah Perang Dunia Kedua.

Geisha pada dasarnya, hanyalah penghibur. Mereka hanya belajar bagaimana memuaskan pelanggan. Seorang geisha yang berusaha membunuh geisha lain akan bisa dengan mudah dikenali, Ia pastinya tidak punya peluang kerja di Yoshiwara. Orang – orang di Edo masih tetap membicarakan betapa menakutkannya Great Furisode Fire ( api besar menggulung ). Geisha tidak suka jika kedai tidak memperlihatkan kelas tinggi. Bagi seorang geisha menjadi geisha itu merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan uang yang banyak. hal ini berlaku di Yoshiwara kehidupan yang sangat sulit sehingga mengharuskan mereka menerima takdir untuk menjadi geisha.

Bagi seorang geisha kecantikan merupakan hal yang paling penting dalam menarik perhatian pelanggan. untuk itu bagian leher perempuan adalah kunci mengukur kecantikan perempuan sehingga tak dapat dipungkiri lagi persaiangan kerap saja terjadi antara sesama geisha. untuk menjadi geisha, satu – satunya cara ialah dengan membiarkan seseorang mengangkat kita menjadi adik perempuan mereka.

Diceritakan Umae mungkin adalah geisha yang paling terkenal di Edo. tak ada yang tahu berapa umurnya sekarang, karena riasan yang dipakainya sangat rapi dan memungkinkannya bisa menjelma menjadi berbagai umur. Ia lebih dikenal karena kemampuannya menghibur. Menjadi adik kecil umae berarti menjadi muridnya.

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

karena Umae merupakan geisha yang paling dihormati. Para geisha harus menghibur lelaki. itulah yang mereka lakukan. Meski mereka tidak bersama laki – laki, mereka tetap harus mempercantik diri atau meningkatkan kemapuan menyanyi dan menari.

2.7. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan moral. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.

Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra ( Laurenson dan Swingewood, dalam Suwardi 2008 : 78). Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin ( mirror ). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis ( tiruan ) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata – mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah di tafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Prespektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan adalah pernyataan Levin ( Elizabeth dan Burns dalam Suwardi 2008 : 79) “literature is not only the effect of

social causes but also the cause of social effect”. Sugesti ini memberikan arah bahwa

penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbale balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya saling mempengaruhi dalam hal – hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering menggungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depanya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.

Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (dalam Suwardi 2008 : 79 ) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisanya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

Langkah yang bisa ditempuh pendekatan ini, menurut Junus (dalam Suwardi 2008 : 93 ) ada tiga strategi, yaitu:

1. Unsur sastra diambil terlepas dari unsur lain, kemudian dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya. Strategi ini ditempuh karena karya sastra tersebut hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya.

2. Pendekatan ini boleh mengambil image atau citra tentang “suatu” – perempua n, laki – laki, orang asing, tradisi, dunia modern dan lain – lain

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

dalam suatu karya. Citra tentang “sesuatu” itu disesuaikan dengan perkembangan budaya masyarakat.

3. Pendekatan ini boleh juga mengambil motif atau tema, yang keduanya berbeda secara gradual. Tema lebih abstrak dan motif lebih konkret. Motif dapat dikonkritkan melalui pelaku.

Ketiga strategi penelitian tersebut, menunjukkan bahwa penelitian sosiologi sastra dapat dilakukan melalui potongan – potongan serita. Hubungan antar unsur dan keutuhan ( unity ) unsur juga tidak harus. Hanya saja pendekatan ini memang ada kelemahanya, antara lain peneliti akan sulit menghubungkan secara langsung karya sastra dengan sosiobudaya.

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drma, genre prosalah yang dianggap paling dominan dalam menampilkaan unsur – unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novel menampilkan unsur – unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah – masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, bahasa novel juga cenderung merupakan bahasa sehari – hari, bahasa yang umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsive sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris. Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Nyoman ( 2004 : 336 ) karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri – ciri zamannya. Seperti pada novel “The Demon in The Tea House” yang menunjukkan kehidupan manusia Jepang dalam Zaman Keshogunan khususnya kehidupan geisha.

Cara – cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora jelas membawa ciri – ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

untuk menanamkan secara lebih intern masalah – masalah kehidupan terhadap pembaca. Artinya ada kesejajaran antara ciri – ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Fungsi karya sastra yang penting yang sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari – hari. inilah aspek – aspek sosial karya sastra, dimana karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari – hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas menjasi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.

Sebagai multidisiplin, maka ilmu – ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspek – aspek kebudayaan yang lain, maka ilmu – ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu – ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan menurut Nyoman ( 2004 : 339-340) meliputi tiga macam, yaitu:

1. Menganalisis masalah – masalah sosial yang terkandung didalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.

2. Sama dengan diatas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek – aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua.

Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosiologi sastra, masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya.

Oleh sebab itu berdasarkan atas metode penelitian sosiologi sastra inilah penulis berusaha menjadikan nya pedoman untuk dapat menganalisi pembahasan pada bab III yang didalam nya mencakup tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan geisha dalam keluarga, dalam keterkaitannya dengan politik pemerintah, dalam ekonimi, dan dalam budaya sosial geisha itu sendiri. Sehingga apa yang diharapkan penulis dalam keingintahuan tentang kehidupan geisha dapat terjawab dengan penelitian menggunakan analisis sosiologi sastra, yang sebagai fungsinya bahwa karya sastra itu merupakan cerminan dari suatu masyarakat.

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

2.8. Biografi Pengarang

Dorothy, kelahiran 1946, Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Welles College ,A.B, pada tahun 1963. Ia juga merupakan lulusan dari New York University, dengan memperoleh gelar MA pada tahun 1971. Ia yang merupakan sejarwan berkebangsaan Amerika ini memiliki hobi musik, photography, berkebun, dan jalan – jalan ini juga sangat tertarik akan cerita – cerita sejarah dari berbagai belahan dunia. Salah satunya ialah sejarah tentang Jepang.

Bekerja sama bersama suaminya Dorothy & Thomas Hoobler berhasil menciptakan beberapa novel yang semua menceritakan tentang Jepang diantaranya ialah, The Age Of Hirohito ( Showa ), yang dirilis pada tahun 1990, The Ghost in The Tokaido Inn, yang dirilis pada tahun 1999, serta yang terakhir yang banyak dibicarakan ialah The Demon in The Tea House yang dibuat bersama suaminya Thomas Hoobler di New York pada tahun 2001. Saat ini ia tinggal bersama dengan anak perempuan mereka di New York. Ia yang memulai karir sebagai seorang penulis pada tahun 1973, dan dia juga bekerja sebagai seorang redaktur disebuah perusahaan surat kabar ternama di New York.

Ia yang juga seorang sejarawan telah menyusun hampir 60 jenis buku – buku yang sangat mengesankan, biography, dan juga persoalan – persoalan sosial. Buku – buku mereka dinilai memiliki keunggulan tersendiri oleh Library Congress, Parents Choice Foundantion, Bank Street College, International Reading Association, National Conference of Chistian and Jews dan yang terakhir ialah New York Library. Selain itu telah banyak penghargaan didapat dari hasil karya nya tersebut.

Ia menulis novel Jepang yang berjudul The Demon in The Tea House pada tahun 2001 yang merupakan novel khusus bacaan para remaja ini menggangkat

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

tentang kisah Seikei Konoike, Geisha, dan juga seorang Hakim Ooka yang merupakan tokoh – tokoh yang terdapat dalam cerita sesungguhnya. Tujuan dari diangkatnya novel yang bergenre misteri ini ialah tak lain ingin mengungkapkan keadilan serta kebenaran dalam kehidupan seorang geisha. Dalam menuliskan sejarah yang terjadi mengenai novel The Demon in The Tea House ini, Ia mencoba mempelajari secara khusus tentang seseorang atau peristiwa – peristiwa yang terjadi dengan terlibat atau ikut turut mendalami sejarah yang sesungguhnya sehingga ia dapat menguraikan kedalam novel tersebut. Ia dan suaminya yang merupakan seorang sejarawan ini pun rela untuk tinggal dan menetap ditempat dimana merupakan tujuan penelitiannya. Termasuk dalam proses pembuatan novel The Demon in The Tea House, Ia mencoba mengangkat sejarah akan kota Yoshiwara yang terkenal dengan sebutan dunia terapung itu.

Novel The Demon in The Tea House ini kemudian menjadi novel yang amat menarik, selain di latar belakangi atas sejarah era kepemimpinan shogun di Jepang, juga mengingatkan kembali akan kota Yoshiwara dimana pada kebakaran besar yang dikenal dengan tragedi meireki ( 1657 ) yang musnah ini coba dianggat kembali oleh pasangan suami istri ini. Serta sebuah novel misteri Jepang klasik yang sangat memikat hati. Selain novel ini sangat bagus. jalinan cerita dan pengembangan karaktenya amat baik. Sehingga novel ini akan sangat disukai dan dianjurkan bagi penggemar novel misteri dan samurai Jepang.

Ia yang menuliskan riwayat hidupnya tentang impian menjadi seorang yang multi cultural ( banyak kebudayaan ) beranggapan bahwa menjadi seorang sejarawan tak mempunyai beban yang berat namun dapat menggambarkan gambaran baik dari orang dan zaman. Ia juga telah banyak menulis riwayat – riwayat hidup dari figur – figur secara internasional.

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

. BAB III

ANALISIS KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY DAN THOMAS HOOBLER.

Dokumen terkait