• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &

THOMAS HOOBLER

DOROTHY & THOMAS HOOBLER NO SAKUHIN “THE DEMON IN THE TEA HOUSE” TO IU SHOUSETSU NO GEISHA NO SEIKATSU O SHAKAI

GAKU TEKI NA BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepapada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang.

OLEH :

AISYAH

NIM : 050708001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN

(2)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &

THOMAS HOOBLER

DOROTHY & THOMAS HOOBLER NO SAKUHIN “THE DEMON IN THE TEA HOUSE” TO IU SHOUSETSU NO GEISHA NO SEIKATSU O SHAKAI

GAKU TEKI NA BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepapada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang.

OLEH :

AISYAH

NIM : 050708001

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M,Hum Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D

NIP.19600919 198803 1 001 NIP. 19580704 198412 1 001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN

(3)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Disetujui, Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi S-1 Sastra Jepang

Ketua Program Studi

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D NIP. 19580704 198412 1 001

(4)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada Allah SWT, atas

segala rahmat, karunia, kasih saying, dan ridho-Nya atas apa yang telah dan akan

terjadi, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa salawat beriring

salam kepada junjungan dan panutan penulis, Nabi Besar Muhammad SAW, yang

telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat manusia.

Penulisan skripsi yang berjudul “ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP

KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA

DOROTHY & THOMAS HOOBLER”. ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam

mencapai kesarjanaan di Fakultas Sastra Program Studi Strata-1 Sastra Jepang

Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak

menerima bantuan dan bimbingan moril dan materil dari beerbagai pihak. untuk itu,

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.,Ph.D, selaku Ketua Program

Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku dosen

Pembimbing II, yang telah menyisihkan waktunya untuk memeriksa dan

memberikan saran dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang

(5)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi

ini, dari awal hingga ujian akhir skripsi ini selesai.

4. Dosen Penguji Ujuan Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan

menguji skripsi ini. Tak lupa penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar

Program Studi S-1 Sastra Jepang, Pak Nandi, Pak puji, Pak Yudi, Pak Amin,

Pak Ali, Pak Narita, Pak Erizal, Bu Adriana, Bu Rospita, Bu Hani, Bu Rani,

Bu Muhibah, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis sebagai

bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat menyelesaikan

perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat

bagi banyak orang.

5. Yang tak tergantikan di dunia dan akhirat, dan yang paling berpengaruh,

tentulah ibuku, Rusmawati dan ayahku, Suwandi, untuk semua kasih sayang,

kessabaran, doa untuk kebahagian dan keberhasilan anak-anaknya, keringat

dan air mata serta dukungan materil yang tak terhingga untuk pendidikan

anak-anaknya semoga Allah membalas semua kebaikan mereka. Dan,

Kakakku tersayang Rismayanti, serta Adikku Muhammad Arif, terima kasih

atas segala dukungannya.

6. Untuk teman-temanku, Liza, Dian Eka, Refina, Rahmadiah, Ellys, Gunawan

(friendship forever), dan buat Aa’ Dede terima kasih atas sokongan berupa

semangat yang telah diberikan kepadaku serta teman-teman angkatan 2005

Sastra Jepang S-1 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu (

...!!!!)

(6)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Akhirnya kepada Allah SWT penulis kembalikan segala persoalan serta berserah

diri dan selalu meminta petunjuk agar senantiasa dalam lindunganNya dan penulis

menyadari bahwa tulisan ilmiah ini kemungkinan masih banyak terdapat

kekurangannya oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi dunia pendidikan dan bagi

maasyarakat luas pada umunnya khususnya mahasiswa sastra Jepang.

Medan, 15 Oktober 2009

Penulis,

(7)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy

Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ………..8

Tujuan dan Manfaat Penelit ian ………12

Met o de Pene lit ia n…… ………… ………… ……… ………… ….14

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY & THOMAS HOOBLER 2.1. Defenisi Geisha ………...15

2.2. Sejarah Geisha ………16

2.3. Perkembangan Geisha di Jepang………..18

2.4. Masyarakat dan Geisha ………...24

2.5. Kehidupan Geisha ………...27

2.5.1 Kehidupan Geisha dalam Keluarga ………... 2.5.2 Kehidupan Geisha dalam Politik Pemerintahan ………... 2.5.3 Kehidupan Geisha dalam Ekonomi………...29

2.5.4 Kehidupan Geisha dalam Sosial Budaya ………31

2.6. Defenisi Novel dan Setting “The Demon in The Tea House”……….37

2.6.1 Defenisi Novel………. 2.6.2. Setting dalam Novel “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan Thomas Hoobler………....38

2.7. Biografi Pengarang ………...42

(8)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

BAB III ANALISIS KEHIDUPAN GEISHA DALAM NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY & THOMAS HOOBLER.

3.1 Sinopsis Cerita ……….49

3.2 Analisis Kehidupan Geisha dalan Novel “The Demon in The Tea House” 3.2.1. Kehidupan Geisha dan keluarga……….51

3.2.2. Berhubungan dengan Politik dan Pemerintahan ………...55

3.2.3. Berhubungan dengan Ekonomi ……….58

3.2.4. Berhubungan dengan Sosial Budaya ………..63

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ……….70

4.2 Saran ………72

(9)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan,

penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa dan gaya cerita yang menarik

(Zainuddin, 1992 : 99). Sedangkan menurut Rene Wellek dalam Badrun (1983 : 16),

Berpendapat bahwa sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat

imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya merupakan

sesuatu yang dibayangkan saja.

Sesungguhnya sastra yang merupakan sebuah karya seni adalah berupa hasil

ciptaan yang berasal dari imajinasi seorang penulis untuk dapat dipahami oleh para

pembaca sehingga dalam sastra diketahui bahwasannya ada cerita yang bersifat fiksi

dan non fiksi. Karya sastra yang bersifat fiksi adalah merupakan karya nyata

berdasarkan atas sumber atau objektifitas baik yang terjadi oleh sipengarang langsung

atau tidak. Sedangkan untuk karya sastra yang bersifat non fiksi merupakan karya seni

yang berupa imajinasi sipengarang yang dituangkan kedalam karya tulis baik novel

maupun cerpen dengan tujuan agar dapat dipahami oleh pemabaca.

Sastra dalam studi nya terdiri atas, puisi, prosa, drama. Dalam hal ini prosa

yang merupakan jenis karya sastra yang erat sekali hubungannya dengan unsur seperti

cerpen ( cerita pendek), novel dan roman. Hal ini dikarenakan prosa memiliki banyak

keterkaitannya dengan unsur-unsur sosial dan paling banyak mengekspresikan

kehidupan sosial suatu masyarakat sehingga secara fungsinya dapat menjabarkan

(10)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Novel itu sendiri menurut Henry Guntur mengutip dalam (“The American

College Dictionary”, 1993:164) adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang

tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata yang

resperentif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Hal ini

lah yang lebih menegaskan lagi bahwa novel berceritakan tentang kisah nyata suatu

keadaan yang terjadi dalam masyarakat

Dengan demikian, novel yang merupakan salah satu genre sastra sangat

menarik untuk dijadikan objek penelitian. Salah satu novel yang menarik untuk

dibahas adalah “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan Thomas Hoobler

yang banyak menggambarkan suasana Jepang abad ke-18 zaman Tokugawa. Dorothy

sendiri adalah sejarawan serta penulis lebih dari 60 buku, baik fiksi maupun non fiksi,

yang kebanyakan untuk pembaca muda.

Novel yang berjudul “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan

Thomas Hoobler mengandung unsur pengungkapan misteri, dengan mengambil latar

belakang cerita yang eksotis, dan plot yang cepat sehingga akan dapat menyenangkan

pembacanya.

Didalam novel ini dikisahkan mengenai seorang geisha yang menjadi sorotan

publik dikarenakan kecantikannya, geisha tersebut bernama Umae. Dimana

mengingat bahwa geisha ini merupakan salah satu kelas paling bawah yang tidak

mungkin menjadikannya setara dengan kehidupan kelas atas. Namun kenyataannya

berkata lain kehidupan geisha bernama Umae bak seorang puteri bangsawan sehingga

menimbulkan persepsi yang berbeda dikalangan masyarakat bahwa dengan menjadi

seorang geisha hidup pasti akan terjamin. Padahal kenyataan tidak demikian,

melainkan yang terjadi ialah menjadi seorang geisha itu merupakan pilihan akhir dari

(11)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

selain itu pandangan masyarakat akan citra buruk seorang geisha yang merupakan

golongan kelas eta dan hinin. Eta yang meliputi penjagal, penyamak, dan pengurus

makam, Sedangkan hinin bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan, dan algojo.

Y a n g l a i n n y a

termasuk pengemis, penghibur, dan pelacur. Istilah eta secara bahasa diartikan

sebagai ‘dekil’ sedangkan hinin diartikan sebagai ‘bukan manusia’, sebuah

cerminan jelas dari suatu sikap yang dimiliki kelas lain yang menganggap bahwa

eta dan hinin sama sekali bukan manusia. Hinin hanya diperkenankan untuk tinggal

di tempat-tempat khusus di kota. Salah satunya ialah kota terapung yang dikenal bagi

istilah untuk kota Yoshiwara dimana merupakan rumah bagi para geisha yang

termasuk dalam golongan hinin ( golongan paling rendah atau paling hina ).

Orang-orang dari golongan atas dianggap sah secara hukum jika harus membunuh

kaum hinin. Bahkan terkadang perkampungan kaum eta sengaja tidak dimasukkan ke

dalam peta resmi oleh pemerintah. Setiap orang tidak memiliki hak pribadi di zaman

Tokugawa ini. Keluarga merupakan keberadaan terkecil yang diakui, dan menjaga

nama baik keluarga merupakan hal yang paling utama di tingkat masyarakat.

Didalam novel ini juga dapat dilihat kehidupan masyarakat pada zaman itu,

yaitu bagaimana pola hidup masyarakat yang disebabkan oleh pengaruh kekuasaan

rezim Tokugawa. Dorothy dalam novel “The Demon in The Tea House”, mengatakan

bahwa kisah ini memberikan kilasan sejarah Jepang dan pemahaman akan idealisasi

citra diri manusia Jepang masa kini.

Novel The Demon in The Tea House yang dikarang oleh Dorothy dan Thomas

Hoobler ini ditulis berdasarkan catatan sejarah yang akurat dan dengan menambahkan

beberapa karakter fiktif yang berasal dari hasil daya imajinasi pengarang. Maka tidak

(12)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Umae, dibalik wajah cantik seorang gadis bernama Umae sebenarnya tersimpan suatu

keinginan untuk dapat hidup normal bak seorang rakyat biasa. Karena ia juga

memiliki naluri dan hati serta cinta sehingga ia juga mengalami tekanan yang sangat

berat dalam hidup yang sedang dijalaninya khususnya dalam kehidupan keluarga,

keterlibatan mereka dalam politik, usaha mereka dalam membantu pertumbuhan

ekonomi dan usaha mereka dalam mempertahankan budaya Jepang akan seni,

sehingga Dorothy sebagai penulis ingin meyakini pembaca bahwa cerita yang

disajikannya ini tak lain adalah sebuah cerita yang ingin diyakini kebenaranya. Serta

menyajikan bagaimana perjuangan seorang kaum bawah untuk dapat mempunyai

tempat dimata kaum atas meski pun tak setara dengan mereka tapi perjuangan seorang

geisha bernama Umae yang menjadikannya abadi menjadi seorang geisha

menghantarkannya sampai keakhir hidupnya. Impian yang dimiliki serta cinta yang ia

punya hanya dapat dirasakan oleh hatinya sendiri.

Dengan kombinasi aksi dan penilaian filosofis yang menarik mengenai

berbagai karakter yang dilakukan oleh pengarang, sehingga pembaca tidak pernah

dibuat kecewa atau bosan. Dengan latar belakang historis, yaitu pada zaman Edo,

yang dipimpin oleh Tokugawa, dan tokoh minor yang dapat ditemui disepanjang

cerita sama menariknya dengan tantangan hidup seorang geisha yang seumur

hidupnya hanya menjadi pelayan para bangsawan yang kesepian.

Oleh sebab itu, untuk membahas secara lebih terperinci lagi mengenai yang

ada dalam karya sastra tersebut melalui pendekatan sosiologis sastra dan historis

penulis mencoba mengkaji novel “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan

Thomas Hoobler.. Oleh sebab itu dalam novel “The demon In The Tea House” yang

diambil setting cerita sebagai pegangan penulis untuk dapat menghubungkannya

(13)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan antara hubungan

pengarang dengan kehidupan sosialnya. Sehingga aspek bentuk maupun isi karya

sastra tersebut akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu

periode tertentu.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka setelah membaca novel ini, penulis

menemukan permasalahannya yang membuat penulis tertarik untuk meneliti novel ini.

Adapun permasalahan tersebut adalah bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang

pada zaman Edo tepatnya pada abad ke-18 dibawah kepemimpinan Tokugawa,

bagaimana kehidupan geisha dalam kesehariannya pada zaman rezim Tokugawa

tepatnya pada zaman Edo yang meliputi keluarga, kesetiaan, serta hubungan antar

geisha dengan geisha, kaitannya geisha dengan politik, ekonomi, dan budaya sosial

yang terdapat dalam Novel “The Demon in The Tea House” karya Dorothy &

Thomas Hoobler, sehingga penulis akan membahasnya melalui skripsi yang berjudul :

Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha dalam Novel “The

Demon In The Tea House” Karya Dorothy & Thomas Hoobler”.

1.2. Perumusan Masalah

Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir

dan

berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya

sastra khususnya, dihasilkan melalui antar hubungan bermakna dalam hal ini subjek

(14)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

hidup dan menghasilkan kebudayaan. Sastrawan biasanya mengungkapkan kehidupan

manusia dan masyarakat melalui emosi, secara subjektif, dan evaluatif. Sastra juga

memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas.

Begitu juga dengan karya sastra berupa novel “The Demon in The Tea House” karya

Dorothy dan Thomas Hoobler. Didalam novel ini banyak menunjukkan kehidupan

sosial masyarakat Jepang terutama pada zaman Edo, yaitu mengenai pola pikir

masyarakat yang cenderung tertutup dan tidak terbuka atas keadaan lingkungan

sekitar. Kesadaran masyarakat akan peran sendiri-sendiri dalam kehidupan selalu

ditentukan oleh kewajiban. Sehingga ada kalanya seseorang akan merasa tidak puas

akan takdir yang seakan digariskan padanya. Jika dihubungkan dengan kenyataan

yang pernah terjadi, mustahil bagi seseorang geisha yang hanya merupakan kelas

bawah untuk bisa mengimbangi kehidupan seorang bangsawan hanya dengan modal

kecantikan saja. Dalam novel yang dibuat oleh Dorothy dan Thomas Hoobler ini

terkisahkan dengan jelas bagaimana sebenarnya kondisi serta situasi kehidupan

seorang geisha, dimulai dari kesehariannya yang penuh dengan kemewahan,

kehidupan yang penuh dengan kekosongan, sehingga hampir tak memikirkan akan

kesedihan, keterkaitan akan politik pemerintahan, ekonomi kerakyatan, dan juga

budaya sosial. Karena bagi seorang geisha prinsip hidup merupakan hal yang paling

penting yaitu menghibur tanpa ada hal lainnya. Tetapi sejatinya hidup seorang geisha

itu banyak mengalami tekanan diantaranya, selain mereka harus membayar hutang

keluarga serta adanya ikatan kontrak antar keluarga dengan pemilik rumah bordir.

Namun melalui novel “The Demon in The Tea House” Dorothy mengingatkan,

bahwa jangan sampai menggadaikan kehormatanmu dengan membiarkan hatimu

mengikuti keinginan pribadi. Hal ini dimaksudkan karena kebanyakan geisha tergiur

(15)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Untuk itu masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pertanyaan sebagai

berikut:

1. Bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang pada zaman Edo tepatnya pada

abad ke-18 dibawah kepemimpinan Tokugawa?

2. Bagaimana kehidupan geisha dalam kesehariannya pada zaman rezim

Tokugawa tepatnya pada zaman Edo dan kaitannya dengan ekonomi, politik,

dan budaya ?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis membatasi

permasalahan, yaitu pada hal yang berkaitan dengan masyarakat pada abad ke 18

zaman Edo yang meliputi keshogunan, daimyo, samurai, geisha , seni, dan hubungan

sosial antar masyarakat.

Analisis difokuskan kepada bagaimana sesungguhnya kehidupan para geisha

di tengah masyarakat khususnya masyarakat golongan kelas atas. Peran penting

geisha itu sendiri dalam kehidupan. Mengingat geisha merupakan golongan kelas

bawah namun dalam kenyataannya kehidupan seorang geisha bisa mengimbangi

seorang bangsawan yang kaya raya. Serta dengan adanya kenyataan bahwa tidak

mudah bagi seorang kelas bawah untuk berpindah kasta menjadi golongan atas. Hal

ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang

jauh, sehingga penulis dapat lebih terarah dan terfokus. Selain itu sebelum bab

pembahasan (bab III) penulis berusaha menjabarkan mengenai defenisi dari geisha,

sejarah geisha, perkembangan geisha di Jepang, dan kehidupan geisha itu sendiri.

untuk mendukung pembahasan yang lebih jelas dan akurat akan dijelaskan juga

(16)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

sosial geisha zaman Edo yang meliputi dari kondisi keluarga, kesetiaan, hubungan

antar para geisha, keterlibatan mereka dalam politik Jepang tepatnya pada era

Tokugawa, perekonomian masyarakat, dan memperkenalkan diri mereka terhadap

dunia luar dalam fungsinya sebagai symbol Jepang pada waktu itu, serta setting teks

novel “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan Thomas Hoobler dan juga

riwayat hidup pengarang.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka

Menurut Soekanto(dalam Nur Illyani, 2008:6), bahwa objek sosiologi adalah

masyarakat yang dilihat dari sudut antar manusia, dan proses yang timbale balik dari

hubungan manusia didalam masyarakat. kalau dilihat dari tingkat struktur sosial ini

bersifat abstrak, perhatiannya atau analisanya ditunjukan pada pola-pola tindakan,

jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam dalam waktu dan ruang, posisi

sosial dan peranan-peranan sosial. Menurut Munandar 1998:29 secara garis besar

tingkat analisis struktur ini memandang struktur sosial (masyarakat) sebagai berikut:

a. Masyarakat sebagai halnya organisme hidup.

b. Masyarakat sebagai sistem sosial.

c. Masyarakat sebagai tertib sosial.

d. Masyarakat sebagai sub-stratum yang melahirkan konflik.

Masalah sosial erat kaitannya dengan nilai-nilai,norma-norma,

lembaga-lembaga kemasyarakatan, oleh karena itu masalah-masalah sosial adalah bersifat

sosial, artinya masalah-masalah sosial itu berhubungan dengan aktivitas-aktivitas

(17)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

mendapatkan suatu keseimbangan-keseimbangan sosial [equilibrium], bahkan dengan

adanya perkembanngan diberbagai sektor, seperti industri, transportasi,

telekomunikasi, budaya, teknologi dan sebagainya, dapat menimbulkan berbagai

kepincangan, konflik-konflik dan masalah-masalah sosial lainya. Interprestasi

masyarakat terhadap nilai-nilai moral menjadi berubah, dari nilai-nilai traditional

yang tertib dan seimbang berganti menjadi nilai-nilai modern yang serba rumit dan

tampak lebih dinamis.(Abdul Syani 1987:115).

Peranan menurut Soekanto (dalam Nirmala, 2008:7) merupakan aspek dinamis

kedudukan (status). apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai

dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran. setiap orang mempunyai

macam-macam peranan yang berasal dari pola kehidupannya.

Di dalam novel The Demon in The Tea House dapat dilihat bagaimana

kehidupan masyarakat setelah kekuasaan dipegang oleh Tokugawa, yang didapatnya

melalui sebuah peperangan. Sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa kehidupan

masyarakat pun ikut mengalami perubahan diantaranya ialah adanya pembagian

golongan berdasarkan kelas-kelas, perbedaan antara hak dan kewajiban dan lain

sebagainya.

Untuk itu tak jarang dalam penelitiannya pendekatan sosiologi ini akan

cenderung mengarah pada moral seseorang hanya saja banyak yang beranggapan

bahwa pendekatan sosiologi ini sama dengan pendekatan moral. Hal ini dapat dilihat

bahwa keduanya sama-sama memiliki tujuan upaya memandang karya sastra sebagai

karya yang mengandung nilai-nilai, pemikiran, dan falsafah hidup yang akan

membawa manusia menuju kearah kehidupan yang lebih bermutu.

(18)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Penelitian kebudayaan ini dilakukan melalui novel yang merupakan sebuah

karya sastra. Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam

memecahkan atau menyoroti masalahnya. Sosiologis sastra adalah penelitian yang

terfokus pada masalah manusia.

Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood ( dalam Suwardi,

2008:79) terdapat tiga prespektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1)

penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya

merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang

menggungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang

menangkap sastra sebagai menifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

Hal ini seolah menegaskan bahwa karya sastra memang sering kali tampil terikat

dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.

Pendekatan sosiologis diarahkan pada telaah refleksi nilai. Hal ini berdasarkan

pengertian bahwa karya satra akan menyajikan sejumlah nilai yang berkaitan dengan

keadaan masyarakat masa teks ditulis. Secara implisit, karya sastra merefleksikan

proposi bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau, sekarang dan masa

mendatang. Karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup

dan dinamis.

Karena didalam penelitian ini dibahas mengenai analisis sosiologis terhadap

novel The Demon in The Tea House, maka teori yang digunakan adalah studi

sosiologi. Dalam novel ini The Demon in The Tea House mempunyai latar belakang

zaman Edo, maka dalam menganalisis novel ini juga menggunakan pendekatan

(19)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah

sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang karya sastra, dan

periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya individual. Kemudian, Pendekatan

historis mempertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Hakikat

karya sastra adalah imajinasi yang memiliki konteks sosial dan sejarah. Dengan

hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian

merupakan refleksi zamannya Nyoman(dalam Nur Illyani, 2008:8). dengan

pendekatan diatas, melalui novel The Demon in The Tea House dapat dilihat

kehidupan sosial masyarakat Jepang saat itu.

Menurut Jan Van Luxemburg (1992:46) semiotik adalah ilmu yang

mempelajari tanda-tanda, lambing dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik

ini menganggap bahwqa fenomena sosial maupun masyarakat dan kebudayaan itu

merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut dapat berupa gerakkan anggota badan,

warna, bendera, pakaian, karya seni, serta bentuk dan potongan rumah. Kemudian

tanda-tanda tersebut dihubungkan dengan konsep budaya sehingga pada kondisi ini

karya sastra yang berbentuk komik akan dijadikan sebagai tanda untuk

diinterprestasikan. Oleh sebab itu penulis menggunakan pendekatan semiotik untuk

menjabarkan keadaan serta tanda-tanda yang terdapat dalam novel The Demon in The

Tea House karya Dorothy dan Thomas Hoobler. Serta melalui teori semantik ini

penulis juga berusaha menjabarkan bagaimana situasi dan keadaan sosial masyarakat

pada zaman Edo khususnya kehidupan geisha serta tanda-tanda yang terdapat dalam

kehidupan geisha dilihat dari novel “The Demon in The Tea House.

Oleh sebab itu melalui pendangan kerangka teori berpikir seperti diatas, maka

didalam penelitian ini akan di tunjukkan mengenai Sejauh mana hubungan kekuasaan

(20)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

sekitar abad ke – 18, Bagaimana sesungguhnya kehidupan geisha pada rezim

Tokugawa serta peran penting geisha ditengah masyarakat Jepang yang dapat dilihat

melalui novel “The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan Thomas Hoobler.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui aspek-aspek kehidupan sosial yang terkadung dalam novel

“The Demon in The Tea House” karya Dorothy dan Thomas Hobbler.

2. Untuk Mengetahui masalah sosial geisha yang termasuk kaum bawah yang

terjadi pada zaman Edo khususnya pada saat rezim Tokugawa. Sehingga

dapat melihat perbedaan dengan masa sekarang dan mengetahui dampak dan

akibat yang ditimbulkan.

Adapun maksud dan tujuan penulis melakukan penelitian sosiologi sastra ini dilihat

dari teks “The Demon in The Tea House” adalah :

1. Memahami dan merasakan aspek-aspek kehidupan sosial yang terkadung

dalam karya sastra tersebut.

2. Memahami masalah sosial khususnya kaum geisha yang terjadi pada zaman

Edo. Sehingga dapat melihat perbedaan dengan masa sekarang dan

mengetahui dampak dan akibat yang ditimbulkan.

Berdasarkan dari tujuan tersebut maka, penulis mulai mengkaji beberapa novel

khususnya novel Jepang “The Demon in The Tea House” merupakan novel yang

cocok untuk dijadikan bahan penelitian penulis selain banyak menyajikan masalah

sosial juga menggambarkan secara kontras tentang masa dimana Shogun sangat

(21)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

yang dikarang oleh Dorothy dan Thomas Hoobler ini ditulis berdasarkan catatan

sejarah yang akurat dan dengan menambahkan beberapa karakter fiktif yang berasal

dari hasil imajinasi pengarang. Maka tidaklah berlebihan apabila kisah ini ingin

diyakini kebenarannya. Oleh sebab itu selain mengenal sejarah Jepang maka kita juga

dapat merasakan bagaimana situasi pada zaman tersebut.

1.5.2. Manfaat Penelitian

1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah pada masa

pemerintahan shogun.

2. Dapat menambah wawasan mengenai sosiologi atau kehidupan masyarakat

Jepang dan mengetahui kondisi sosial kehidupan masyarakat secara jelas

melalui novel The Demon in The Tea House.

1.6. Metode Penelitian

Dalam penulisan suatu karya ilmiah harus menggunakan metode sebagai

penunjang untuk mencapai tujuan. Penelitian merupakan suatu kegiatan yang

dilandaskan pada analisis dan kontruksi. Analisis dan kontruksi dilakukan secara

metodologis, sistematis, dan konsisten. Tujuannya ialah untuk mengungkap

kebenaran sebagai salah satu manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa yang

dihadapinya dalam kehidupan (Soekanto, 2003:410).

Berdasarkan tema dan permasalahan yang dianalisis dalam novel The Demon

in The Tea House, maka penelitian ini menggunakan metode deskriftif dalam cakupan

kualitatif. Menurut Koentjaraningrat(1976:30), bahwa penelitian yang bersifat

deskriftif, yaitu penelitian yang menggambarkan secermat mungkin mengenai

(22)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan

pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya

dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara menggumpulkan, menyusun,

mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterprestasikan data.

Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka, yaitu

pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka dengan menggunakan

buku-buku dab sumber-sumber lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian. Dan data

(23)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KEHIDUPAN GEISHA DAN NOVEL THE DEMON IN THE TEA HOUSE KARYA DOROTHY &

THOMAS HOOBLER

2.1. Defenisi Geisha

Geisha, yang dikenal juga dengan istilah geigi atau geiko, adalah sebutan bagi

para penghibur tradisional wanita. Mereka menghibur dengan cara bernyanyi, menari,

berbincang-bincang, bermain game(permainan bertanding), dan meladeni para tamu

dirumah-rumah makan tradisional jenis tertentu, (Kondansha,1983:446). Dunia geisha

pada umumnya disebut sebagai karyuukai (dunia bunga dan pohon yangliu/willow)

Kata “geisha” dalam imaginasi di dunia Barat konotasikan secara keliru yaitu

sebagai mitologi makhluk eksotis. Salah konsepsi tentang fantasi, pemikiran yang

penuh harap, dan polos merupakan perlakuan atas fakta-fakta yang ada sehingga

dalam bahasa Inggris untuk mengatakan kata ”geisha” mengarah pada anggapan pada

seorang wanita cantik yang patuh pada majikannya dan memenuhi semua nafsu dan

keinginan majikannya. Kepribadiannya tidak diperlukan oleh para majikan dan geisha

wajib melebur seperti halnya Madam Butterfly dari pada mengganggu para majikan.

Fantasi seperti ini sulit ditemui pada wanita nyata namun mudah didapatkan di mitos.

Geisha mempunyai perbedaan pada kedua sisi tersebut, antara legenda dan

kenyataan, dan buku ini membantu mengklarifikasi perbedaan-perbedaan itu. Mitos

secara alami, adalah sejarah dan individual transendental monolitik dimana realitas

merupakan variasi komunitas geisha di daerah-daerah berbeda di Jepang, status

hirarkinya dalam masyarakat dan tentu saja perbedaan-perbedaan secara individual di

(24)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Hal ini tidak bermaksud untuk mengatakan geisha tidak eksotis.

Wanita-wanita ini bahkan lebih misterius daripada yang mereka bayangkan sendiri – di

Jepang dan di luar Jepang, walaupun untuk alasan yang berbeda. Orang-orang Barat

beranggapan bahwa geisha pastilah ahli dalam hal kepatuhan di negara seperti Jepang

di mana wanita-wanita biasa harus mengedepankan urusan pria.

2.2. Sejarah Geisha

Geisha ( “seniman”) dalam bahasa jepang adalah seniman atau penghibur

tradisional (entertainer) . Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan

masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak.

Sejarah geisha dimulai dari awal pemerintahan Tokugawa, di mana Jepang

memasuki masa damai dan tidak begitu disibukkan lagi dengan masalah-masalah

perang. Seorang calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat selagi usia

dini. Berlatih alat musik petik shamizen yang membuat calon geisha harus merendam

jarinya di air es. Berlatih alat musik lainnya juga seperti tetabuhan kecil hingga taiko.

Berlatih seni tari yang menjadi kunci kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan

atas umumnya adalah penari, tari Topeng Noh yang sering dimainkan oleh geisha

dihadirkan bagi masyarakat kelas atas berbeda segmennya dengan pertunjukkan

Kabuki yang lebih disukai rakyat jelata. Geisha juga harus berlatih seni upacara

minum teh, yang pada masa medieval dianggap sama pentingnya dengan seni perang.

Dan berbagai latihan berat lain yang harus dijalani. Dan latihan itu masih terus

dijalanisetiap geisha hingga akhir karirnya. Seorang calon geisha sedari awal

menginjakkan kakinya ke rumah barunya , sudah memiliki hutang awal sebesar biaya

yang dikeluarkan pemilik Okiya untuk membelinya. Sungguh Ironis. Hutang itu terus

(25)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

yang ditalangi oleh Okiya, nyatanya dibebankan balik sebagai hutang geisha. Geisha

dengan level standar akan terus terikat hingga akhir hayatnya, berbeda dengan geisha

sukses yang dapat menebus kembali kebebasannya sebelum mencapai usia 20

tahunan.

Syarat menjadi geisha sukses umumnya memiliki kakak angkat yang

merupakan geisha senior sukses pula , sehingga dapat mengatrol popularitas si geisha

magang. Sementara geisha senior yang sukses juga tidak mau sembarangan menerima

adik angkat, karena menyangkut nama baik pula. Tetapi memiliki adik angkat yang

sukses akan berarti keberuntungan pula bagi yang dirinya, seniornya dan okiya-nya,

karena mereka sekian persen pendapatan si geisha muda tersebut.

Selain itu geisha muda juga harus melelang keperawanan kepada penawar

tertinggi, pendapatan dari lelang yang sukses itu dapat menebus sebagian hutang

geisha muda tersebut. Setelah itu mereka harus mencari danna(“suami”) sekaya

mungkin, agar dapat membiayai biaya hidup geisha yang tinggi, dan juga membayari

sebagian hutang-hutang geisha tersebut terhadap majikan mereka. Geisha yang sukses

dalam suatu okiya akan diadopsi oleh nyonya mereka, dan menggunakan nama

“keluarga” dari nyonya tersebut dan mewarisi segala kekayaan seisi rumah tersebut.

(26)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

2.3.Perkembangan Geisha di Jepang

Sistem geisha muncul di sekitar pertengahan Zaman Edo (1600-1868) geisha

yang pertama-tama adalah laki-laki (juga di sebut dengan hõkan atau taikomochi),

jadi wanita yang pertama menjadi geisha disebut onna geisha (geisha wanita). Secara

berangsur-angsur jenis hiburan ini menjadi pekerjaan wanita dimana sebutan “geisha”

kemudian digunakan untuk menyebut geisha wanita dan otoko geisha(geisha pria)

digunakan untuk menyebut geisha yang laki-laki. Pemakaian istilah geisha pertama

kali tercata pada tahun 1751 di Kyoto dan tahun 1762 di Edo (sekarang Tokyo).

Kemunculan geisha pria yang pertama kali adalah juga sekitar tahun 1600 an.

Mereka memasuki pestaa-pesta yang diadakan para y jo (pelacur) dan tamu-tamunya

dan menghiibur di sana. Geisha pria inilah yang sebenarnya pertama kali disebut

dengan geisha. Mereka juga disebut dengan (hõkan) atau pembawa gendang kecil

tradisional jepang (taiko-mochi). Dengan lincah dan bersemangat mereka membuat

para y jo dan tamu-tamunya tertawa dengan melontarkan lelucon-lelucon yang

berbau porno. Selain bertindak sebagai pelawak dan musisi, para geisha pria ini

menjadi teman menghibur yang baik dan serba bisa dalam pesta-pesta. Pada tahun

1751, para pelanggan di tempat pelacuran shimabara di kejutkan oleh penampilan

seorang wanita pembawa gendang (onna taiko-mochi) muncul di pesta mereka.

Wanita-wanita ini dikenal sebagai geiko, istilah ini masih digunakan di Kyoto sebagai

ganti geisha. Beberapa tahun kemudian, di Edo, penghibur wanita yang mirip dengan

itu bermunculan. Mereka disebut dengan onna geisha, atau geisha wanita. Pada tahun

1780, geisha wanita telah melebihi jumlah geisha pria, orang-orang kemudian mulai

menyebut otoko geisha untuk menyebut geisha pria. Pada tahun 1800, seorang geisha,

(27)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Pada tahun-tahun 1700-an profesi geisha dihubungkan dengan tempat-tempat

pelacuran yang mendapat izin dari pemerintah atau y kaku. Ada berbagai jenis dari

pelacur( y jo) di tempat ini, tetapi geisha adalah sebuah kelompok yang terpisah yang

dipanggil untuk menghibur pelacur dan tanu-tamunya dengan menyanyi dan menari.

Dengan tegas dikatakan bahwa geisha tidak diperbolehkan untuk bersaing dengan

pelacur yang menyediakan pelayanan seksual, walaupun perbedaan diantara keduanya

semakin lama semakin tak jelas. Pemerintah juga berusaha untuk membatasi

kemewahan pakaian geisha, dan dengan sengaja sering sekali yang direkrut sebagai

geisha adalah wanita-wanita yang sederhana atau lebih tua.

Selain dari geisha yang berhubungan dengan tempat-tempat pelacuran, juga

ada jenis geisha yang tidak terikat di tempat pelacuran yang mempunyai tempat

sendiri. Tempat-tempat geisha(okabasho) ini lambat laun menjadi pustaka

kebudayaan kota yang bersifat duniawi, dan geisha-geisha tersebut sering kali

menjadi pelopor mode terbaru. Di Kyoto hanamachi kelas atas bernama gion yang

merupaka distrik geisha yang pertama, dan di Tokyo distrik geisha yang terkenal

adalah fukagawa, Yanagibashi dan Akasaka.

Kebanyakan dari sastra, musik dan seni grafis dari zaman ini mengambil

inspirasi dari geisha, yang sering digambarkan dengan tamu-tamu mereka di

rumah-rumah minum teh atau perahu kecil beratap (yakata-bune) yang berada di sepanjang

sungai-sungai di Edo (Tokyo).

Mulai dari akhir Zaman Edo sampai sekarng ini, geisha telah mempunyai

hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar propinsi yang

merupakan pendukung Restorasi Meizi pada tahun 1868 menemukan bahwa

rumah-rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi

(28)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

politiki mereka yang disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan bersenang-senang

yang bertujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah keshogunan terhadap

kegiatan mereka. Bersama dengan berdirinya pemerintahan Meiji di Tokyo, beberapa

dari pemimpin – pemimpin baru ini tetap berhubungan dengan para geisha, baik yang

dari Yoshiwara( Edo) ataupun dari tempat lain, bahkan ada yang keemudian menikahi

geisha yang setia kepada mereka( Dalby, 2000:64).

Sejak itu, bagaimanapun juga, pada akhirnya geisha di Tokyolah yang

kemudian paling banyak terlibat dengan para politisi, disebabkan karena pusat

pemerintahan yang baru telah dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo, sebagai pusat

pemerintahan Meiji. Setiap golongan dari pemerintahan mempunyai distrik yang

digemarinya, dimana, seringkali dengan dilatarbelakangi acara minum-minum sake

dan suasana yang santai, ternyata merupakan tempat menyelesaikan negosiasi politik,

sehingga jatuh bangunnya kesuksesan sebuah hanamachi ( distrik geisha ) terkadang

tergantung dari golongan politik berkuasa mana yang melindunginya. Demi

kelangsungan profesinya para geisha merasa berkewajiban untuk merahasiakan

pembicaraan yang didengarnya selama pertemuan politik tersebut. Akibatnya rahasia

– rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya. Kendati

demikian, demi keamanan rahasia politiknya, para lawan politik mereka tidak

mempergunakan geisha yang sama ( Kondansha, 1983:15).

Pada awal abad ke-17, tersebar pelacuran lelaki dan perempuan di seluruh

bandar-bandar seperti Kyoto, Edo dan Osaka. Untuk mengatasi masalah ini,

diperintahkan oleh Tokugawa Hidetada pemerintah Keshogunan Tokugawa mengatur

pelacuran ke daerah bandar yang telah ditetapkan. Daerah-daerah ini ialah Shimabara

bagi Kyoto (1640), Shinmachi bagi Osaka (1624–1644) dan Yoshiwara bagi Edo

(29)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

keshogunan Tokugawa untuk menghalang golongan yang semakin kaya-raya ch nin

(orang bandar) agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat.

Yoshiwara dibina di dalam bandar Edo, terletak berdekatan dengan apa yang

dikenali pada hari ini sebagai Nihonbashi, bersamaan dengan Tokaido yang sibuk itu

di alihkan ke barat Kyoto di barat Jepang. Pada tahun 1656, disebabkan keperluan

terhadap ruang kerana perkembangan bandar itu, pemerintahan mengambil keputusan

untuk menempatkan semula Yoshiwara, dan perancangan-perancangan dibuat untuk

memindahkan daerah tersebut ke lokasinya sekarang di utara Asakusa di pinggir

bandar tersebut.

Ironiknya, daerah Yoshiwara yang lama musnah terbakar dalam Kebakaran

Meireki (1657) ia dibina kembali di lokasi baru yang dinamakan Shin Yoshiwara

(Yoshiwara baru), lokasi lama dinamakan Moto Yoshiwara (Yoshiwara asal)

akhirnya perkataan "shin" dibuang, dan daerah baru itu hanya dikenali sebagai

Yoshiwara.

Yoshiwara pernah menempatkan pelacur-pelacur sebanyak 1750 orang pada

tahun 1700-an, dengan mencapai rekod sebanyak 3000 orang dari seluruh Jepang

pada waktu itu. Kawasan itu dihuni lebih 9000 orang wanita, ramai antara mereka

yang menghidap penyakit kelamin pada tahun 1893. Wanita-wanita ini kerap kali

dijual ke rumah pelacuran oleh orang tua mereka pada usia 7 hingga 12 tahun.

Sekiranya anak-anak gadis itu bernasib baik, dia dapat menjadi perantis bagi pelacur

kelas atasan yang berpangkat tinggi. Apabila seorang gadis itu cukup tua dan

berkesempatan menyelesaikan latihannya, dia sendiri dapat menjadi gundik dan

berusaha untuk naik pangkat. Gadis-gadis itu kerap kali mempunyai kontrak dengan

rumah pelacuran untuk 5 atau 10 tahun saja, tetapi hutang yang besar selalu mengikat

(30)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

untuk mebebaskan diri daripada ikatan rumah pelacuran yang disebabkan kerena

semua hutangnya. Satu jalan keluar daripada Yoshiwara adalah dengan seorang

lelaki kaya membeli kontraknya dari rumah pelacuran dan menyimpannya sebagai

perempuan simpanan. Cara lain ialah sekiranya dia mampu membayar untuk

kebebasan dirinya sendiri dengan melunasi semua hutang piutang terhadap rumah

pelacuran. Bagaimana pun, perkara ini amat jarang berlaku.

Kelas masyarakat tidak begitu dibahagi-bahagikan secara ketat di Yoshiwara.

Seorang rakyat bawahan yang mempunyai uang cukup layak dilayani setaraf dengan

samurai. Walaupun samurai tidak dibenarkan untuk memasuki kawasan Yoshiwara,

bagaimana pun mereka kerap kali berbuat demikian. Mereka hanya dikehendaki

meninggalkan senjata mereka di pintu masuk pekan tersebut. Juga ditetapkan oleh

undang-undang, pemilik rumah pelacuran hanya dibenarkan bermalam selama sehari

dan semalam pada satu-satu waktu.

Yoshiwara juga menjadi kawasan komersial yang sangat terkenal.

Fesyen-fesyen di pekan tersebut sering kali berubah, menciptakan permintaan besar terhadap

golongan pedagang dan artis. Secara tradisi, pelacur-pelacur diperbolehkan memakai

hanya jubah biru yang ringkas, tetapi masalah ini jarang sekali diberlakukan.

Pelacur-pelacur berpangkat tinggi sering kali berpakaian menurut fesyen yang lagi trend pada

waktu itu, dengan kimono sutera yang berwarna-warni dan terang serta hiasan kepala

yang mahal dan halus buatannya. Fesyen amat penting di Yoshiwara sehinggakan ia

sering kali menentukan trend fesyen bagi seluruh Jepang.

Kawasan itu musnah dalam kebakaran besar pada tahun 1913, dan

kemudiannya hampir disapu bersih oleh satu gempa bumi pada tahun 1923.

Perniagaan di situ tidak lagi berjalan sehingga pelacuran dihapuskan oleh kekaisaran

(31)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Edo kini dikenali sebagai bandarnya Tokyo dan pelacuran merupakan masalah

yang menyalahi undang-undang, walaupun masalah yang sepatutnya salah ini

diperjelas dengan istilah yang lebih tegas (sebagai contoh, kata "pelacuran" bagi

beberapa hal tidak meliput i "perjanjian peribadi" yang dicapai antara seorang wanita

dan lelaki di rumah pelacuran). Kawasan yang dikenali sebagai Yoshiwara,

berhampiran stesen Minowa pada Hibiya Line, kini dikenali sebagai Senzoku

Yon-ch -me dan masih mempergunakan sejumlah besar soapland dan façades lain bagi

yang membutuhkan seks.

Pada awal tahun 1940-an pertunjukan geisha dilarang untuk umum dan

kebanyakan wanita dipaksakan untuk bekerja di pabrik-pabrik untuk upaya perang.

Pada akhir tahun 1970-an jumlah geisha hanya sekitar 17.000 orang, dan sekarang

hanya ada kurang dari 1000 orang. Geisha masa kini juga belajar bahasa Inggris dan

terkadang dipanggil untuk berpartisipasi untuk acara-acara khusus, baik itu di jepang

maupun untuk tujuan Internasional.

Salah satu alasan penurunan jumlah ini adalah karena munculnya hostes –

hostes bar- bar bergaya Barat. Banyak orang Jepang modern tidak mengenal lagi tata

cara pertunjukan geisha dan merasa bahwa gadis-gadis bar lebih menyenangkan,

praktis dan tarifnya murah. Dari sudut pandang wanita sendiri, adalah lebih mudah

untuk menjadi seorang hostes dari pada geisha karena tidak membutuhkan pelatihan

(32)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

2.4. Masyarakat Dan Geisha Pada Zaman Edo

Uraian mengenai kondisi masyarakat pada Zaman Edo dituliskan dalam bab

ini karena pada Zaman Edo inilah sistem geisha mulai muncul dan mengalami

perkembangan dalam dunia hiburan dan kebudayaan Jepang. Tujuan penulisan adalah

untuk menguraikan secara umum dalam keadaan masyarakat yang seperti apa tempat

muncul dan berkembangnya sistem geisha tersebut, yang meliputi bidang politik dan

pemerintahan, ekonomi dan masyarakat serta sosial budaya.

Zaman Edo ( 1603 – 1867 ) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh

keluarga Tokugawa. Disebut Zaman Edo karena pemerintah keshogunan Tokugawa

waktu itu berpusat di kota Edo ( sekarang disebut Tokyo ).

Pemerintah Tokugawa berlangsung selama kira – kira 264 tahun. Zaman ini

disebut juga sebagai zaman yang damai bagi Jepang karena tidak adanya serangan

terhadap bakufu dan tidak adanya keributan yang disebabkan perang antar daimyo.

Geisha menganggap diri mereka sebagai seniman sejati( Cobb, 1997:23).

ini menunjukkan bahwa geisha adalah lebih dari sebagai seorang peneliti dan pencipta

seni bukan hanya sekedar bagian dari dirinya. Seorang geisha seninya mengandung di

dalam dirinya sendiri, dan karena tubuhnya memiliki seni ini, hidupnya akan

disimpan. Itulah kekuatan seni - keselamatan jiwa seseorang . Hal ini menunjukkan

bahwa geisha adalah kampas dan pencipta seni daripada murni manifestasi dari itu; ia

memberi seseorang pengalaman potensi untuk seni dan melalui pengalaman seni ini

sifat keindahan sejati.( Cobb,1997 : 100 ). Gagasan tentang keindahan alami pada

umumnya yang paling ampuh dalam apresiasi terhadap keindahan fisik: keindahan

dirinya geisha serta penguasaan nya lagu, musik dan tarian. Hal ini juga menunjukkan

aspek lain dari gaya hidup geisha; seni bukan hanya geisha ketertarikan atau

(33)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

leher. Tetapi karena kita meletakkan makeup leher kita mirip dengan bentuk area

genital, itu sekarang berarti geisha dengan area genital yang indah, sebuah 'tempat

berjajar indah,' yang juga telah mengembangkan dirinya gei derajat yang tinggi. Ini

adalah kombinasi sempurna erotis keindahan dan pencapaian artistik yang tinggi. Ini

adalah apa yang kita inginkan. " ( Cobb, 1997 : 63 ). Kutipan ini menunjukkan

kesulitan mengukur geisha dalam satu kategori, mereka adalah seniman dan mereka

juga wanita kuat yang diinginkan oleh laki-laki.

Selama masa Tokugawa geisha diatur oleh “ Undang- Undang Kemewahan”

yang membatasi secara ketat apa saja yang dapat mereka gunakan. Undang – Undang

ini adalah satu usaha untuk memisahkan geisha dan pelacur, dimana pelacur memakai

kimono yang berlapis – lapis dan hiasan rambut yang banyak sementara geisha

mengenakan kimono yang lebih sederhana dan hiasaan rambut sedikit. Pada masa

Meiji, kepopuleran geisha bukan saja mempengaruhi bidang politik dan sosial di

Jepang, tetapi juga sangat mempengaruhi mode dan gaya masyarakat terbaru. Wanita

– wanita di seluruh Jepang dengan cepat mengikuti mode pakaian yang digunakan

geisha. Geisha bahkan yang pertama kali menggunakan beberapa pola kimono baru

dan gaya dalam memakainya.

Meski mode pakaian Barat masuk ke Jepang namun geisha tetap memutuskan

untuk tetap “tradisional”, peran geisha dalam dunia mode telah menghilang, dimana

sebelumnya geisha adalah pelopor mode kimono terbaru.

Tak dipungkiri lagi geisha selalu mengembangkan hubungan yang akrab

dengan tamu – tamunya dalam hal ini khususnya kaum pria, karena tamu – tamu para

geisha pada umumnya laki – laki, mulai dari hubungan antar geisha dan

pelanggannya sampai menjadi danna atau bahkan kekasih dari geisha tersebut. Pria

(34)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

kekasihnya. Hal ini dianggap normal bagi pria yang kaya dan berkuasa untuk

memiliki hubungan dengan geisha. Keadaan tersebut didasari oleh kebiasaan bahwa

hampir semua pernikahan di Jepang diatur oleh keluarga bukan karena keinginan

sendiri. Kemudian kelak dalam kehidupannya nanti, mereka memisahkan apa yang

menjadi hak istri dan apa yang menjadi kesenangan pribadinya ( Benedict,

1982 :192 ).

Hanya kaum pria dari kelas atas yang mampu mempunyai simpanan, tetapi

kebanyakan pria pernah mengunjungi geisha atau pelacur. Orang Jepang juga

memiliki kebiasaan tidak keluar rumah dengan istrinya atau keluarganya, kecuali pada

hari libur pergi memancing atau piknik ke tempat rekreasi lain. Pada pertemuan –

pertemuan resmi biasanya orang Jepang tidak membawa istri, Dikarenakan oleh

pengaruh Barat, sekarang ini sudah mulai ada orang Jepang datang ke resepsi atau

perjamuan dengan istrinya ( Rosidi, 1981 : 35 ). Untuk menghormati tamu atau

mengadakan pembicaraan penting, diadakan di restosan gaya Jepang atau tempat

hiburan lain, juga tidak dengan istrinya. Disinilah muncul peran geisha didalam

restoran yang bergaya Jepang, yakni menggantikan peran istri untuk menghibur dan

(35)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

2.5. Kehidupan Geisha

2.5.1 Kehidupan Geisha dalam Keluarga

Seorang geisha biasanya dijual sebagai seorang gadis kecil ketika keluarganya

tidak mampu membiayainya. Dia disebut sebagai seorang shikomi, seorang pelayan

yang terikat yang mengerjakan pekerjaan kasar. Rumahnya dikendalikan oleh

seseorangg yang disebut okasan (ibu), biasanya pensiunan geisha. Seorang shikomi

harus memberikan perhatian khusus pada keperluan-keperluan seorang geisha penuh

yang menghasilkan uang untuk rumah tersebut. Jika gadis itu menunjukkan

tanda-tanda bahwa dia berbakat, dia mulai belajar tari dan musik di sekolah geisha dimulai

kira-kira pada usia 7 tahun. Setelah menghabiskan setengah hari di sekolah, di waktu

yang tersisa lainnya dia harus mempraktekkan selama berjam-jam dan harus juga

menyelesaikan tugas-tugasnya.

Rumah-rumah geisha ("Okiya") membawa gadis-gadis yang kebanyakan

berasal dari keluarga miskin dan kemudian melatih mereka. Semasa kanak-kanak,

geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian sebagai geisha pemula (maiko)

selama masa pelatihan.

2.5.2 Kehidupan Geisha dalam Politik

Sistem pemerintahan Edo disebut dengan bakuhan taisei ( sistem bakufu dan

han ). Bakufu adalah pemerintahan keshogunan yang merupakan pemeritahan pusat

untuk seluruh wilayah, dan han adalah wilayah pemerintahan kedaimyoan sebanyak

kurang lebih 200 buah, wilayah daimyo pada Zaman Edo yang dianggap merupakan

pemberian bakufu.

Okada dalam Situmorang (1995:58-60) mengatakan bakuhan taisei

(36)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

ada penguasa administrasi feodal. Karena petani adalah dasar sistem feodal, maka

ditetapkan sistem pembagian golongan masyarakat atas bushi( prajurit ), nõmin

( petani ), kojin( tukang ), dan shõnin ( pedagang ). Dan yang kedua adalah bahwa

bakuhan taisei mempunyai pengertian sebagai sebuah keluarga, hubungan bakufu dan

han sebagai orang tua dan anak dimana anak harus taat dan mengerjakan pekerjaan

yang ditetapkan orang tua.

Secara keseluruhan kelembagaan administratif pada Zaman Edo adalah

sebagai berikut: keluarga, desa ( pemerintah wilayah ) kemudian bakufu

( keshogunan ). Dalam bidang pemujaan dewa juga mengenal hierarki yaitu: iegami

( dewa ie ), ujigami ( dewa uji ), dewa keshogunan ( toshogu ) dan yang tertinggi

adalah Tenno sebagai dewa seluruh Jepang.

Kelompok masyarakat selalu didasarkan pada ie, untuk memantapkan

kedudukan dan golongan kelompok diwujudkan dalam cara berbahasa dan cara

berpakaian. Golongan masyarakat pada Zaman Edo di terapkan sangat ketat. Setiap

kelas / golongan tidak diperbolehkan pindah ke golongan masyarakat lainnya. Pada

Zaman edo jumlah golongan bushi ( militer ) sebanyak 9,8 %, petani sebanyak 76,4 %

sisanya adalah golongan pendeta, pedagang dan tukang ( Toyoda dalam Situmorang

2006:19 ). Oleh karena itu Zaman Edo disebut juga sebagai zaman dimana

masyarakat benar – benar menyadari golongan. ( Situmorang, 1995:62 ).

Berbeda dengan kehidupan geisha, dalam sistem geisha pembagian –

pembagian golongan tidak terjadi seperti pada keterangan diatas, melainkan hanya

sebagai pembatasan antara geisha kelas atas yang disebut tayu dengan geisha

penghibur (yujo), juga batasan antara geisha senior dengan geisha junior yang dalam

prakteknya geisha saling terikat satu sama lain. Dan dalam sistemnya geisha tidak

(37)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

diwujudkan dalam cara berbahasa dan cara berpakaian. Selain menghibur, geisha

juga memiliki banyak andil dalam pergolakan-pergolakan politik di Jepang, hal itu

karena sebagian besar perundingan-perundingan politik mengambil tempat di kedai

teh dimana geisha bekerja. Peran geisha dalam kenyataannya sangat penting

mengingat geisha mengambil alih dalam usaha mereka sebagai jembatan lobi bisnis

antara perusahaan – perusahaan besar di Jepang. Mereka banyak mengetahui

rahasia-rahasia politik dan ada juga yang turut andil dalam mempengaruhi keputusan seorang

politikus pada masa itu. Hal ini juga menggambarkan bahwa cara seperti itu selalu

dipakai untuk menjatuhkan pejabat pemerintahan. Pada masa Edo banyak pejabat

pemerintahan yang “terjatuh” atau terjebak dalam masalah yang berkaitan dengan

prostitusi di kedai-kedai teh kota khususnya di Yoshiwara. Sehingga keterlibatan

geisha dalam politik selain membawa pengaruh negatif bagi para pejabat namun juga

membawa dampak positif bagi kehidupan mereka serta status sosial. Oleh sebab itu

geisha adalah satu-satunya profesi di Jepang yang menempatkan wanita pada posisi

teratas. Profesi ini juga menjadikan wanita sebagai sosok yang dihargai dalam

masyarakat Jepang yang konon menempatkan wanita selalu di bawah pria dan juga

mengubah hukum menjadikan status Yujo dan pelacur menjadi rendah, yang hanya

trampil dalam seni bercinta dan geisha yang trampil dalam bidang musik dan tari.

2.5.3. Kehidupan Geisha dalam Ekonomi

Kenyataan bahwa banyak diantara para geisha yang dulunya di jual ke okiya –

okiya oleh keluarga mereka atau kerabatnya sendiri dengan harga yang murah.

Sejumlah uang yang akan dibayarkan kepada orang tua si anak sebagai tanda

pembelian si anak oleh okiya yang menampungnya. Hal ini banyak disebabkan oleh

(38)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

Jepang mengalami krisis sosial yang menutup akses bagi masuknya pengaruh barat

kepada masyarakat Jepang. Penjualan anak di Jepang bukanlah menjadi hal yang

besar, karena seorang anak dianggap mempunyai giri atau hutang budi kepada orang

tua yang telah membesarkannya, sehingga bila dengan terpaksa mereka dijual baik itu

ke rumah – rumah geisha atau kerumah pelacuran sekalipun, hal itu dianggap wajar

untuk membantu keadaan orang tua yang tidak mampu.

Selain itu peran geisha dalam bidang ekonomi sangat penting, hal ini dapat

dilihat bahwa mereka juga memberikan penghidupan bagi orang lain. Maksudnya,

jasa orang – orang yang terlibat dalam pekerjaan geisha juga harus dibayar dari

pendapatannya. Karena bagi geisha hal yang sangat membanggakan bila dapat

mengahasilkan untuk orang lain. Sehingga geisha yang seperti itu sangat dihargai oleh

para geisha lainnya.

Dari perannya sebagai geisha, mereka juga dapat membuka lapangan

pekerjaan bagi orang lain seperti, adanya kedai teh, asosiasi geisha, piñata pakaian,

okiyanya, dan lain – lain. Orang – orang tersebut tentunya bergantung dari pendapatan

yang dihasilkan para geisha yang mereka tangani. Selain itu geisha juga

menyumbangkan bagi pembangunan Negara melalui pajak – pajak yang harus mereka

bayarkan. Karena profesi geisha merupakan jenis hiburan yang diizinkan oleh

pemerintah karena itu pendapatan mereka dikenakan pajak yang dibayarkan melalui

Kantor Pendaftaran. Hal ini dikarenakan bayaran geisha dibayar melalui sistem yang

sama. Pelanggan menerima tagihan dari restoran untuk makanan, minuman, sewa

ruangan, dan geisha. Dia akan membayar biaya restoran, yang terpisah dari bayaran

geisha dan mengirimkan kwitansi dengan jumlah yang harus dibayarnya kepada

kenban. Kenban kemudian menghitung besarnya pembayaran untuk setiap geisha,

(39)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

untuk biaya operasi, dan mengembalikan sisanya kepada geisha yang akan

menerimanya dalam bentuk gaji satu atau dua kali sebulan.

2.5.4 Kehidupan Geisha dalam Sosial Budaya

Sepanjang zaman ini, Jepang semakin mempelajari teknik dan ilmu

pengetahuan Barat (disebut rangaku, secara harfiah ‘pengetahuan dari bangsa

Belanda’) melalui informasi dan buku-buku yang didapat dari para saudagar Belanda

di Dejima. Subjek utama yang banyak dipelajari termasuk geografi, kedokteran, ilmu

lam, astronomi seni, bahasa dan sastra, ilmu fisika seperti fenomena listrik, dan ilmu

mekanik seperti yang diperlihatkan dengan Jepang dalam kemajuan mengembangkan

jam atau wadokei, diilhami dari teknik yang dimiliki bangsa Barat.

Pesatnya pertumbuhan Neo-Konfusianisme merupakan perkembangan

intelektual yang paling terlihat di zaman Tokugawa. Ajaran Konfusianisme telah lama

dibiarkan aktif di Jepang oleh para pendeta Buddha, namun selama zaman Tokugawa,

Konfusianisme berada dalam kendali Buddha. Sistem meditasi ini menarik banyak

perhatian bagi kalangan yang memiliki pandangan sekuler. humanisme etis,

rasionalisme, dan pandangan historis terhadap doktrin neo-Konfusianisme terlihat

menarik bagi masyarakat yang terbagi dalam beberapa kelas. Pada pertengahan abad

17, ajaran neo-Konfusianisme menjadi filososi masyarakat Jepang yang digemari dan

berkontribusi secara langsung pada perkembangan kokugaku (ilmu kenegaraan) di

sekolah meditasi.

Pembelajaran secara berkelanjutan dan pertumbuhan penerapan ajaran

neo-Konfusianisme berkontribusi pada transisi kondisi sosial dan politik dari bentuk

feodal ke bentuk penerapan yang berorientasi pada masyarakat luas. Aturan bagi

(40)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

hukum. Hukum baru dikembangkan, dan perlengkapan administratif baru didirikan.

Sebuah teori pemerintahan dan pandangan kemasyarakatan yang baru muncul sebagai

pembenaran atas penguasaan yang lebih komprehensif oleh bakufu. Setiap orang

memiliki tempat yang berbeda dalam masyarakat dan diharapkan dapat bekerja untuk

memenuhi tugas mereka. Masyarakat harus menerima dengan lapang bahwa mereka

harus dapat diperintah oleh mereka yang memang ditugaskan untuk memerintah

mereka. Pemerintah bisa dianggap mahakuasa namun sangat perhatian dan

bertanggung jawab. Meskipun sistem pembagian kelas ini dipengaruhi oleh ajaran

neo-Konfusianisme, sistem ini sama sekali tidak sama dengan ajaran sesungguhnya.

Sedangkan tentara dan petinggi agama berada di hierarki paling bawah dalam sistem

yang sama di Cina, di Jepang, beberapa di kelas ini berperan penting dalam pendirian

kekuasaan (ruling elite).

Kaum samurai mempertahankan tradisi mereka dengan pembaharuan minat

Dalam sejarah Jepang dan dalam penanaman tradisi pengajaran Konfusianisme,

menghasilkan perkembangan dalam konsep bushido (jalan para samurai). Jalan hdup

lainnya– –ch nind juga muncul. Ch nind ( , jalan para pedagang)

merupakan budaya yang berbeda yang bangkit di kota-kota besar seperti Osaka,

Kyoto, dan Edo. Hal ini mendorong harapan dalam peningkatan kualitas bushido—

kerajinan, kejujuran, kehormatan, kesetiaan, dan kesederhanaan—dengan

mencampuradukkan ajaran Shinto, neo-Konfusianisme, dan Buddha. Peningkatan pun

terjadi pada pembelajaran matematika, astronomi, kartografi, ilmu rancang-bangun,

dan pengobatan. Penekanan ditempatkan pada kualitas pengerjaan, terutama dalam

bidang seni. Untuk pertama kalinya, populasi di kota memiiki keinginan dan waktu

untuk mendukung kebudayaan masyarakat yang baru. Keinginan mereka untuk

(41)

Aisyah : Analisis Sosiologis Terhadap Kehidupan Geisha Dalam Novel The Demon In The Tea House Karya Dorothy & Thomas Hoobler, 2010.

dunia fashion yang ideal, pertunjukkan populer, dan penemuan kualitas estetik dalam

objek dan kebiasaan hidup sehari-hari, termasuk seks ( , shunga). Perempuan

penghibur ( , geisha), musik, cerita terkenal, kabuki dan bunraku ( ,

panggung wayang), syair, kesusastraan yang kaya, dan seni, yang tergambarkan

dalam gambar kayu yang indah (dinamakan ukiyo-e), semua adalah bagian dari

kebudayaan yang berkembang. Dunia sastra pun tumbuh seiring munculnya

dramawan berbakat Chikamatsu Monzaemon (1653-1724) dan penyair haiku,

pengarang esai, dan penulis catatan perjalanan Matsuo Bash (1644-1694).

Cetakan ukiyo-e mulai diciptakan pada akhir abad 17, dan pada tahun 1764,

Harunobu menciptakan cetakan polikrom yang pertama. Desainer generasi berikutnya,

termasuk Torii Kiyonaga dan Utamaro, membuat lukisan tentang pelacur yang elegan

dan terkadang terlalu vulgar. Pada abad 19, figur yang sering muncul adalah

Hiroshige, seorang pelukis pemandangan yang sentimentil dan romantis. Sudut yang

aneh dan bentuk yang sering diperlihatkan Hiroshige dalam lukisan pemandangannya

dan karya-karya Kiyonaga dan Utamaro, dengan penekanan di atas bidang datar dan

pada garis linier yang kuat, memiliki pengaruh kuat pada para pelukis Barat yang

terkenal seperti Edgar Degas dan Vincent van Gogh di kemudian hari.

Agama Buddha dan Shinto memiliki peranan penting di zaman Tokugawa.

Buddha, yang digabungkan dengan neo-Konfusianisme, menciptakan sebuah standar

tingkah laku sosial. Meskipun tidak memiliki kekuatan politik yang kuat seperti di

masa lalu, Buddha banyak didukung oleh masyarakat kalangan atas. Pengasingan

agama Kristen menguntungkan agama Buddha pada tahun 1640 ketika bakufu

mengharuskan masyarakat mencatatkan diri ke kuil. Pemisahan masyarakat yang kaku

di masa Tokugawa ke dalam han, desa, kabupaten, dan rukun warga turut menegaskan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kara benguk baik ekstrak maupun tempe di dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan organik. Penyebab

Bab ini akan dibahas secara rinci mengenai strategi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan roti “Tiga Berlian” di Semanggi Surakarta dalam meningkatkan volume

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Ekonomi Syariah (LP2ES) Learning Center Bandung dimana peneliti mengambil responden dari dua orang

 Saling tukar informasi tentang : Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jaring-jaring balok dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya

Sehubungan dengan tahap evaluasi pembuktian kualifikasi dalam proses pelelangan paket Pembangunan Pasar Malalayang (DAK), dengan ini kami mengundang Saudara untuk menghadiri

Penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, tentunya harapan seluruh masyarakat khususnya masyarakat

Berdasarkan Penetapan Pemenang Nomor : 58.10/POKJA II-ULP/2015 Tanggal 14 September 2015 tentang Penetapan Pemenang untuk pekerjaan Belanja Modal Pengadaan Bangunan

Perbedaan Prosedur Pengembangan Desain Kurikulum Pada Pembelajaran Akselerasi dan Pembelajaran Reguler .... Perbedaan Penetapan Tujuan Kurikulum pada