• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara, bernilai ekonomis tinggi, responsif terhadap pakan tambahan, kelangsungan hidupnya tinggi, dapat mentolerir salinitas pada kisaran yang luas, mampu berkembangbiak dengan cepat, serta memiliki struktur daging putih bersih, tebal dan kenyal (KKP 2010).

Untuk pasar ekspor, Amerika merupakan yang paling potensial, dan membutuhkan pasokan nila fillet per tahunnya sekitar 90 ton/thn. Masih banyak yang membutuhkan pasokan ikan nila dalam jumlah yang besar, diantaranya adalah Hongkong, Singapura, Jepang dan Eropa. Menurut FAO (Food Agricultural Organization), pasar dunia sampai 2010 masih kekurangan pasokan ikan nila sebanyak 2 juta ton/tahun. Permintaan pasar akan ikan nila yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun menuntut para pelaku budidaya untuk meningkatkan produksinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Salah satu upaya untuk mendapatkan produksi yang tinggi adalah melalui pengelolaan induk yang baik dengan mengoptimalkan faktor lingkungan yang dapat mendukung kondisi fisiologi dari ikan yang dibudidayakan.

Ikan nila pada umumnya dibudidayakan di perairan tawar, namun belakangan ini areal untuk budidaya ikan air tawar semakin sempit seiring meningkatnya kompetisi penggunaan lahan oleh berbagai jenis ikan air tawar. Sementara disis lain, ketersediaan lahan tambak masih tersedia luas. Hal ini mendorong dilakukannya upaya pengembangan budidaya nila di perairan payau (tambak) dan laut atau yang lebih dikenal dengan nila salin. Budidaya ikan nila salin telah dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia, diantaranya adalah adalah Aceh, Jawa Tengah, Jawah Barat, Sumatera Utara dan Lampung. Beberapa penelitian tentang salinitas dan kaitannya dengan kajian fisiologi terhadap ikan nila juga telah dilakukan. Hasil penelitian Mege (1993), menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan nila lebih tinggi bila dipelihara pada salinitas > 5 ppt. Hal yang sama dilaporkan oleh Darwisito (2006), bahwa pada salinitas 10 ppt ketahanan tubuh ikan nila menjadi lebih baik serta merupakan kondisi lingkungan terbaik

yang mempengaruhi reproduksi pada induk ikan nila seperti fekunditas, nilai GSI (gonad somatik indeks), perkembangan embrio dan waktu inkubasi telur. Watanabe dan Kuo (1988), mengemukakan bahwa penampilan dan reproduksi ikan nila lebih baik pada salinitas 5-15 ppt dari pada di air tawar dan air laut 30 ppt.

Selain faktor lingkungan, keberadaan hormon, seperti tiroksin juga memegang peranan penting dalam pengaturan fisiologi tubuh ikan nila seperti osmoregulasi, metabolisme dan reproduksi. Hormon tiroksin berperan dalam mengontrol adaptasi salinitas, meningkatkan konsumsi oksigen, laju metabolisme protein dan lemak sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap reproduksi ikan nila (Handayani 1997). Hasil penelitian Matty (1985), menyatakan selama maturasi pada induk ikan mas koki, Carassius auratus hormon tiroksin turut berperan dalam proses vitelogenesis oosit. Konsentrasi gonadotropin berbeda nyata antara kontrol (tanpa pemberian salmon gonadotropin dan tiroksin), tanpa pemberian tiroksin dan pemberian salmon gonadotropin yang ditambahkan dengan hormon tiroksin. Pentingnya peranan hormon dalam reproduksi ikan menjadi penting untuk dikaji sehingga penelitian ini perlu untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Sifat euryhalin yang dimiliki oleh ikan nila membuat para petani budidaya terus mencari alternatif untuk meningkatkan produksi melalui optimalisasi lingkungan pemeliharaannya. Salah satu yang dilakukan adalah mencoba memelihara ikan nila pada media bersalinitas. Pengembangan budidaya ikan di lingkungan bersalinitas (tambak) tentunya membutuhkan ketersediaan benih yang sudah beradaptasi di lingkungan bersalinitas sehingga perlu dikembangkan pembesaran atau pemeliharaan induk pada media bersalinitas pula. Pemeliharaan ikan pada kondisi isoosmotik akan terjadi penghematan energi untuk osmoregulasi sehingga proses fisiologi dalam tubuh dapat berjalan dengan optimal, termasuk pertumbuhan dan reproduksi. Hormon yang berperan dalam pengaturan salinitas adalah hormon tiroid (tiroksin).

Keterlibatan hormon tiroid dalam osmoregulasi berhubungan dengan aktivitas Na+,K+-ATPase, sehingga dapat meningkatkan aktivitas transport natrium pada berbagai jaringan epitel termasuk ginjal. Selain berperan dalam pengaturan osmoregulasi, pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon tiroid juga mempengaruhi laju metabolisme protein, karbohidrat dan lemak (Matty 1985). Hal serupa didukung oleh Woo et al. (1991), bahwa pemberian hormon tiroksin dalam pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan, aktivitas enzim pencernaan pada usus dan aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat. Hormon tiroid berintegrasi dengan hormon lain secara sinergistis dalam mengatur laju metabolisme, memfasilitasi pelepasan growth hormone (GH) dari sel-sel hipofisis, meningkatkan lipolisis serta pengambilan pakan sehingga berpengaruh secara tidak langsung terhadap reproduksi ikan (Fujaya 2004). Energi yang berasal dari lemak digunakan selama pembentukan vitelogenesis, gonadogenesis dan fekunditas. Sementara energi protein digunakan untuk gonadogenesis, gametogenesis, vitelogenesis, hormon dan enzim (Finstad et al. 2001). Tiroksin juga secara langsung berpengaruh terhadap reproduksi. Kelancaran sekresi tiroksin oleh kelenjar tirod merupakan salah satu syarat untuk kelangsungan reproduksi secara normal pada ternak (Toelihere 1979). Sechman et al. (2009) mengemukakan bahwa pada ayam tiroid dapat meningkatkan konsentrasi progesteron yang berperan penting dalam proses ovulasi. Pada manusia, keadaan hipotiroid menyebabkan kegagalan perkembangan gonad dan sistem saluran reproduksi, perpanjangan masa kebuntingan dan penurunan jumlah anak pada babi (Robertson dan Falconer 1961). Pada ikan hormon tiroid dalam plasma induk akan ditransfer kedalam telur dan kemudian kedalam kantung kuning telur larva (Ayson dan Lam 1993).

Berbagai respon yang ditimbulkan akibat pengaruh pemberian hormon terhadap proses osmoregulasi dan reproduksi berbeda untuk setiap spesies hewan serta dosis yang digunakan. Pada ikan dewasa, tiroid mempengaruhi peningkatan respon hCG (human chorionic gonadotropin). Pada tikus betina, tiroksin berperan dalam pematangan folikel. Menurut Choksi et al. (2003), pada manusia hormon tiroid mempengaruhi beberapa aspek reproduksi, seperti metabolisme estrogen, kematangan seksual, ovulasi, kesuburan dan kemampuan menghasilkan anak.

Pada ikan hormon tiroid memainkan peran dalam fungsi dan perkembangan sistem reproduks meskipun mekanisme secara detail belum sepenuhnya diketahui.

Strategi pemeliharaan ikan nila di perairan laut atau payau perlu mendapat perhatian terutama menyangkut osmoregulasi sehingga ikan dapat memperkecil ketersediaan energi untuk reproduksi. Strategi yang dapat dilakukan adalah memilih strain yang adaptif terhadap kadar garam dan penggunaan hormon yang salah satunya adalah hormon tiroid (T4). Pemberian hormon tiroksin dapat membantu ikan dalam mengatur osmoregulasi melalui pengambilan ion-ion oleh tubuh agar energi yang digunakan untuk osmoregulasi dapat ditekan sekecil mungkin dan dapat digunakan secara optimal untuk reproduksi. Keberadaan tiroksin mempengaruhi perkembangan gonad melalui rangsangan terhadap hormon gonadotropin (Matty 1985).

Keadaan hipotiroidisme atau kekurangan tiroid dalam tubuh dapat menghambat saluran reproduksi. Kerusakan gonad juga dapat terjadi bila mencapai keadaan hipertiroidisme dalam tubuh (Toelihere 1979). Pemberian tiroksin akan memberi pengaruh-pengaruh stimulasi atau keracunan sehingga perlu diperhatikan dosis dan spesies yang digunakan. Mengacu pada permasalahan tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan pemberian hormon dengan dosis berbeda pada media bersalinitas sehingga diharapkan dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap berbagai aspek reproduksi ikan nila, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana hormon tiroksin mempengaruhi fisiologi reproduksi ikan nila yang dipelihara pada beberapa media salinitas. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi dasar tentang dosis optimum hormon tiroksin (T4) terhadap reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas sehingga diharapkan dapat dikembangkan pembenihan (hatchery) ikan nila pada lingkungan bersalinitas (payau-laut)

Hipotesis

Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah interaksi antara pemberian hormon tirkosin dengan konsentrasi berbeda dan pemeliharaan pada level salinitas media berbeda dapat meningkatkan kinerja reproduksi dari ikan nila merah (Oreochromis sp.).

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Ikan Nila (Oreochromis sp.)

Nila merah (Oreochromis sp.) merupakanikan hasil hibridisasi antara ikan Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus. Tergolong dalam ordo Percomorphi, sub ordo Percoidea, family Cichlidae dan genus Oreochromis (Stickney 2006). Sebagai ikan yang tergolong euryhalin, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau dan laut. Kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan ikan nila adalah suhu berkisar antara 27-29oC, oksigen terlarut 3-8,5 ppm, pH 7-8,3; alkalinitas 90-190 ppm, kesadahan 62-79 mg CaCO3, Ikan tilapia digolongkan sebagai ikan herbivora (Tengjaroenkul et al. 2000), dapat memakan jenis-jenis pakan tambahan seperti dedak halus, tepung bungkil kacang, ampas kelapa dan sebagainya. Untuk budidaya ikan nila tumbuh lebih cepat dengan pakan yang mengandung protein >20-25 %.

Ikan nila umumnya lebih dikenal atau dipelihara di perairan tawar, mulai dari lingkungan yang sempit seperti kolam pekarangan, kolam tadah hujan dan sawah sampai dengan lingkungan yang sangat luas seperti tambak, sungai atau waduk (dengan sistem keramba jaring apung). Toleransi terhadap kadar garam merupakan suatu karakteristik biologi utama dari ikan nila. Pertumbuhan ikan nila berbeda pada kondisi air tawar, payau (estuari) dan laut. Ikan nila tumbuh lebih cepat pada salinitas 6-17 ppt dibandingkan dengan air tawar. Pada salinitas 31-36 ppt dapat mematikan secara total (Mege 1993). Performa reproduksi ikan nila lebih baik pada salinitas 10 ppt (Darwisto 2006), 5-15 ppt dan menurun pada salinitas > 30 ppt (Watanabe dan Kuo 1988).

Reproduksi dan Perkembangan Gonad

Reproduksi merupakan suatu proses biologi mulai dari differensiasi seksual hingga dihasilkannya individu baru (larva) yang melibatkan kinerja dari beberapa jenis hormon (Bernier et al. 2009). Dalam proses budidaya, pengembangbiakan ikan merupakan salah satu kegiatan yang harus tumbuh dan berkembangbiak agar kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan. Kegiatan reproduksi terjadi sesudah ikan mencapai masa dewasa; diatur oleh

kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang menghasilkannya. Awal matang gonad ikan nila pada ukuran 20-30 cm (150 g) (Stickney 2006); > 50 g (El-ssayed et al. 2003), tergantung jenis dan strain. Perkembangan gonad ikan nila dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hormon, makanan dan faktor lingkungan. Stickney (2006) mengemukakan bahwa ikan nila pada kondisi budidaya (terkontrol) lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan ikan nila yang hidup di perairan alami.

Secara alami ikan nila dapat memijah sepanjang tahun di daerah tropis. Pada umumnya pemijahan ikan nila terjadi 6-7 kali/tahun. Rasio betina : jantan untuk pemijahan adalah 2:1. Fekunditas berkisar antara 243-847 butir telur/ induk (Mendoza et al. 2005), 300-1.500 butir/induk (Kusnadi dan Bani), 300-3.000 butir/induk (Kordi 2000; Stickney 2006). Nilai fekunditas dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pakan, ukuran ikan, diameter telur, dan lingkungan. Salinitas untuk pemijahan berkisar antara 0-30 ppt (Koda 2003; Ainun 2008). Beberapa spesies ikan dapat memijah dua atau beberapa kali dalam setahun (Rustidja 2005). Pada pemijahan secara alami, ikan yang telah matang gonad dan siap memijah dapat menghasilkan telur yang matang dalam waktu yang singkat apabila kondisi lingkungan baik.

Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila diklasifikasikan menjadi 5 tingkat (Dadzie dan Wangila 1980) sebagai berikut :

Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila

No TKG Histologi 1 2 3 4 5 I II III IV V

Ovarium masih kecil, transparan, dan oosit muda hanya terlihat dengan menggunakan mikroskop

Ovarium berwarna kuning terang, dan oosit dapat terlihat dengan mata

Ovarium besar, berwarna gelap, dan ada oosit yang mulai mengandung kuning telur

Ovarium besar, berwarna coklat, banyak oosit berukuran maksimal dan mudah dipisahkan.

Ovarium berwarna kuning terang, ukuranya berkurang karena telur yang sudah matang telah dilepaskan.

Pada ikan dewasa, ovarium secara umum berjumlah sepasang. Oosit yang berkembang terletak ditengah dalam lapisan folikel. Lapisan folikel terdiri dari

lapisan dalam sel (granulosa) dan lapisan luar (sel theca). Oosit berkembang akibat adanya akumulasi kuning telur (vitelogenesis) dalam sitoplasma. Vitelogenesis akan berkembang secara penuh dan kemudian mengalami maturasi dan ovulasi karena adanya pengaruh lingkungan dan hormon. Setelah terjadi ovulasi maka selanjutnya akan terjadi proses pembelahan dan oosit telah menjadi telur secara sempurna dan siap dibuahi (Murua dan Kraus 2003).

Dalam satu tingkat kematangan gonad (TKG), komposisi telur yang dikandung tidak seragam, tetapi terdiri dari berbagai macam telur. Telur merupakan cikal bakal bagi suatu makhluk hidup, yang proses pembentukannya sudah mulai pada fase diferensiasi dan oogenesis yaitu terjadinya akumulasi vitolegenin kedalam folikel (vitelogenesis). Perkembangan diameter telur meningkat dengan semakin meningkatnya TKG.

Tiroid dan Mekanisme Kerjanya

Hormon tiroksin mempunyai reseptor didalam inti sel (hipofisa, hati, jantung dan ginjal). Di dalam sel, tiroksin (T4) mengalami deiodinasi dan ditransformasi menjadi T3. Transformasi T3 berlangsung di dalam membran plasma dan retikulum endoplasma, Setelah transformasi berlangsung maka T3

migrasi ke sel inti dan melakukan interaksi dengan reseptor yang terdapat di inti. Akibatnya produksi nuclear RNA (nRNA) dan mocrosmional RNA (mRNA) akan meningkat. Efek dari T3 disamping untuk pertumbuhan, metamorfosis juga mampu bekerja sama dengan hormon lain, seperti hormon gonadotropin. T3 juga bekerja sama dengan kortisol untuk merangsang pembentukan hormon melalui mRNA yang terdapat dalam hipofisa. Hormon tiroksin dapat dengan mudah masuk ke dalam sel target melewati dinding sel (membran plasma) dengan cara transport aktif. Hormon tiroid (T3 dan T4) yang masuk kedalam tubuh dibawa ke sel target oleh protein plasma. Ayson dan Lam (1993) menyatakan bahwa hormon tiroksin dalam sirkulasi induk betina dapat ditransfer ke dalam oosit, telur dan kemudian ke dalam ovarium (kantung kuning telur) sebelum ovulasi. Hormon tiroid secara tidak langsung membantu dalam proses penyerapan kuning telur. Bentuk kerjasama hormon dalam tubuh ikan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerjasama berbagai jenis hormon dalam tubuh ikan (Bernier et al. 2009).

Kelenjar pituitari atau hipofisa terletak pada lekukan tulang di dasar otak dan sering disebut sebagai master gland , mengandung sel-sel pesekresi hormon adrenocorticotropic (ACTH), hormon pelepas tiroid (TSH, thyroid stimulating hormone), hormon pertumbuhan (GH, growth hormone), dan gonadotropin (FSH; follicle stimulating hormone, LH; luithenizing hormone). Sistem endokrin dalam mengintegrasikan organisme selalu bekerja sama dengan sistem syaraf (neuroendokrin). Kedua sistem ini mampu mensintesis dan melepaskan zat–zat kimia khusus dan hormon–hormon tertentu yang mampu menyebar ke seluruh tubuh organisme. Beberapa hormon yang dihasilkan (FSH dan LH) secara langsung mempengaruhi berbagai aspek reproduksi seperti perkembangan gonad, spermatogenesis, fertilisasi dan ovulasi. Hormon lain (seperti tiroid) bekerja sama dengan hormon-hormon gonadotropin untuk mempertahankan keadaan metabolik suatu organisme yang memungkinkan terjadinya reproduksi.

Defisiensi dan Kelebihan Tiroid dalam Tubuh

Pembentukan hormon tumbuh yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan raksasa (gigantism). Efek hormon tumbuh terlihat jelas pada bagian tulang panjang. Pertumbuhan tulang yang berlebihan dapat mengakibatkan kelainan pada persendian sehingga mekanisme kerja dari persandian tersebut menjadi tidak normal lagi. Produksi hormon tiroid yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap konversi keratin menjadi kreatinin. Akibat dihambatnya pembentukan kreatinin tersebut maka pembentukan fosfokreatin juga terhambat yang berakibat diekskresikannya keratin kedalam urin. Kehilangan keratin dari otot-otot menyebabkan kerja otot tidak efisien. Demikian juga, apabila kekurangan produksi hormon tiroid di dalam tubuh maka akan terjadi kelainan-kelainan dalam pertumbuhan (Affandi dan Tang 2003).

Salnilitas, Tiroksin dan Osmoregulasi Ikan

Osmoregulasi merupakan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis tubuh dapat berfungsi secara normal. Osmoregulasi erat kaitannya dengan salinitas, yakni upaya untuk mengontrol keseimbangan air dan konsentrasi total dari ion-ion yang terlarut dalam air, seperti Na (natrium), K (kalium), Ca (kalsium), Mg (magnesium), Cl (khlor), SO4 (sulfat), dan HCO3 (asam karbonat) antara tubuh dan lingkungannya (Effendi 2003). Selama osmoregulasi, hewan air membutuhkan keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan media yang sangat penting terhadap kelangsungan hidupnya. Hormon memainkan peran sebagai pengontrol terhadap proses adaptasi ikan dan transport ion (McCormick dan Bradsaw 2006).

Osmoregulasi pada ikan air laut berbeda dengan ikan air tawar. Ikan air laut hidup dalam medium yang memiliki konsentrasi osmotik lebih tinggi dari cairan tubuhnya sehingga ikan cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang serta kemasukan garam-garam melalui proses difusi (hipoosmotik). Ion-ion natrium dan klorida diserap oleh usus dan dibuang melalui ginjal. Sementara ikan air tawar memiliki konsentrasi media yang lebih rendah dari konsentrasi cairan

tubuhnya (hiperosmotik) sehingga secara alami air bergerak masuk kedalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan secara difusi. Secara rinci proses osmoregulasi pada ikan dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses pengeluaran dan penyerapan ion dan air dalam tubuh ikan air tawar dan air laut.

Beberapa organ yang berperan dalam proses pengaturan tersebut antara lain, insang, ginjal dan usus. Organ-organ ini melakukan fungsi adaptasi dibawah kontrol hormon osmoregulasi, terutama hormon-hormon yang disekresikan oleh pituitari, ginjal dan urofisis, diantaranya hormon prolaktin (PRL) dan hormon tiroid (Gambar 3).

Pada insang, sel-sel berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel klorida yang terdapat pada dasar lembaran-lembaran insang, sementara ginjal digunakan untuk membersihkan dan menjernihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak diinginkan. Usus aktif mengambil ion-ion monovalen (Na+, K+, Cl-) dan air. Proses-proses tersebut berjalan dibawah pengaruh hormon.

Hormon tiroid mempengaruhi aktivitas enzim Na+/K+ ATP-ase yang terdapat pada membran, sehingga terjadi peningkatan aktivitas transport natrium akibat meningkatnya konsumsi oksigen. Na+,K+-ATPase juga menyediakan energi sebagai tenaga penggerak untuk transport Na+ dalam berbagai epitel osmoregulasi termasuk ginjal. Pengaruh tiroid terhadap aktivitas Na+, K+-ATPase pada adaptasi ikan air laut telah menjadi subjek dalam banyak penelitian. Hormon tiroid dilaporkan dapat mempertahankan keseimbangan osmotik Na+ selama melakukan osmoregulasi (tantangan osmoregulasi), mendorong aktivitas pompa Na+ dan dinamika morfometrik sel klorida, serta membantu kemampuan hiperosmoregulator pada tilapia air tawar (Peter et al. 2000).

Peranan Hormon Tiroid dalam Metabolisme Ikan

Hormon tiroid (T3 dan T4) pada organisme, termasuk hewan terlibat dalam regulasi atau pengaturan homeostatis dan metabolism energi, protein dan lemak. Pengaruh tiroid terhadap sintesis protein melalui aktivitas RNA. Adanya interaksi hormon tiroid dan reseptor pada inti maka aktivitas enzim polymerase akan meningkat dan pembentukan RNA-pun akan meningkat (Djojosoebagyio 1990). Konsentrasi hormon tiroid tergantung dari beberapa faktor, diantaranya adalah lingkungan dan gizi (Todini 2007).

Selain protein, hormon tiroid juga dilaporkan dapat mengubah pola metabolisme karbohidrat melalui peningkatan aktivitas enzim amilase sehingga kecernaan dan absorpsi karbohidrat menjadi tinggi akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa serum (Woo et al. 1991). Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Tytler dan Calow (1985), bahwa terjadi peningkatan aktivitas glikogen dan beberapa enzim metabolisme karbohidrat seperti glukosa 6-fosfat dehidrogenase, isositrat dehidrogenase, glukosa 6-fosfat dan 1,6-difosfatase. Selain itu, penelitian

yang dilakukan pada ikan sidat menunjukkan bahwa pemberian tiroid juga dapat meningkatkan enzim aldolase (enzim yang terlibat dalam glikolisis). Dengan adanya peningkatan metabolisme glukosa maka karbohidrat berperan sebagai sparing action pada penggunaan energi. Jalur katabolisme glukosa ini sangat penting untuk biosintesis asam lemak, karena meningkatnya glikolisis akan menurunkan lemak sebagai sumber energi.

Energi dari asupan pakan yang digunakan untuk reproduksi berasal dari lemak dan protein. Lemak berfungsi pada peran vitelogenesis, fekunditas, penetasan, dan sumber energi untuk larva. Secara umum protein yang dibutuhkan pada tahapan reproduksi adalah untuk gonadogenesis, gametogenesis, vitelogenesis, hormon dan enzim (Finstad et al. 2001). Menurut Sibly dan Calow (1986), kebutuhan energi tertinggi pada makhluk hidup terjadi pada saat pematangan dan reproduksi dimana pakan yang diperoleh diubah menjadi zat-zat yang diperlukan bagi keberhasilan pemijahan. Energi yang dihabiskan untuk reproduksi ada tiga : (a) untuk produk seksual primer yaitu telur dan sperma (gamet); (b) untuk karakteristik seksual sekunder; dan (c) untuk tingkah laku reproduksi (Tytler dan Calow 1985). Aristizabal (2007) mengatakan pada ikan diperoleh dua jenis bentuk penyimpanan energi yaitu untuk pertumbuhan dan reproduksi, dimana proses reproduksi merupakan bentuk penyimpanan energi yang dapat diukur berdasarkan energi yang terdapat pada gonad (ovari) dan testes.

Peranan Hormon Tiroid dalam Reproduksi Ikan

Hormon tiroid termasuk dalam golongan hormon reproduksi sekunder. Hormon-hormon reproduksi sekunder merupakan zat-zat endokrin yang dengan aktivitas metabolik yang mempertahankan fungsi fisiologi tubuh dan memungkinkan berlangsungnya proses-proses reproduksi. Kelancaran sekresi tiroksin oleh kelenjar tiroid merupakan salah satu syarat untuk kelangsungan reproduksi secara normal. Hipotiroidisme menyebabkan kekerdilan (cretinismus) dengan kegagalan perkembangan gonad dan sistem saluran reproduksi. Kadar tiroksin yang tinggi dapat merusak gonad (Toelihere 1979).

Pada hewan dewasa, tiroid mempengaruhi peningkatan respon hCG (human chorionic gonadotropin) dalam merangsang ovulasi (Frandson 1986), berperan dalam pematangan folikel pada tikus betina dewasa dan peningkatan konsentrasi testosterone pada tikus jantan. Pada manusia tiroid mempengaruhi beberapa aspek reproduksi, seperti metabolisme estrogen, kematangan seksual, ovulasi, kesuburan dan kemampuan menghasilkan anak (Choksi et al. 2003). Pada ikan hormon tiroid juga memainkan peran dalam fungsi dan perkembangan sistem reproduksi.

Oksigen dan Pertumbuhan

Oksigen memberikan pengaruh secara umum pada pertumbuhan melalui jalur metabolisme dan relokasi dari sumber energi. Oksigen merupakan limiting factor bagi metabolisme ikan dan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas tubuh lainnya. Oleh karena itu kecukupan oksigen dalam perairan harus diperhatikan agar fisiologi tubuh ikan dapat berjalan optimal. Sebagian besar oksigen dimanfaatkan oleh ikan untuk proses respirasi. Ikan bernafas secara terus menerus sehingga membawa molekul oksigen dengan permukaan organ pernapasan dalam hal ini adalah insang. Jumlah oksigen yang terikat per unit volume darah bergantung pada jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dalam eritrosit, tekanan parsial oksigen yang berlaku, dan keberadaan oxygen-binding property yang ada di molekul hemoglobin. Kemudian oksigen ditransportasikan kedalam saluran darah dari insang menuju lokasi konsumsi. Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang penting bagi pertumbuhan ikan, jika kandungan oksigen rendah dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit dan dapat mengakibatkan pertumbuhannya terhambat (Diaz 2001).

Ikan membutuhkan energi untuk memelihara tubuh, aktivitas sehari-hari dan pertumbuhan. Pertumbuhan akan terjadi apabila masih terdapat kelebihan energi

Dokumen terkait