• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sharia Enterprise Theory

TELAAH PUSTAKA

2.5 Sharia Enterprise Theory

Dua arus utama pemikiran dalam akuntansi syariah telah sampai pada pemikiran diametris antara Sharia Enterprise Theory dan Entity Theory (Triyuwono, 2007). Kedua teori tersebut memiliki perbedaan yang signifikan.

Sharia Enterprise Theory, yang dibangun berdasarkan metafora amanah dan metafora zakat, lebih menghendaki keseimbangan antara sifat egoistik dan altruistik. Sedangkan entity theory lebih mengedepankan sifat egoistik daripada

altruistik. Entity theory juga memiliki nilai individual dan profit oriented sehingga memiliki karakter yang berbeda dengan Sharia Enterprise Theory (Triyuwono, 2006, 2007).

Sharia Enterprise Theory yang dikembangkan berdasarkan metafora zakat pada dasarnya memiliki karakter keseimbangan (Triyuwono, 2007). Hal tersebut tercermin dari keseimbangan antara nilai egoistik (maskulin) dengan nilai altruistik (feminim), nilai materi (maskulin) dengan nilai spiritual (feminim), dan seterusnya. Dalam hukum Islam, bentuk keseimbangan tersebut secara konkret diwujudkan dalam salah satu ibadah, yaitu zakat. yang secara implisit mengandung nilai egoistik-altruistik, materi-spiritual, dan individu-jamaah (Triyuwono, 2007).

Dalam Sharia Enterprise Theory, Slamet (2001) menjelaskan, aksioma terpenting yang harus mendasari dalam setiap penetapan konsepnya adalah Allah sebagai Pencipta dan Pemilik Tunggal dari semua sumber daya yang terdapat di dunia ini. Oleh karena itu yang berlaku dalam Sharia Enterprise Theory adalah Allah sebagai sumber amanah utama karena Dia-lah pemilik yang tunggal dan mutlak. Sedangkan sumber daya yang dimiliki oleh para stakeholders pada prinsipnya adalah amanah dari Allah yang di dalamnya melekat sebuah tanggung jawab untuk digunakan secara benar dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh Sang Pemberi Amanah (Triyuwono, 2006). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 254 yang artinya,

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat ....

22

Konsep mengenai tanggung jawab kepada Sang Pemberi Amanah diperkuat lagi dalam surat Al Baqarah ayat 267 yang artinya,

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya ....

Menurut Triyuwono (2006), tentu sangat beralasan jika penggunaan sumber daya yang diamanahkan kepada stakeholders dibatasi karena memang pada hakikatnya stakeholders hanya memiliki hak guna. Namun pembatasan tersebut bukan hanya ditujukan untuk kepentingan Allah, tetapi juga ditujukan pada manusia yang mempunyai hak atas sumber daya tersebut. Allah telah berfirman dalam kitab suci Alquran,

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul supaya kamu diberi rahmat. (Q.S. An Nur: 56).

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang harus mereka infakkan.

Katakanlah: “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.” Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (Q.S. Al Baqarah: 215).

(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta) .... (Q.S.

Al Baqarah: 273).

Ayat-ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa di dalam harta yang tersimpan terdapat hak-hak orang lain seperti: hak para fakir miskin, anak yatim, dan lain-lain (Triyuwono, 2006). Dengan demikian, dalam pandangan Sharia Enterprise Theory, distribusi kekayaan (wealth) atau nilai tambah (value added) tidak hanya berlaku pada stakeholders yang berkontribusi atau terkait langsung

dalam operasi perusahaan, seperti: pemegang saham, karyawan, kreditor, dan pemerintah. Namun berlaku juga pada pihak-pihak yang tidak berkontribusi atau terkait secara tidak langsung dengan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan.

Artinya, cakupan akuntansi dalam Sharia Enterprise Theory tidak terbatas pada peristiwa atau kejadian yang bersifat reciprocal antara pihak yang terkait langsung dalam proses penciptaan nilai tambah, tetapi juga pihak lain yang tidak terkait secara langsung (Triyuwono, 2006).

Pemikiran tersebut, menurut Triyuwono (2006), dilandasi oleh firman Allah yang mengatakan bahwa manusia merupakan khalifatullah fil ardh yang membawa misi menciptakan dan mendistribusikan kesejahteraan bagi seluruh manusia dan alam. Oleh karena itu, Sharia Enterprise Theory akan membawa kemaslahatan bagi stockholders, stakeholders, masyarakat, dan lingkungan alam tanpa meninggalkan kewajiban menunaikan zakat sebagai manifestasi ibadah kepada Allah (Slamet, 2001).

Penjelasan di atas dapat memberikan pemahaman mengenai konsep accountability yang dibawa oleh Sharia Enterprise Theory. Dalam pandangan Sharia Enterprise Theory, stakeholders yang dimaksud terdiri dari tiga pihak, antara lain: Allah, manusia, dan alam (Triyuwono, 2007).

Allah merupakan pihak yang tertinggi dan menjadi satu-satunya tujuan hidup manusia. Dengan menempatkan Allah sebagai stakeholder tertinggi maka tali penghubung agar akuntansi syariah tetap bertujuan untuk “membangkitkan kesadaran ketuhanan” pada penggunanya tetap terjamin. Konsekuensi dari penetapan Allah sebagai stakeholder tertinggi adalah digunakannya sunatullah

24

sebagai dasar bagi konstruksi akuntansi syariah. Dengan sunatullah tersebut, akuntansi syariah hanya dibangun berdasarkan pada aturan-aturan yang berasal dari Allah (Triyuwono, 2007).

Stakeholder yang kedua dari Sharia Enterprise Theory adalah manusia. Dalam konsep ini, manusia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu direct stakeholders dan indirect stakeholders. Direct stakeholders merupakan pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan bisnis perusahaan. Mereka memberikan kontribusi kepada perusahaan, baik dalam bentuk kontribusi keuangan (financial contribution) maupun kontribusi non keuangan (non financial contribution).

Contohnya adalah pemegang saham, manajer karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lain. Mereka telah memberikan kontribusi secara langsung sehingga berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan. Sedangkan indirect contribution merupakan pihak-pihak yang tidak secara langsung memberikan kontribusi kepada perusahaan, baik kontribusi keuangan maupun non keuangan. Namun secara syariah mereka adalah pihak-pihak yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dari perusahaan (Triyuwono, 2006, 2007).

Kelompok stakeholder yang ketiga dari Sharia Enterprise Theory adalah alam. Alam merupakan pihak yang memberikan kontribusi bagi hidup-matinya perusahaan sebagaimana pihak Allah dan manusia. Perusahaan dapat berkelanjutan secara fisik karena mendirikan usaha di bumi Allah, menggunakan bahan baku yang tersebar di alam, memberikan jasa kepada pihak lain dengan menggunakan energi yang tersedia di alam, dan lain-lain. Meskipun demikian, alam tidak menghendaki distribusi kesejahteraan dalam bentuk uang seperti yang

diinginkan oleh manusia. Wujud distribusi kesejahteraan yang dapat diberikan oleh perusahaan dapat berupa kepedulian terhadap pelestarian alam, pencegahan pencemaran, dan lain-lain (Triyuwono, 2007).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Sharia Enterprise Theory tidak menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu sebagaimana yang dipahami oleh antroposentrisme. Namun sebaliknya, Sharia Enterprise Theory menempatkan Allah sebagai pusat dari segala sesuatu. Allah merupakan pusat kembalinya manusia dan alam semesta sehingga manusia, sebagai khalifah fil ardh, memiliki konsekuensi untuk patuh terhadap semua hukum Allah (Triyuwono, 2007). Teori Sharia Enterprise Theory dapat digunakan untuk memahami kandungan nilai-nilai dakwah dalam laporan tahunan bank syariah.

Dalam konteks laporan tahunan, Sharia Enterprise Theory menghendaki keseimbangan penyampaian informasi antara realitas ekonomi dan realitas spiritual (Islam).

Dokumen terkait