1. Waktu Shalat Wajib Lima Waktu
Shalat lima waktu adalah shalat yang wajib dikerjakan oleh mukallaf. masing-masing shalat ada waktu-waktu yang telah ditentukan, sebagaimana penjelasan berikut:
لظ راص اذإ هُخآو سمشلا ؿاوز اهتقو ؿاوز اهتقو ؿوأو ُهظلا سخم ةضوُفلدا ةلاصلا
زلا دعب ولثم ءيش لك
رايتخلاا في هُخآو لثلدا لظ ىلع ةدايزلا اهتقو ؿوأو ُصعلاو ؿاو
سمشلا بوُغ وىو دحاو اهتقوو بُغلداو سمشلا بوُغ لىإ زاولجا فيو ينلثلدا لظ لىإ
ؿوأ ءاشعلاو تاعكر سخم يلصيو ةلاصلا ميقيو ةروعلا ترسيو أضوتيو فذؤي ام رادقبمو
يتخلاا في هُخآو ُحملأا قفشلا باغ اذإ اهتقو
عولط لىإ زاولجا فيو ليللا ثلث لىإ را
فيو رافسلأا لىإ رايتخلاا في هُخآو نياثلا ُجفلا عولط اهتقو ؿوأو حبصلاو نياثلا ُجفلا
سمشلا عولط لىإ زاولجا
.
Shalat fardhu (wajib) ada 5 (lima) yaitu:
a. Shalat Dhuhur. Awal waktunya adalah condongnya matahari sedang akhir waktu dzuhur adalah apabila bayangan benda sama dengan ukuran bendanya.
b. Shalat Ashar. Awal waktunya adalah apabila bayangan sama dengan benda lebih sedikit. Akhir waktu Ashar dalam waktu ikhtiyar adalah apabila bayangan benda 2 (dua) kali panjang benda; akhir waktu jawaz adalah sampai terbenamnya matahari.
c. Shalat maghrib. Awal waktunya adalah terbenamnya matahari (sedang akhir waktunya) adalah setelah
selesainya adzan, berwudhu, menutup aurat, mendirikan shalat dan shalat 5 (lima) raka'at.
d. Shalat Isya'. Awal waktunya adalah apabila terbenamnya sinar merah sedangkan akhirnya untuk waktu ikthiyar adalam sampai 1/3 (sepertiga) malan; untuk waktu jawaz adalah sampai terbitnya fajar yang kedua (shadiq).
e. Shalat Subuh. Awal waktunya adalah terbitnya fajar kedua (fajar shadiq) sedang akhirnya waktu ikhtiyar adalah sampai isfar (terangnya fajar); akhir waktu jawaz adalah sampai terbitnya matahari.41
2. Rukun, Syarat, dan Sunnah Shalat
Rukun shalat artinya perbuatan yang harus dilaksanakan saat shalat. Apabila tidak dilakukan, maka shalatnya tidak sah. Rukun shalat adalah sebagai berikut:
)
ةتحافلا ةءاُقو ـاُحلإا ةيربكتو ةردقلا عم ـايقلاو انكر ةُشع ةيناثم ةلاصلا فاكرأو )لصف
ويف ةنينأمطلاو ؿادتعلااو عفُلاو ويف ةنينأمطلاو عوكُلاو اهنم ةيآ ميحُلا نحمُلا للها مسبو
دوجسلاو
يرخلأا سوللجاو ويف ةنينأمطلاو ينتدجسلا ينب سوللجاو ويف ةنينأمطلاو
جوُلخا ةينو لىولأا ةميلستلاو ويف ملسو ويلع للها ىلص بينلا ىلع ةلاصلاو ويف دهشتلاو
هانُكذ ام ىلع فاكرلأا بيتُتو ةلاصلا نم
.
Berdasar teksh ini, maka Rukun-rukun (fardhu) shalat ada 18 (delapan belas), yaitu:
a. Berdiri apabila mampu b. Takbirotul ihram
c. Membaca al-fatihah dengan basmalah-nya d. Ruku'
e. Tumakninah dalam ruku' f. Bangun dari ruku'
g. I'tidal (berdiri setelah ruku') h. Tuma'ninah saat i'tidal i. Sujud
j. Tuma'ninah saat sujud k. Duduk di antara dua sujud l. Tuma'ninah di antara dua sujud m. Duduk terakhir
n. Tasyahud (tahiyat) saat duduk terakhir
o. Membaca shalawat pada Nabi saat tahiyat akhir p. Salam pertama
q. Niat keluar dari shalat
r. Tertib sesusai urutan rukun di atas .42
Sunnah shalat adalah aktifitas perkataan atau perbuatan yang jika dilakukan akan mendapatkan pahala, tapi jika tidak dilakukan maka shalatnya tetap sah tanpa mendapatkan kesunnahan shalat. Sunnah-sunnah shalat adalah:
دهشتلا فائيش اهيف ؿوخدلا دعبو ةماقلإاو فاذلأا فائيش اهيف ؿوخدلا لبق اهننسو
لاو ؿولأا
فاضمر ُهش نم نياثلا فصنلا في ُتولا فيو حبصلا في تونق
.
Sunnahnya shalat sebelum melaksanakan shalat ada dua yaitu adzan dan iqamah. Sunnahnya shalat saat melaksanakan shalat ada dua yaitu tahiyat (tasyahud) pertama dan membaca qunut saat shalat subuh dan shalat witir pada pertengahan kedua bulan Ramadan.43
Sedangkan syarat shalat artinya sesuatu yang berada di luar pekerjaan shalat, akan tetapi keberadaan shalat tidak wajib dilakukan atau tidak sah jika dikerjakan tanpa
42 Syeikh Abi Syuja’, Taqri>b, 13-14. lihat juga Nurhayati dan Ali Imron Sinaga,
Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta, Prenadamedia Group, 2018), 90-99
memenuhi syarat tersebut. Syarat ada dua macam, yaitu syarat wajib dan syarat sah.
Syarat wajib shalat artinya segala sesuatu yang ketika syarat tersebut ada, maka seorang muslim wajib melakasanakan shalat. Akan tetapi ketika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka shalat tidak wajib dilakukan. Syarat wajib shalat adalah:
فيلكتلا دح وىو لقعلاو غولبلاو ـلاسلإا ءايشأ ةثلاث ةلاصلا بوجو طئاُشو
.
Berdasar teks ini, maka syarat wajibnya shalat ada 3 (tiga), yaitu:
a. Islam
b. Baligh (dewasa) c. Berakal 44
Sedangkan syarat sah shalat adalah segala sesuatu yang harus ada ketika shalat itu dilakukan, dan menyebabkan tidak sahnya shalat ketika salah satu syarat sah tersebut tidak terpenuhi. Syarat sah shalat adalah:
سجنلاو ثيدلحا نم ءاضعلأا ةراهط ءايشأ ةسخم اهيف ؿوخدلا لبق ةلاصلا طئاُشو
وقولاو ُىاط سابلب ةروعلا ترسو
ؿابقتساو تقولا ؿوخدب ملعلاو ُىاط فاكم ىلع ؼ
ةلحاُلا ىلع ُفسلا في ةلفانلا فيو ؼولخا ةدش في ينتلاح في ةلبقلا ؾُت زويَو ةلبقلا
.
Berdasarkan teks kitab ini, maka syarat sah shalat ada, yaitu: a. Sucinya anggota badan dari hadas dan najis
b. Menutup aurat dengan kain yang suci c. Berdiri pada tempat yang suci
d. Tahu masuknya waktu shalat
e. Menghadap kiblat. Boleh tidak menghadap kiblat dalam dua keadaan yaitu ketika sangat takut dan shalat sunnah di atas kendaraan dalam perjalanan. 45
3. Hal-hal yang Membatalkan Shalat
Ketika syarat dan rukun shalat telah terpenuhi, maka shalat dianggap sah dan kewajiban shalat telah gugur. Akan tetapi ketika di pertengahan melaksanakan shalat ada salah satu hal dari beberapa hal yang membatalkan shalat, maka shalat dianggap batal. Hal-hal yang membatalkan shalat adalah:
ثودحو ثدلحاو يرثكلا لمعلاو دمعلا ـلاكلا :ائيش ُشع دحأ ةلاصلا لطبي يذلاو
ةهقهقلاو بُشلاو لكلأاو ةلبقلا رابدتساو ةينلا يريغتو ةروعلا ؼاشكناو ةساجنلا
ةدُلاو
.
Berdasarkan teks tersebut, maka yang membatalkan shalat ada 11, yaitu
a. Perkataan yang disengaja b. Gerakan yang banyak c. Hadats (kecil dan besar) d. Adanya najis e. Terbukanya aurat f. Berubahnya niat g. Membelakangi kiblat h. Makan i. Minum j. Tertawa terbahak-bahak k. Murtad
4. Syarat dan rukun Shalat Jum’at
Shalat Jum’at adalah shalat wajib yang dilaksanakan di waktu hari jum’at dengan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku. Syarat wajib shalat jum’at ada 7 (tujuh), yaitu:
45 Syeikh Abi Syuja’, Taqri>b, 13. Lihat juga juga Nurhayati dan Ali Imron Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta, Prenadamedia Group, 2018), 86-88
a. Islam b. Baligh c. Berakal sehat d. Merdeka e. Laki-laki f. Sehat
g. Bertempat tinggal tetap (istithan, mustautin)46
Selain syarat wajib, ada juga syarat syarat melaksanakan shalat Jumat, yaitu ada 3 (tiga):
a. Adanya tempat itu berupa kota atau desa
b. 40 jamaah Jum'at harus terdiri dari ahli Jum'at (yang diwajibkan shalat Jum'at)
c. Waktunya cukup untuk melaksanakan shalat
d. Apabila waktunya habis atau syarat tidak terpenuhi, maka diganti shalat dzuhur.47
Sedangkan rukun atau kefarduan dalam melaksanakan shalat jumat ada 3 (tiga) yaitu:
a. Adanya dua khutbah yang dilakukan dengan berdiri b. Duduk di antara 2 (dua) khutbah
c. Shalat dua rokaat secara berjamaah48
Ada beberapa hal yang disunnahkan dalam pelaksanaan shalat jumat’, yaitu:
a. Mandi keramas dan Membersihkan badan b. Mengenakan pakaian putih
c. Memotong kuku d. Memakai wewangian.
46 Syeikh Abi Syuja’, Taqri>b, 18
47 Ibid
e. Disunnahkan diam di waktu khutbah. Apabila orang masuk masjid saat imam sedang khutbah hendaknya dia shalat 2 (dua) rokaat yang ringan kemudian duduk.49
B. Puasa
Puasa adalah berniat dan menahan dari segala hal yang membatalkan puasa. Syarat wajib puasa ada 4, yaitu:
ـوصلا ىلع ةردقلاو لقعلاو غولبلاو ـلاسلإا :ءايشأ ةعبرأ ـايصلا بوجو طئاُشو
.
Berdasar teks ini, syarat wajib puasa ada empat, yaitu: 1. Islam
2. Baligh
3. Berakal sehat 4. Mampu berpuasa. 50
Sedangkan fardu atau rukun puasa ada empat, sebagaimana dijelaskaan dalam teks berikut:
عاملجاو بُشلاو لكلأا نع ؾاسملإاو ةينلا :ءايشأ ةعبرأ ـوصلا ضئاُفو
ءيقلا دمعتو
Berdasar teks ini, ada empat rukun berpuasa, yaitu: 1. Niat
2. Menahan diri dari makan dan minum 3. Menahan dari jimak (hubungan intim) 4. Menahan dari sengaja muntah. 51
Ada beberapa amalan yang menajdi kesunnahan dalam bulan puasa ramadlan, di antaranya adalah:
49 Ibid, 19
50 Syeikh Abi Syuja’, Taqri>b, 25. Lihat juga juga Nurhayati dan Ali Imron Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, 104
51 Ibid. Lihat juga juga Nurhayati dan Ali Imron Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, 103-104
1. Menyegerakan berbuka berpuasa (ta’jil), bersahur, dan memperbanyak sedekah.52
Ketika azan maghrib dikumandangkan, orang yang berpuasa disunnahkan untuk segera berbuka puasa, terutama dengan makan kurma, makanan yang manis, dan minum air putih. Lebih baik lagi jika jumlahnya ganjil, seperti tiga kurma atau lebih.
Rasulullah Saw. bersabda :
َُْطِفْلا اوُلَّجَع اَم ٍْيرَِبِ ُساَّنلا ُؿاَزَػي َلا
Artinya:
‚Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.‛ (HR. Bukhari dan Muslim)
Kebiasaaan di Indonesia, menyegerakan puasa atau dikenal dengan istilah ta’jil ini tidak sekedar bersegera berbuka untuk diri sendiri. Karena ada kesunnahan lain yaitu memperbanyak bersedekah dan berbuat baik kepada sesama, maka kebiasaan masyarakat juga ada kegaitan bagi-bagi ta’jil yang biasanya dibagikan di jalan raya menjelang azan maghrib. Tujuannya, bagi mereka yang dimungkinkan tidak bisa sampai rumah tepat waktu azan maghrib, mereka bisa menyegerakan puasa dengan makan dan minum hasil pemberian masayrakat pada kegiatan bagi-bagi ta’jil. Rasululah bersabda:
اًئْيَش ِمِئاَّصلا ُِْجَأ ْنِم ُصُقْػنَػي َلا ُوَّنَأ َُْػيَغ ِهُِْجَأ ُلْثِم ُوَل َفاَك اًمِئاَص ََُّطَف ْنَم
Artinya :
‚Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa
mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.‛
Selain itu, kebiasaan lainnya adalah menyelenggarakan buka bersama yang diadakan oleh lembaga tertentu, teman kuliah, komunitas, pegawai kantor, dan lainnya. Buka bersama ini biasanya dilakukan di restoran, warung makan, kafe, atau tempat makan lainnya sehingga di tempat tersebut terlihat ramai dengan para pengunjung.
Salah satu kesunnahan lainnya adalah bersahur walaupun dengan makanan yang sedikit. Dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa ‚:bersahurlah, karena di dalam sahur itu ada sebuah keberkahan‛. Sebagaimana kesunnahan ta’jil, ada kebiasaan di masyarakat Indonesia yang disebut dengan istilah ‚sahur on the road‛. Kurang lebih maksudnya adalah berbagi makanan sahur yang diberikan di waktu sahur kepada siapapun yang ada di jalan, khususnya bagi orang-orang yang tidak mampu.
2. Shalat Tarawih
Dalam kitab sahih bukhari dijelaskan hadis Rasulullah Saw:
٦٣
-
َؿاَق ُليِعاَْسِْإ اَنَػثَّدَح
ِبَِأ ْنَع ِنَْحمَُّلا ِدْبَع ِنْب ِدْيَُحم ْنَع ٍباَهِش ِنْبا ْنَع ٌكِلاَم ِنَِثَّدَح
َُِفُغ اًباَسِتْحاَو اًناَيِّإ َفاَضَمَر َـاَق ْنَم َؿاَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا َؿوُسَر َّفَأ َةَُْػيَُُى
اَم ُوَل
ِوِبْنَذ ْنِم َـَّدَقَػت
36. Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menegakkan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu".
Menurut mazhab hanafi, syafi’i, dan hanbali, shalat tarawih hukumnya sunnah muakkad secara individual (sunnah ‘ain) bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih hukumnya sunnah individual (sunnah aini) secara jamaah . Oleh karena itu, jika sebagian sudah shalat, maka kesunnahan shalat jama’ah bagi orang lain tetap berlaku. Menurut mazhab maliki, shalt jama’ah hukumnya mandub bagi laki-laki dan perempuan.53
Jika shalat di rumah, maka disunnahkan shalat jamaah bersama orang yang ada di rumah. Jika shalat sendiri tanpa jamaah, maka dia tidak mendapatkan pahala kesunnahan shalat jamaah. Pendapat ini menurut mazhab syafi’I dan hanbali. Menurut mazhab mazhab maliki, shalat tarawih secara jama’ah hukumnya mandub. Menurut Mazhab Hanafi, shalat jama’ah hukumnya sunnah secara kifayah (keterwakilan) bagi penduduk di sebuah lingkungan tertentu (ahlul hay). Jika sebagian sudah mengerjakan shalat jama’ah, maka tuntutan untuk shalat jama’ah bagi lainnya sudah gugur.54
3. I’tikaf
a. Defisni dan Rukun
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk beribadah dengan cara yang sudah ditentukan. Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, niat adalah rukun I’tikaf, bukanlah rukun I’tikaf. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi’I, niat adalah rukun I’tikaf. Rukun I’tikaf ada 3, yaitu berdiam di masjid, adanya masjid, adanya orang yang beri’tikaf. Menurut Mazhab Maliki dan Syafi’I, rukun keempat adalah niat. 55 b. Hukum
Hukum I’tikaf ada dua:
53 Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, juz 1`, 309
54 ibid
1) Wajib. Yaitu I’tikaf yang dinadzarkan
2) Sunnah. yaitu I’tikaf selain nadzar. Berkaitan dengan kesunnahan I’tikaf, ulama’ berbeda pendapat:
a) Mazhab hanbali: sunnah muakkad di bulan ramadlan, dan lebih muakkad pada sepuluh akhir bulan ramadlan b) Mazhab Syafi’i: Sunnah Muakkad di bulan ramadlan
dan di luar bulan ramadlan. Pada sepuluh akhir di bulan ramadlan hukumnya lebih muakkad
c) Mazhab Hanafi: sunnah kifayah muakkad di sepuluh akhir bulan ramadlan, dan sunnah biasa di selain sepuluh akhir bulan ramadlan,
d) Mazhab Maliki: hukumnya sunnah di bulan ramadlan dan di luar bulan ramadlan menurut pendapat yang masyhur. Hukumnya menjadi sunnah muakkad di bulan ramadlan, dan semakin muakkad di sepuluh akhir bulan ramadlan.56
Dalam Al-Qur’an dijelaskan:
َينِفِكاَعْلاَو َينِفِئاَّطلِل َِتِْيَػب اَُّْهَط فَأ َليِعاَْسِْإَو َميِىاَُْػبِإ َلىِإ اَنْدِهَعَو
ِدوُجُّسلا ِعَّكُُّلاَو
‚
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Isma’il, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang i’tikaf, orang yang ruku’ dan orang yang sujud.‛ (QS. Al-Baqarah: 125)
Dalam Kitab Sahih Bukhari bab ‚Iktikaf di sepuluh hari terkahir‛ disebutkan hadis Rasulullah Saw:
1٨٨١
-
ُهََُػبْخَأ اًعِفاَن َّفَأ َسُنوُي ْنَع ٍبْىَو ُنْبا ِنَِثَّدَح َؿاَق ِوَّللا ِدْبَع ُنْب ُليِعاَْسِْإ اَنَػثَّدَح
ُؿوُسَر َفاَك َؿاَق اَمُهْػنَع ُوَّللا َيِضَر ََُمُع ِنْب ِوَّللا ِدْبَع ْنَع
َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا
َفاَضَمَر ْنِم َُِخاَوَْلأا َُْشَعْلا ُفِكَتْعَػي
1885. Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada saya Ibnu Wahab dari Yunus bahwa Nafi' mengabarkannya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata: " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan".
c. Masa waktu beri’tikaf
1. Menurut Mazhab Hanafiyah dan Hanbali, waktunya boleh sebentar dan tidak ada batasan lamanya
2. Menurut malikiyah: paling sedikit satu hari semalam menurut pendapt yang rajah
3. Menurut Mazhab Syafi’i waktunya paling sedikit adalah sekedar membaca lafaz ‚subhanallah‛ dan lebih sedikit57 d. Amalan dalalm beri’tikaf
Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab menjelaskan:
ُكذو حيبستو ةلاص نم تاعاطلاب ؿاغتشلاا فكتعملل لىولأاف باحصلأاو يعفاشلا ؿاق
كلذ ونحو ةباتكو ةعلاطمو اميلعتو املعت ملعب ؿاغتشاو ةءاُقو
‚Imam Syafi’i dan para pengikutnyaberkata, ‘Amalan utama bagi orang yang beri’tikaf adalah melakukan aktifitas yang berkaitan dengan ketaatan, yaitu melaksanakan shalat, bertasbih, berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan keilmuan, seperti belajar, mengajar, membaca, menulis, dan lainnya. 58
57 Al fiqh ala mzahib, 529
58 Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 528).
BAB IV
ANALISIS PRAKTIK IBADAH DI MASA PANDEMI
VIRUS CORONA
A. Shalatnya Pasien Positif Corona dan Tenaga Kesehatan
Shalat adalah kewajiban individu umat Islam yang harus dikerjakan dalam keadaan apapun. Bahkan dalam keadaan sakit, dia ditetap wajib melakukan shalat dengan cara yang memungkinnya untuk shalat. Di dalam shalat sendiri, ada banyak keringanan-keringanan yang didapatkan dalam kondisi tertentu, seperti adanya rukhsah shalat bagi musafir berupa shalat jama dan qasar, boleh shalat duduk bagi yang tidak mampu, boleh tayammum jika tidak menemukan air untuk berwudu’, dan lain semacamnya.
Bagaimana dengan shalatnya pasien positif corona dan juga tenaga medis yang biasanya menggunakan (Alat Pelindung Diri) dalam waktu yang lama sehingga dia tidak bisa berwudu ketika dia mau shalat sedangkan dia dalam keadaan berhadas?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu disampaikan tentang kajian maqasid al-syariah khususnya tentang tujuan umum (al-maqasid al-‘ammah). Al-Maqa>s}id al-’a>mmah adalah maqa>s}id yang mencakup seluruh kemaslahatan tasyr>i’ yang bersifat universal seperti keadilan dan kemudahan. Termasuk di dalam kategori ini adalah aspek d}aru>riyya>t sebagaimana yang ada dalam maqa>s}id tradisional, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.59 Maqa>s}id ini masuk dalam semua bab fiqh karena sifatnya universal, seperti bab ibadah, muamalah, munakahah, jinayah, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, maqa>s}id ini menjadi payung dari segala bab fiqh dan menjadi tujuan yang harus direalisasikan dari bab-bab fiqh. Karena sifatnya yang universal, maka bab fiqh yang berada di bawahnya harus mampu merealisasikan tujuan utama yang menjadi tujuan pensyariatan. Maqa>s}id ’a>mmah di antaranya adalah:
1. Menarik kemanfaatan dan menolak kemafsadatan60
Tujuan ini merupakan tujuan utama yang harus direalisasikan dalam setiap pensyariatan. Tujuan ini juga pada hakikatnya adalah manifestasi dari kemaslahatan yang harus dicapai dalam setiap pensyariatan. Kemanfaatan berarti kebaikan yang didapatkan dari persyariatan, baik kebaikan yang berkaitan dengan agama, badan, akal, keturunan, dan harta. Begitu juga sebaliknya, setiap pensyariatan tidak akan menyebabkan kemudratan bagi semua pihak. Berkaitan dengan ini, Allah berfirman dalam Alqur’an:
ٌؽوُسُف ُوَّنِإَف اوُلَعْفَػت ْفِإَو ۙ ٌديِهَش َلاَو ٌبِتاَك َّراَضُي َلاَو ۙ ْمُتْعَػياَبَػت اَذِإ اوُدِهْشَأَو
ٌميِلَع ٍءْيَش ّْلُكِب ُوَّللاَو ۙ ُوَّللا ُمُكُمّْلَعُػيَو ۙ َوَّللا اوُقَّػتاَو ۙ ْمُكِب
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Albaqarah ayat 282)
ْسُو َّلاِإ ٌسْفَػن ُفَّلَكُت َلا
اَهَع
ۙ
ِهِدَلَوِب ُوَل ٌدوُلْوَم َلاَو اَىِدَلَوِب ٌةَدِلاَو َّراَضُت َلا
ۙ
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya (QS. Albaqarah ayat 233)
Berkaitan dengan tujuan syariat ini, ada kaidah fiqh yang sangat berkaitan, yaitu:
ُؿاَزُػي ُرََُّضلَا
Artinya: bahaya itu harus dihilangkan
2. Memberi kemudahan dan menghilangkan kesulitan61
Setiap tasyri’ yang Allah turunkan kepada manusia bertujuan untuk memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Hukum awal shalat adalah harus dilakukan dengan cara berdiri, akan tetapi jika umat Islam mengalami gangguan kesehatan sehingga tidak bisa berdiri, maka Allah memberi kemudahan dengan kebolehan shalat dengan cara duduk. Hukum awal makan bangkai adalah haram. Akan tetapi dalam keadaan mendesak (darurat) yang mengharuskannya makan bangkai karena tidak ada makanan lain selainnya, maka dibolehkan makan bangkai untuk sekedar bertahan hidup.
Inilah prinsip dan tujuan syariat Islam yang Allah turunkan kepada umat Islam. Tujuan ini dijelaskan dalam firman Allah:
ِكََٰلَو ٍجََُح ْنِم ْمُكْيَلَع َلَعْجَيِل ُوَّللا ُديُُِي اَم
ْمُكْيَلَع ُوَتَمْعِن َّمِتُيِلَو ْمُكَُّْهَطُيِل ُديُُِي ْن
َفوُُُكْشَت ْمُكَّلَعَل
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS almaidah ayat 6)
ْمُكَّل َعَلَو ْمُكاَدَى اَم َٰىَلَع َوَّللا اوُُّْػبَكُتِلَو َةَّدِعْلا اوُلِمْكُتِلَو َُْسُعْلا ُمُكِب ُديُُِي َلاَو َُْسُيْلا ُمُكِب ُوَّللا ُديُُِي
َفوُُُكْشَت
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan langannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas bi
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
-petunjuk
ٍجََُح ْنِم ِنيّْدلا ِفي ْمُكْيَلَع َلَعَج اَمَو ْمُكاَبَتْجا َوُى
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj 78)
Berkaitan dengan tujuan syariat ini, ada kaidah fiqh yang sangat berkaitan, yaitu:
َُيِسيَّتلﺍ ُبِلْجَت ُةَّقَشَملﺍ
‚Kesulitan mendatangkan kemudahan‛
Oleh karena itu, setiap aturan fiqh yang spesifik tidak akan bertentangan dengan dua tujuan syariat di atas, yaitu menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan, dan memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Hal ini juga diberlakukan dalam aturan shalat bagi pasien positif corona dan tenaga medis yang menanganinya
Bagi pasien dan tenaga medis selam dia masih sadar (tidak pingsan), maka tetap wajib shalat sebagaiaman umat Islam pada umumnya. Akan tetapi, bagi pasien yang merasa sulit untuk berwudu’ ataupun bertayammum, dan juga bagi tenaga kesehatan yang sulit melepas pakaian tugasnya (APD) sesuai protocol kesehatan yang ada, maka ulama sepakat bahwa dia tetap wajib shalat pada waktunya meskipun dalam kondisi berhadats. Kondisi ini termasuk dalam kondisi faqid thohuraini, yaitu orang yang tidak mampu
menggunakan dua media bersuci; air untuk berwudhu dan tanah untuk bertayammum.62
Persoalanya selanjutnya adalah, apakah shalatnya wajib diqodho karena tidak terpenuhi syarat sah shalat, yaitu masih dalam keadaan berhadas? Karena bisa jadi pasien positif corona mengalami masa sulit dalam waktu yang lama selama masa perawatan. Begitu juga tenaga kesehatan yang merawat pasien dengan menggunakan APD sesuai protocol kesehatan dalam waktu yang lama, sehingga jika shalatnya wajib diqada’, tentu akan menyulitkannnya.
Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhazzab menjelaskan:
اَنُػباَحْصَأ َؿاَق ِةَروَُُّضلِل ٍلَلَخ َعَم ِتْقَوْلا ِفي َّنِِبِ ِروُمْأَمْلا ِتاَوَلَّصلا ِمْكُح ِفي
فابُضرذعلا
ٌرِداَنَو ّّـاَع
.
اَذَى ْنِمَو ِةَّقَشَمْلِل ُوَعَم َءاَضَق َلا ُّـاَعْلاَف
ْوَأ اًدِعاَق يّْلَصُي ُضيَُِمْلا ِبَُّْضلا
ِؼْوَْلخا ِةَّدِش ِفي ِءاَيِّْلإاِب يّْلَصُمْلا ُوْنِمَو ِءاَمْلا ِؿاَمْعِتْسا ْنِم اًفْوَخ ِمُّمَيَّػتلاِب ْوَأ اًيِموُم
ُوَلِمْعَػتْسَي ْفَأ ِوْيَلَع ُبَِيَ اَّمَع ِهِزْجَعِل ِمُّمَيَّػتلاِب يّْلَصُي ُُِفاَسُمْلاَو
Hukum shalat fardu bagi seseorang dalam kondisi darurat menurut shahabat kami (asy-Syafi’iyyah) dibedakan berdasarkan jenis uzurnya, yaitu ada dua macam uzur: Uzur yang bersifat umum (sering terjadi) dan uzur yang jarang terjadi. Adapun yang mendapatkan uzur yang sering terjadi maka shalat yang telah dilakukan saat uzur tersebut tidak wajib diqadha’ atas dasar kesulitan, contohnya seperti shalat orang sakit yang tidak bisa berdiri dengan cara duduk, orang yang bertayammum karena tidak bisa menggunakan air, orang yang yang shalat dengan isyarat karena ketakutan yang sangat kuat terhadap sesuatu, dan bertayammum bagi orang yang berada dalam perjalanan karena tidak bisa menggunakannya.
Uzur ‘am (sering terjadi) ini tidak tepat untuk diterapkan pada kasus pasien dan perawat di atas, karena kejadian ini bukan kondisi biasa yang membolehkan seseorang untuk mendapatkan rukhsah, seprti bertayammum karena tidak bisa menggunakan air, atau shalat dengan duduk jika tidak mampu berdiri. Hal ini juga karena rukhsah yang digunakan telah dijelaskan dalam aturan fiqh sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Jadi, orang yang bertayammum sebagai ganti dari berwudu’ pada hakikatnya telah menghilangkan hadas karena sudah dijelaskan dalam Alqur’an dan hadis.
Kondisi pasien dan perawat di atas lebih tepa dikategorikan sebagai uzur nadir karena kondisinya tidak sering terjadi. Imam Nawawai dalam kita al-Majmu; Syarh al-Muhazzab menjelaskan:
َ و
ْلاَك ُؿَّوَْلأاَف ُـوُدَي َلا ٌمْسِقَو اًبِلاَغ ُـوُدَي ٌمْسِق ِفاَمْسِقَف ُرِداَّنلا اَّمَأ
ِؿْوَػبْلا ِسَلَسَو ِةَضاَحَتْسُم
ِثَدَْلحا ُجوُُُخ َـاَدَف ُوُتَدَعْقَم ْتَخَُْػتْسا ْوَأ ٌمِئاَد ٌؼاَعُر ْوَأ ٌلِئاَس ٌحُُْج ِوِب ْنَمَو ِيْذَمْلاَو
ِةَّقَشَمْلِل َفوُديِعُي َلاَو ِسَجَّنلاَو ِثَدَْلحا َعَم َفوُّلَصُي ْمُهُّلُكَف ْمُهَهَػبْشَأ ْنَمَو ُوْنِم
ِةَروَُُّضلاَو
Adapun uzur yang jarang terjadi ada dua macam: Pertama, uzur yang jarang terjadi namun berlangsung lama. dan kedua, uzur yang tidak berlangsung lama. Uzur yang pertama (berlangusng lama) seperti wanita istihadhah, orang sakit yang tidak dapat menahan kencing dan mazi. Keluar darah yang mengalir, atau kondisi lainnya yang serupa. Pada kondisi uzur yang pertama ini, mereka tetap shalat dalam kondisi berhadats dan bernajis, dan tidak wajib mengqadha’ karena adanya kesulitan dan darurat yang dihadapi.
َّثلا ْنِمَف ِتِْأَي َلا ٌعْوَػنَو ِلَلَخَْلِل ٍؿَدَبِب ُوَعَم ِتِْأَي ٌعْوَػن ِفاَعْوَػنَػف اًبِلاَغ ُـوُدَي َلا يِذَّلا اَّمَأَو
ْنَم ِنيا
لدا ِؿاَمْعِتْسا ْنِم ُؼاََيِ َلا ْنَِّمِ اَُهُُوَْنحَو ُنِمَّزلاَو ُضيَُِمْلاَو اًباَُُػت َلاَو ًءاَم ْدَِيَ َْلَ
ْنَم نكل ءا
ُِْعَم ىَلَع ُرِدْقَػي َلا ْنَِّمِ ُهُُْػيَغَو ىَمْعَْلأاَو ِةَلْػبِقْلا َلىإ ِؿُّوَحَّتلا ىَلَع ُرِدْقَػي َلا ْنَمَو ُوُئّْضَوُػي
ِةَف
َْلَ اَذإ ي ِراَعْلا ِفي يَُِْيََو ِةَساَجَّنلا ىَلَع ِوِنَدَب ىَلَع ْنَمَو اَىاَّيإ ُوُفَُّْعُػي ْنَم ُدَِيَ َلاَو ِةَلْػبِقْلا
ُُْعْلا ِفي اَنْلُػق اَذِإَف اِّيِراَع يّْلَصُي ُوَّنَأ ِْينَػتَروُّصلا ِْينَػتاَى ِفي ُّحَصَْلأاَو اًسَِنَ اًبْوَػث َّلاإ ْدَِيَ
َلا ِفاَي
بىذلدا يلع ُةَداَعِْلإا ُوَمِزَل َدوُجُّسلاَو َعوُكُُّلا ُّمِتُي
Sedangkan uzur kedua (yang jarang) yang tidak berlangsung lama, maka dia tetap wajib shalat dan wajib mengqada’ ketika sudah bisa bersuci. Contoh keadaan ini seperti orang yang tidak mendapati air dan tanah (untuk bersuci), orang yang sakit, orang yang tidak bisa menghadap kiblat, orang yang telanjang dan hanya punya baju yang terkena najis.
Pasien dan perawat yang berhadas dan sulit bersuci ketika melaksanakan shalat, maka bisa dikategorikan sebagai uzur yang jarang (nadir) karena kondisi ini jarang terjadi. Apakah wajib mengqada’ shala jika shalatnya dalam keadaan berhadas dan sulit bersuci? Jawabannya tergantung pada keadaan dan kondisinya apakah berlangsung lama dan terus menerus, atau hanya sebentar saja.
Jika pada prakteknya pasien atau tenaga kesehatan yang menangani pasien membutuhkan waktu yang lama, maka dia tetap shalat walaupun dalam kondisi berhadats, dan shalatnya tidak wajib diqadha’. Hal ini bisa dikatagorikan sebagai uzur syar’i yang disebut dengan istilah ‚nadir yadum‛ sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, yaitu uzur langka yang kejadiannya berlangsung lama. Status hukum kondisi ini bisa disamakan seperti shalatnya wanita